Sunday, June 15, 2008

AIR MANCUR

AIR MANCUR

Aku dalam perjalanan menuju Bukit Tinggi, untuk mengikuti sebuah seminar yang dilangsungkan di kota itu. Dari kantor kami ada dua orang utusan, aku dan Suprapto. Kami berangkat bersama-sama dari Jakarta. Suprapto berharap akan lebih menikmati kunjungan ke Bukit Tinggi karena berangkat bersamaku.

Dari bandara kami langsung menuju Bukit Tinggi dengan sebuah taksi. Prapto sudah untuk ketiga kalinya berkunjung ke Sumatera Barat. Dia sangat mengagumi keelokan pemandangan di negeri ini seperti yang diceritakannya kepadaku. Kami berbincang-bincang santai.

Tak terasa, kami sudah memasuki lembah Anai, dengan jalan berliku di bawah tebing terjal berbatu. Aku mengingatkan sopir taksi agar nanti berhenti di Air Mancur. Prapto yang sedikit mengerti bahasa Minang menoleh kepadaku sambil tersenyum.

‘Pasti kau mengingatkan pak sopir untuk berhenti di air terjun lembah Anai,’ katanya.

‘Benar. Rupanya kau mengerti bahasa Minang,’ jawabku.

‘Aku mengerti ketika kau menyebutkan nama dengan istilah yang salah kaprah itu. Kalian menyebut air terjun itu air mancur. Bukankah itu keliru ?’ Prapto berkomentar agak sedikit berlebihan.

‘He.. he..he.. kau yakin itu salah kaprah?’ tanyaku.

‘Ya, iyalah. Kau tentu mengerti arti kata memancur. Air yang menyembur ke atas. Menyembur ke atas itu yang disebut memancur. Masak kau tidak pernah melihat air mancur di depan Hotel Indonesia?’ dia semakin sok tahu.

‘Bagaimana dengan air mata?’ aku memancing dengan sebuah pertanyaan.

‘Maksudmu? Apakah air mata juga sama dengan air macur, begitu?’

‘Bukan. Apa istilahnya ketika air mata keluar? Ketika kita menangis?’ tanyaku lagi.

‘Ya mengeluarkan air mata. Aku tidak mengerti maksudmu,’ jawabnya agak sedikit bingung

‘Pernah mendengar istilah mencucurkan air mata?’ tanyaku.

‘Ya, pernah. Mencucurkan air mata. Artinya mengeluarkan air mata. Artinya menangis. Apa hubungannya?’

‘Begini, den Mas. Mencucur itu artinya keluar dari suatu tempat, lalu setelah itu jatuh. Mencucurkan air mata, artinya mengeluarkan air dari mata dan akhirnya air mata itu jatuh ke bawah. Ke pipi, ke sisi hidung. Itu artinya mencucur. Ketika yang mengeluarkan air itu adalah mata, kita menyebut mencucurkan air mata. Nah, sebentar lagi kau akan melihat air mencucur. Air jatuh dari sela batu di atas bukit yang ketinggian. Dalam bahasa Minang disebut ayia mancucua, yang oleh karena pengucapan secara cepat berubah menjadi ayia mancua. Nah! Apakah kau masih menyangka kami sala kaprah?’

‘Oo. Jadi begitu ceritanya. Lalu apa bahasa Minangnya air mancur ?’

‘Air mancur sebenarnya juga bukan bahasa Indonesia yang benar. Yang benar adalah air memancur. Dalam bahasa Minang disebut ayia manyambua. Atau air menyembur dalam bahasa Indonesia.’

‘Tapi, sebentar. Bukankah orang Minang juga mengenal kata pancuran? Apakah ini juga seharusnya pancucuran?’

‘Awalan pan atau pen dalam bahasa Indonesia menunjukkan tempat. Akhiran an menunjukkan kejadian yang berulang atau berketerusan. Nah, lalu apa kata dasarnya? Pasti bukan cur. Cur tidak ada maknanya. Yang ada makna adalah cucur. Jadi yang benar, adalah pencucuran atau dalam bahasa Minang pancucuran. Dalam pengucapan terjadi penyederhanaan menjadi pancuran. Dalam bahasa Indonesia disebut secara salah kaprah lagi, seperti istilahmu, pancuran. Orang Jakarta menyebutnya pancoran.’’

‘Hebat juga analisamu.’

‘Aku bukan ahli bahasa. Aku bahkan tidak tahu istilah yang tepat untuk pemendekan ucapan seperti mancucua menjadi mancua tadi.’

‘Baiklah. Aku ralat dan aku cabut pernyataanku bahwa orang Minang salah kaprah ketika menyebut Ayia Mancua di Lembah Anai,’ ujar Prapto tersenyum.

Taksi kami terus melaju. Di sebelah kanan, terlihat sungai dengan batu-batu besar di dasarnya. Lebih jauh lagi adalah tebing yang ditumbuhi pohon kayu yang cukup rapat. Di bawah pohon-pohon kayu itu adalah semak belukar. Taksi ini berhenti di pelataran parkir sekitar 50 meter dari Ayia Mancua. Aku dan Prapto turun dari mobil. Kami berjalan mendekati kolam di dasar air terjun. Prapto membasuh mukanya dengan air dingin yang sejuk itu.

Kami berjalan-jalan di sekitar tempat itu. Melihat ke arah lembah dengan batang air di bawah. Dengan rel kereta yang bagaikan tergantung di atas lembah.

Kami kembali ke taksi untuk meneruskan perjalanan.

‘Tempat ini sebenarnya mempunyai makna tersendiri bagiku,’ ucap Prapto seolah-olah kepada dirinya sendiri, ketika kami mulai melanjutkan perjalanan.

‘Tempat ini? Ayia mancua atau Lembah Anai ini?’ tanyaku.

‘Aku tidak tahu tempatnya yang pasti. Tapi ayahku dulu terkorban disini,’ tambahnya.

‘Maksudmu korban lalu lintas?’

‘Bukan. Beliau gugur sebagai anggota TNI yang dikirim memerangi PRRI di tahun 1958. Aku belum lahir ketika itu.’

Aku terdiam mendengar ceritanya. Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat.

‘Tahun 1958?’ tanyaku memecah kesunyian.

‘Ya di sekitar bulan Mai 1958. Begitu menurut cerita yang aku dengar. Rombongan ayahku dihadang pasukan PRRI di Lembah Anai ini. Beliau terkorban bersama beberapa orang tentara lainnya. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Padang,’ Prapto menambahkan.

Kami kembali terdiam.

‘Perang itu meninggalkan banyak sekali luka,’ aku berkomentar asal-asalan.

‘Aku tahu. Perang itu tidak seharusnya terjadi.’

‘Tapi toh dia sudah terjadi,’ komentarku, sekali lagi asal-asalan.

‘Adakah anggota keluargamu yang jadi korban?’ tanya Prapto.

‘Kemenakan ayahku. Dia bukan tentara. Seorang murid SMA. Waktu tentara APRI datang ke kampung kami, anak-anak muda seumurnya lari ketakutan. Mereka lari ke daerah persawahan. Mungkin mereka bermaksud untuk bersembunyi di sawah, di dalam kerimbunan padi. Tapi mereka dipergoki oleh tentara APRI dan ditembaki tanpa ampun. Pada hari yang sama ada lima orang anak muda mati tertembak di kampung kami.‘

‘Sebuah perang yang sangat kejam....,’ Prapto menarik nafas, mendesah lirih.

‘Begitu adanya,’ aku menambahkan.

‘Kau tentu juga belum lahir kala itu ?’ dia bertanya.

‘Belum. Tapi cerita itu aku dengar dari ayahku sendiri.’

‘Ayahmu ikut jadi tentara PRRI ?’

‘Tidak. Ayahku seorang petani.’

‘Sebagai petani beliau tidak mendapat kesulitan dari tentara APRI?’

‘Boleh dikatakan tidak. Beliau disuruh ikut latihan ketentaraan bersama-sama orang kampung lain. Yang memenuhi persyaratan diangkat menjadi OPR, tentara lokal bentukan APRI. Ayahku yang tidak menyukai ketentaraan dinyatakan gagal dalam latihan itu. Bahkan sejak latihan baris berbaris. Ayah sengaja menampilkan diri beliau seperti orang bodoh. Tidak satupun perintah pelatih tentara itu yang beliau turuti secara benar.’

‘Pelatihnya tidak marah?’

‘Tentu marah. Ayah ditempelengnya. Tapi sesudah itu dilarang mengikuti latihan. Justru itu yang beliau harapkan.’

‘Aku sangat membenci yang namanya perang,’ ucap Prapto.

‘Karena ayahmu terbunuh di dalam peperangan?’ tanyaku sedikit menyelidik.

‘Entahlah. Tapi aku benci karena perang pada umumnya sangat bengis. Tidak beradab. Korban yang paling banyak adalah rakyat yang tidak ikut berperang,’ ujar Prapto bersungguh-sungguh.

‘Aku setuju dengan yang kau katakan. Perang itu bengis dan biadab. Lihatlah apa yang terjadi di Aceh beberapa tahun yang lalu. Bukankah kita mengikuti beritanya?’ aku mengingatkan.

‘Betul sekali yang kau katakan. Perang seperti di Aceh itu sangat mengenaskan. Perang yang mengambil korban di kalangan rakyat yang tidak terlibat tapi dicurigai. Jadi korban dari kedua belah pihak yang berperang.’

‘Dan kau lihat lagi perang di Irak. Di Afghanistan,’ aku menambahkan.

‘Betul. Perang akibat nafsu angkara murka. Pemimpin-pemimpin negara yang menyulut peperangan. Yang menggiring rakyatnya masuk ke dalam kancah peperangan. Akibatnya selalu sangat memilukan. Kehancuran dimana-mana. Tapi.... Syukurlah Sumatera Barat tidak hancur ketika terjadi perang PRRI.’

‘Tidak hancur secara fisik, tapi moral masyarakat cukup hancur,’ jawabku.

‘Aku mendengar tentang itu. Masyarakat Minangkabau berbondong-bondong meninggalkan kampung halaman mereka, pergi merantau sesudah perang PRRI.’

‘Kecuali sebagian. Termasuk ayahku yang tetap bertahan sebagai petani di kampung sampai usia tuanya,’ jawabku.

‘Ayahmu masih ada kan?’

‘Beliau berpulang dua tahun yang lalu.’

‘Huh, jadi kemana-mana cerita kita. Hanya karena aku mengingat Lembah Anai.’

‘Tadi kau bilang, kau belum lahir ketika ayahmu meninggal. Tentulah ibumu sangat sedih ditinggal ayahmu.’

‘Tentu saja. Tapi begitulah kehidupan. Ibuku berjodoh dengan seorang laki-laki dari Minang. Seorang duda. Beliau menikah waktu aku masih berumur empat tahun. Laki-laki suami ibuku itu sangat baik. Aku memanggilnya ayah, dan beliau benar-benar seperti ayah kandungku. Ibuku melahirkan tiga orang adik-adikku. Ayahku itu yang pertama kali membawa kami mengunjungi negeri ini ketika aku masih murid SMA.’

‘Beliau masih hidup?’

‘Masih. Ayah dan ibuku tinggal di Bogor.’

Taksi kami merangkak mengikuti iringan bus dan truk yang terampun-ampun mendaki di Silaing Kariang. Ayia Mancua dan Lembah Anai sudah kami tinggalkan di belakang kami. Kami masih melanjutkan obrolan ke hilir ke mudik.


*****

No comments: