Tuesday, January 8, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (5)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (5)

5. SAUDARA KEMBAR

Sumatera Tengah di tahun 1958 adalah negeri yang bergolak. Sekelompok besar masyarakat di daerah itu menentang pemerintah pusat Republik Indonesia dan memproklamirkan perang. Perlawanan dibawah panji Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia disingkat PRRI menentang negara Republik Indonesia. Di Sumatera Barat sebahagian sangat besar penduduk mendukung PRRI dan ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hampir semua pegawai negeri, bahkan saudagar dan petani melibatkan diri, mengangkat senjata bergabung dengan PRRI.

Tentara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) didatangkan ke Sumatera Tengah untuk memerangi PRRI. Orang-orang PRRI itu, entah karena pertimbangan apa, mengundurkan diri ke hutan. Namun sebagian besar pula, setelah beberapa bulan perang berkecamuk, tidak sanggup bertahan, lalu kembali. Istilahnya kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

***

Syamsuddin dan Burhanuddin adalah dua saudara kembar. Yang sehati lahir dan batin. Saling mengasihi, saling merindukan kalau dipisahkan. Begitu sejak masa kanak-kanak, begitu juga sampai mereka dewasa bahkan sampai mereka sudah berumah tangga, beranak pinak.

Syamsuddin bekerja sebagai pegawai negeri. Pegawai kantor pos. Diawalinya sebagai petugas pengantar surat dengan sepeda dan terakhir sebagai pegawai kantoran di Bukit Tinggi. Syamsuddin sedikit lemah secara fisik, sering sakit. Orang kampung menyebutnya sakit jariah, dokter menyebut asma. Waktu dia bekerja sebagai pengantar surat dari kantor pos, kalau cuaca baik dia cukup sehat. Tapi kalau cuaca buruk di musim penghujan dia sering jatuh sakit. Sakit jariah atau sesak nafas. Atas pertimbangan itu akhirnya dia segera dipintah bekerja ke kantor.

Burhanuddin kebalikannya adalah seorang yang sangat kuat secara fisik. Dia jadi pedagang tembakau di Paya Kumbuh. Usahanya lumayan maju. Tembakau yang dikumpulkannya dikirim ke Medan. Kalau sehabis musim panen tembakau, tiap hari oto prah mengangkut tembakau dagangannya ke sana.

Ketika perang PRRI meletus, Burhanuddin ikut mendaftar untuk jadi pejuang PRRI. Sebenarnya Syamsuddin juga ikut-ikutan mendaftar. Tapi karena pertimbangan kesehatan hanya Burhanuddin yang diterima.

Ditinggalkannya usaha dagangnya yang sedang maju-majunya. Karena semangat kesetiakawanan. Karena hampir semua orang laki-laki yang berumur di antara 18 tahun sampai 45 tahun di kampungnya ikut keluar, begitu istilahnya. Artinya ikut ambil bagian dalam perang sebagai tentara PRRI.

Meskipun dia tidak punya latar belakang militer sedikitpun. Belum pernah dia memegang senjata. Tapi, sekali lagi karena semangat yang sangat menggebu, yakin bahwa mereka harus berjuang, menegor pemerintah pusat yang menurut keyakinan mereka telah berlaku tidak adil kepada daerah, Burhanuddin ikut berpartisipasi tanpa ada keraguan.

Burhanuddin menjadi anggota kompi Kapten Udin Kulabu. Nama komandan itu sebenarnya Hasanuddin, seorang tentara asli berpangkat kapten, dan lebih dikenal sebagai Kapten Udin Kulabu. Lebih dari separuh anak buahnya adalah tentara asli sedangkan yang lainnya adalah tentara karbitan. Dalam kelompok yang terakhir ini termasuk Burhanuddin. Tapi di dalam pasukan tersebut tidak ada perbedaan. Semua sama-sama memegang senjata api. Burhanuddin berlatih secara kilat menggunakan senjata api, yang ternyata memang tidak terlalu susah. Dia bangga dan senang ikut ambil bagian di dalam kompi yang beranggotakan 120 orang tentara di bawah Kapten Udin Kulabu. Markas mereka di kaki gunung Marapi, tapi kadang-kadang mereka berpatroli sampai ke daerah Kamang di utara.

Sebagai saudargar, Burhanuddin adalah orang berduit. Ketika ikut berangkat berperang dibawanya bekal, empat buah rupiah emas. Siapa tahu ada juga gunanya nanti. Menyimpan empat buah rupiah emas yang digulung dengan sapu tangan di dalam kantong rahasia celananya, lama kelamaan diketahui oleh teman-teman satu kompi. Mula-mula hal itu diketahui oleh teman yang selalu bersama-sama, karena dia selalu menarik perhatian ketika berganti pakaian. Dia selalu bertingkah berhati-hati sekali. Sehingga temannya bertanya, ada apa sebenarnya. Sekali dua kali dijawab tidak ada apa-apa, malah semakin menarik perhatian temannya itu yang lalu mengajak teman lain memperhatikan. Pada suatu kali dia dijebak oleh teman-temannya itu. Celana yang selalu ditaruh dan dijaganya hati-hati kalau dia mandi atau berganti pakaian mereka ambil secara paksa. Dan terpaksalah dia menceritakan dengan sesungguhnya apa yang disimpannya dalam celana itu.

Kabar bahwa dia menyimpan empat buah rupiah emas segera sampai ke telinga komandannya, kapten Udin Kulabu. Dia dipanggil dan dimintai konfirmasi. Burhanuddin menjelaskan bahwa memang dia punya empat rupiah emas. Kapten Udin Kulabu menasihati agar uang itu dipinjamkan kepadanya saja. Menyimpan uang emas itu sendiri beresiko menjadi incaran orang-orang yang berniat jahat, begitu kata komandan. Dia akan menjualnya dan uangnya akan dibagikan kepada semua anak buah. Nanti kalau perang sudah usai, Kapten Udin Kulabu pribadi yang akan menggantinya, atau paling tidak yang akan mengusahakan mencari gantinya.

Burhanuddin tidak bisa menolak dan keempat rupiah emas itu diserahkannya. Penyerahan itu dilakukan dengan disaksikan beberapa orang. Dan Kapten Udin menandatangani surat tanda terima yang juga ditandatangani dua orang dari saksi yang hadir.

Baru beberapa bulan sejak pecah perang terdengar desas desus bahwa Kapten Udin berencana mau menyerah. Dikatakan bahwa dia sedang melakukan kontak dengan fihak APRI. Entah karena apa. Sebelum berita desas desus itu diketahui seluruh anak buahnya, terjadi peristiwa aneh ketika mereka kembali dari sebuah patroli di daerah Kamang. Tidak terdengar suara mobil konvoi tentara APRI, tiba-tiba sebagian anggota pasukan itu sudah terkepung di dekat Bukit Kalung. Termasuk ke dalam rombongan yang terkepung itu Kapten Udin Kulabu sendiri dengan 40 orang anak buahnya. Tidak ada tembak menembak. Sementara anggota rombongan yang lain masih berada agak jauh di belakang. Barulah tiba-tiba terdengar suara deruman lima buah truk tentara yang rupanya sebelum itu disembunyikan dan sengaja dimatikan mesinnya. Anak buah Udin Kulabu yang tertinggal berusaha menghindar begitu mendengar suara derum mobil. Kapten Udin Kulabu dan keempat puluh anak buah yang ikut bersamanya diangkut dengan truk tentara itu.

Beredar lagi berita bahwa Kapten Udin menyerah dengan membayar ‘upeti’ kepada komandan tentara APRI dengan 4 rupiah emas yang didapatnya dari Burhanuddin. Ini untuk melicinkan jalan baginya agar dianggap bahwa dia bukan menyerah tapi kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dengan demikian dia tidak ditawan dan karir tentaranya dapat dipertahankan. Konon begitu kesepakatan sebelum dia menyerahkan diri.

Menyerahnya Kapten Udin Kulabu dengan cara seperti itu, menimbulkan rasa sakit hati yang mendalam di kalangan sebagian anak buahnya yang tertinggal. Mereka merasa benar-benar dikhianati. Sisa pasukan yang berjumlah sekitar 80 orang itu sekarang dipimpin oleh Pembantu Letnan Satu Sulaiman. Burhanuddin termasuk di dalam kelompok yang masih tinggal ini.

Burhanuddinpun sangat kecewa dengan terjadinya peristiwa itu. Bertambah rasa kesalnya bukan karena kehilangan empat buah rupiah emas, tapi karena merasa dia punya andil untuk memuluskan rencana belot Kapten Udin Kulabu. Semangat untuk meneruskan ‘perjuangan’ ini jadi jauh berkurang.

Dalam kegalauannya, Burhanuddin jadi sangat rindu kepada saudara kembarnya Syamsuddin yang sudah berbulan-bulan ditinggalkannya di kampung. Hal ini sering diceritakannya kepada teman dekatnya di pasukan, Sersan Husin. Sersan ini selalu mendengar keluhan Burhanuddin tentang kerinduannya yang sangat kepada saudaranya itu. Dia selalu dihibur dan kadang-kadang diolok-olok agar sebagai tentara jangan cengeng. Tidak banyak orang yang bisa memahami, betapa dekatnya hati dua saudara kembar seperti ini dan betapa beratnya terasa bagi mereka perpisahan itu. Memang sulit bagi orang lain membayangkan hal itu.

Hari-hari berjalan seperti biasa. Khawatir mereka akan diserang oleh tentara APRI di markas yang lama, sesudah Udin Kulabu menyerah, Letnan Sulaiman memindahkan tempat bertahan mereka ke daerah Kamang dan kemudian ke daerah Pasaman.

Pasaman adalah daerah yang banyak berawa-rawa. Daerah yang rawan dengan nyamuk malaria. Mungkin karena masih dalam keadaan jiwa terpukul, fisiknya berubah menjadi lemah, Burhanuddin terserang demam malaria. Panasnya tinggi dan seringkali dalam demamnya dia mengigau. Igauannya selalu tentang penyesalan dan kerinduannya kepada Syamsuddin. Berhari-hari dia sakit demam panas seperti itu.

Komandan baru Letnan Sulaiman sangat prihatin melihat kondisi Burhanuddin. Disamping karena sakitnya itu menjadi beban kepada anggota pasukan yang lain. Dia memutuskan untuk menyerahkan Burhanuddin melalui wali nagari di Bonjol, tempat yang terdekat waktu itu.

Lepas tengah malam pada suatu malam dia diantar ke rumah wali nagari itu dengan ditandu. Masih dalam keadaan demam panas dan banyak mengigau. Di rumah wali nagari itu dia dirawat. Alhamdulillah setelah beberapa hari penyakitnya mulai sembuh. Oleh wali nagari kehadirannya dilaporkan kepada komandan APRI disana. Dia dijemput setelah dia sembuh dan dibawa ke Bukit Tinggi. Di markas APRI di Bukit Tinggi dia diinterogasi. Dia mengaku terus terang bahwa dia anggota PRRI, anak buah Kapten Udin Kulabu. Dalam keadaan sakit dan tidak sadar dia ditinggalkan teman-temannya dan waktu sadar dia sudah berada di rumah wali nagari di Bonjol. Cerita itu dipercayai komandan tentara, karena cocok dengan laporan wali nagari bahwa dia ditemukan di tepi hutan dalam keadaan sakit dan tidak sadarkan diri. Anehnya dia tidak dipertemukan dengan Kapten Udik Kulabu. Entah dimana keberadaan mantan komandannya itu. Setelah ditahan selama sebulan dia dibebaskan. Burhanuddin sangat gembira.

Di kampung didapatinya saudaranya Syamsuddin dalam keadaan sakit pula. Tetapi begitu dia datang, aneh sekali, sakit Syamsuddin berangsur-angsur sembuh.

Dimulainyalah kehidupan baru di kampung. Sebahagian besar kampung dan nagari sudah berada dibawah kontrol tentara APRI. Tentara PRRI makin menghindar ke hutan-hutan. Dengan kondisi seperti itu, Burhanuddin kembali menggeluti usaha lamanya, berdagang tembakau di Paya Kumbuh.

Semua berjalan lancar-lancar saja. Meskipun pada awalnya perdagangannya sangat mundur dibandingkan dengan sebelum pecah perang, tapi sedikit demi sedikit geliatnya terasa makin membaik. Burhanuddin tetap tinggal di kampung dan mengurus perdagangannya bolak balik dari kampung ke Paya Kumbuh. Ada terbersit di hatinya untuk pindah menetap di Paya Kumbuh sementara, tapi selalu saja ditunda-tundanya. Rasanya belum habis rasa rindu kepada keluarga dan saudara kembarnya sesudah berpisah sekitar tujuh bulan.

Lalu terjadilah mala petaka itu. Pada suatu malam, lewat tengah malam pintu rumahnya diketok orang dan namanya dipanggil. Suara yang memanggil itu dikenalnya. Itu adalah suara seorang temannya di pasukan. Burhanuddin tidak berprasangka apa-apa. Dia bangun dan membukakan pintu. Empat orang tentara PRRI, teman-temannya sepasukan tempohari masuk secara kasar.

Burhanuddin mempersilahkan orang-orang itu duduk. Mereka terlihat sangat kasar, tidak sama seperti waktu dulu ketika masih sama-sama di hutan. Yang satu bercarut-carut di tengah malam buta itu mengatakan bahwa Burhanuddin pengkhianat. Istrinya yang terbangun dan ikut keluar mendengar suara ribut-ribut, didorong tentara itu agar kembali masuk kamar. Istrinya sangat ketakutan dan mendengar saja dari dalam kamar apa yang terjadi diluar. Tentara yang satu orang masih saja bercarut-carut dan menuduh. Burhanuddin kaget mendengar tuduhan seperti itu. Dia masih mencoba membantah dengan mengatakan bahwa dia telah ditinggalkan ketika dia dalam keadaan sakit di tengah hutan. Jadi bukan dia yang berkhianat. Keempat orang itu memaksa dia agar sekarang ikut lagi ke hutan bersama mereka.

Anehnya lagi keempat orang itu memaksa, kalau tidak mau ikut mereka, maka mereka minta bayaran 4 rupiah emas. Burhanuddin menangkap gelagat tidak benar. Timbul keberaniannya. Keempat orang tentara itu dilawannya dalam pertengkaran itu.

‘Ini tidak benar. Ini bukannya kalian ingin menjemputku kembali ke pasukan tapi kalian ingin merampokku. Aku tidak punya rupiah emas di rumah ini. Kalaupun aku punya aku tidak akan mau menyerahkannya kepada kalian,’ katanya dengan penuh keberanian.

‘Kalau begitu kau harus ikut kami ke pasukan!’ bentak yang satu.

‘Aku tidak keberatan untuk kembali ke pasukan, tapi jangan begini caranya,’ jawab Burhanuddin tegas.

‘Kubunuh kau pengkhianat!’ hardik yang paling sangar sambil menodongkan senjatanya.

Temannya masih berusaha menahan si sangar itu.

‘Kau tidak bisa membunuhku. Aku tidak keberatan untuk kembali ke pasukan kalau ini perintah komandan. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Kalau kalian berniat baik, aku tunggu kalian besok malam. Bawakan surat perintah komandan. Aku akan ikut kembali ke pasukan. Tapi kalau tidak ada surat, aku tidak mau ikut,’ kata Burhanuddin tegas.

‘Benar-benar akan kubunuh kau!’ bentak si sangar kembali

Mungkin karena mendengar suara ribut-ribut tengah malam itu, petugas ronda kampung yang posnya berjarak 30 meter saja dari rumah Burhanuddin, membunyikan tong-tong tanda bahaya. Tentara PRRI itu mungkin panik mendengar suara tong-tong itu. Mereka segera bersiap untuk lari keluar. Si sangar masih sempat menarik pelatuk senjatanya yang sudah terarah ke kepala Burhanuddin. Senjata itu menyalak dan Burhanuddin tersungkur rebah ke lantai bersimbah darah. Keempat tentara PRRI itu menghambur ke dalam gelap. Istri Burhanuddin menghambur keluar dari kamarnya dan menjerit histeris ketika dilihatnya Burhanuddin sedang dalam sakratul maut. Beberapa menit kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Hebohlah suasana malam itu. Dan lebih heboh lagi pada pagi harinya. Tentara APRI datang menyelidik dan menginterogasi istri Burhanuddin tentang ciri-ciri tentara PRRI yang datang tadi malam. Istri Burhanuddin yang masih sangat terpukul menjelaskan apa yang dialaminya dan suaminya tadi malam.

Jenazah Burhanuddin dimakamkan pagi hari itu. Yang paling terpukul dengan peristiwa itu adalah saudara kembarnya Syamsuddin. Dia pingsan berkali-kali mendengar berita kejadian itu. Dan akhirnya dia kembali jatuh sakit.



*****

No comments: