Monday, October 6, 2008

SANG AMANAH (3)

(3)

Pak Umar meneruskan langkahnya mendekati kantor guru-guru. Di ruangan itu sudah ada beberapa orang guru dan pak Umar mengenali ibu Sofni yang dulu pernah sama-sama mengajar di SMU 267. Ibu Sofni datang menghampiri pak Umar. Pak Umar mengucapkan salam kepada guru-guru itu.

‘Selamat pagi pak Umar. Surprise nih. Saya dengar mau jadi atasan kami di sini.’

‘Selamat pagi bu Sofni. Bagaimana kabar? Dari SMU 267 dulu pindah ke sini dan belum pindah lagi ya?’

‘Ya begitulah pak. Tapi di sini menyenangkan buat saya. Lebih dekat ke rumah.’

‘Tapi ngomong-ngomong apa pak Suprapto sudah datang?’

‘Sudah. Barusan beliau bercerita bahwa sedang menunggu sampeyan. Silahkan masuk saja pak. Itu ruangan beliau.’

‘Baik bu Sofni. Kalau begitu saya temui beliau dulu.’

Pak Umar mengetuk pintu ruangan pak Suprapto. Pak Suprapto datang membukakan pintu dan menyilahkannya masuk ke ruangan ber AC itu. Kedua orang itu terlibat dalam pembicaraan basa basi. Pak Suprapto langsung menunjukkan bagian-bagian kantornya itu, menunjukkan lemari-lemari yang ada berikut isinya. Sementara itu jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima.

‘Jam tujuh kita upacara. Biar sekalian saya perkenalkan anda kepada murid-murid di sini. Tapi sebelumnya saya kenalkan dulu kepada guru-guru yang ada di ruangan sebelah. Mari pak Umar.’

Pak Umar mengikuti pak Suprapto yang kemudian memperkenalkannya kepada staf guru-guru. Ada pak Muslih guru bahasa Inggeris, pak Sofyan guru matematika, pak Darmaji guru bahasa Jepang, pak Situmorang guru fisika, pak Hardjono guru olah raga. Ada ibu Sofni, ibu Dewi, ibu Pratiwi, ibu Sarah yang pakai jilbab, ibu Hartini, ibu Lastri. Guru-guru yang lain sudah ke lapangan upacara.

Jam tujuh tepat upacara itu di mulai. Murid-murid berbaris menurut kelasnya masing-masing. Barisan itu tidak rapi-rapi amat, karena maklumlah mereka selalu saja berusaha menunjukkan kebandelannya. Guru-guru berbaris pula dalam satu garis lurus menghadap ke arah murid-murid itu. Bagian paling penting dari upacara itu adalah pidato kepala sekolah atau amanat inspektur upacara. Disaat pak Suprapto berpidato biasanya sekali-sekali terdengar celetukan nakal dari barisan murid-murid itu. Mereka menggelari pak Suprapto itu ‘jenderal’. Pagi ini, waktu pak Suprapto mengambil tempat di podium upacara murid-murid di barisan belakang meneriakkan, ‘Hidup jenderal!!!’

Pagi ini pak Suprapto terlihat lebih ceria dari biasanya. Dan ini mengherankan guru-guru maupun murid-murid. Seperti biasa beliau menyampaikan nasihat yang oleh sebagian anak-anak dikatakan sudah basi karena itu-itu melulu.

‘Jadilah anak-anak berprestasi. Jadilah anak-anak yang bercita-cita luhur dan tinggi. Mari kita jaga nama sekolah kita ini sebagai sebuah lembaga pendidikan yang disegani masyarakat dengan murid-muridnya yang berprestasi.’

‘Siaaap jenderaaal!!!’ teriak anak-anak tadi lagi.

‘Rekan-rekan guru dan anak-anak sekalian. Hari ini ada suatu berita penting yang harus saya sampaikan kepada kalian semua. Sebagaimana yang sudah pernah saya sampaikan bahwa saya segera akan memasuki pensiun. Saya sudah tua, umur saya sudah 60 tahun. Saya sudah menjadi pendidik selama 36 tahun. Sekarang waktunya bagi saya untuk beristirahat. Namun pendidikan tentu saja tidak akan pernah berhenti di SMU 369 ini. Saya sangat bangga untuk memperkenalkan kepada kalian pengganti saya yang jauh lebih muda dari saya. Mudah-mudahan dengan kepemimpinan beliau ini nanti prestasi belajar murid-murid SMU 369 ini bisa lebih ditingkatkan lagi. Untuk itu saya perkenalkan kepada kalian semua…Bapak Drs. Umar Hamzah. Pak Umar tolong berdiri di sini dengan saya.’

Pak Umar naik ke podium ke dekat pak Suprapto. Beliau berdua melambaikan tangan ke arah murid-murid. Murid-murid dibarisan depan membalas lambaian itu dengan lambaian tangan pula.

‘Pak Umar silahkan anda kembali ke barisan guru-guru karena saya masih akan melanjutkan pidato saya sedikit lagi.’

Pak Umar turun dari podium kembali ke barisan guru di belakang. Guru-guru yang tadi belum sempat berkenalan menyalami beliau, mengucapkan selamat datang.

‘Rekan-rekan guru dan anak-anakku sekalian. Saya merasa perlu menceritakan pribadi pak Umar yang saya kenal. Beliau pernah mengajar di SMU yang saya pimpin sebelum saya datang ke sekolah ini lima tahun yang lalu. Beliau adalah seorang yang sangat sederhana dan sangat disiplin. Saya bahkan sangat mengagumi beliau untuk kedua hal itu. Beliau seorang yang sangat teguh pada pendiriannya. Namun beliau juga adalah seorang yang berkepribadian menyenangkan. Beliau sangat perduli dengan kesulitan siapa saja dan dengan sekuat tenaganya selalu berusaha membantu. Saya tidak memuji-muji beliau karena tidak ada manfaatnya memuji-muji itu bagi saya maupun bagi kalian semua. Tapi saya sampaikan ini agar kalian dapat menyambut kedatangan beliau untuk bekerja sama dengan beliau. Sekali lagi, kepada pak Umar saya ucapkan selamat datang, selamat berkarya di sekolah ini. Sekolah ini memerlukan tangan anda, tenaga anda, pikiran-pikiran anda. Sekolah ini kadang-kadang disinyalir orang luar sebagai sekolah anak-anak orang kaya. Sekolah anak-anak borjuis. Sekolah ini dikenal orang luar sebagai sekolah anak-anak bandel dengan reputasi belajar yang tidak cemerlang. Saya telah berbuat untuk memperbaiki citra itu semampu saya. Walaupun tidak banyak hasilnya, kami para guru-guru di sini sudah bekerja keras memperbaiki citra itu sedikit demi sedikit. Ada anak-anak yang terpaksa kami keluarkan dari sini. Ada anak-anak yang terpaksa kami skors dari sekolah ini. Namun juga ada beberapa anak yang kami bebaskan uang sekolahnya di sini karena orang tuanya tidak mampu. Di sini ada anak-anak yang orang tuanya orang berduit, tapi kami juga menyediakan tempat untuk anak-anak berprestasi yang orang tua mereka kurang beruntung. Dan kami bersyukur, tahun ini untuk pertama kalinya sejak sekolah ini berdiri sudah ada 2 orang murid sekolah ini yang diterima di ITB. Demikianlah pak Umar, saya serah terimakan tanggung jawab memimpin sekolah ini kepada anda. Sekian dan terima kasih.’

Upacara selesai. Murid-murid itu masuk ke kelasnya masing-masing. Trio ‘pemberani’ Anto, Iwan dan Sapto terlihat lusuh. Anto bahkan sangat pucat karena ketakutan.

‘Kepala sekolah yang baru? Mampus deh kita,’ kata Iwan.

‘Lo sih, tadi ikut-ikutan. Mana banyak anak yang lihat lagi tadi. Gimana dong nih?’ Sapto cemas sekali.

‘Sudahlah kita lihat saja nanti. Tapi entar lo temanin gue ya, ngambil pentil ban Vespa tadi yang gue buang di got.’

Anto berusaha sok tenang meski suaranya bergetar. Ketiganya melangkah lesu menuju kelas mereka.

*****

No comments: