Tuesday, February 5, 2008

PENCOPET PASAR ATAS 1964

PENCOPET PASAR ATAS 1964

Hari Rabaa pukuah satu, Sadang rami di Bukiktinggi, Urang manggaleh barang mudo. Begitu bunyi awal sebait pantun. Bukit Tinggi di hari Rabaa, alias hari Rabu sebagaimana juga di hari Sabtu ramai allahurabbi. Orang datang dari seputar Agam, bahkan dari Tanah Datar, Lima Puluh Koto dan dari Pasaman. Bahkan dari Padang dan Pekan Baru. Di Bukit Tinggi orang penggalas kebat mengebat, pakuk memakuk, sayat menyayat. Heboh allahurabbi. Orang berserak di tengah balai. Yang menjual, yang membeli. Di pasar lereng jalan penuh oleh pedagang di bawah payung besar. Bukan, tidak ada yang menyebutnya pedagang kaki lima. Orang yang ingin lalu harus berselingkit-selingkit, disela barang galas para pedagang, di sela ketiak orang lain, di sela kambuik gadang yang disandang amai-amai. Pasar itu heboh allahurabbi, oleh sorak dan sorai, oleh bunyi parang yang menetak dan memakuk.

Begitu pula di jenjang yang bertingkat-tingkat. Orang menggalas belaka dimana saja ada tempat terbuka. Menggalas apa saja, jarum penjahit dan peniti, kain lap dan saputangan, pisau dan lading buatan Sungai Pua. Atau yang menggalas kerupuk jangek balatua mentah, atau tulang cancang, atau dadih di dalam sambang. Semua serba ada. Menggelar galas di sela-sela jalan orang lalu di jenjang gantung yang sempit berselingkit. Tidak ada yang menggerutu. Cara orang sekarang, tidak ada yang komplain. Semua berlapang dada saja. Semua mencari untung serupiah dua rupiah. Kenapa pula harus digerutui.

Di puncak pasar di Pasar Atas, sesudah melalui jenjang yang bertingkat-tingkat, sesudah melalui bau amis darah di pasar bantai, sesudah melalui bau anyir di pasar maco, menguap bau harum sate yang bukan sate Padang karena yang berjualan orang Pekan Kamis. Sate mak Mamuik (Mahmud) dan sate mak Aciak. Asapnya menjulang ke udara. Baunya yang semerbak menimbulkan rasa lapar. Ada pula bunyi bakalentongpentong orang mengaduk es di sampingnya. Es batu yang baru saja diketam untuk dicampurkan ke mangkuk es te bak yang sekarang diaduk dengan suara bakalentongpentong. Entah kenapa namanya es te bak. Tapi yang jelas rasanya bukan main nyaman, penawar pedas sesudah menyantap sepiring sate. Ada lagi soto bang Karto dan soto Haji Minah bersebelah-sebelahan. Bukan, keduanya bukan soto Padang. Orang yang membuatnya saja namanya bang Karto.

Pasar Atas ramai, idem ditto. Berselingkit pingkit orang lalu di antara jualan dan dagangan. Boleh masuk ke dalam los demi los. Yang diantaranya ada yang bernama los bergalung. Tempat orang berjualan kain dan alas kaki. Berjualan tikar dan lapik pandan. Berjualan segala macam rempah yang baunya harum menyebar kemana-mana. Berjualan tembakau dan daun terusan ataupun daun enau, untuk digulung jadi paisok, yang bukan rokok.

Di lapangan di hadapan mesjid raya, di samping panggung (bioskop) Irian ada orang berjualan obat. Entah obat apa, tidaklah penting sangat. Yang berjualan suaranya parau. Banyak ceritanya. Berseleperan mulutnya. Kadang-kadang dibuatnya atraksi seperti tukang sulap. Berkerumun orang menonton dalam sebuah lingkaran besar. Penjual obat beraksi di tengah-tengah. Berjalan hilir mudik sambil mulutnya tidak henti-henti berceloteh. Mengiklankan obat pencahar yang dijualnya. Gelarnya konon Datuk Dalu. Obat yang dijualnya adalah untuk yang bermasalah dan sulit ke belakang. Kalau sudah memakan obat Datuk Dalu, puuut bunyi kentut, ceeer bunyi isi perut menyemprot sampai sejauh tiga meter. Meski yang berkerumun berbilang puluhan, yang membeli hanya empat lima orang tidaklah penting bagi Datuk Dalu.

Beberapa puluh meter ke arah sana ada pula kerumunan yang lain. Tukang obat juga. Agak sedikit jelas obat yang dijualnya. Air racikan daun-daunan yang nanti dicampurnya dengan telur ayam dan madu untuk diminum para pembeli. Iklannya terdengar lebih pasti. ‘Obatku obat istimewa, bukan omong kosong. Obat orang Jerman hanya elok untuk orang Jerman. Obat orang Jepang hanya elok untuk orang Jepang. Obatku boleh untuk semua makhluk. Orang Jerman boleh meminumnya. Orang Arab boleh meminumnya. Orang Jepang boleh meminumnya. Sedangkan diberikan ke kuda jadi obat bagi kuda. Diberikan ke gacik (=anjing) jadi obat bagi gacik. Ha, singgahlah disini. Minumlah obat sitawa sidingin penyembuh sakit kepala. Penyembuh sakit hulu hati.’ Begitu katanya. Tentu saja dia benar, karena telur dan madu memang diminum setiap bangsa untuk jadi obat.

Di tempat orang berkerumun menonton tukang obat itu ada pula yang sedang mengail rejeki. Caranya dengan merosok kantong orang diam-diam. Bagi yang serawarnya besar dan dompet diletakkan di kantong serawar besar itu alamat akan jadi makanan empuk si tukang rogoh. Si tukang copet ini biasanya berkawan, dua atau tiga orang. Tampangnya itu ke itu juga. Orang banyak yang tahu. Si tukang copet biasanya mencari tampang-tampang baru. Orang yang baru datang dari jauh. Orang kampung yang baru saja menjual hasil bumi. Orang merubung menonton penjual obat biasanya jadi sasaran enteng bagi pencopet.

Barudin Sutan Bagindo pagi ini membawa 40 kilo lado (cabai merah) ke pasar Bukit Tinggi. Panen lado sedang elok-eloknya dan harganyapun sedang elok-eloknya pula. Dari hasil panen kali ini Barudin berniat akan mengganti atap ijuk rumah gadang dengan atap seng. Uang hasil penjualan lado itu dibaginya dua. Separo diletakkannya ke dalam puro (=kantong khusus) kain yang diikatkannya dengan tali di pinggang celana. Yang separo, yang akan dibayarkannya sebagai uang muka pembelian seng di letakkannya dalam saku baju gunting cina. Sesudah menerima uang pembayaran beli lado Barudin berjalan santai menuju pasar atas melalui jenjang empat puluh. Jenjang ini tidak seramai jenjang yang lain. Hal pertama yang akan dilakukan Barudin sesampai di pasar atas adalah pergi makan ke lepau nasi langganannya.

Di jalan yang sempit berselingkit di antara puncak jenjang empat puluh dan kedai nasi, Barudin terhalang oleh seorang laki-laki yang membungkuk mengambil saputangan jatuh. Tercatat juga di otaknya, bahwa agak aneh perbuatan orang laki-laki bersaputangan itu. Sempat terlihat olehnya roman muka orang itu yang berumur sekitar tiga puluh tahun, yang tersenyum kepadanya. Barudin tidak berprasangka apa-apa. Dia terus melangkah ke lepau.

Barudin makan enak sampai berpeluh-peluh. Makan dengan gulai cancang kambing. Barulah dia terperangah ketika merogoh saku baju gunting cina untuk membayar. Saku itu sudah kosong melompong.

Kapundung, katanya dalam hati. Ini rupanya arti tingkah si Kurapai yang membungkuk mengambil saputangan tadi. Uangnya sudah dicopet. Uang seharga 20 kilo lado sudah raib digondol si pencopet.

Barudin tidak mau merisaukan diri gara-gara uangnya dicopet. Dikeluarkannya uang dari puro yang terikat di ikat pinggangnya untuk membayar nasi orang lepau. Uang yang diniatkannya akan diserahkan kepada istrinya. Barudin adalah seorang laki-laki ninik mamak di kampung, yang menenggang dunsanak perempuan dan bertanggung jawab kepada anak istri.

Dia tidak jadi singgah ke toko yang menjual atap seng. Biarlah besok hari Sabtu saja. Sesudah dia menjual lado pula di hari itu nanti. Dan mudah-mudahan dia bisa bertemu lagi dengan tukang copet kurapai tadi. Akan dijebaknya manusia jahil itu. Akan ditagihnya piutang kalau orang itu berjumpa lagi. Dia bergegas saja pulang ke kampungnya. Masih banyak kerja yang akan dikerjakan.


***

Sesuai rencana hari Sabtu berikutnya Barudin berangkat lagi ke pasar. Panen lado sedang naik. Hari ini hampir lima puluh kilo yang dibawanya. Alhamdulillah harganyapun bertambah elok. Lebih banyak bilangannya dari hari Rabu kemarin untuk sekilo lado. Barudin tidak perduli bahwa harga naik itu karena nilai uang kertas memang merosot terus dari sehari ke sehari. Ketika menerima uang harga lado dilakukannya persis seperti yang dikerjakannya tiga hari yang lalu. Uang itu diperduanya. Separo masuk puro dan separo masuk saku baju gunting cina. Hanya yang terakhir ini, kali ini dimasukkannya dulu ke dalam sebuah amplop. Kantong baju gunting cina menggelembung dengan amplop berisi uang kertas.

Barudin mampir sebentar ke peturasan di dekat surau di pasar bawah. Seperti orang akan buang air kecil. Di kakus itu di keluarkannya kembali uang yang di dalam amplop dan dimasukkannya semua ke dalam puro. Amplop itu diisinya dengan kertas sehingga tetap menggelembung dalam sakunya. Barulah dia melangkah keluar.

Hatinya berdetak bahwa dia sudah diamati orang sejak dia menerima uang pembelian lado tadi. Sekarang dia melangkah menuju jenjang empat puluh. Seperti hari Rabu kemarin. Melalui jalan yang sama. Dia akan menuju lepau yang sama. Persis ketika akan menjejak jenjang empat puluh yang sebenarnya, dia di dahului tiga orang laki-laki. Satu dari ketiga laki-laki itu mengatakan ‘daulu saketek, mak’ (=saya duluan, paman) dengan sopan. Dan orang itu adalah yang waktu itu mengambil saputangan jatuh.

Barudin bergumam dalam hati. Akan kuterima piutang, katanya.

Dia sampai di puncak jenjang. Di hadapannya adalah keramaian pasar dengan orang yang sangat banyak. Barudin berjalan saja menekur seperti biasa. Tapi kali ini dia sedang berhitung dan berencana. Akan menagih piutangnya.

Benar saja. Beberapa langkah menjelang lepau nasi. Di jalan yang sempit seperti kemarin. Tiba-tiba saja Barudin sudah berada di antara dua orang laki-laki. Di depannya adalah orang yang kemarin mengambil saputangan jatuh. Saat ini dia memegang sebungkus rokok Kansas. Di belakangnya terasa ada orang yang menyelingkit-nyelingkit sambil mendorong. Barudin sedang waspada penuh.

Nah, inilah saatnya. Yang di depan menjatuhkan bungkus rokoknya. Barudin melihat itu dengan jelas karena memang sudah ditunggunya dari tadi. Berikutnya orang itu membungkuk mengambil rokok dengan mukanya seperti kemarin lagi, melengah ke belakang ke arahnya sambil tersenyum. Tangan orang yang di belakangnya secepat itu pula merogoh ke dalam kantong baju gunting cina Barudin. Inilah yang ditunggunya dari tadi. Secepat kilat, tangan yang sedang berada di saku bajunya itu ditangkapnya dengan tangan kanannya. Cap, tertangkap. Orang itu berusaha melepaskan tangannya dengan muka ketakutan. Barudin tidak mengambil banyak tempo. Dengan sekelebatan yang hanya berbilang detik, tangan orang itu dikeripukkannya sampai berbunyi seperti tulang patah. Pada saat yang sama si tukang halang di depannya yang baru bangkit dari mengambil rokok disepohnya dengan kaki sehingga jatuh terjengkang.

Si perogoh melolong kesakitan. Telunjuk dan jari tengahnya patah terkulai-kulai. Si penghalang yang jatuh terjengkang luka, keningnya terhempas ke jalan. Barudin melihat orang ketiga. Dia sudah mengenalinya sejak menaiki jenjang tadi. Dia berbaju berwarna biru. Ketika orang ketiga ini berusaha menghindar, Barudin menarik pinggang celananya. Orang itupun pucat pasi ketika menoleh kepadanya. Dengan gerakan secepat kilat pula diraihnya tangan orang itu dan dipelintirnya dengan gerakan sangat cepat. Terkeripuk pula dengan bunyi tulang patah. Diapun melolong kesakitan.

Semua itu berlangsung dalam waktu tidak sampai lima belas detik. Orang di tengah balai yang ramai itu terheran-heran menyaksikan dua orang yang meraung-raung kesakitan. Tidak ada seorangpun yang tahu entah apa sebenarnya yang terjadi.

Barudin mendekat ke si kening berdarah sebelum berlalu. ‘Ba karilahan wak yo,’ (=Saling mengikhlaskan kita, ya) katanya. Si kening berdarah hanya bisa menyeringai. Jual beli itu memang sudah selesai. Barudin mengambil untung sedikit dari ketiga sekawan yang kemarin sudah lebih dulu menerima uangnya. Hari ini giliran Barudin menerima piutang.

Barudin melanjutkan langkahnya ke lepau nasi. Makan nasi dengan gulai cancang seperti kemarin dulu. Bahkan dua kali bertambuh. Habis juga tenaganya sesudah bersilat tiga jurus tadi. Barulah sesudah itu dia pergi ke toko seng.


*****

1 comment:

Azza Shop said...

Maaf pak, salah tempat untuk comment.

Saya mau tanya cerita rakyat Minangkabau "RAMBUN PAMENAN" dari nagari yang mano ya ?

Cerita sedikitnya seperti ini :
Rambun Pamenan dan kakaknya, Reni Pinang bagaikan sepasang anak Batam (burung tekukur) laki-laki dan perempuan. Sewaktu Rambun dan Reno masih kecil, ayah mereka meninggal, Ibu mereka Lindung Bulan sangat terkenal kecantikannya. Banyak orang yang melamar Lindung Bulan setelah kematian suaminya. Akan tetapi Dia lebih senang hidup menjanda dari pada anak-anaknya berayah tiri .....

Ada pemeran yang lainnya itu si Raja Angek Garang, penguasa Terusan Cermin yang memenjarakan Lindung Bulan. Palimi Tadung (prajurit Pengawal)

Terima kasih atas pertolongannya.