Sunday, October 19, 2008

SANG AMANAH (26)

(26)

‘Pasti. Pasti saya akan protes. Saya sedang menunggunya nih.’

Dan pak Umar masuk ke ruangan guru bersama-sama pak Suprapto, lalu terus ke kantor kepala sekolah. Keduanya baru kembali dari mesjid sekolah, dari melakukan shalat zuhur. Pak Mursyid yang tadi menggebu-gebu ternyata jadi agak ciut. Pak Kus yang memperhatikannya mendehem-dehem seolah-olah mengingatkan. Pak Mursyid gelisah. Dia berdiri sebentar lalu duduk kembali. Kelihatan betul gugupnya. Guru-guru lain yang baru selesai shalat menyusul masuk ruangan guru. Ada pak Sofyan, pak Darmawan dan pak Hardjono. Pak Mursyid mengamati mereka itu satu persatu. Bertambah gelisah dia. Pak Sofyan melihat pak Mursyid sedang uring-uringan begitu bertanya,

‘Ada apa pak Mursyid?’

‘Ah nggak. Masih urusan kemarin.’

‘Urusan apa?’

‘Urusan sekolah yang sudah jadi pesantren,’ pak Mursyid mengeraskan suaranya. Mungkin berharap pak Umar akan mendengarnya.

‘Lha..Tadi katanya mau membicarakan. Ya bicarakan saja sana. Kan sudah ada tuh orangnya di dalam,’ pak Kus menimpali.

Pak Mursyid berdiri. Tapi duduk lagi. Rupanya keberanian beliau memang pas-pasan. Tiba-tiba pak Suprapto muncul dari pintu memanggil pak Mursyid untuk masuk ke ruangannya. Wah celaka. Pak Mursyid sampai menyenggol meja guru lain di sebelah mejanya sehingga gelas air di atas meja itu jatuh dan airnya tumpah. Dengan jantung deg-degan dia masuk ke ruangan pak Suprapto.

‘Ada apa pak?’

‘Apa sudah dengar hasil jajak pendapat yang direncanakan kemarin, pak Mursyid?’

‘Belum pak. Saya rasa anak-anak sedang melaksanakannya sekarang. Mungkin nanti sesudah jam pulang mereka akan menyerahkannya.’

‘Kalau yang dari guru-guru?’

‘Tadi belum selesai semua pak. Tapi tadi hampir semua guru-guru ‘pro’ kelihatannya. Hitung-hitung tambahan hiburan, pak. Biar nggak stress.’

‘Ini pak Mursyid. Pak Umar ingin menanyakan tentang ide ‘duel’ dikalangan anak-anak. Silahkan pak Umar. Langsung saja ditanyakan!’

‘Begini pak Mursyid! Sebelumnya saya minta maaf. Tadi saya berbincang-bincang dengan pak Suprapto dan akhirnya beliau menyarankan agar saya minta penjelasan langsung dari pak Mursyid. Pertanyaan saya adalah, seberapa serius ide ‘duel’ untuk mencegah tawuran ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah?’

‘Baik pak. Jadi begini. Pertama, ini masih dalam taraf percobaan. Tujuannya ya itu, untuk menyalurkan gatal-gatalnya darah muda dari sementara anak-anak yang berkecenderungan untuk membuat ribut, untuk berkelahi. Kedua, tujuannya adalah mengajarkan sportifitas. Karena ‘duel’ artinya berkelahi secara jantan, satu lawan satu, tanpa menggunakan senjata. Ketiga, karena ini projek percontohan, harapannya kita akan ditiru oleh sekolah lain dan dengan demikian tawuran anak-anak sekolah bisa diberantas sedikit demi sedikit.’

‘Baiklah. Kalau begitu seberapa jauh keberhasilan yang sudah dicapai selama masa percobaan beberapa bulan ini? Apakah terbukti murid-murid yang bandel itu berubah jadi sportif? Lebih jauh, apakah bisa dijamin bahwa perkelahian atau duel mereka di sekolah benar-benar akan berakhir hanya di sini? Tidak akan merembet akhirnya keluar? Bagaimana kalau mereka merasa perkelahian itu belum selesai di sekolah lalu mereka lanjutkan lagi diluar sekolah?’

‘Keberhasilannya ada pak. Sebelum ini, bahkan pada awal kebijaksanaan ‘duel’ ini, kalau saya boleh menyebutnya kebijaksanaan, adalah dikarenakan murid-murid kita terlibat tawuran dengan murid SMU HARAPAN BANGSA. Mereka membuat kekacauan dijalan raya Kali Malang sehingga mengundang campur tangan aparat keamanan. Waktu itu mereka diberi hukuman. Aparat keamanan meminta kita guru-guru memikirkan suatu langkah antisipasi untuk menghindari terjadinya lagi perkelahian massal seperti itu. Sebelum itu juga pernah terjadi beberapa kali tawuran dengan sekolah lain. Itu latar belakangnya ‘duel’. Tapi sekarang kalau bapak mau melarangnya ya silahkan.’

‘Lho, bukan begitu pak Mursyid, ya tunggu dulu. Bukan maksud saya mau melarang atau mau menyuruh. Ini termasuk tanggung jawab. Kita boleh saja melakukan uji coba, tapi tentu perlu pengawasan secara ketat mengingat ini urusan murid-murid. Artinya menyangkut keselamatan mereka. Saya ingin menanyakan seberapa jauh faktor keselamatan dan ketertiban juga diperhitungkan. Atau mungkin memang sudah ada, tapi saya belum tahu jadi saya bertanya.’

‘Baik pak. Waktu kami guru-guru menyepakati rencana ini sudah kami buatkan ketentuan tertulis ‘apa-apa yang boleh’ dan ‘apa-apa yang tidak boleh’ Istilah kerennya ‘the musts’ dan ‘the must nots’. Di antaranya berisi apa resiko jika ‘yang tidak boleh’ dilanggar. Ini dijelaskan kepada murid-murid. Saya bisa memberikan fotokopi aturan ini kepada bapak sekarang kalau bapak mau. Yang paling sederhana kalau saja terjadi pelanggaran, misalnya perkelahian menggunakan senjata, atau perkelahian keroyokan, atau perkelahian dilanjutkan diluar sekolah seperti yang bapak khawatirkan tadi, maka sangsinya dikeluarkan dari sekolah. Aturan ini ditanda tangani kepala sekolah. Di samping itu perkelahian atau duel itu harus dilakukan atas dasar sama-sama mau untuk berkelahi. Jadi tidak bisa satu orang murid memukul murid lain lalu mengajaknya duel. Harus melaporkan kepada koordinator ‘duel’ di kelas masing-masing bahwa dia, menantang duel si ‘X’ dari kelas anu. Koordinator menjajaki melalui koordinator di kelas lain apakah lawannya itu menerima tantangan. Perkelahian harus disaksikan koordinator duel. Sebelumnya koordinator duel mengetahui betul dan menanyakan untuk kemudian mengumumkan apakah yang akan berkelahi itu mempunyai keahlian bela diri tertentu. Ini maksudnya agar jangan perkelahian itu berjalan tidak seimbang dan salah satu jadi bulan-bulanan lawan berkelahinya. Dengan perangkat aturan seperti itu saya yakin tidak ada resiko bagi anak-anak yang berkelahi itu. Paling-paling kesakitan. Tidak mungkin akan cedera berat. Begitu pak.’

‘Ya, baiklah kalau begitu. Saya benar-benar sekedar ingin tahu. Bagaimana dengan meningkatnya animo berkelahi, sehingga hampir dua hari sekali terjadi duel? Apakah itu dianggap wajar atau dapat disimpulkan bahwa cara ini berhasil?’

‘Kalau menurut saya iya pak. Anak-anak muda seumur murid-murid itu ada yang memang senang melampiaskan emosi mereka dengan berkelahi. Sejauh pemantauan saya, mereka-mereka yang sudah berkelahi itu tidak ada yang sampai menjadi musuh satu sama lain. Bahwa banyak terjadi ‘duel’ mungkin karena ini masih baru. Banyak yang ingin coba-coba. Dan sekali lagi itu saya monitor terus. Itu juga sebabnya saya hampir selalu ada di sekolah pak. Biarpun bukan pada jam mengajar saya. Artinya saya juga merasa bertanggung jawab. Saya usahakan setiap hari pulang sesudah bubar sekolah.’

‘Ya….. terima kasih kalau begitu pak Mursyid. Saya mengerti, meskipun agak sedikit kaget karena baru sekali ini metoda ini saya temui.’

‘Jadi bapak sudah bisa menerimanya?’

‘Ya.. saya mengerti. Tapi saya masih belum seratus persen yakin metoda ini yang terbaik.’

‘Baiklah pak. Sekarang, sayapun ada yang ingin disampaikan.’

‘Silahkan pak Mursyid!’

‘Pertama-tama, saya yakin bahwa pak Umar seorang yang sangat demokratis. Ini saya amati selama rapat kemarin. Bapak bisa menerima pendapat yang berbeda dengan pendapat bapak. Yang kedua, langsung saja ke pokok masalah. Saya keberatan dengan diserukan azan di sekolah ini. Dulu sudah pernah juga ada di antara murid yang berinisiatif untuk melakukan azan, lalu saya larang. Saya sudah menjelaskan kepada bapak kepala sekolah alasan saya melarangnya. Baiklah saya ulangi sekali lagi sekarang. Sekolah ini sekolah umum, bukan sekolah agama, bukan pesantren. Di Madrasah Aliyah saja setahu saya tidak ada azan di sekolah. Kenapa saya larang? Karena tidak semua guru-guru di sini beragama Islam. Bapak sudah kenal kemarin dengan pak Situmorang, pak Wayan, ibu Grace. Tidak semua murid-murid di sini Islam. Ada sekitar lima puluh orang lebih yang beragama selain Islam. Dan yang melarangnya dulu adalah saya sendiri seperti saya katakan tadi. Dulu itu atas seizin bapak kepala sekolah. Sekarang dengan dilakukan lagi, saya benar-benar merasa bahwa kehormatan saya di depan murid dilanggar. Sepertinya wibawa saya di hadapan murid-murid dijatuhkan. Oleh karena itu, dengan hormat saya memohon agar bapak mempertimbangkan kembali untuk tetap memberlakukan peraturan sekolah umum di sekolah ini. Itu saja pak. Terima kasih.’

‘Ya. Baiklah. Maaf, pak Mursyid sendiri beragama apa, kalau boleh saya tahu?’

‘Saya juga Islam pak. Tapi mungkin toleransi saya terhadap agama lain lebih banyak. Saya rasa itu tidak ada salahnya.’

‘Sudah berapa lama bapak jadi guru di sini? Maaf, maksud saya begini. Apakah waktu mesjid sekolah itu dulu dibangun pak Mursyid sudah mengajar di sini?’

‘Ya..sudah cukup lama. Saya sudah mengajar di sini selama enam tahun. Mesjid itu dibangun empat tahun yang lampau. Saya tidak memprotes mesjidnya pak. Yang saya protes adalah azannya.’

‘Jadi pak Mursyid mau memisahkan antara mesjid dengan azan, begitu? Itu justru perlakuan semena-mena terhadap Islam. Mesjid dibangun begitu baik, dengan biaya besar, tapi hanya sekadar untuk jadi hiasan saja. Kegiatan agama tidak digalakkan di mesjid itu. Ini keliru sekali, pak Mursyid.’

‘Saya ulangi, pak. Mesjid dan shalat di mesjid itu tidak saya anggap bermasalah dan bukan pula saya menghalang-halanginya. Tapi kenapa mesti diadakan azan sementara kita berada dilingkungan sekolah umum?’

‘Kenapa memangnya dengan azan? Apakah mengganggu?’

‘Jelas mengganggu pak. Suaranya jelas mengganggu. Apalagi bagi orang yang bukan Islam. Yang tidak mengerti arti yang diserukan itu. Hal itu pasti mengganggu.’

‘Pak Mursyid pernah dapat keluhan dari guru lain yang bukan Islam karena merasa terganggu oleh azan itu? Maaf pak Suprapto, apakah ada guru-guru yang beragama lain mengeluhkan kepada bapak dengan keberadaan mesjid itu di sekolah ini?’

’Tidak ada, pak Umar. Mungkin yang dibayangkan oleh pak Mursyid ini kalau-kalau suatu saat nanti muncul protes itu. Selama ini sih belum ada.’

‘Memang belum ada, pak. Tapi jangan ditunggu sampai mereka mengeluh. Pada saat itu suasananya sudah akan lebih panas.’

‘Begini pak Mursyid. Azan itu aturan dalam agama Islam. Gunanya untuk menyeru orang-orang Islam untuk datang melaksanakan shalat berjamaah. Shalat itu rukun agama Islam. Tidak dikatakan Islam seseorang yang tidak melaksanakan rukun agama. Shalat berjamaah itu juga aturan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Pak Mursyid mengatakan ini sekolah umum, tapi tetap ada pelajaran agama di sini. Kita juga berkewajiban mendidik murid-murid di sini untuk menjadi manusia yang faham dengan agamanya. Di sekolah ini juga diajarkan agama Islam. Pelajaran itu bukan sekedar untuk memenuhi jam pelajaran saja tapi benar-benar untuk mendidik murid-murid memahami makna dari shalat, dari puasa, dari zakat serta perintah agama lainnya. Perlu ada contoh kongkrit. Itu gunanya dibangun mesjid sekolah. Di sana bisa dipraktekkan apa-apa yang dipelajari di kelas, terutamanya shalat berjamaah itu. Jadi ringkasnya, azan itu diajarkan di sekolah, shalat itu diajarkan di sekolah, puasa begitu juga. Lalu dipraktekkan, dikerjakan secara nyata. Maka ada panggilan azan. Tadi pak Mursyid mengatakan di sini ada yang non Islam. Itu bukan alasan. Silahkan tanyakan kepada mereka apakah mereka keberatan, biar nanti saya yang menjelaskan bahwa azan itu bagian dari rangkaian ibadah agama Islam.’

‘Tapi kan bisa saja shalat dilakukan tanpa azan. Azan itu kan tidak wajib hukumnya pak?’

‘Baik. Pak Mursyid tahu mana yang wajib, mana yang tidak wajib bukan? Lalu sekarang saya tanyakan sejujurnya apa ada keharusan meninggalkan suatu amalan karena amalan itu tidak wajib? Apa ada aturan seperti itu? Sekali lagi saya ulangi apa ada protes dari guru-guru non Islam? Atau hanya karena perasaan toleransi pak Mursyid saja?’

‘Saya bukan orang Islam yang baik pak. Tapi sedikit-sedikit saya juga belajar tentang ibadah, mana yang wajib mana yang hanya sekadar anjuran saja atau yang sunah. Sementara jika yang sunah itu cenderung menuai protes, kenapa mesti dipaksakan? Guru-guru non Islam belum ada yang protes, tapi saya yakin suatu saat mereka akan protes?’

‘Dasarnya mereka mau protes apa? Ini merupakan tata cara peribadatan dalam agama Islam, bagaimana mungkin diprotes? Coba perhatikan. Di kompleks BTN tempat saya tinggal. Beragam etnis penghuninya. Bermacam-macam pula agama dan keyakinannya. Di sana kami punya mesjid tempat shalat wajib lima waktu. Lima kali sehari dikumandangkan azan dari mesjid itu. Tidak ada masalah. Tidak ada protes. Lagi pula apa yang salah dengan suara azan itu? Orang diluar Islam boleh mengajukan protes kalau memang bisa membuktikan bahwa mereka terganggu. Tapi cobalah yang agak wajar cara bereaksinya. Agak wajar cara berfikirnya. Dan pak Mursyid coba nilai sejujurnya. Selama ini, dan yang saya amati pada hari pertama saya di sini, sedikit sekali yang shalat di mesjid itu. Tapi waktu dikumandangkan azan bukan hanya murid-murid, tapi karyawan tata usaha, guru-guru, semua berdatangan. Jangan katakan saya yang menyuruh mereka datang dengan meminta mereka satu persatu agar hadir ke mesjid itu, karena mereka datang memenuhi panggilan azan. Ini sesuai dengan guna dan makna azan itu untuk menghimbau orang melaksanakan shalat. Dan ini diajarkan dalam pelajaran agama Islam.’

‘Dan Islam kan juga mengajarkan agar kita toleransi dengan agama lain, benar kan pak?’

‘Benar. Tapi apa hubungannya? Apa karena saya toleransi lalu saya tidak mengerjakan aturan agama saya. Karena saya toleransi dengan agama lain saya tidak usah shalat? Atau kalaupun saya shalat saya lakukan sembunyi-sembunyi, begitu? Dimana logikanya?’

‘Maksud saya, di tempat umum kita berprilaku umum. Di rumah kita masing-masing baru kita lakukan ibadah sebaik-baiknya.’

‘Wah, ini ilmu dari mana pak Mursyid? Kalau pikiran pak Mursyid ini diikuti, semua mesjid harus ditutup, begitu juga semua tempat ibadah lain, karena umumnya sarana-sarana ibadah itu berdiri di tempat umum. Maaf, jadi agak menjurus pertanyaan saya, pak Mursyid di rumah mengerjakan shalat tidak?’

‘Itu kan urusan pribadi saya dengan Tuhan, pak.’

‘Saya tahu itu urusan pribadi pak Mursyid. Tapi berhubungan dengan apa yang kita sedang bahas. Saya sekedar bertanya sejujurnya, apakah pak Mursyid mengerjakan shalat di rumah?’

‘Kalau saya bilang tidak, memangnya kenapa, pak?’

‘Itu lebih mudah saya pahami. Berarti pak Mursyid tidak faham dengan agama Islam, meski mengakunya Islam.’

‘Apa hubungannya itu, pak?’

‘Kalau pak Mursyid faham dengan agama Islam, pak Mursyid tidak akan meninggalkan shalat. Dan tidak mungkin muncul di kepala pak Mursyid pemikiran bahwa azan mengganggu ketertiban.’

‘Saya, belajar juga sedikit-sedikit mengenai agama ini. Rasanya tidak begitu betul pak. Tuhan itu kan Maha Adil Maha Bijaksana, pak.’

‘Jangan belajarnya sedikit-sedikit, pak. Belajar yang banyak. Tuhan itu, Allah Subhanahu wata’ala itu, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi itu, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kuasa. Dia yang memerintahkan tata cara peribadatan kepada Nya. Dia yang mengajarkan ketentuan-ketentuan agama, untuk ditegakkan. Jangan kita yang baru belajar sedikit-sedikit mau merubah apa-apa yang di tetapkan Allah lalu mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Bijaksana.’

‘Apakah Allah yang memerintahkan azan itu, begitu pak?’

‘Allah yang memerintahkan shalat, perintah ini ada di dalam Al Quran. Allah yang memerintahkan shalat itu dilakukan berjamaah melalui lisan nabi Muhammad SAW. Allah yang memerintahkan mengumandangkan azan itu untuk memanggil jamaah shalat melalui lisan nabi Muhammad SAW. Tapi sekarang pak Mursyid yang melarangnya. Pak Mursyid yang mengaku Islam, melarangnya karena merasa… saya ulangi… karena merasa azan itu mengganggu kepada mereka yang bukan Islam. Padahal pak Mursyid belum pernah menanyakan kepada mereka apakah mereka terganggu atau tidak. Dan seandainya mereka terganggupun, alih-alih menerangkan makna azan sebagai bagian ibadat, pak Mursyid maunya azannya saja ditiadakan. Bahkan lebih hebat lagi, agar shalat itu cukup dilakukan di rumah saja, jangan di tempat umum. Padahal Allah menetapkan melalui lisan nabi Muhammad SAW bahwa bumi yang luas ini adalah tempat sujud, artinya tempat menegakkan shalat bagi setiap Muslim.’

‘Ya, sudahlah pak. Kalau bapak mau merubah kebijaksanaan sekolah ini terserah bapak. Sebentar lagi kan bapak jadi kepala sekolah di sini.’

‘Baik, kalau memang mau disudahi sampai di sini. Mengenai kebijaksanaan, saya akan mempertanggung jawabkan setiap perubahan, kalau memang saya melakukan perubahan. Bukan saja kepada sesama guru, kepada murid tapi yang lebih utama, kepada Allah SWT.’

‘Apakah, itu berarti bapak akan merubah sekolah ini menjadi pesantren barangkali?’

‘Tidak. Sekolah ini milik pemerintah. Pemerintah mempunyai garis besar panduan bagaimana menjalankan kegiatan di sekolah ini. Itu akan saya ikuti.’

‘Apakah mengumandangkan azan juga di sebutkan dalam garis besar itu, pak?’

‘Tidak. Namanya juga garis besar, jadi tidak mungkin mengatur sampai yang kecil-kecil seperti itu. Namun diluar itu kita bisa melakukan aturan-aturan lain yang dirasa perlu asal tidak bertabrakan dengan garis besar tadi, selama itu bisa dipertanggung jawabkan.’

‘Ya.. baik pak. Saya permisi dulu deh. Maaf pak Suprapto.’


*****

No comments: