Monday, January 21, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (22)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (22)

22. TINGGAL PUING

Ujung kisah Marwan semakin mencekam dan mengharukan. Kami, aku dan istriku semakin jarang memotong dengan pertanyaan. Semua kisahnya sangat rinci dan jelas. Dan sangat mengharukan. Desi berkali-kali menyapu air matanya.

Marwan melanjutkannya lagi.

‘Aku bekerja sampai tanggal 30 September dan sesudah itu di grounded. Tidak boleh lagi masuk kantor. Gajiku masih dibayar. Aku isi waktuku dengan banyak-banyak merenung. Tidak, aku tidak berubah jadi muno meski kuakui aku jadi sangat pendiam ketika itu. Di rumah aku usahakan untuk bersikap sewajar mungkin, meski tentu saja tidak mudah. Setiap pagi aku antarkan Ita ke kantor dan sore-sore aku jemput dia.

Di rumah sendirian di siang hari aku isi waktuku dengan membaca dan merenung. Mungkin lebih banyak merenung, dan berpikir. Ya, aku merenung dan merenung, menerobos waktu ke masa-masa yang sudah kujalani. Sejak masa kanak-kanak. Masa sekolah sampai SMP di kampung. Masa SMA dan kuliah di Surabaya. Masa aku mulai bekerja dan menikah. Dan akhirnya sampai di muaranya seperti sekarang ini. Ini tentu tidak boleh jadi akhir segala-galanya. Dunia belum kiamat. Apa yang akan aku kerjakan besok? Dunia perminyakan di Indonesia otomatis sudah tertutup bagiku. Pindah ke negeri orang? Ke Singapura? Atau bahkan ke Amerika? Aku akan terasing disana. Tidak cukup keberanianku. Aku akan terlalu jauh dari ibuku nanti.

Aku teringat kepada ibu. Ibu yang sangat salihah itu. Yang sangat tabah dan santun. Wajah ibu muncul di pelupuk mataku. Beliau seorang wanita yang sangat aku sanjung karena kesalehan dan kesabarannya. Ingat beliau aku jadi ingat berzikir. Dan aku berzikir. Dan mengaji. Ya, aku rajin membaca al Quran. Dan berdoa panjang sesudah setiap shalat. Aku tidak berdoa agar aku jangan sampai dikeluarkan dari kantor, tapi aku meminta kepada Allah agar aku diberi ketabahan. Aku menerima segala keputusan Allah dan aku memohon agar aku diberi hikmah dari setiap ujian yang aku terima. Agar aku diberi segala sesuatu yang terbaik dari sisi Allah. Ternyata doa seperti itu membawa ketenangan kepada batinku.

Hubungan dengan istriku di rumah tidak bisa tidak ikut terguncang. Hari-hari pertama sejak aku tidak lagi bekerja, aku dan Ita tidak banyak berbicara. Kami sama-sama membatasi diri untuk tidak banyak omong. Itapun jadi sangat hemat bicara. Aku tidak tahu persis apa yang dipikirkan istriku itu dalam kesunyiannya. Aku berprasangka baik bahwa dia tidak ingin menambah beban pikiranku.

Aku terima sebuah surat kilat khusus dari kampung. Surat itu dari mamakku. Beliau memberi tahu bahwa ada petugas tentara dari kantor Kodim baru-baru ini datang ke kampung menemui kepala desa dan juga bertemu dengan empat orang saksi yang menulis surat kesaksian yang sudah kuserahkan ke kantor security Pertamina dulu itu. Kata mamakku, mudah-mudahan informasi itu bisa membantuku, karena keempat orang tersebut menjelaskan kesaksian mereka tanpa ragu-ragu kepada petugas yang datang itu.

Aku menerima informasi itu biasa-biasa saja. Tidak menambah harapan apapun. Apapun yang diberikan Allah kepadaku, aku akan menerimanya. Jadi aku tidak mau berkhayal dan berharap-harap. Lagi pula aku sadar, aku tidak akan mungkin pergi menanyakan hasil interview petugas Kodim dengan orang-orang kampungku itu ke kantor Pertamina.

Pertengahan bulan Oktober aku di panggil ke kantor untuk dibawa ke kantor security Pertamina lagi. Aku yakin kedatangan kesana hanya untuk menerima vonis. Dan benar sekali. Komandan security memberi tahuku tentang surat keputusan mereka yang sudah dikirim ke kantorku dengan rekomendasi agar aku diberhentikan dengan tidak hormat sejak 1 November. Aku dipecat.

Di saat menerima keputusan terakhir ini dadaku bergemuruh. Timbul juga emosiku tapi aku tetap berusaha menahannya. Aku hanya sekedar bertanya kepada komandan security itu kebenaran berita bahwa ada petugas tentara datang ke kampungku menemui orang-orang yang memberi kesaksian tentang ayahku. Komandan itu membenarkan. Hanya, kesaksian itu dinilai tidak punya kekuatan hukum. Kenyataannya, ayahku waktu itu menerima dipenjarakan, ketika terbukti nama beliau terdaftar sebagai anggota aktif PKI.

Masih aku komentari, ‘pada waktu itu siapa yang akan berani membantah, pak. Bahkan para saksi sekarang inipun seandainya diminta kesaksiannya ketika itu belum tentu mereka akan mau memberikan,’ kataku.

‘Itulah buktinya,’ katanya. ‘Bahwa ayah saudara sebenarnya pada tahun 1965 itu adalah secara sah terdaftar sebagai anggota PKI.’

Aku tidak merasa perlu membantah atau berkelit apa-apa lagi. Petugas ini sedang melakukan tugasnya. Dan adalah bagian dari tugasnya untuk menyingkirkan aku dari tempat kerjaku. Titik.

‘Maaf, ya dik. Ini resiko. Memang begitu ketentuan peraturan yang berlaku sah di negara kita ini. Saya pribadi bersimpati kepada adik. Adik hanyalah seorang anak manusia korban politik. Dan saya tahu bahwa adik adalah seorang yang tegar. Mudah-mudahan adik bisa menerima ketetapan ini dengan sabar.’

Subhanallah, pandai pula bapak petugas ini berpidato indah. Bagaimanapun, aku pantas berterima kasih dengan ucapannya sebentar ini. Yang tidak garang. Tidak arogan. Malahan banyak benarnya. Dia inikan hanya seorang pelaksana tugas.

Bapak komandan itu menyalamiku. Dan ada dua orang petugas lain dalam ruangan itu yang ikut bersalaman denganku. Lucu juga. Apakah ini salaman dalam rangka mereka mengucapkan selamat bahwa akhirnya tugas mereka selesai untukku?

Aku kembali mampir ke kantor. Menemui atasanku. Sekalian melaporkan bahwa vonis untukku sudah jatuh. Brian Skinner memandangku dengan wajah yang susah aku jelaskan. Lama dia memandangku tanpa berkata apa-apa. Orang ini memang sangat baik kepadaku. Di hadapannya ada beberapa buah amplop berwarna putih. Setelah lama tercenung keluar juga kata-katanya.

‘Marwan, aku tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aku tidak percaya dengan peraturan yang berlaku di negerimu ini,’ katanya.

Aku tidak berkomentar apa-apa.

‘Apa rencanamu sesudah ini?’ tanyanya.

‘Mungkin aku akan berdagang,’ jawabku.

‘Kau tidak berpikir untuk pindah ke Singapura atau ke Australia? Coba mencari kerja disana?’ tanyanya lagi.

‘Tidak. Tidak untuk sekarang,’ jawabku.

‘Aku tidak mengusulkan agar kau pindah jauh-jauh. Singapura atau Australia dekat saja dengan Indonesia. Aku yakin kau bisa mendapatkan kerja disana.’

‘Tidak. Biarlah aku disini saja,’ jawabku.

‘Marwan, aku bersimpati dengan penderitaanmu. Hanya itu. Aku tidak bisa menolongmu.’

‘Terima kasih Brian. Terima kasih dengan simpatimu,’ jawabku.

Brian menyerahkan amplop-amplop putih itu kepadaku. Salah satunya berisi surat pemberhentian. Pemberhentian tidak hormat. Dan surat rekomendasi dari manejemen yang meng acknowledge bahwa aku adalah seorang karyawan yang baik, yang harus pergi karena political reason.

Brian mengajakku untuk menemui GM lagi tapi aku menolaknya dengan sopan. Dia lalu menelpon dan GM itu datang ke kantor Brian. Dia menyalamiku dan memberikan kata-kata penyemangat. Kata-kata klise. Menanyakan pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan Brian. Dan aku jawab dengan jawaban yang sama pula.

Aku berpamitan dengan karyawan yang kantornya berdekatan dengan ex kantorku. Tapi kemudian ternyata karyawan-karyawan lain ikut berdatangan. Semua karyawan yang satu lantai dan beberapa orang dari lantai lain beramai-ramai datang menyalamiku dan menyampaikan rasa prihatin mereka. Semua bersimpati kepadaku. Sedih kami harus berpisah dengan cara yang tidak disangka-sangka seperti ini.

Begitulah perpisahan kami di kantor. Perpisahan spontan begitu saja. Tidak ada perpisahan resmi karena mungkin dilarang pula oleh peraturan.

Karir kecilku bekerja di perusahaan perminyakan yang baru berumur lima tahun sudah berakhir. Bukan hanya di perusahaan ini saja, tapi di perusahaan minyak yang manapun di negeri ini, aku tidak akan bisa diterima lagi. Padahal pekerjaan itu aku sukai.

Aku tinggalkan kantor dan menuju pulang. Dadaku kembali bergemuruh dalam perjalanan ke rumah. Aku merasa kesunyian luar biasa di tengah kota Jakarta yang sangat ramai ini. Rasanya dadaku seperti mau pecah. Aku yang sampai sejauh ini berhasil meyakinkan diriku untuk tetap tegar, disaat mendapatkan kenyataan yang sebenarnya dan dinyatakan kalah seperti ini, rupanya hatiku hancur juga. Tak terasa air mataku mengalir. Ya aku menangis dalam kesendirianku di dalam mobil.

Tepat saat dikumandangkan azan zuhur waktu aku sampai di rumah. Aku pergi shalat ke mesjid yang sebenarnya lumayan jauh dari rumah. Mesjid yang sejak aku tidak masuk kantor aku datangi untuk shalat Jumat. Sesudah shalat aku pulang dan aku mengaji di kamarku.

Sore itu aku jemput Ita seperti biasa. Sampai di rumah aku beritahu dia bahwa surat pemberhentianku sudah keluar. Aku sudah resmi dipecat. Ita menangis tersedu-sedu dan memelukku. Dalam kesunyian. Dia tidak mengatakan apa-apa.

Dia banyak menangis malam itu. Tapi kami tidak membicarakan apapun. Sudah terlalu banyak pembicaraan kami sebelum ini. Sudah terlalu kenyang Ita mendengar himbauanku untuk bersabar.

***

Setelah goncangan di dadaku mulai berkurang beberapa hari kemudian, aku ajak Ita berdiskusi. Aku sampaikan rencanaku untuk banting stir menjadi pedagang. Aku akan membuka toko buku seperti toko pak etek di Surabaya. Sambutan Ita tidak terlalu bersemangat. Dia tidak mengatakan setuju atau tidak setuju. Barangkali Ita masih belum siap diajak berdiskusi tentang hal itu.’

***

Kali ini Desi terisak-isak dalam tangis. Tanpa kusadari air matakupun menetes. Terdengar azan maghrib. Ternyata sudah masuk waktu maghrib. Kami beristirahat dulu untuk pergi shalat ke mesjid. Dan kami berjalan kaki menuju mesjid.

‘Sungguh tragis pengalaman hidupmu,’ kataku di jalan.

‘Sebentar lagi akan aku ceritakan puncak dari semua cerita itu,’ katanya.

‘Bagaimana kau bercerai denga Ita ?’ tanyaku.

Marwan mengangguk. Kami sudah sampai di mesjid.


*****

No comments: