Sunday, January 6, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (3)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (3)

3. KUNJUNGAN KELUARGA MARWAN

Beberapa minggu berlalu. Aku sudah hampir melupakan pertemuan tak terduga dengan Marwan. Suatu siang dia menelpon dan mengatakan dia ingin berkunjung bersama keluarganya ke rumah kami. Aku mempersilakannya untuk datang kapan saja dia mau. Akhirnya dia sepakat akan datang pada hari libur 1 Muharam. Tokonya akan ditutupnya hari itu. Kami sepakat mengundang mereka sekeluarga untuk makan siang di rumah.

Istriku sibuk menyiapkan makanan sejak pagi untuk menjamunya. Mereka datang sekitar jam sebelas. Istrinya berjilbab dan terlihat masih muda. Mereka membawa dua orang anak, yang tengah, berumur 12 tahun dan yang kecil yang berumur tujuh tahun. Anak-anak itu diajak main oleh anak bungsu kami, main game di komputer di kamarnya. Istri Marwan, namanya Kokom, cepat akrab dengan istriku. Dia minta ijin untuk ikut membantu istriku di dapur. Istriku sebenarnya sudah hampir siap dengan urusan masakannya.

Tinggallah kami berdua di ruang tamu. Obrolan kami tentu saja kembali ke cerita jaman SMP yang penuh dengan bunga-bunga kenangan itu.

‘Kau masih ingat nama yang menyampaikan pidato ketika acara perpisahan?’ tanyaku.

‘Ya, aku masih ingat. Sebentar........ Dia itu anak kelas tiga C. Si Fakhri,’ jawab Marwan.

‘Benar si Fakhri. Anak yang ikut main voli dengan kita,’ aku menambahkan.

‘Kenapa ?’ tanya Marwan.

‘Tidak apa-apa. Pulang dari pertemuan kita waktu itu aku bercerita panjang kepada Desi tentang kenangan masa SMP kita. Diantaranya aku bercerita tentang acara perpisahan, tentang teman yang berpidato, tapi aku lupa namanya.’

‘Benar, dia ikut tim bola voli kalau kita ada pertandingan dengan sekolah lain. Tapi dia tidak ikut main bola,’ Marwan menambahkan.

‘Seringkah kau bertemu dengan teman-teman kita yang lain?’ tanyaku.

‘Cukup sering. Umumnya yang datang ke toko membeli buku. Ada yang aku lupa namanya, tapi aku yakin bahwa itu teman SMP. Misalnya si Bahder. Kau ingat tidak, Bahder teman kita main bola dan ikut ke jambore?’

‘Ya, tentu saja aku ingat. Satu-satunya yang agak parah setelah kita berkelahi massal sesudah pertandingan bola di Atas Ngarai. Mukanya lebam ketika itu,’ aku menjelaskan.

‘Berkelahi massal yang mana maksudmu?’

‘Berkelahi massal ketika kau akan dipukul pakai kayu sesudah kita menang pertandingan. Kita semuanya langsung ikut dalam adu jotos. Aku yang mula-mula diserang sesudah aku merebut kayu yang dibawa anak yang akan memukulmu itu. Temannya tanpa ba bi bu langsung maju menerjangku. Sesudah itu terjadi perang tanding. Lawan kita lebih banyak. Kebetulan si Bahder itu berdiri agak terpisah. Dia dikerubut tiga orang lawan sehingga dia agak kewalahan. Aku melihat itu dan berusaha mendekatinya. Sempat aku terjang seorang dari tiga penyerangnya. Kami berkelahi dua lawan empat, dan akhirnya si Mansur juga ikut bergabung. Jadinya kita tiga lawan lima. Pada saat itu guru-guru mereka datang melerai,’ aku menjelaskan secara rinci.

‘Benar sekali. Masih ingat kau sampai bagian yang sekecil-kecilnya. Dan si Bahder itu wajahnya berubah sekarang. Bercambang lebat. Tapi aku masih ingat dia itu teman kita. Sebaliknya dia juga lupa. Aku langsung menyapanya, aku lupa namamu, tapi aku yakin kita satu SMP dulu di Bukit Tinggi. Dia memelototi aku. Akupun lupa, katanya. Kamu siapa? Aku Bahder, dia bilang. Dan bercerita panjang pulalah kami waktu itu.’

‘Kapan kau bertemu dengannya?’

‘Mungkin setahun yang lalu. Dia bekerja dan tinggal di Medan. Waktu itu dia kebetulan berjalan-jalan ke Jakarta dan berbelanja di toko kami. Kau sendiri? Tidak adakah kau berjumpa dengan teman-teman kita?’

‘Ada beberapa orang, bahkan ada yang sama-sama di tempatku bekerja. Kau ingat si Indra? Yang pintar melukis, anak kelas tiga D kalau tidak salah. Dia sama sekantor denganku. Sudah lebih dulu dia pensiun. Ada lagi si Yasri teman sekampungmu yang bekerja di Pertamina.’

‘Ya, aku ingat si Indra. Yasri masih sering datang ke toko untuk ngobrol. Dia pernah bercerita tentang kau.’

‘Siapa lagi, ya ? Si Faisal yang juga pandai main gitar. Si Idrus si perokok, dia bekerja di pertambangan batu bara. Si Fahmi, yang kita gelari si Kilat, juara lari. Kami bertemu di Bandung. Dia jadi guru di sana.’

‘Ya, si Fahmi. Kesayangan pak Abrar guru olah raga kita. Yang katanya mau disiapkan akan dikirim ke PON, entah PON ke berapa waktu itu.’

‘Kau menyebut pak Abrar. Beliau ini pernah marah besar waktu aku tidak mau ikut pertandingan voli karena aku sedang bisulan. Dia tidak percaya. Dia pikir aku sedang berganyi karena nilai olah ragaku dikasihnya enam dalam rapor dan aku protes. Katanya itu salah tulis, tapi dia tidak mau mengoreksinya. Aku memang kesal, tapi tidaklah aku berganyi tidak mau ikut pertandingan voli gara-gara itu.’

‘Lalu bagaimana? Kau perlihatkan bisulmu itu kepadanya?’

‘Aku bilang, kalau bapak mau biar saya perlihatkan bisul di bawah pusar saya ini. Dia bilang, alasan saja kamu. Lagi pula kalaupun bisul di bawah pusar apa hubungannya dengan main voli. Aku malas menjawab dan aku diam saja. Tapi tetap aku tidak ikut bertanding. Bisul ini nyeri sekali kalau tersinggung sedikit saja. Mana mungkin aku bisa melompat-lompat main voli.’

‘Pak Abrar itu sebenarnya sangat baik.’

‘Betul. Kwartal berikutnya nilai olah ragaku dikasih angka sembilan. Sempat pula dia bilang, ini untuk membayar salah angka sebelumnya he..he..he..’

‘Dan kau ingat ibu Fauziah? Guru aljabar yang sangat disiplin ? Beliau sudah meninggal enam bulan yang lalu di Padang. Beliau sakit kanker getah bening.’

‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Tentu saja aku ingat. Ibu Fauziah yang sangat baik kepadaku. Dari siapa kau dapat kabar beliau meninggal?’

‘Dari Syamsinar, teman sekelas kita. Dia ini kan sekampung dengan ibu Fauziah. Dan dia tinggal berdekatan denganku di Pondok Kopi.’

‘Si Syamsinar? Ya aku ingat dia. Kalau berjumpa lagi tolong sampaikan salamku kepadanya. Aku heran tidak ada teman-teman wanita satu orangpun yang pernah berjumpa denganku. Entah pada kemana mereka.’

‘Oh ya...., aku pernah berjumpa dengan Astuti, salah satu pomle kau dulu. Di Pasar Senen ketika dia sedang berbelanja. Masih cantik meski sudah jadi nenek. Jadi nenek betulan. Dia waktu itu berjalan dengan anak dan cucunya. Aku yang lebih dulu mengenalinya. Aku pura-pura bertanya, Rangkayo dimana kita pernah bertemu dulu, ya. Dia melotot memandangku dan langsung ingat. Ini si Marwan, ya? Si pemain gitar? Dan dia bercarut. Masih saja latah seperti dulu meski sudah nenek-nenek.’

Desi dan Kokom datang menemani kami ngobrol. Makanan sudah siap rupanya. Desi menanyakan apakah kami akan makan sekarang atau akan pergi shalat zuhur dulu. Marwan mengusulkan sebaiknya shalat zuhur dulu saja. Akupun setuju. Kebetulan sudah hampir masuk waktu zuhur.

Kami berdua pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah. Mesjid itu tidak jauh dari rumah kami.

‘Cukup ramai jamaah mesjid ini. Kau selalu shalat berjamaah di mesjid?’ tanya Marwan ketika kami menuju ke rumah sesudah shalat.

‘Kalau aku tidak sakit, insya Allah selalu,’ jawabku.

‘Syukurlah. Hanya amal shalih yang jadi milik kita. Yang lain hanya perhiasan hidup dunia,’ katanya bijak.

Aku perhatikan Marwan memang lebih shalih. Dari cara berpakaiannya, dari tindak tanduknya. Toko bukunya khusus menjual buku-buku Islam. Istrinyapun lebih taat kelihatan dengan jilbab panjang menutupi tubuhnya. Aku kagum melihatnya.

‘Tahun berapa kau naik haji ?’ tanyaku. Aku yakin dia pasti sudah haji.

‘Tahun 1990. Ketika terjadi peristiwa terowongan Mina. Kau sendiri? Tentu kau juga sudah haji, bukan?’ dia balik bertanya.

‘Dua tahun sesudah itu,’ jawabku.

‘Syukurlah, kalau begitu. Mudah-mudahan sudah sempurna keislaman kita. Sudah kita tunaikan kelima rukun Islam.’

Kami sampai di rumah dan langsung menuju ke meja makan. Wah, ramai sekali meja makan, karena istri Marwan ternyata juga membawa oleh-oleh. Pepes ikan mas ala Cianjur.

‘Wah serba ikan ‘ni, makanan kita,’ komentarku.

‘Ya, rupanya Kokom membawa ikan pepes pula. Saya juga sudah menyiapkan gurami bakar ini,’ kata istriku.

‘Bagus serba ikan. Insya Allah bebas kolesterol,’ tambah Marwan.

Kami mulai makan. Serba enak semua. Pepes ikan itu sangat menyelera. Marwan sebaliknya sangat menikmati gurami bakar. Kami makan bertambuh-tambuh.

‘Ada lagi kenanganku tentang ikan,’ Marwan mulai bercerita lagi sambil kami makan.

‘Kenangan apa itu?’ tanya istriku.

‘Waktu kami pergi berjambore. Safri sempat-sempatnya berbekal pancing. Puluhan buah pancing bertangkai pendek. Iya, kan Saf?’ katanya.

‘Benar sekali. Aku sempat menganak di sungai Lasi dekat kita berkemah itu,’ jawabku.

‘Menganak? Apa itu maksudnya?’ tanya Desi pula.

‘Menahankan puluhan pancing sore-sore di sungai dan diambil pagi-pagi. Kami mendapatkan ikan besar-besar. Kami makan besar dengan ikan setiap hari,’ aku menjelaskan.

‘Hebat sekali idenya. Tapi bagaimana dengan umpannya? Apakah dibawa dari rumah juga?’

‘Tidak. Umpannya cacing yang kami cari di sana,’ jawabku.

‘Sempat-sempatnya mencari cacing?’

‘Ternyata perkara gampang bagi seorang Safri. Dia membalikkan batu-batu besar di pematang di tepi sungai. Dia dapatkan cacing gemuk-gemuk. Hari pertama kita disana, sore hari aku lihat Safri membawa bungkusan kertas koran menuju sungai yang ternyata berisi pancing. Aku ikuti dia dan aku bantu memasangkan cacing ke pancing. Kami menancapkan tangkai pancing pendek itu di tebing sungai. Pagi-pagi waktu kawan-kawan kami sibuk di sungai, kami mandi di sungai Lasi yang airnya jernih itu, kami terlebih dahulu memeriksa pancing-pancing yang diletakkan sore kemaren. Bukan main, hari pertama itu dari dua puluh lima buah pancing kami dapat sebelas ekor ikan besar-besar. Ada ikan lele dan entah ikan apa lagi namanya.’

‘Ikan garing,’ aku menjelaskan.

‘Dan ikannya diapakan?’ tanya Kokom.

‘Hari pertama dan kedua kami goreng. Hari ketiga, minyak goreng kami sudah habis. Lalu kami bakar. Wah, lebih sedap pula lagi. Dan bau ikan bakar terbang kemana-mana. Heboh teman-teman di kemah sebelah menyebelah kami,’ jawabku.

‘Waktu membakar ikan itu pak Sofyan, guru pelatih datang dan ikut makan dengan kami. Dia bercerita kepada guru-guru yang lain. Kau dapat surat permintaan sumbangan ikan dari kemah si Astuti melalui pak Sofyan. Ingat ?’ tanya Marwan.

‘Ya, aku ingat. Tapi tidak dapat kita kirim,’ jawabku.

‘Kenapa?’ tanya Desi.

‘Karena hari kelima, hari terakhir kami disana, gagal panen,’ jawabku.

‘Lho, gagal panen bagaimana?’ tanyanya pula.

‘Pagi-pagi waktu kami mau mengambil hasil pancingan hari itu, yang diikuti oleh makin ramai saja teman-teman, yang ikut senang melihat hasil tangkapan ikan, kami dapati pancing itu sudah tidak ada. Rupanya sudah ada yang duluan mengambilnya. Kami curiga, jangan-jangan teman-teman sesama pramuka yang mengambil. Dan kalau memang ulah mereka tentu mudah bagi kami melacaknya nanti. Tapi Marwan melihat serombongan anak muda di sisi sungai sebelah sana, tertawa-tawa melihat ke arah kami. Seorang diantaranya menjinjing ikan yang entah berapa ekor.’

‘Siapa mereka? Orang kampung sana?’ tanya Desi.

‘Ya. Orang kampung sana. Sempat juga mereka bilang, entah mencemooh atau bagaimana, ‘yang ini untuk kami ya?’ katanya ketawa-ketawa,’ aku menjelaskan.

‘Tidak dikejar?’ tanya Kokom.

‘Marwan mengusul agar kami kejar ke seberang. Tapi saya larang. Percuma saja. Pasti mereka akan lari dan itu di kampung mereka,’ jawabku.

‘Nggak jadi makan ikan hari itu,’ Marwan menambahkan.

‘Teman papa, pramuka yang lain nggak ada yang meniru memancing seperti itu?’ tanya anakku Faisal.

‘Ada. Sesudah hari ketiga. Mereka minta ijin pergi membeli pancing ke Silungkang. Dan sore hari keempat itu mereka ikut-ikutan menaruh pancing di sungai. Paginya tidak ada ada satupun dapat,’ jawabku.

‘Lho? Kenapa?’ tanya Desi pula.

‘Mereka tidak tahu caranya. Hanya asal tiru saja. Tali pancing mereka terlalu pendek. Mudah ikan melepaskan diri dengan menarik tali pancing itu kuat-kuat. Banyak pancing yang hilang karena putus. Jadi hasilnya nol besar,’ jawabku.

‘Ilmu menganak itu aku terapkan pula di kampung sepulang dari sana. Biasanya hari Sabtu sore. Cuma ikan di kampung kita tidak sebesar ikan di sungai Lasi itu,’ kata Marwan.

‘Sungai Lasi itu sungai besar. Banyak ikannya. Cuma aku heran, sepertinya jarang penduduk disana menangkap ikan di sungai itu,’ aku menjelaskan.

‘Mungkin sesudah peristiwa itu, anak-anak yang mencuri ikan pagi itu jadi tahu bagaimana caranya menganak,’ ungkap Desi.

‘Entahlah. Mungkin juga,’ jawabku.

Kami sudah selesai makan. Desi dibantu Kokom mengangkat piring-piring kotor ke belakang.

‘Sebenarnya, ada cerita lain yang ingin kuceritakan kepadamu,’ kata Marwan waktu kami tinggal berdua.

‘Ceritakanlah. Cerita apa?’

‘Sebuah cerita panjang. Dan ini akan memakan banyak waktu. Sebenarnya tidak ada lagi perlunya untuk diceritakan. Tapi entah kenapa. Aku ingin berbagi cerita ini dengan seseorang yang aku kenal dan terpercaya.’

‘Wah. Cerita apa itu?’ tanyaku pula.

‘Cerita disekitar diriku. Kau mau mendengarkannya?’ tanya Marwan.

Aku mengernyitkan kening.

‘Boleh-boleh saja, silahkanlah,’ usulku.

‘Kalau kau memang mau mendengarkan, menjadi pendengar yang baik, aku ada usulan lain terlebih dulu,’ katanya.

‘Maksudmu ?’

‘Biar aku antarkan istri dan anak-anakku dulu pulang dan setelah itu aku kembali lagi kesini. Anak-anakku harus belajar sore ini,’ tambahnya.

‘Oh begitu. Ya, nggak apa-apa juga. Aku siap mendengar ceritamu,’ jawabku.

Mereka pamit. Aku memberi tahu Desi bahwa Marwan akan pulang sebentar mengantar keluarganya dan dia kembali lagi sesudah itu.


*****

No comments: