Friday, February 22, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.10)

10. Harau

Mereka tinggalkan pelataran parkir benteng Fort de Kock, berputar ke Jalan Lurus, lalu ke Tembok, ke Jirek, terus ke Bukit Ambacang dan berbelok ke kanan melalui jalan lingkar Bukit Tinggi. Akhirnya berbelok ke kiri di Anak Ayia, memasuki jalan raya Bukit Tinggi – Paya Kumbuh. Kali ini gunung Marapi berada di sebelah kanan mereka, dengan puncaknya sedikit ditutupi awan putih bak kapas. Udara cukup cerah meski langit sedikit berawan.

Mobil terus melaju ke arah timur. Di Tanjung Alam mereka jumpai keretapi wisata sedang berhenti. Penumpangnya bertebaran di pinggir sawah di sisi rel kereta, sedang mengamati hamparan sawah sambung menyambung menuju ke kaki gunung Marapi. Gunung Marapi terlihat seutuhnya dari timur ke barat dari tempat ini. Agak ke tengah terlihat orang sedang membajak sawah dengan bantuan kerbau. Pemandangan asli seperti itu rupanya jadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong. Aswin meminta Pohan berhenti sebentar. Dia memotret keretapi wisata berikut para pelancong dengan latar belakang gunung Marapi. Dan tentu saja juga orang yang sedang membajak sawah itu.

Setelah beberapa menit mereka melanjutkan lagi perjalanan. Melalui jalan lurus menjelang Padang Tarok. Jalan terus menurun menuju Paya Kumbuh. Di kota ini yang langsung tertangkap oleh mata adalah banyaknya bendi. Pemerintah kota rupanya menjadikan bendi sebagai maskot pariwisata. Di sini pelancong boleh berbendi-bendi berkeliling kota bahkan bisa sampai ke tempat pemandian Aia Tabik. Bendi yang membawa satu atau paling banyak dua orang penumpang berseliweran hilir mudik.

’Kemana orang-orang yang berbendi-bendi itu? Apa saja tujuan wisata di Paya Kumbuh ini?’ tanya Aswin.

’Bendi-bendi itu umumnya untuk berputar-putar dalam kota. Ada juga yang untuk pergi ke tempat wisata Ayia Tabik, sebuah tempat pemandian di pinggir sungai Batang Tabik. Di kota ini banyak kolam pemancingan. Orang-orang yang gemar memancing datang ke kolam tersebut untuk menyalurkan hobinya. Memancing ikan mas, tawes atau nila. Ikan-ikan air tawar yang beratnya bisa sampai dua kilogram lebih. Kota Paya Kumbuh memang agak khas dengan hasil ikan air tawar. Di sini banyak rumah makan dengan sajian ikan. Baik yang digoreng, digulai, dipangek maupun dibakar. Di kota ini juga ada gedung kesenian tempat mempertunjukkan tari-tarian Minang, seperti di tempat lain pertunjukannya hanya malam hari. Ada juga lapangan tempat randai, jadi bukan di atas pentas, dengan panggung tempat penonton melingkari lapangan tersebut. Randai, seperti yang sudah kita lihat di Padang Panjang, juga pertunjukan malam hari. Nah itulah selayang pandang tentang Paya Kumbuh,’ Pohan menjelaskan panjang lebar.

’Tidak adakah pertunjukan silat Minang? Katanya silat Minang sangat terkenal,’ tanya Aswin pula.

’Ada. Tempatnya di Batu Sangkar, Lintau dan Solok. Pemerintah daerah membagi-bagi jenis pertunjukan khas Minangkabau ke kota-kota yang berbeda agar setiap kota ada daya tariknya.’

’Ya, itu ide yang sangat baik. Dengan demikian para pelancong tidak kecewa mengunjungi setiap bagian negeri yang elok ini karena di mana saja ada atraksi yang bisa ditonton. By the way, aku pernah membaca keberadaan artefak-artefak kuno tidak jauh dari Paya Kumbuh. Dimanakah tepatnya tempat itu?’

’Batu-batu peninggalan sejarah zaman kuno itu? Biasa dikenal sebagai menhir. Tempatnya di daerah Koto Tinggi, di sebelah utara Paya Kumbuh. Untuk pergi ke sana, di simpang di tengah kota tadi kita berbelok ke kiri. Kamu tertarik juga untuk ke sana?’

’Cukup tertarik sebenarnya. Tapi apakah waktu kita cukup?’ jawab Aswin.

’Untuk hari ini kamu boleh memilih antara ke Pagar Ruyung atau ke sana setelah dari Harau,’ kata Pohan.

’Sudahlah, kita lanjutkan sesuai rencana saja. Kita ke Pagar Ruyung,’ Aswin mengambil keputusan.

Tak terasa mereka sudah sampai di Sari Lamak, simpang tiga jalan ke Harau. Jalan menuju ke arah Harau agak sedikit menyempit. Di sini terlihat banyak pelancong mengendarai sepeda. Para pelancong dapat menyewa sepeda di Sari Lamak untuk dibawa berputar-putar di lembah Harau. Penyewa sepeda ini adalah pelancong yang datang dengan angkutan umum sampai ke Sari Lamak.

‘Ke kanan adalah jalan ke Pekan Baru melalui Kelok Sembilan,’ kata Pohan menjelaskan waktu mereka memasuki jalan arah ke Harau itu.

’Ya. Aku melihat panah penunjuk tadi. Pekan Baru rupanya tidak terlalu jauh dari sini.’

’Tidak terlalu jauh menurut ukuran Amerikamu. Tapi disini masih cukup jauh. Lebih dari tiga jam perjalanan mobil lagi dari sini,’ sahut Pohan.

’Bagus jugakah pemandangan sepanjang jalan ke Pekan Baru?’

’Biasa-biasa saja, tidak ada yang benar-benar istimewa.’

Jalan ke lembah Harau sangat rata dan terpelihara sangat baik. Masih di kampung Sari Lamak jalan itu terletak ditengah persawahan. Ada sebuah bukit kecil di sebelah kiri jalan yang dinamai penduduk setempat Gunung Bungsu. Kata yang suka berkelakar, gunung ini yang paling muda dan tidak ada gunung lahir lagi sesudah yang satu ini, makanya dinamai Gunung Bungsu. Si Bungsu yang tidak beradik lagi. Lembah Harau berawal tidak jauh dari Gunung Bungsu, karena mulai dari sini agak jauh ke arah kiri maupun ke arah kanan terdapat dinding terjal pembatas lembah.

Akhirnya mereka sampai di bagian tengah lembah. Tebing batu terjal yang mengapit lembah lebih menyempit di sini. Dan lembah itu memanjang jauh menjorok ke arah timur. Lembah Harau hampir selalu ramai oleh pelancong. Yang banyak menarik peminat adalah arena memanjat tebing. Tidak semua tebing boleh digunakan untuk kegiatan ini. Ada beberapa bagian tebing yang dikhususkan untuk itu. Pohan membawa mobil mendekati tebing tempat atraksi itu dipertunjukkan. Siang itu terlihat ada beberapa orang pemanjat sedang mempertunjukkan kebolehannya. Mereka adalah para pemanjat tebing yang datang dari berbagai negara disamping pemanjat dari Indonesia. Tapi yang menontonnya di bawah jauh lebih banyak. Untuk menjadi seorang pemanjat tebing perlu latihan dan keterampilan istimewa disamping nyali yang kuat. Tebing setinggi 300 meter tegak lurus tentulah bukan tantangan main-main. Ada sekitar dua belas orang yang sedang beraksi saat itu. Ada yang sudah hampir sampai di puncak tebing ada yang baru saja memanjat dari bawah. Cara mereka mempersiapkan pijakan dan melangkah naik kadang-kadang sangat mendebarkan.

Agak ke sebelah utara ada tebing yang lebih rendah yang digunakan tempat berlatih. Seorang pelatih kulit putih sedang melatih enam orang anak muda. Anak-anak muda itu berasal dari Singapura. Mereka masih menggunakan tali sebagai alat bantu.

’Bagaimana? Kamu tertarik pula untuk mencoba?’ tanya Pohan.

’Kalau yang ini aku tidak berani. Dan tidak boleh sekedar bermodal berani saja. Harus ada keahlian khusus yang memerlukan latihan untuk mendapatkannya. Seperti yang dilakukan anak-anak muda itu,’ jawab Aswin.

’Atraksi ini beresiko tinggi. Tapi hampir tidak pernah terjadi kecelakaan. Mungkin karena yang berani melakukannya hanya mereka yang benar-benar ahli dan terlatih saja. Bisa dibayangkan seandainya ada yang jatuh dari ketinggian sekitar 300m itu. Pastilah celaka sampai di bawah,’ ucap Pohan pula.

’Betul sekali yang kamu bilang. Tapi itulah. Ada orang-orang yang punya keberanian luar biasa untuk melakukan kegiatan yang luar biasa pula. Kamu pernah menonton acara ’Fear factor’ di televisikan?’ Aswin menambahkan

‘Ya. Untuk sebagian orang yang dilakukan peserta acara ‘Fear Factor’ itu seperti perbuatan orang kurang pekerjaan,’ jawab Pohan.

Mereka meneruskan lagi perjalanan. Kali ini Pohan menghentikan mobil di kaki tebing yang lain. Ada sebuah panggung kecil berukuran dua kali lima meter memanjang disisi jalan. Panggung Sipongang, begitu tertulis di sebuah plang di atas panggung itu. Di atas panggung itu ada beberapa orang pengunjung berdiri dan berteriak menggunakan pengeras suara. Suaranya memantul bersipongang. Karena yang berteriak banyak orang, sipongangnya juga bersahut-sahutan. Lucunya ada suara siamang yang seolah-olah membalas teriakan itu dari kejauhan. Keberadaan siamang itu tidak kelihatan dari sana. Siamang adalah sejenis monyet dengan suara teriakan yang khas bertalu-talu.

Dari Panggung Sipongang mereka terus lagi ke air terjun utama lembah Harau. Di Harau ini terdapat empat buah air terjun, tapi yang lebih banyak dikunjungi orang adalah air terjun di pinggir jalan utama lembah. Air terjun ini dinamai Sarasah Bunta. Sarasah atau air terjun ini terletak di bagian lembah yang sempit. Di bawahnya ada sebuah kolam cukup besar, persis berbatasan dengan jalan. Di depan kolam air terjun diseberang jalan terdapat kumpulan kedai kopi di sebuah hamparan yang agak ketinggian letaknya dari jalan. Ada lapangan datar seperti teras di hadapan kedai-kedai kopi ini. Diteras ini terdapat bangku dan meja tempat pengunjung duduk-duduk sambil memandang ke arah air terjun dan sambil menikmati secangkir teh atau kopi. Dan agak ke pinggir dari kedai kopi ada beberapa buah kamar kecil. Di sebelah timur pelataran ini terdapat tanah lapang di pinggir sungai kecil yang mengalirkan air kolam. Terdapat beberapa pohon kayu besar di situ sebagai peneduh dari sinar matahari. Di sini juga terdapat meja dan bangku-bangku tempat duduk. Semuanya tertata rapi dan bersih.

Setelah memarkir mobil di pelataran parkir kedua anak muda ini berbaur dengan para pelancong, berjalan-jalan di sekitar arena Lembah Harau. Memotret momen-momen indah dalam keceriaan para pelancong. Kadang-kadang mereka ikut mendengar pemandu wisata yang sedang bercerita tentang Lembah Harau. Tentang tanaman dan binatang yang terdapat di dalam lembah. Tentang kegiatan yang biasa dilakukan para pelancong di sini dan cerita lainnya. Dari pemandu wisata itu Aswin mendengar bahwa pada waktu tertentu, misalnya pada saat memperingati perayaan tujuh belas Agustus biasa diadakan Lomba Lari 10 km Lembah Harau, mulai dari kampung Sari Lamak sampai jarak 10 km yang masih beberapa km lagi dari air terjun Sarasah Bunta ke bagian dalam lembah.

Di perjalanan keluar dari Lembah Harau, Aswin memperhatikan kembali tebing terjal yang berhadap-hadapan, yang kadang-kadang cukup dekat tapi kemudian menjauh di bagian lain.

’Apa yang terdapat di bagian atas bukit terjal itu?’ tanya Aswin

’Aku tidak tahu tepatnya. Tapi dugaanku mungkin hutan semak-semak, karena pohon besar tentu sulit tumbuh di batu-batu itu,’ jawab Pohan.

’Adakah jalan ke kedua sisi tebing itu?’

’Itupun aku tidak tahu,’ jawab Pohan lagi.
’Seandainya ada, di sinipun akan sangat indah kalau dibuat kereta kabel, melintasi lembah untuk para pelancong. Bagaimana pendapatmu?’

’Betul. Ide yang sangat bagus,’ jawab Pohan singkat.


*****

No comments: