Wednesday, November 12, 2008

SANG AMANAH (57)

(57)

Sebelum shalat zuhur, Anto shalat sunat dekat Arif. Sesudah shalat, sementara yang lain-lain masih shalat sunat, Anto menyalami Arif dan bertanya setengah berbisik.

‘Nggak apa-apa lo, waktu di kantor polisi tadi malam?’ tanya Anto.

‘Nggak. Cuman banyak nyamuk di sana,’ jawab Arif tersenyum.

‘Tadi polisinya ngapain lagi ke sini?’

‘Nggak ngapa-ngapain. Cuman minta maaf dan mengasih tas ke aku.’

‘Kok ngasih tas. Emangnya kenapa?’

‘Tasku kemarin robek-robek kena pisau preman yang menyerangku itu.’

‘Ooo. Tapi lo nggak kenapa-kenapa kan. Maksud gue, lo nggak kena pisaunya itu kan?’

‘Alhamdulillah nggak. Karena keburu polisi datang,’ jawab Arif.

Lalu setelah tidak ada lagi yang shalat sunat, pak Sofyan qamat. Mereka semua shalat dengan khusyuk. Mesjid sekolah semakin penuh dengan jamaah shalat zuhur akhir-akhir ini. Penuh oleh guru-guru dan murid-murid. Pria dan wanita. Mereka seolah berebutan untuk dapat shalat pada kesempatan pertama. Karena pada kesempatan pertama ini yang jadi imam adalah pak Umar. Entah kenapa banyak yang suka shalat bersama pak Umar.

Sesudah shalat zuhur, dan zikir, dan shalat sunat lagi, seperti yang dilakukan oleh pak Umar dan sebahagian guru-guru serta sebahagian kecil murid-murid, Anto dan Arif keluar dari mesjid itu bersamaan. Biasanya Anto tidak akrab dengan Arif meski dia mengenalnya sejak dari kelas satu. Tapi hari ini ada sedikit kekaguman dan keinginan untuk bersahabat dengan anak kelas dua A yang polos dan sederhana itu. Anto seolah-olah baru ingat bahwa Arif adalah yang biasanya azan di mesjid sekolah ini setiap siang. Waktu mereka duduk memasang sepatu Anto bertanya.

‘Lo tinggal dimana sih?’

‘Di Gang Lontaran di Pondok Bambu Batas,’ jawab Arif pendek.

‘Oo… Gue kalau pulang bisa juga lewat sana. Kalau lo mau ntar ikut gue aja pulangnya. Siapa tahu masih ada yang ngincar-ngincar mau ngejahilin lo,’ Anto menawarkan.

‘Ah gimana entar ajalah. Aku nggak mau juga melibatkan orang lain. Takut malah kayak dengan pak Umar kemarin. Nyusahin orang lain aja,’ jawab Arif.

‘Ya udah. Terserah lo aja. Kalau ntar lo mau ikut gue, lo tungguin aja dekat parkiran. Atau gue yang nungguin lo di sana. OK ya?!’ kata Anto sebelum berlalu.

Arif hanya mengangguk. Dalam hatinya dia berkata, ‘tumben nih orang-orang pada bersimpati. Termasuk anak ‘orkay’ barusan. Penyanyi top SMU 369 yang akhir-akhir ini banyak sekali berubah. Nggak nyangka anak gedongan kayak dia itu rajin shalat sekarang.’ Arif menduga-duga bahwa tawarannya untuk pulang bersama-sama nanti kelihatannya cukup tulus. Tapi ya sudahlah. Biar bagaimana nanti saja.


*****


Anto menuju ke ruang guru. Dia ingin menghadap pak Umar menyampaikan pesan dari papi. Pak Umar sedang berbincang-bincang dengan guru-guru di ruang guru. Ada pak Hardjono dan pak Sofyan di sana. Anto hanya mendengar pak Umar meminta tolong pak Hardjono mengantar Arif pulang sekolah nanti karena pak Hardjono punya mobil. Pak Hardjono menyanggupi karena dia pulang memang ke arah Halim. Pak Umar melihat Anto datang dan menyapanya.

‘Ada apa Adrianto? Kamu mencari siapa?’ tanya pak Umar.

‘Saya ingin menyampaikan pesan ayah saya, pak. Untuk bapak,’ jawab Anto.

‘Oh ya? Apa pesan ayah kamu?’

‘Ada surat pak. Ini dari ayah saya,’ kata Anto sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna putih.

Pak Umar terlihat agak ragu-ragu. Apa isinya?

‘Apa isinya kira-kira Adrianto?’ tanya pak Umar sambil menerima amplop itu.

‘Surat pak. Saya melihat ayah saya tadi menulisnya sebelum menyerahkan ke saya untuk disampaikan ke bapak,’ jawab Adrianto lagi.

Pak Umar membuka amplop itu di hadapan pak Hardjono dan pak Sofyan. Isinya surat singkat.

‘Pak Umar yth,

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Kami sekeluarga ingin berkunjung ke rumah bapak hari Minggu mendatang kalau bapak tidak keberatan. Seandainya bapak tidak berkeberatan mohon memberi informasi melalui Anto.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Suryanto’

Pak Umar tersenyum membaca surat pendek itu.

‘Baik, beritahu ayah kamu bapak tidak keberatan,’ kata pak Umar kepada Anto yang masih menunggu.

‘Terima kasih pak. Saya permisi dulu pak,’ kata Anto mohon diri.

Pak Umar menjelaskan isi surat itu ke pak Hardjono dan pak Sofyan. Dan tentang ibunya Adrianto yang sekarang sudah bisa dikatakan sembuh dari penyakitnya. Pak Umar bercerita juga dia pergi mengunjungi ibunya Adrianto itu minggu yang lalu dan sangat heran serta kagum melihat kemajuan kesehatannya yang sangat luar biasa. Rupanya mereka sekeluarga ingin membalas kunjungan silaturrahmi itu hari Minggu dimuka ke rumah pak Umar.

‘Kalau saya tidak salah ibunya yang tempohari dioperasi karena kanker payu dara itu ya pak?’ tanya pak Sofyan.

‘Betul. Sesudah peristiwa Adrianto menjahili Vespa saya di hari pertama saya masuk ke sini, saya tahu bahwa ibunya sedang sakit sesuai pengakuannya. Saya dan pak Suprapto datang berkunjung melihat keadaannya waktu itu. Kami dapatkan dia sedang sakit payah, terbaring di tempat tidur dalam keadaan sangat depressi. Saya kebetulan menganjurkan cara pengobatan alternatif waktu itu. Rupanya dilaksanakan dengan sangat baik oleh ibu itu. Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah rupanya baik sekali pengaruhnya,’ pak Umar menjelaskan.

‘Saya ingat dan mendengar juga waktu itu bapak menganjurkan metoda atau terapi jus kalau tidak salah. Benar begitu pak?’ pak Hardjono bertanya.

‘Betul. Terapi jus. Dan ibunya Adrianto ternyata menjalankannya dengan sangat hati-hati sekali. Allah berkehendak, kelihatannya, seperti yang saya lihat hari Minggu kemarin dia sudah sangat sehat.’

‘Bagaimana caranya menjalankan terapi itu, pak?’ tanya pak Sofyan.

‘Saya mula-mula mendengar pengalaman saudara saya yang kena penyakit kanker rahim. Dia sudah dioperasi tapi tidak kunjung sembuh. Bahkan dia sudah frustrasi dan putus asa. Lalu ada yang menganjurkan pengobatan dengan terapi jus itu. Menurut pengalaman saudara saya yang menjalankannya, seolah-olah kanker itu bisa dibuat tidak berdaya kalau tidak diberi makan sari makanan yang berasal dari zat hewani. Sebagai gantinya penderita kanker mengkonsumsi hanya buah-buahan dan sayur-sayuran yang dihaluskan menjadi jus. Maksudnya biar lebih mudah diserap oleh tubuh. Dan tentu saja diiringi dengan doa dan permohonan kepada Allah SWT. Pengalaman saudara saya ini yang saya ceritakan kepada ibunya Adrianto. Dan dia jalankan dengan sangat ketat. Sampai kemarin saya datang itu, menurut pengakuannya dia masih menjalani terapi jus itu tanpa mengkonsumsi sedikitpun bahan-bahan hewani, termasuk susu sekalipun,’ pak Umar menjelaskan.

‘Dan ternyata sembuh pula. Jadi sudah ada dua kasus yang pak Umar kenal kalau begitu. Dan saya dengar pula waktu itu kepada ibunya Adrianto itu juga diberikan tumbuh-tumbuhan dari kebun sekolah. Tumbuh-tumbuhan yang mana itu pak?’ tanya pak Sofyan lagi.

‘Namanya ‘tapak dewa’. Tumbuh sangat subur di kebun belakang. Kebetulan sebelum pergi berkunjung ke rumah Adrianto dengan pak Suprapto itu, saya melihat tumbuh-tumbuhan itu di kebun. Waktu itu saya sedang berkeliling sekolah ditemani pak Kosasih,’ jawab pak Umar.

‘Apanya yang digunakan dan bagaimana menggunakannya pak?’ tanya pak Hardjono.

‘Umbinya dan daunnya. Umbinya dimakan mentah. Menurut yang saya dengar umbinya itu obat penyakit kanker. Daunnya bisa juga digodok dan airnya diminum. Semua itu dicoba oleh ibunya Adrianto. Semua itu boleh dikatakan ‘usaha’ atau ‘ikhtiar’, sedangkan kesembuhannya datang dari Allah,’ kata pak Umar menambahkan.

‘Benar sekali pak,’ kata pak Hardjono pendek.

‘Sekarang kita memang harus rajin mencatat cara pengobatan alternatif seperti itu. Kalau kita bawa ke rumah sakit, semua penyakit itu jadi mahal sekali. Bagi kita pegawai negeri ini mana sanggup kita membiayainya,’ komentar pak Sofyan.

‘Pak Sofyan tahu nggak, bagaimana kabarnya pak Waluyo sekarang?’ tanya pak Hardjono.

‘Saya hanya sekali dulu itu saja mengunjunginya di rumah sakit. Terakhir ini saya tidak tahu bagaimana khabarnya,’ jawab pak Sofyan.

‘Saya seminggu yang lalu pergi melihatnya. Kelihatannya sudah berangsur baik. Hanya dia masih sangat lemah dan masih perlu istirahat. Mungkin seminggu-seminggu lagi dia akan mulai masuk. Sebenarnya saya sudah bilang biar sembuh benar dulu, takutnya nanti bisa sakit lagi,’ pak Umar menjelaskan.

‘Rupanya pak Umar baru menjenguk pak Waluyo juga?’ pak Hardjono bertanya agak malu hati, karena dia hanya sekali menjenguknya pada waktu pak Waluyo itu dirawat di rumah sakit. Itu sudah sebulan lebih yang lalu.

Guru-guru itu mengakhiri obrolan mereka karena pak Umar harus menyelesaikan pekerjaannya di ruangannya.


*****

No comments: