Wednesday, April 29, 2009

DERAI-DERAI CINTA (16)

16. LIMA TAHUN KEMUDIAN

Waktu berjalan seperti merayap. Padahal sebenarnya waktu melesat dengan kecepatan tetap tapi pasti dalam sebuah keteraturan. Hari berbilang hari. Minggu berganti minggu. Bulan dan tahun berganti dengan tertib. Berlalu, merayap dengan irama tetap dan terukur. Tiga tahun Imran bersekolah di SMA di Bukit Tinggi. Dengan rutinitas hidup yang hampir seragam. Dengan pembagian waktu yang sangat ketat. Hari demi hari dirangkainya sambung menyambung. Di antara kayuhan sepeda antara kampung dan sekolah. Kayuhan sepeda dari heler yang satu ke heler yang lain. Membuat tubuhnya semakin atletis dan liat. Pada hari-hari tertentu disempatkannya menumpang truk pengangkut beras ke Pakan Baru. Dalam sebuah perjalanan pulang pergi tanpa menginap disana. Menggeluti perdagangan beras dengan mak Bahdar si pemilik toko beras di kota itu. Perdagangan yang memberinya keuntungan.

Seperti halnya mak Bahdar yang tidak berniat memperbesar tokonya, hanya mencukupkan apa adanya sejak bertahun-tahun yang lalu, demikian pula halnya dengan perdagangan Imran. Dia mengatur agar tidak kehabisan modal, lalu dapat untung sedikit untuk biaya sekolah. Bukan hanya untuk biaya sekolah di SMA tapi sebagian ditabungnya untuk nanti berangkat ke pulau Jawa begitu selesai SMA. Dia bercita-cita melanjutkan pendidikannya nanti ke ITB di Bandung.

Tiga tahun di SMA dilaluinya dengan cepat. Prestasi belajarnya sangat lumayan karena Imran memang cerdas. Dia menjadi kesayangan guru-guru karena kesopanan dan kecerdasannya. Ditambah lagi karena guru-guru tahu bahwa Imran adalah seorang yatim piatu yang bekerja sendiri membiayai hidup dan pendidikannya. Banyak guru yang bersimpati kepadanya. Guru favorit Imran dan juga yang paling sayang kepadanya adalah pak Mukhtar, guru fisika.

Selama sekolah di SMA dia tinggal bersama nenek di kampung. Nenek sangat sayang kepadanya begitu pula sebaliknya. Alhamdulillah selama itu kesehatan nenek baik-baik saja. Nenek hanya sekali meninggalkannya sendirian di kampung waktu beliau pergi ke Jakarta selama sebulan. Ketika itu tek Munah anak beliau di rawat di rumah sakit. Tidak ada masalah bagi Imran selama kepergian beliau itu. Imran sudah sangat biasa mengurus dirinya sendiri.

Kerja keras selama tiga tahun membuahkan hasil. Sekarang ijazah SMA sudah di tangannya. Imran bersiap-siap untuk pergi menyeberang ke pulau Jawa. Dia akan mencoba mengetuk pintu ITB. Tidak mudah, dia tahu itu. Namun harus dicoba. Mak dang Taufik berjanji akan menyokong biaya pendidikannya kalau Imran memerlukan. Tapi dia bertekad akan bekerja keras, entah dengan cara bagaimana, untuk membiayai dirinya sendiri. Hal yang sudah dibuktikannya selama bersekolah di SMA. Imran sangat percaya diri bahwa kali inipun dia akan mampu.

Imran berangkat bersama-sama dengan nenek dan mak etek Nursal dari kampung. Di Jakarta dia hanya mampir dua hari di rumah mak tuo Fatma. Mak tuo Fatma adalah anak perempuan nenek Piah, adik mak dang Taufik. Anak perempuan beliau yang satu lagi adalah etek Munah. Imran dibawa mak etek Nursal berkunjung ke rumah etek Munah yang tinggal cukup jauh dari tempat mak tuo Fatma.

Rizal anak mak tuo Fatma yang paling kecil seumur dengan Imran. Dia juga baru lulus SMA dan ingin melanjutkan sekolahnya ke fakultas Ekonomi. Rizal sudah dua kali pulang ke kampung. Imran sangat akrab dengan Rizal.

Imran hanya dua hari di Jakarta. Dia minta ijin untuk terus ke Bandung. Ke kota tempat terletak ITB. Disana dia akan mengikuti bimbingan belajar. Rizal mengajak Imran ikut bimbingan belajar di Jakarta tapi Imran ingin mengikutinya di Bandung.

Bandung sering disebut kota Kembang atau yang dijuluki juga Paris van Java. Bandung adalah kota mahasiswa. Kota tempat menuntut ilmu. Banyak perguruan tinggi disini. Yang negeri maupun swasta. Udaranya sejuk, mirip dengan Bukit Tinggi. Imran dapat menyesuaikan diri dengan sangat mudah di kota ini.

Di Bandung dia tinggal bersama Syahrul, kakak kelasnya di SMA. Syahrul adalah anak pak Mukhtar, guru fisika di SMA. Pak guru yang sangat menyayangi Imran itu menyuruhnya tinggal bersama Syahrul di Taman Sari. Syahrul yang sudah mahasiswa ITB mengontrak sebuah kamar kecil disitu. Sangat pas-pasan untuk ditempati berdua. Lingkungan itu adalah lingkungan mahasiswa perantau yang tinggal mengontrak kamar-kamar kecil. Mahasiswa yang tinggal disini datang dari berbagai pelosok tanah air. Mereka kuliah di berbagai perguruan tinggi di Bandung.

Kedua anak muda itu ternyata cocok. Sebelumnya Syahrul sering mendengar dari ayahnya tentang kemandirian Imran. Syahrul sangat bersimpati kepada Imran. Setelah tinggal bersama-sama terlihat bahwa Imran memang lebih cekatan. Dia memasak sendiri untuk mereka berdua. Jauh lebih irit dari makan di warung atau merantang, kata Imran. Dan tentu saja lebih enak.

Imran bekerja keras mempersiapkan diri untuk melalui ujian saringan masuk ITB. Dia belajar sampai jauh malam. Diikutinya bimbingan belajar di Mesjid Salman ITB. Di rumah dia banyak pula belajar dengan Syahrul. Syahrul adalah guru bimbingan belajar untuk murid-murid SMA. Seorang ‘guru’ yang pintar dan efisien. Mudah menangkap apa-apa yang diterangkannya.

Akhirnya ujian saringan masuk itu dilaluinya. Usaha sudah. Ujian sudah. Tinggal sekarang doa dan kesabaran sambil menunggu hasilnya. Selama masa menunggu pengumuman hasil ujian, Imran melakukan survai perdagangan tekstil. Sebelum berangkat dari Bukit Tinggi, pak Mukhtar menyuruhnya mempelajari pasar tekstil untuk dikirim ke Bukit Tinggi. Hal yang pernah disuruh lakukan pak Mukhtar kepada Syahrul tapi dia tidak berhasil. Syahrul tidak sedikitpun tertarik dengan dunia dagang.

Imran segera menemukan mata rantai itu. Didatanginya pabrik tekstil. Dibelinya beberapa contoh kain untuk dikirimkan ke Bukit Tinggi. Istri pak Mukhtar mempunyai toko kain di pasar atas. Dan mulailah berjalan perdagangan itu.

Pengumuman penerimaan mahasiswa baru keluar. Alhamdulillah, ternyata Imran lulus. Dia diterima di bagian Geologi. Dijalaninya kuliah itu dengan tekun. Dunia mahasiswa jauh lebih asyik dari dunia SMA. Mahasiswa dituntut untuk mengatur waktu seefisien mungkin. Membagi antara waktu kuliah, waktu praktikum, waktu belajar di perpustakaan, waktu membuat laporan, waktu belajar di rumah. Dan bagi Imran ditambah pula dengan waktu mengurus barang dagangan. Dia mengatur waktu dengan sangat baik.

Demikianlah, waktu berjalan pula selama dua tahun lagi. Ditengah kesibukan kegiatan kuliah. Cepat sekali rasanya waktu itu berlalu. Tahu-tahu sudah selesai lagi sebuah semester. Ada liburan di ujung setiap semester. Pada waktu libur Imran pergi ke Jakarta mengunjungi keluarga mak tuo Fatma dan etek Munah. Nenek Piah lebih banyak tinggal di Jakarta akhir-akhir ini. Beliau sudah semakin tua. Anak-anak perempuan beliau, menahan beliau di Jakarta. Mungkin juga beliau tidak terlalu betah lagi tinggal di kampung sejak Imran sudah tidak lagi bersama beliau. Nenek sangat senang setiap kali Imran datang berkunjung.


***

Imran bertemu Lala di rumah mak tuo Fatma waktu dia sedang di Jakarta. Sudah lama mereka tidak bertemu. Waktu masih SMA dulu Imran pernah mampir beberapa kali ke rumah mak dang di Rumbai. Lala sudah akan jadi mahasiswa pula. Dia ingin pula masuk ITB. Lala sangat senang bertemu Imran. Dia sangat mengagumi Imran. Bagi Lala Imran adalah sosok yang sangat istimewa. Seorang yang sangat ulet dan ternyata juga pintar. Dan sekarang sangat tampan.

Imran sekarang sangat berbeda dengan yang dulu dikenalnya beberapa hari di Rumbai. Sekarang Imran adalah sosok yang sangat dewasa dan percaya diri. Bahasanya santun tapi berwibawa. Pengetahuannya luas. Intonasi bicaranya tidak lagi ‘totok’ seperti dulu. Berbicara dengannya sangat menyenangkan. Lala banyak bertanya tentang persiapan menghadapi ujian saringan masuk ke ITB. Imran memberi saran sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.

Lala akan tinggal bersama kakak-kakaknya di Sekeloa di Bandung. Dulu mak dang pernah menawari Imran untuk tinggal bersama-sama di rumah itu. Tawaran yang ditolak Imran dengan sopan.

***

Imran tinggal beberapa hari di Jakarta. Kalau di Jakarta dia memang lebih senang di rumah mak tuo Fatma karena disini ada sepupunya Rizal yang kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Keduanya seumur. Imran sangat cocok dengan Rizal. Cocok sejak masih kecil dulu, ketika Rizal pernah pulang ke kampung. Mereka bermain ke sawah mencari belut. Rizal selalu mengingat kenangan masa kanak-kanak itu. Di Jakarta Rizal yang membawanya menerukai kota yang luas ini. Mereka berkeliling Jakarta naik bus kota.

Nenek lebih banyak tinggal di rumah tek Munah. Imran sering berkunjung kesitu untuk melihat beliau. Nenek sangat sehat. Nenek sangat senang setiap kali dikunjungi Imran. Ada-ada saja yang akan beliau ceritakan. Beliau menyayangi semua cucu-cucu, tapi sayangnya kepada Imran berbeda. Imran sering jadi buah bibir nenek kalau bercerita dengan cucu beliau yang lain. ‘Kalian tiru itu si Imran. Dia tekun, pekerja keras, pintar,’ begitu selalu kata beliau.

Baik di rumah mak tuo Fatma maupun di rumah tek Munah, Imran benar-benar merasa seperti di rumah orang tua sendiri. Beliau-beliau itu memperlakukannya seperti anak sendiri dengan sangat tulus. Dalam kekerabatan Minangkabau asli. Dan Imran sangat pandai membawa diri.

Setelah masa libur selesai, Imran kembali lagi ke Bandung. Meneruskan perjuangannya. Dan perdagangannya.


*****

No comments: