Wednesday, April 22, 2009

DERAI-DERAI CINTA (10)

10. RUMBAI

Inilah Rumbai. Terlalu kecil untuk disebut kota. Terlalu besar untuk disebut sebuah kampung. Apapun namanya, tempat ini terlihat unik. Bersebelahan dengan hutan yang sebenar-benar hutan. Di sebelah pekarangan rumah mak dang Taufik adalah sebuah hutan. Dengan pohon kayu besar dan semak belukar tumbuh di dalamnya. Ada kelompok-kelompok rumah disini. Setumpuk rumah disini, setumpuk rumah disana. Setiap tumpukan seragam bentuk dan ukurannya. Pindah ke tumpukan lain berbeda lagi ukurannya.

Yang agak ganjil dan aneh adalah jalan rayanya. Imran melihat waktu jalan itu sedang dikerjakan. Jalan itu tidak diaspal tapi tanah berpasir, sebelumnya dibajak dengan sebuah traktor besar, lalu disiram cairan hitam kental. Menurut mak dang, cairan hitam itu adalah minyak bumi. Jadi jalan rayanya disiram minyak. Lalu dibiarkan begitu saja. Kendaraan yang lalu lalanglah yang menjadikan jalan itu licin kembali dengan warna hitam berkilat. Kata mak dang lagi, jalan itu sangat licin kalau ditimpa hujan. Makanya kendaraan Caltex menggunakan ban berpaku khusus supaya tidak terpeleset ketika hari hujan. Dan panas luar biasa ketika hari panas di siang hari. Imran sudah mencium hawa panasnya, ketika dia baru datang.

Rumah tempat tinggal keluarga mak dang adalah sebuah rumah besar. Ada tiga buah kamar. Anak mak dang bertiga, tapi hanya satu orang yang paling bungsu yang tinggal bersama-sama. Namanya Lala, duduk di kelas satu SMP. Kedua orang kakaknya sudah jadi mahasiswa dan tinggal di Bandung. Rumah besar ini dingin bagaikan di Bukit Tinggi di waktu pagi. Karena semua ruangannya memakai AC. AC adalah barang yang belum pernah dilihat Imran selama ini.

Istri mak dang, tante Ratna namanya. Konon orang awak juga tapi lahir dan besar di Bandung. Kalau berbahasa Minang logatnya kaku sekali. Imran sudah pernah bertemu dengannya ketika beberapa kali mak dang membawa keluarganya pulang ke kampung. Mula-mula Imran menyebut mak tuo, karena seperti itu dulu dia memanggilnya di kampung. Tante Ratna langsung menaikkan alis matanya mendengar panggilan mak tuo. Dia langsung mengoreksi agar dia jangan dipanggil mak tuo, tapi panggil saja ‘tante’. Bahkan kalau membahasakan mak dang Taufik kepada Imran, tante Ratna menyebutnya oom Taufik. Imran melongo saja mendengarnya. Dia jadi kikuk ketika berbicara dengan mak dang. Ragu dan takut bagaimana dia harus memanggil mamaknya itu. Masak harus diganti dengan ‘oom’?

Tante Ratna agak kaku pembawaannya. Tidak ramah. Bicaranya tidak banyak. Dia justru lebih banyak berbicara kepada pembantu rumah. Di rumah ini ada dua pembantu rumah tangga. Sepasang suami istri, orang Jawa. Mereka tinggal disini. Ada pula rumah kecilnya sendiri di belakang. Yang laki-laki dipanggil mas Karto. Istrinya bernama mbak Sri.

Imran mengamati bagaimana sambutan dan penghormatan tante Ratna kepada nenek. Basa basi kepada nenekpun kaku. Nenek dilarang ikut-ikutan bekerja di dapur. Kata tante, biarkan pekerjaan dapur diselesaikan si Sri. Sudah barang tentu pekerjaan dapur itu selesai oleh si Sri, tapi tentu nenek ingin untuk duduk mengerjakan sesuatu di dapur, seperti yang beliau lakukan di kampung. Ternyata tidak boleh. Cara berbicara tante Ratna kepada nenekpun berbeda. Berbeda dengan cara berbicara etek Ema istri mak etek Nursal atau tek Edah istri mak etek Tamrin. Etek-etek di kampung itu sangat menghormati nenek.

Inilah yang dibayangkan Imran sebelumnya. Makin bertambah keraguan hatinya untuk menerima tawaran mak dang. Bagaimana caranya akan ikut tinggal di rumah orang yang tidak terlalu akrab? Dan untuk jangka waktu panjang pula? Dia tidak yakin akan sanggup tinggal disini. Perlakuan mak dang memang baik. Beliau sangat ramah dan sering mengajak berbicara. Tapi waktu mak dang di rumah sangat sedikit. Pulang dari kantor beliau pergi lagi main tennis. Waktu bertemu mak dang hanya di meja makan waktu makan. Sangat tergesa-gesa di waktu makan siang dan agak sedikit santai waktu makan malam.

Yang agak lumayan akrab justru si Lala, puteri bungsu mak dang. Mungkin karena sudah diberi tahu mak dang, Lala merayu Imran agar mau bersekolah di Rumbai saja. Imran diajaknya pergi melihat sekolah itu. Sebuah bangunan sekolah yang megah. Terletak di punggungan bukit. Bukit yang ganjil di mata Imran. Bukit yang ditanami rumput, tanpa pepohonan, tempat orang-orang dewasa bermain memukul bola kecil dengan tongkat. Kata Lala, orang-orang itu bermain golf.

Lala juga mengajaknya berkeliling-keliling naik sepeda di dalam komplek di Rumbai. Melalui jalan berminyak naik turun. Lala menceritakan segala-galanya. Tentang daerah perumahan, tentang perkantoran, rumah sakit, tentang lapangan olah raga, kolam renang. Lala menyebutkan istilah-istilah yang tidak semua bisa dimengerti Imran.

Dua tiga hari tinggal di Rumbai, Imran merasakan dirinya semakin jadi orang asing. Lingkungan ini bukanlah lingkungannya. Tante Ratna bahkan tidak suka melihat dia berbincang-bincang dengan mas Karto. Sudah beberapa kali, ketika dia mengajak pembantu itu berbicara, mas Karto disuruh tante Ratna mengerjakan pekerjaan lain. Akhirnya, Imran hanya bisa berbicara dengan nenek di kamar. Imran merasa bahwa nenek juga tidak terlalu betah disini tapi beliau lebih sabar. Nenek menasihatinya agar pandai-pandai membawa diri.

Mak Dang menyuruh Imran pergi berjalan-jalan ke Pakan Baru, kalau bosan tinggal di rumah. Beliau tunjukkan bagaimana caranya pergi ke kota itu, dimana naik kendaraan, kendaraan apa yang harus dinaiki dan sebagainya.

***

Imran menerima anjuran itu dengan senang hati. Dia pergi ke Pakan Baru. Kota itu terletak sekitar enam kilometer dari Rumbai. Imran langsung pergi ke pasar tempat orang berjualan bahan-bahan makanan. Diperhatikannya tempat orang berjualan beras, sayur mayur, buah-buahan termasuk pisang. Hampir semua barang-barang itu didatangkan dari Bukit Tinggi atau setidak-tidaknya dari Sumatera Barat.

Waktu berada di sebuah kedai beras dilihatnya orang sedang membongkar karung goni berisi beras dari sebuah truk besar. Didatanginya pemilik kedai itu untuk memperkenalkan diri. Orang kedai itu agak terheran-heran karena tidak mengenalnya. Apalagi melihat Imran yang masih remaja.

Orang kedai yang berasal dari Lintau itu sangat ramah. Dia melayani Imran berbincang-bincang di sela-sela kesibukannya. Ditanyakannya kenapa Imran tertarik melihat orang membongkar beras. Imran bercerita tentang pengalamannya berjualan pisang. Tentang kampungnya yang ditimpa musibah galodo. Obrolan yang mengundang simpati orang kedai itu. Imran menanyakan apakah orang kedai itu berlangganan dengan pedagang beras dari Bukit Tinggi atau bisa menerima pasokan dari siapa saja. Pedagang itu menjelaskan bahwa di pasar itu berlaku perdagangan bebas. Siapapun yang membawa dan menawarkan beras kalau harga cocok akan langsung ditampung. Kalau kamu datang kesini membawa satu ton beras, kamu tanyai setiap pemilik kedai di sepanjang jalan ini untuk mencari harga, kata orang itu. Imran memperhatikan ada beberapa buah truk besar yang sedang membongkar muatan ke beberapa buah kedai di sepanjang jalan. Beras untuk makanan penduduk Pakan Baru.

Semua informasi tentang tata niaga beras yang diperolehnya itu dicatatnya dalam otak. Dia faham bahwa dalam perdagangan perlu saling kepercayaan. Tidak selamanya pedagang beras dari Bukit Tinggi itu bisa langsung menerima uang pembayaran harga berasnya secara tunai. Pedagang pengecer seperti orang kedai ini biasa minta tangguh sehari dua sebelum melunasi harga pembeliannya. Pedagang pemula, menunggu sampai pembayaran lunas sebelum berangkat lagi mengambil beras ke Bukit Tinggi. Pedagang yang sudah mapan, biasa meninggalkan saja sementara dan baru mendapatkan pembayaran pada saat kedatangan berikutnya. Yang pasti, kata orang kedai itu, harus saling amanah. Pedagang yang benar-benar pedagang sangat takut berbuat curang, katanya menambahkan.

Imran betah duduk di kedai orang itu sampai siang. Dia banyak bertanya. Tentang jenis dan kualitas beras. Tentang harganya. Tentang pembeli-pembelinya. Orang kedai itu menerangkan apa adanya dengan santai. Sambil dia melayani pembeli yang datang silih berganti. Kata orang kedai pula, pelanggannya yang terbanyak adalah pegawai Caltex.

Sudah menjelang sore ketika akhirnya dia mohon pamit kepada pemilik kedai itu. Imran telah menimba cukup banyak ilmu hari ini. Beruntung benar dia berkenalan dengan orang kedai beras yang namanya Bahdar itu. Seandainya dia ingin mencoba berdagang beras, yang perlu diketahuinya adalah jalur pembelian beras di kampung-kampung di sekitar Bukit Tinggi. Sewa kendaraan adalah sesuatu yang standar, yang semua orang membayar dengan harga yang sama. Sewa truk pengangkut beras dihitung dengan harga angkut untuk setiap kilogram beras.

Malamnya, Imran bercerita kepada nenek tentang pengalamannya hari itu.

‘Apa kau berniat mau menjadi pedagang beras?’ tanya nenek.

‘Jadi pedagang apa saja, nek. Awak tertarik ingin jadi pedagang,’ jawab Imran.

‘Bagaimana pula kau akan sekolah kalau jadi pedagang,’ kata nenek.

‘Awak masih berpikir-pikir nek. Awak ingin bersekolah. Tapi bersekolah di Rumbai ini agak kurang mantap hati awak,’ jawab Imran.

Nenek terdiam. Beliau mengerti perasaan Imran.

*****

No comments: