Thursday, February 28, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.22)

22. Ke Danau Kembar

‘Kita berangkat sekarang?’ tanya Pohan, ketika mereka sudah selesai mandi dan merapihkan diri.

‘OK,’ jawab Aswin pendek.

Mereka menuju ke tempat parkir. Hari sudah jam sepuluh pagi. Mereka tinggalkan Teluk Bungus yang elok. Menempuh kembali jalan mendaki lalu berbelok ke kiri, menyusuri jalan di lereng bukit. Berliku dan mengitari bukit, menuju ke arah Teluk Bayur. Melalui jalan yang di kiri kanannya banyak pohon kayu dan pohon kelapa bercampur baur. Sesudah jalan berbelok di ujung perbukitan, terlihat di hadapan mereka Teluk Bayur yang ramai dengan kapal-kapal. Sepertinya tadi pagi waktu berangkat pemandangan ini luput dari perhatian. Terlihat pula banyak kapal-kapal pesiar di dalam laut di bawah sana. Entah siapalah pemiliknya. Mobil terus melaju. Sampai ke sebuah simpang tiga sebelum area pelabuhan Teluk Bayur. Ke kiri adalah arah ke pelabuhan dan terus ke Air Manis yang kemarin mereka tempuh. Ke kanan arah ke Indarung. Pohan membelokkan mobil ke arah kanan.

’Sekarang kita menuju Sitinjau Laut. Kita tidak akan masuk lagi ke dalam kota Padang,’ Pohan menjelaskan.

’OK. Jadi hanya dua objek ini sajakah yang penting untuk kita lihat di Padang? Air Manis dan Teluk Bungus?’ tanya Aswin.

’Secara umum yang kita lihat sudah mewakili keindahan kota Padang. Sudah kita lihat pantai Air Manis saat matahari terbenam sore kemarin. Sudah kita lihat tadi pagi ombak Purus di tempat nelayan menarik pukat. Sudah kita lalui tadi pagi sambil lalu pantai dekat Muaro. Biasanya sore-sore banyak orang duduk-duduk bersantai-santai menyaksikan deburan ombak dan menanti matahari terbenam di sana. Sambil makan rujak atau makan sate udang goreng. Rujak sudah kita makan di Air Manis kemarin. Kalau waktumu banyak kita bisa juga berjalan-jalan dan melihat-lihat di pelabuhan Muaro, pelabuhan kapal-kapal kecil ke kepulauan Mentawai. Dan sudah kita lihat Teluk Bungus. Kalau kamu menyukai pemandangan laut yang tenang sebenarnya ada lagi tempat yang jauh lebih indah. Agak lebih jauh ke selatan dari kota Padang, sekitar 60 kilometer lagi. Disana ada pulau yang lebih besar dibandingkan pulau Angsa Dua di Pariaman, melindungi laut dari hempasan ombak. Lautnya sangat biru dan tenang.’

’Waaw. Kenapa kita tidak kesana?’ tanya Aswin.

’Kalau kita ke sana, sebaiknya menghabiskan satu hari penuh untuk menyeberang dan melihat-lihat ke pulau yang aku katakan. Banyak lagi objek yang dapat kita lihat di sana.’

’Apa nama tempatnya? Kenapa tidak kamu beritahu sebelumnya kalau itu memang lebih cantik?’

’Ada nama nagari Sungai Nyalo di sana. Di sekitar kampung itulah terdapat lokasi yang aku katakan. Bahkan tidak cukup sampai di sana saja. Kita harus melanjutkan lagi terus ke selatan untuk melihat pemandangan yang juga sangat memukau. Dengan waktumu yang terbatas aku tidak merencanakan membawamu kesana. Nanti kalau kamu datang lagi, dan bisa tinggal lebih lama akan aku bawa ke tempat-tempat yang tidak kalah indahnya di daerah selatan,’ ujar Pohan.

’Yang kita tuju sekarang apakah cukup dikunjungi untuk sejam dua jam saja seperti tempat-tempat yang sudah kita datangi?’ tanya Aswin.

’Panorama danau kembar, untuk dilihat satu sampai dua jam sudah cukup. Kecuali kalau kamu ingin kita menjelajah pula ke dalam danau-danau tersebut,’ jawab Pohan.

’Ada apa saja yang menarik di danau-danau itu?’

’Pesiar mengelilingi danau. Karena danaunya lebih kecil dibandingkan Maninjau atau Singkarak, mengelilingi danau dengan bus air sangat menyenangkan dan tidak makan waktu lama. Untuk melihat-lihat kampung-kampung di sekitar danau.’

’Di kedua danau?’

’Ada di kedua danau. Tapi yang lebih menarik menurutku adalah yang di sebelah utara. Banyak kampung-kampung yang di lalui seperti yang terlihat dari panorama Danau Di Baruah itu.’

’Tapi, by the way ini jalan yang kita tempuh kemarin ’kan? Apa kita melalui jalan ke Bandara lagi untuk pergi ke danau-danau itu?’

’Ya. Kita ikuti jalan ini sampai ke Lubuk Bagalung namanya di depan sana. Di sana ada simpang tiga. Kalau mau ke Bandara kita belok ke kiri dan untuk ke arah Solok kita terus ke arah timur.’

’Apakah kita akan melalui Solok sebelum menuju danau kembar?’

’Tidak. Nanti ada lagi simpang tiga di Lubuk Selasih sesudah Sitinjau Laut. Di Lubuk Selasih kalau akan ke Solok kita belok ke kiri dan kalau mau ke danau kembar ke kanan.’
’Berapa jauh dari Selasih ke danau kembar?’

’Lebih kurang 20 kilometer. Sejauh itu pula kalau kita ke Solok. Kenapa? Kamu sudah memikirkan dimana kita makan siang? He..he..he..’

’He..he..he.. Jam berapa sih ini? Tapi iya, kenapa perutku jadi agak lapar ya? Atau karena kita terlalu capek berenang dan menyelam?’

’Baik, sekarang jam setengah sebelas. Kalau kamu memang lapar, kita bisa makan di rumah makan arah ke Solok dari Lubuk Selasih. Ada rumah makan Sari Manggis di sana yang populer di kalangan pelancong. Sebenarnya rumah makan dengan masakan Minang biasa. Tapi memang enak. Bagaimana? Kita ke sana dulu atau langsung ke arah danau? He..he..he..he.’

’Aku rasa sebaiknya kita makan dulu di sana. Jam berapa kita sampai disana kira-kira?’

‘Sekitar jam setengah dua belas, mudah-mudahan,’ jawab Pohan.

Dari Lubuk Bagalung jalan mulai mendaki menyusuri bukit yang terjal, bagian dari rangkaian bukit batu kapur bahan baku pabrik semen Padang di Indarung. Dan mereka lalui pula area pabrik semen itu. Berikut bukit batu kapur yang diteruka untuk jadi bahan baku semen, yang terlihat dari jalan raya ini. Rumah penduduk terlihat disaputi debu. Debu yang berasal dari pabrik semen. Ini adalah jalan ke jurusan Solok melalui Sitinjau Laut. Jalan yang berliku berkelok-kelok melalui perbukitan dengan lembah-lembah cukup terjal dan kadang-kadang berpotensi untuk longsor. Sejak beberapa tahun ini pemerintah daerah mencoba mengatasi masalah longsor dengan menanam baja beton di bagian yang dikhawatirkan mudah longsor.

Sitinjau Laut adalah puncak pendakian dari Padang. Di tempat yang ketinggian ini terdapat lokasi untuk memandang ke arah lautan Hindia. Untuk meninjau ke arah laut, makanya bernama Sitinjau Laut. Pemandangan yang lumayan indah untuk dinikmati dari tempat ketinggian ini. Mereka berhenti sebentar di Panorama Sitinjau Laut, meneropong ke arah laut. Di bangunan lepas tanpa dinding tapi beratap tempat orang bisa beristirahat sambil menikmati keindahan pemandangan. Meninjau laut. Yang memang memukau, dilihat dengan teropong yang tersedia pula di sini. Terlihat kapal nelayan di bawah sana. Dan kapal Pelni yang sedang berlayar di laut lepas. Banyak pula pelancong berhenti di sini. Untuk tujuan yang sama, melihat pemandangan ke arah laut.

Tidak lama mereka berhenti di situ. Dan mereka lanjutkan lagi perjalanan sesudah beristirahat sebentar. Di daerah ketinggian yang agak rata sesudah Sitinjau Laut. Di taman hutan raya Bung Hatta, sebuah taman cagar alam tempat terdapat banyak tumbuh-tumbuhan langka pulau Sumatera. Di nagari Ayia Sirah. Sebelum jalan mulai menurun menuju ke arah Lubuk Selasih. Jalan menurun yang juga berkelok-kelok.

Seperti rencana mereka, dari Lubuk Selasih mereka terus menuju ke arah Solok. Ke rumah makan Sari Manggis untuk makan siang. Entah karena sarapan di hotel tadi pagi yang tidak memadai, entah karena kecapekan berenang, yang jelas perut mereka memang sangat lapar. Restoran yang terletak di sebelah kanan jalan arah ke Solok itu terletak di sebidang tanah yang luas. Dengan pelataran parkir yang juga luas. Ada taman dan kolam ikan di bagian belakangnya. Kolam tempat memelihara sementara ikan yang akan dimasak untuk jadi hidangan di restoran itu. Sehingga gulai ikan di sini selalu merupakan gulai ikan segar.

Dan jam setengah dua belas ketika Aswin dan Pohan sampai di sana adalah jam ketika gulai-gulai baru saja masak. Biasanya restoran ini mulai ramai sesudah jam dua belas. Orang yang melancong ke Danau Kembar di pagi hari, menjelang siang kembali dari sana dan mampir di rumah makan ini.

Aswin dan Pohan segera mengambil tempat di restoran yang masih sepi itu. Duduk di pinggir ’tabek’ yang berisi ikan gurame dan ikan mas besar-besar. Pelayan rumah makan menanyakan apakah mereka ingin memesan ikan yang masih berenang itu untuk dimasakkan atau mau makan dengan gulai yang sudah tersedia saja. Pertanyaan yang lumayan menggelitik seandainya perut belum terlalu lapar. Bisa saja tamu meminta digorengkeringkan seekor ikan mas, atau minta dibakarkan seekor ikan gurami. Yang langsung ditangkap dari ’tabek’, seperti kata pelayan yang ramah itu.

’Berapa lama untuk menyiapkan seekor gurami bakar?’ tanya Aswin.

’Setengah jam,’ jawab pelayan itu.

’Waduh. Terlalu lama. Tidak adakah ikan gurami yang sudah dibakar?’

’Tidak ada, pak. Ikan mas goreng kering dan gurami bakar disiapkan berdasarkan pesanan,’ jawab pelayan pula.

’Aku sudah sangat lapar. Sudahlah, bawakan yang ada saja,’ kata Aswin pula.

’Baik, pak,’ jawab pelayan itu.

Dan hidangan seperti umumnya di rumah makan Minang, dalam waktu sekejap sudah datang memenuhi meja di hadapan kedua anak muda itu. Dengan aneka macam lauk. Lengkap dengan gulai ikan gurami yang sangat menarik bagi Aswin. Mereka makan dengan lahap. Mungkin karena benar-benar kehabisan energi sehabis berenang tadi.

’Aku tahu kenapa kita lapar sekali,’ kata Pohan.

’Kenapa?’ tanya Aswin.

’Karena tadi malam kita makan kentang giling. Dan pagi ini sarapan roti. Sedangkan kemarin-kemarin kita makan nasi malam hari dan makan ketan atau ketupat untuk sarapan,’ jawab Pohan.

’Masak? Apa bukan karena kita kecapekan berenang?’ tanya Aswin.

’Itu mungkin faktor penambahnya. Yang pasti kalau aku, tanpa makan nasi, rasanya belum benar-benar makan,’ kata Pohan.

’Kenapa tadi malam kamu ikut-ikutan makan kentang dan daging?’

’Tadi malam aku juga ingin mencoba steak dan pure kentang. Tapi ternyata tidak memadai bagi perutku. Dan tadi pagi kita sarapan dengan beberapa potong roti bakar. Makanya akupun sangat lapar sesudah berenang tadi,’ kata Pohan.

’OK. Sekarang kita bertemu nasi. Tentu perut kita tidak akan protes lagi.’

’Aku yakin tidak akan.’

Jam dua belas tepat, ketika mereka bersiap-siap meninggalkan rumah makan Sari Manggis, menuju ke danau kembar.


*****

No comments: