Monday, May 11, 2009

DERAI-DERAI CINTA (27)

27. KE JAKARTA

Imran naik bus ke Jakarta. Dia lebih senang naik bus karena bus tidak terikat waktu seperti kereta api. Bus berangkat setiap saat. Naik di Kebon Kelapa agar terjamin dapat tempat duduk. Jam setengah sembilan malam dia sudah sampai di rumah mak tuo Fatma di daerah Condet. Rumah itu sepi. Hanya ada etek Timah di rumah. Etek Timah adalah adik pak tuo Syawal, suami mak tuo Fatma. Kata etek Timah, mak tuo dan yang lain-lain ke rumah etek Munah di Cipinang karena nenek sakit. Tapi etek Timah tidak tahu sakit apa beliau.

Imran segera mau berangkat ke rumah tek Munah ketika Rizal tiba-tiba muncul.

‘Kau baru sampai.......? Jam berapa kau berangkat dari Bandung?’ tanya Rizal.

‘Ya... Aku baru saja sampai.... Kau dari mana?’

‘Dari Cipinang... Kau tahu kalau nenek sakit?’

‘Baru saja diberi tahu etek Timah....Sakit apa nenek?’ tanya Imran.

‘Jadi kau tidak tahu sebelum berangkat dari Bandung tadi....? Benar-benar kau cucu kesayangan nenek,’ kata Rizal.

‘Kenapa....? Kau belum jawab pertanyaanku. Sakit apa nenek?’

‘Nenek demam. Badan beliau panas.... Tadi dibawa ke dokter. Sudah minum obat dan sekarang sudah agak baikan...... Tadi sebelum pergi ke dokter nenek menyuruh menjemputmu ke Bandung... Beliau bilang, sangat rindu dengan mu....’

‘Terus?’

‘Barusan nenek masih bertanya.... Mana si Imran? Ndak dijemput dia....? Pergilah jemput....., begitu kata beliau. Tadi sore ayah menelpon abang Lutfi di Bandung, minta tolong menyampaikan pesan agar menghubungi kau. Kata tante Ratna, ada pesan dari kau, bahwa kau sudah ke Jakarta tadi sore. Aku kesini mau menjemput kau karena aku yakin pasti kau kesini dulu. Dan teryata benar...’

‘Kita kesana sekarang ?’ ajak Imran.

‘Baik.... Tapi aku mandi dulu sebentar.... Kau sudah makan? Kalau belum kau makan saja dulu sementara aku mandi, ’ jawab Rizal.

‘Tidak usah. Aku tadi makan sate di Cipanas. Kau cepat saja mandi dan kita segera kesana melihat nenek.’

Rizal buru-buru mandi. Kedua anak muda itu segera berangkat ke Cipinang. Imran mengajak naik taksi supaya cepat.

‘Sakit apa agaknya nenek? Apa kata dokter? Tahu kau?’ tanya Imran waktu mereka sudah di dalam taksi.

‘Kata dokter hanya radang tenggorokan. Memang beliau banyak batuk akhir-akhir ini. Waktu itu mak dang Taufik membeli duren. Beliau ikut memakannya karena disuruh-suruh mak dang. Makan duren dan ketan. Sejak itu beliau mulai batuk-batuk. Terakhir disertai demam.’

‘Sudah lama?’

‘Batuk sudah sejak beberapa hari. Beliau minta dibelikan obat batuk. Tapi sepertinya tidak berpengaruh. Tadi pagi agak demam.’

‘Mudah-mudahan nenek cepat baik...’

‘Ya... Mudah-mudahan... Kapan kau pulang dari Jawa Tengah?’

‘Empat hari yang lalu,’ jawab Imran.

‘Apa saja kerja kau disana.... ? Sampai hitam legam begini kulitmu ?’

‘Aku ke sawah disana. Tiap hari di bawah terik panas mata hari... sehari suntuk... tiap hari selama sebulan lebih....’

‘Mencari belut? Seperti dulu di kampung...?’

‘Bukan..... Mencari batu dan mencari jejak di batu.’

‘Hebat.... Aman-aman aja kan ?’

‘Ya.... Syukurlah... aman-aman saja. Kecuali kulitku yang terbakar ini, lain-lainnya baik-baik saja.’

‘Kuliah masih lama, kan ?’

‘Dua minggu lagi.’

‘Aku sudah menduga kau pasti akan datang karena masih libur. Tapi aku tidak tahu kalau kau datang hari ini.’

‘Kemarin-kemarin kan ada mak dang Taufik di Bandung. Lagi pula aku mengurus bisnis dulu sedikit. Tadi pagi begitu urusanku selesai aku pastikan saja segera berangkat kesini. Aku tidak tahu kalau nenek sakit.’

‘Makanya kubilang kau benar-benar cucu nenek. Ada kontak batin antara nenek dan kau.’

‘Entahlah... Mungkin juga......’

Mereka sampai di rumah etek Munah di Cipinang. Tek Munah yang pertama melihat kedatangan mereka langsung berteriak.

‘Ini dia cucu kesayangan mak sudah datang, mak!’

Kedua anak muda itu langsung masuk ke kamar nenek. Nenek sedang berbaring. Mata beliau berbinar-binar melihat Imran. Imran menyalami dan mencium nenek. Di kamar nenek ada mak tuo Fatma.

‘Jam berapa kau sampai?’ tanya mak tuo Fatma.

‘Jam setengah sembilan mak tuo. Awak segera mau kesini, ketika Rizal datang.’

‘Tadi pak tuo menelpon ke Bandung menyuruh mencari kau.’

‘Ya, tadi Rizal bercerita begitu.’

‘Nenekmu teragak sangat denganmu rupanya...’

Imran tersenyum mendengar kata-kata mak tuo.

‘Bagaimana keadaan nenek ?’ tanya Imran.

‘Nenek baik-baik saja...... Kau sendiri tak apa-apa?’ tanya nenek.

‘Ndak apa-apa nek,’ jawab Imran agak bertanya-tanya dalam hati.

‘Nenek dengar kau bekerja di bukit berbatu-batu. Di sungai berbatu-batu... Ada aman-aman saja disana?’

Imran menangkap jalan pikiran nenek. Sepertinya beliau teringat peristiwa galodo di kampung lima tahun lebih yang lalu.

‘Alhamdulillah, awak baik-baik saja nek. Tidak ada apa-apa,’ jawab Imran.

‘Nenek takut memikirkan kalau-kalau terjadi pula yang tidak baik di bukit berbatu-batu itu,’ kata nenek.

‘Alhamdulillah tidak apa-apa nek. Aman-aman saja. Nenek sakit apa?’

‘Batuk. Batuk bersangatan. Sehabis makan ketan dan durian. Tadi malam hampir tidak bisa tidur karena kebanyakan batuk. Tadi pagi jadi agak demam sedikit. Sekarang, karena sudah dibawa ke dokter dan sudah minum obat, sudah agak baik. Ketika tidak bisa tidur tadi malam, engkau saja yang jadi pikiran nenek...... Bila kau pulang dari Jawa?’

‘Sudah empat hari nek. Kemarin-kemarin ada mak dang Taufik di Bandung. Jadi baru hari ini awak datang,’ jawab Imran.

‘Mak dang kau itu sudah pergi ke Rumbai tadi pagi...... Pergilah kau makan keluar.. Pasti kau belum makan..’

Imran tersenyum. Nenek masih seperti di kampung dulu saja. Selalu mengingatkannya untuk makan.

Etek Munah memanggil menyuruhnya makan. Imran makan ditemani Rizal.

Imran dan Rizal menginap di rumah tek Munah malam itu. Sambil bercerita-cerita segala macam. Mereka memang tidak pernah kehabisan bahan obrolan.


***

‘Masih belum mau punya pacar?’ tanya Rizal.

‘Tidak mau. Bukan belum mau,’ jawab Imran.

‘Pasti kau sudah berjumpa Yuni... Teman Lala...’ kata Rizal pula.

‘Ya.. Sudah.... Kemarin dulu kami diajak mak dang makan malam bersama-sama. Lala ulang tahun. Yuni juga ikut... Kenapa?’

‘Yuni itu cantik....’

‘Ya.... Dia cantik.’

‘Kau tidak tertarik kepadanya?’

‘Tidak... Kenapa?’

‘Tidak apa-apa..... Kalau aku terus terang tertarik dengan cewek secantik dia.’

‘Oh ya? Meskipun kau belum kenal pribadinya? Baru melihat sekali itu?’

‘Ya.. Tertarik karena dia cantik.... Begitu saja...’

‘Sekedar tertarik dalam hati, tidak apa-apa. Tapi kalau ingin menjadikannya istri, kau harus tahu dulu pribadinya dengan lebih baik.’

‘Kau tak berubah......’

‘Mudah-mudahan jangan sampai berubah.....,’ jawab Imran tersenyum.

‘Ada gurauan di antara orang-orang tua. Entah bagaimana kau menanggapinya.’

‘Tentang apa?’

‘Tentang kau.’

‘Tentang aku.......? Gurauan siapa?’

‘Ya tentang kau.... Kata mak dang Taufik kau akan dijodohkan dengan Lala. Mak dang berkata begitu sambil bergurau.’

‘Biarkan sajalah..... Kan hanya bergurau......’

‘Tapi nenek memikirkannya dengan serius.’

‘Maksudmu?’

‘Sepertinya beliau sangat setuju. Beliau menanyakan apakah mak dang bersungguh-sungguh.’

‘Lalu apa kata mak dang?’

‘Kalau mereka mau, kenapa tidak. Begitu kata beliau.’

‘Ya sudah.’

‘Kau mau?’

‘Sekarang belum mau.’

‘Aku rasa tidak ada salahnya juga pemikiran itu.’

‘Sudahlah. Tidak usah dipikirkan sekarang..... Aku sudah mau tidur.’


*****

No comments: