Friday, October 31, 2008

SANG AMANAH (41)

(41)


Semua itu bagai sebuah video yang diputar ulang dalam kepala Darmaji. Dan yang baru saja dijelaskan pak Umar menyentak ingatan lama itu lebih dalam lagi. Dia ingat bagaimana Rita merasa memiliki secercah harapan waktu mengetahui bahwa agama Islam membiarkan laki-laki Islam menikahi wanita Kristen. Tapi kenapa sekarang pak Umar justru mengatakan bahwa itu tidak pantas untuk dilakukan? Karena wanita Kristen yang mau menikah dengan tata cara Islam tapi tidak masuk agama Islam sama saja dengan mempermain-mainkan agama? Apa dasar pemikirannya? Darmaji selalu merasa terlalu dangkal memahami agama sehingga untuk bertanyapun dia tidak berani.

Tapi hal itu harus diceritakannya kepada Rita. Ini adalah suatu masukan baru yang sama sekali berbeda dari yang sudah mereka ketahui. Mungkin Rita berani minta penjelasan kepada pak Umar. Darmaji duduk gelisah di tempat duduknya di ruang guru menunggu kedatangan Rita. Akhirnya Rita datang juga. Darmaji memberi isyarat untuk ke ruang perpustakaan. Rita membelalakkan matanya dan dengan isyarat menunjuk ke ruangan kepala sekolah. Jelas maksudnya dia tidak mau tertangkap tangan lagi di ruangan perpustakaan itu. Darmaji, saking gugupnya, menulis di kertas, mengajak Rita untuk berbicara empat mata. Tapi dimana? Rita balas menulis, ‘bagaimana kalau kita keluar saja, naik mobil dan ngobrol di mobil?’ Darmaji setuju, dia baru akan mengajar jam sepuluh. Berarti mereka masih punya waktu sekitar tiga puluh menit. Waktu sedemikian harusnya cukup untuk menyampaikan bagian terpenting dari pembicaraan dengan pak Umar tadi. Mereka berdua menuju ke tempat parkir dan menaiki mobil Rita. Di mobil baru mereka mulai berbicara.

‘Ada apa, mas Darmaji? Kok kelihatannya gugup benar?’

‘Ya… saya tadi berdiskusi dengan pak kepala sekolah itu…tentang…’

‘Tentang hubungan kita?’

‘Ya… saya hanya punya waktu setengah jam. Apa kita berputar ke jalan Kali Malang saja?’

‘Baik mas.... tapi apa yang mas Darmaji bicarakan?’

‘Saya sebenarnya ingin minta maaf lagi di samping minta pendapat dia. Saya masih sangat malu setelah peristiwa di ruangan perpustakaan kemarin itu. Saya bercerita tentang masalah yang kita hadapi. Tapi ada satu hal yang saya kaget dari pernyataan dia. Bahwa menurut dia sebenarnya…… Sebenarnya.. perkawinan beda agama itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena itu sama saja seperti membohongi agama, katanya.’

‘Bukankah di dalam Al Quran seperti yang dijelaskan pak Darmawan ada keterangan mengatakan bahwa hal itu dibolehkan? Mas Darmaji tidak menanyakannya?’ tanya Rita.

‘Saya tidak berani berargumentasi tentang ayat Al Quran dengannya. Pasti dia lebih ahli dari saya. Cuma memang saya jadi penasaran. Apakah kamu mau mengajaknya berdiskusi juga? Maksud saya mungkin kamu sebagai orang bukan Islam meminta keterangan yang lebih jelas darinya?’

‘Boleh saja. Saya mau saja. Apa menurut mas Darmaji saya minta waktunya nanti atau kita tunggu sampai besok, karena tadi mas Darmaji sudah berbicara banyak dengannya. Siapa tahu, dia tidak ingin diganggu terus.’

‘Kamu tanya saja dulu. Seandainya dia tidak bersedia hari ini baru kamu minta waktu untuk besok atau kapan misalnya.’

‘Baik, kalau begitu. Saya akan menghadap pak Umar nanti sesudah jam istirahat pertama.’

‘Tapi…. apa yang kita harapkan sebenarnya Rit? Seandainya dia mengatakan dengan pengetahuannya bahwa memang itu tidak diperbolehkan? Seandainya diperbolehkanpun kita masih belum bisa keluar dari kebuntuan.’

‘Ada secercah harapan, sebenarnya mas Darmaji. Dari pihak saya. Saya jadi begitu nekad bercerita ke papa bahwa agama Islam ternyata mengizinkan pernikahan beda agama. Meskipun papa marah, tapi saya berhasil mengajaknya membaca ayat Al Quran itu. Dan papa membacanya. Sejak itu dia tidak berkata apa-apa. Tidak semarah sebelumnya, meski dia juga tidak menunjukkan bahwa dia setuju. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan papa. Tapi saya akan mencoba lagi. Tapi sementara itu saya juga ingin mendengarkan penjelasan pak kepala sekolah kita ini.’

‘Kamu yakin, bahwa papa kamu mungkin mau merubah pendiriannya?’

‘Saya akan mencoba. Saya akan terus mencoba.’

‘Saya… saya…. berharap… saya berdoa..mudah-mudahan kamu berhasil Rit,’ kata Darmaji terbata-bata.

‘Bagaimana dengan orang tua mas Darmaji? Maksud saya…bagaimana seandainya orang tua mas Darmaji sama sulitnya dan tidak setuju?’

‘Saya rasa kita atasi secara bertahap, Rit. Dan saya secara hati-hati akan berusaha meyakinkan orang tua saya pula.’

‘Saya rasa memang itu yang terbaik, mas. Kita sama-sama berusaha. Mudah-mudahan kita bisa keluar dari keruwetan ini.’

Mereka terdiam. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing.

‘Apa kita kembali saja ke sekolah sekarang?’ ajak Darmaji.

‘Baik,’ jawab Rita pendek.

Mereka kembali kesekolah. Rita memarkir mobil kembali di lapangan tempat parkir. Tempat parkir itu masih sepi. Anak-anak masih belum keluar untuk beristirahat. Mereka duduk membisu dalam mobil itu beberapa saat. Saling berpandangan. Dengan pikiran menerawang jauh. Mereka dikejutkan oleh bunyi bel istirahat pertama. Keduanya segera keluar dari mobil dan kembali ke ruang guru. Ruangan itu masih sepi. Darmaji memulai pembicaraan tentang hal lain agar tidak terlihat kaku.

‘Saya akan berhenti merokok mulai hari ini,’ katanya.

‘Kenapa? Gara-gara merokok sekarang dilarang di sekolah?’ tanya Rita.

‘Saya memang sudah kepingin berhenti sejak lama. Dan saat ini saya rasa waktu yang tepat untuk melaksanakannya.’

‘Kita lihat saja…. apa ini akan sungguhan atau sekedar cita-cita.’

‘Ini akan sungguhan,’ tambah Darmaji.

Pak Muslih yang kebetulan masuk, mendengar obrolan ini, ikut berkomentar.

‘Kalau mas Darmaji benar-benar berhasil berhenti merokok perlu dikasih hadiah istimewa. Setuju nggak Rit?’ katanya.

‘Setuju. Sayapun bersedia memberi hadiah seandainya berhasil. Hadiah istimewa,’ jawab Rita.

‘Waah! Benar-benar perlu diusahakan keberhasilannya nih mas Darmaji,’ tambah pak Muslih pula.

Guru-guru lainpun berdatangan. Mereka semua terlibat obrolan ‘berhenti merokok’. Diselingi ketawa terbahak-bahak waktu mereka menyindir pak Situmorang yang kelihatan sangat menderita tanpa rokok. Pak Umar yang mendengar suara riuh dengan ketawa itu ikut bergabung. Obrolan itu baru berhenti saat lonceng masuk kelas kembali berbunyi. Guru-guru itu bersiap-siap untuk pergi melaksanakan tugas mereka. Pak Umarpun kembali masuk ke ruangannya. Rita tinggal sendirian. Saat ini memang sudah ditunggunya dari tadi. Dia ingin menghadap pak Umar di ruangan kepala sekolah itu.


*****

Rita mengetuk pintu kantor pak Umar dan bertanya apakah dia boleh minta waktu untuk berdiskusi. Pak Umar memandangnya sejenak tanpa menjawab. Tapi akhirnya dia bersuara dan bertanya.

‘Masalah pribadi?’ tanya pak Umar.

‘Ya. Betul pak, masalah pribadi,’ jawab Rita.

‘Maaf…. ada hubungannya dengan saudara Darmaji atau sesuatu yang berbeda sama sekali?’ tanya pak Umar pula.

‘Ada hubungannya, pak. Saya tahu tadi pak Darmaji sudah berbicara dengan bapak. Dan saya ingin melanjutkan serta menjelaskan hal-hal lain yang ada kaitannya,’ tambah Rita pula.

‘Apakah mungkin kita membahasnya bertiga? Maksud saya… bersama-sama pak Darmaji? Bukankah itu akan lebih baik?’ tanya pak Umar pula.

‘Bapak keberatan berdiskusi berdua saja dengan saya?’ tanya Rita.

‘Begini. Kalau memang ini menyangkut…. hubungan saudara berdua, saya rasa biar lebih efektif sebaiknya kita berbicara bertiga. Atau ada hal-hal khusus yang mau dibahas yang tidak boleh diketahui saudara Darmaji?’

‘Tidak juga pak. Tapi baiklah. Kalau memang bapak bersedianya begitu. Saya akan memberi tahu pak Darmaji. Kapan bapak punya waktu?’ tanya Rita pula.

‘Saya bisa kapan saja, insya Allah. Kalau mau nanti sesudah jam pelajaran selesai juga boleh,’ usul pak Umar.

‘Baik kalau begitu pak. Dan saya permisi dulu,’ Rita mohon diri.

‘Silahkan. Dan saya tunggu nanti sesudah jam pelajaran terakhir.’


*****

CALEG

CALEG

Kemenakan jauhku Safwal datang berkunjung ke rumah. Agak terkejut aku menerima kedatangannya karena biasanya di Hari Raya saja jarang dia muncul. Setelah berbasa basi sebentar akhirnya dia langsung buka kartu.

‘Saya mohon doa restu mamak. Saya jadi caleg sekarang,’ katanya.

Aku tidak langsung bereaksi sesudah mendengar kata-katanya itu. Aku perhatikan wajahnya dengan pandangan tajam.

‘Caleg?’ tanyaku memecah keheningan beberapa saat.

‘Ya mamak. Caleg,’ jawabnya pendek.

‘Hebat juga kau. Maksudnya caleg yang mana nih? Calon anggota DPR atau DPRD?’

‘Calon anggota DPR, ‘mak,’ jawabnya.

‘Wooih. Hebat. Caleg partai apa ?’ tanyaku, mulai agak tertarik.

‘Dari partai berlambang mersedes, ‘mak,’ jawabnya.

Kali ini dia mengeluarkan kartu nama. Ada fotonya disitu. Aku mengambil lembaran kecil berwarna itu dan mematut-matutnya. Dia caleg daerah pemilihan dua Sumatera Barat. Caleg dengan nomor urut tiga. Dari sebuah partai yang baru sekali ini ikut berlomba. Tapi, ya kenapa tidak kalau dipikir-pikir. Kemenakanku ini pantas-pantas saja kalau seandainya nanti lolos jadi anggota DPR, begitu gumamku dalam hati.

‘Iyalah kalau begitu. Saya doakan semoga kau jadi anggota, dipilih oleh masyarakat,’ jawabku.

‘Saya datang disamping minta doa restu, terus terang juga minta referensi mamak. Minta bantuan mamak mengajak orang-orang kampung menyokong saya,’ tambahnya.

‘Insya Allah, sesanggup saya.‘

‘Maaf, ‘mak. Disamping itu, maaf sekali lagi, saya tentu juga memerlukan bantuan materil,’ tambahnya.

‘Insya Allah sesanggup saya pula. Tapi kau sendiri tentu sudah siap juga untuk ongkos menuju ke gedung di Senayan itu,’ tambahku.

‘Tentu mamak maklum. Besar pokoknya untuk kesana,’ jawabnya.

‘Saya lebih dari maklum. Itulah yang jadi tanda tanya besar. Dengan cara bagaimana kau sampai terpilih jadi caleg? Seingat saya, kau tidak pernah terdengar aktif berorganisasi.’

‘Berorganisasi paling di tingkat RT ‘mak. Di kantor saya jadi pengurus koperasi. Jadi begini, mamak. Saya diajak kawan sekantor. Ikut meramaikan dan membesarkan partai mersedes ini. Mulanya sayapun tidak yakin. Tapi ajakannya sangat bersungguh-sungguh. Dimintanya uang sepuluh juta untuk modal membuat kartu nama ini. Saya masih belum juga yakin. Seminggu sesudah itu dibawanya daftar caleg yang belum ditandatangani ketuanya. Nama saya sudah ada di dalamnya. Dan saya diajaknya ikut rapat partai. Disanalah saya yakin bahwa ajakan itu sungguh-sungguh dan saya mau ikut serta.’

‘Oo jadi begitu!?’

‘Ya, ‘mak. Ini kan kesempatan yang dibuang sayang, ‘mak.’

‘Tapi seberapa yakin kau akan berhasil? Akan dipilih rakyat? Bukankah orang di Sumatera Barat, di kampung kita itu tidak banyak yang mengenalmu? Bagaimana kau berharap akan dipilih mereka?’ tanyaku mulai agak serius.

‘Kemungkinan itu memang tipis ‘mak. Tapi kalau tidak saya ikuti kemungkinannya nol sama sekali,’ jawabnya berdiplomasi.

‘Ya, iyalah. Tapi modalnya tadi itu? Berapa modal yang kau perlukan?’ Dimana akan diambil ?’

‘Modal untuk pembuat baju kaus murahan bergambar wajah saya sepuluh ribu sepotong. Saya akan mencetaknya agak 5000 lembar...’ jawabnya mulai ragu-ragu.

‘Tidakkah kau lihat? Sudah lima puluh juta itu. Itu baru untuk membeli kaus. Belum untuk ongkosmu berkampanye. Untuk ongkos mendatangi massa. Akan berkali-kali lipat biayanya. Mari kita berandai-andai. Seandainya ke lima ribu orang yang menerima baju kausmu itu memilihmu. Apalah arti 5000 suara untuk mengantarmu masuk ke Senayan? Rasanya masih jauh panggang dari api. Saya bukan bermaksud mementahkan hasratmu,’ aku mengajaknya menelaah.

‘Itulah sebabnya saya mencari sponsor,’ jawabnya dengan suara mulai agak perlahan.

‘Begini, Safwal. Ketika kau ingin mendapat sokongan, mendapat simpati, pasti orang bertanya dulu. Apa program yang kau bawa. Apa yang kau janjikan. Kalau tidak jelas, bagaimana pula orang akan mendukung? Bagaimana pula orang akan mau berturun menyokong perjuanganmu?’

‘Pastilah saya akan berjuang mamak. Membela kepentingan orang banyak. Membela supaya petani bisa hidup layak. Nelayan bisa hidup layak. Pegawai negeri bisa hidup layak,’ ujarnya mulai berkampanye.

‘He..he..he.., Begitu itu kata semua caleg. Tapi dengan cara bagaimana? Bagaimana caranya kau akan memperjuangkan agar semua rakyat jadi makmur seperti itu? Tentu bukan dengan cara bim salabim.’

‘Pastilah ada caranya ‘mak. Kita ajak mereka bekerja lebih giat. Petani agar bertani lebih giat. Nelayan agar ke laut lebih giat. Pedagang berdagang lebih amanah. Dan seterusnya dan seterusnya. Itu yang akan saya sampaikan kepada mereka.’

‘Mereka sudah sejak dulu bergiat. Jauh sebelum kau mengajak. Dan mereka akan bertanya dengan apa mereka akan membeli pupuk untuk pertanian. Bagaimana caranya mendapatkan pupuk yang murah. Membeli solar untuk melaut. Bagaimana caranya mendapatkan solar dengan harga murah. Kau hanya akan mengajak-ajak saja? Tanpa pertolongan, tanpa bantuan apa-apa? Kau yakin mereka akan mendengarkan ajakanmu? Dengan cara seperti itu mereka akan bersimpati? Akan mau memilihmu?’

‘Saya sudah pergi ke daerah itu satu kali, ‘mak. Saya datang ke mesjid-mesjid. Minta izin kepada petugas mesjid utuk memperkenalkan diri saya sebagai seorang caleg. Belum berkampanye. Kelihatan masyarakat jemaah mesjid itu menerima saja. Paling tidak, tidak ada yang mencemeeh.’

‘Kalau tidak salah di mesjid tidak boleh berkampanye,’ kataku.

‘Memang tidak boleh. Saya tidak berkampanye. Hanya melakukan pendekatan saja. Memperkenalkan diri dan minta ijin untuk berkampanye di kampung-kampung.’

‘Sudahkah kau mulai berkampanye di kampung-kampung itu?’

‘Rencananya pada kunjungan berikut. Waktu itu nanti saya akan berkampanye. Saya akan membawa kaus berlambang partai,’ jawabnya.

‘Agaknya caramu itu belum jaminan. Tapi, ya terserahlah. Kalau kau yakin bahwa kau nanti akan dipilih orang cobalah teruskan,’ aku merasa tidak enak mementahkan terus pembicaraannya.

‘Mamak sendiri, saya harapkan tetap bisa menolong.’

‘Baik, bukankah sudah saya sanggupi. Tapi, berapa benarlah saya akan sanggup membantu?’

‘Seikhlas mamak sajalah,’ jawabnya, terlihat semakin ragu-ragu.

‘Paling banyak, sepuluh buah kaus,’ jawabku.

‘Kurang luas telapak tangan dengan nyiru saya tampung ‘mak,’ katanya sedikit berpetitih.

Entah kenapa, meski aku yakin bahwa dia tidak akan terpilih, terbit juga simpatiku sedikit melihat usahanya. Akhirnya aku serahkan uang untuk lima puluh lembar kaus.

‘Terima kasih banyak mamak. Tolong mamak doakan, siapa tahu, ikut pula saya berkantor di Senayan,’ katanya sebelum pergi.

Pemilupun berlalu. Seperti sudah kuduga, kemenakan jauhku itu tidak lolos. Jangankan caleg nomor urut tiga, yang nomor urut satu dan duapun tidak tembus. Ketika bertemu dengannya aku bertanya berbasa-basi.

‘Bagaimana kabar partaimu?’ tanyaku.

‘Payah, mamak. Partai barangkali baik-baik saja. Tapi saya gagal masuk ke Senayan,’ jawabnya datar.

‘Mungkin bisa dicoba lagi lima tahun mendatang,’ kataku.

‘Cukuplah sekali itu saja mamak,’ jawabnya.

‘Kenapa rupanya? Kenapa seperti bernada patah arang begitu kau?’ tanyaku.

‘Betul juga seperti analisa mamak. Besar sekali pokok yang diperlukan.’

‘Berapa besar belanja kau waktu itu?’

‘Malu saya mengatakannya ‘mak. Pokoknya cukup terkuduklah,’ jawabnya.

‘Kan banyak juga dari sumbangan-sumbangan. Dari para simpatisan,’ kataku.

‘Berapa benarlah ‘mak. Sebesar-besar sumbangan orang, jauh lebih besar yang keluar dari kantong sendiri. Bersua juga petitih mamak, sepandai-pandai mencencang, landasan juga yang hancur.’

‘Sudahlah. Ikhlaskan sajalah kalau begitu,’ kataku setengah menghibur.

‘Iya, ‘mak. Apa lagi yang akan ditangiskan. Lah lapeh punai ka rimbo,’ jawabnya.


*****

Thursday, October 30, 2008

SANG AMANAH (40)

(40)

Mereka kembali terdiam. Kali ini berpandang-pandangan. Kali ini keduanya tersenyum. Senyum kali ini sepertinya lebih dari sekedar senyuman.

‘Tapi…apakah mungkin.. bahwa kita…?’ tanya Darmaji lagi.

‘Bahwa kita saling…tertarik….begitu…?’

‘Bahwa kita mungkin sedang….saling….jatuh cinta…..?’

‘Saya merasa kok ya sudah terjadi…bukan hanya sekedar mungkin lagi…’ jawab Rita pula.

‘Apakah mungkin kita saling tertarik… dan baru sekarang…?’

‘Kenapa mas Darmaji sangat ragu-ragu?’

‘Karena datangnya begitu tiba-tiba. Karena saya ….?’

‘Sebenarnya…. saya rasa…. selama ini kita menyadari bahwa kita saling tertarik. Bahwa kita saling menyenangi. Tapi kita sama-sama menahan diri. Mungkin karena kita sama-sama menyadari perbedaan yang ada pada kita masing-masing. Mas Darmaji tentu mengerti maksud saya,’ jawab Rita menerangkan.

‘Ya. Mungkin karena kita menyadari bahwa kita berbeda agama. Jadi kita berusaha sama-sama menjaga jarak. Saya tidak tahu apakah kita sedang membuat suatu kekeliruan saat ini atau bukan?’

Rita tidak menjawab. Dia mempermainkan sebuah ‘ballpoint’ di tangannya. Memutar-mutar ‘ballpoint’ itu, sambil matanya mengamati Darmaji. Mereka berpandang-pandangan lagi beberapa saat.

‘Kira-kira….bagaimana pandangan mas Darmaji tentang pernikahan beda agama?’ tanya Rita pula.

Darmaji menatap tajam kepada Rita. Diamatinya wajah cantik yang kebingungan itu dengan seksama.

‘Saya tidak tahu. Saya mengenal beberapa orang yang menikah berbeda agama. Tapi yang sulit namun besar pengaruhnya adalah pendapat orang di sekitar mereka. Terutama pendapat orang tua. Dan saya tidak tahu bagaimana pendapat mereka,’ jawab Darmaji pula.

‘Ya… Saya sependapat. Katakan misalnya orang tua menyetujui, lalu bagaimana menurut hukum yang berlaku? Karena saya dengar ada masalahnya secara hukum,’ Rita menambahkan.

‘Setahu saya itu memang tidak diizinkan. Pemerintah melarangnya. Dulu kalau tidak salah pernikahan seperti itu bisa dilakukan dicatatan sipil. Tapi sekarang rasanya sudah tidak boleh,’ jawab Darmaji pula.

Mereka terdiam lagi untuk beberapa saat. Pembahasan ini memang kurang lancar karena mereka tidak banyak tahu dengan aturan-aturan yang berlaku.

‘Maksud saya seandainya…… saya hanya berandai-andai…. seandainya kita menjadi……..’ Rita tidak melanjutkan kata-katanya.

‘Kalau menurut kamu bagaimana Rit?’

‘Kalau menurut saya pribadi…mungkin karena… saya tidak terlalu dalam memahami agama…saya sepertinya mau menerima perbedaan itu…’

‘Maksud kamu…. seandainya secara hukum dibenarkan, kamu mau menikah meskipun agama kita berbeda?’ tanya Darmaji lebih jelas.

‘Ya..saya pribadi mau dan bersedia….’ jawab Rita tegas.

‘Maksud kamu lagi, kamu mau jadi istri saya?’

‘Seandainya mas Darmaji mau juga tentu saja….. Seandainya memungkinkan menurut hukum, dan mas Darmaji mau menikah dengan saya..dan masalah agama kita pertahankan keyakinan kita masing-masing…saya bersedia.’

‘Tapi mungkinkah?…. Mungkinkah orang tua kita akan menyetujuinya…?’ tanya Darmaji.

Mereka terdiam. Rita tidak yakin orang tuanya akan mengizinkan hal itu. Ayahnya terutama. Ayahnya tidak akan mungkin mengizinkan dirinya dipersunting orang yang berbeda agama. Dia sudah mengalaminya. Dia pernah akrab sebelum ini dengan seorang pria yang beragama Islam juga. Dan ayahnya sangat tegas mem’veto’. Pokoknya kalau berbeda keyakinan tidak ada cerita. Meskipun akan bertahan dengan agama masing-masing. Pasti tidak boleh. Tapi entah kenapa dia lagi-lagi tertarik dengan seorang pria Islam. Dengan Darmaji agak berbeda, karena selama berkenalan lebih satu tahun mereka sama-sama menanam rasa hormat, rasa ‘suka’ satu sama lain, yang mereka pelihara di dalam hati. Dan selama itu pula diam-diam dia sangat memuja Darmaji yang menurut penilaiannya mempunyai kepribadian yang menyenangkan. Darmaji terbuka, tidak egois, bisa menerima kritik, meski juga sangat kritis, wajar dalam bergaul, tidak memaksakan kehendak, percaya diri, toleransi dan sebagainya. Dan bukankah dia juga tampan? Bukankah dia juga sangat simpatik?

Begitu pula Darmaji menghitung dalam kepalanya. Bagaimana mungkin orang tua mereka akan menyetujui? Terutama orang tuanya sendiri. Ibunya tidak akan mungkin bisa menerima dia menikah dengan seorang Kristen. Meskipun dia sendiri bukanlah seorang yang taat beragama, dia juga sangat ragu selama ini, bahkan cenderung menghindar untuk menghadapi kenyataan seperti sekarang. Hanya saja dia sangat menyukai Rita. Dalam setiap diskusi, dalam setiap bertukar fikiran, apapun yang mereka bahas, kelihatan sekali kecocokan di antara mereka. Tidak pernah mereka terlibat dalam pertengkaran. Masing-masing bisa menghormati pendapat yang lain meskipun itu berbeda dengan pendapat mereka. Mereka saling menghargai, saling menghormati, saling menyenangi kepribadian masing-masing. Dan mereka merasa kehilangan kalau tidak berjumpa beberapa hari pada saat liburan sekolah misalnya.

*****

Dan hubungan mereka berlanjut. Kisah kasih mereka berlanjut meski mereka sangat pandai menyembunyikannya. Mereka sembunyikan dalam bentuk diskusi yang tetap seperti biasa-biasa. Ruangan perpustakaan jadi saksi bisu selama berbulan-bulan, tempat mereka memadu kasih, dengan penuh keberhati-hatian. Mereka bukanlah petualang cinta. Mereka tidak mengumbar nafsu lebih dari saling menunjukkan perhatian satu sama lain. Tidak ada hal-hal mesum yang mereka lakukan. Dalam cinta ada diskusi. Dalam diskusi ada saling mencari pemecahan masalah. Mereka sudah mencoba menjajaki kemungkinan-kemungkinan yang paling ekstrim, seperti bagaimana cara meminta izin kepada orang tua dan bagaimana kalau orang tua kedua belah pihak menentangnya. Mereka telah menguji setiap kemungkinan sejauh mana mereka mau bergerak. Dan masing-masing menyimpan kemungkinan dalam diri mereka, bahwa hubungan ini terpaksa harus dihentikan seandainya memang tidak direstui dan tidak bisa dilanjutkan. Begitu pada awal-awalnya.

Dan lalu mereka coba setiap kemungkinan yang harus dicoba melaluinya itu. Yang pertama adalah pendekatan Darmaji kepada orang tua Rita. Darmaji datang berkunjung untuk berkenalan dengan mereka. Beberapa kali dia datang sesudah itu untuk menunjukkan kesungguh-sungguhannya sebelum rencana ‘melamar’ Rita. Sambutannya sudah tidak hangat sejak awal. Karena ada faktor status sosial. Biarpun Darmaji sangat percaya diri, tapi datang dengan sepeda motor ke rumah orang tua Rita yang megah itu, rumah seorang pejabat yang sukses itu, sudah menjatuhkan ‘nilai tawarnya’. Tapi tetap dia coba. Mereka berdua mencoba. Rita bahkan yang mula-mula minta penilaian papanya tentang Darmaji. Seperti sudah diduga, papanya tidak tertarik. Bahkan waktu mengetahui bahwa Darmaji seorang Islam dia langsung tidak setuju. Dan Darmaji tidak langsung ciut. Dia kumpulkan segenap keberanian yang dipunyainya untuk datang menghadap ayah Rita. Dan diutarakannya keinginannya. Diutarakannya bahwa mereka saling menyukai, bahwa mereka saling menghormati satu sama lain, bahwa dia ingin menjadikan Rita istrinya. Papa Rita tentu saja bagai mendengar petir di siang bolong. Dia tidak perlu berbasa-basi. Meskipun dia juga tidak menghina Darmaji, dia cukup mengatakan bahwa dia tidak akan pernah mengizinkan anaknya menjadi istri orang yang tidak seagama dengan mereka. Jadi, harap maklum. Harap jangan bercita-cita yang aneh-aneh, jangan berencana yang jauh-jauh, jangan bermimpi yang muluk-muluk. Sebaiknya realistis saja. Sebaiknya segera saja saling melupakan mimpi-mimpi yang tidak masuk akal itu. Papa Rita menyampaikan semua itu dengan ekspresi datar. Dengan wajar. Tanpa bermaksud melecehkan. Waktu itu Darmaji terpancing. Dia menanyakan bagaimana kalau mereka, karena sudah sama-sama suka, sama-sama merasa cocok, tetap ingin melanjutkan juga hubungan mereka. Papa Rita menanyakan apa maksudnya. Apakah maksudnya akan nekad menikah tanpa izin? Kalau begitu, urusannya akan jadi urusan polisi. Papa Rita akan mengadukan kepada polisi dan akan berusaha keras menjadikan kenyataan memasukkan Darmaji ke penjara. Jadi harap dicatat itu, katanya. Jadi, janganlah coba-coba. Baru Darmaji terdiam. Dan sejak itu dia tidak mau lagi berkunjung ke rumah Rita.

Tapi di sekolah mereka tiap hari bertemu. Tapi di sekolah mereka tiap hari berbagi cerita. Mereka membahas kendala demi kendala yang mereka hadapi. Mereka tetap berdiskusi. Dan tentu saja mereka tetap memadu kasih, sesuatu yang memang sulit dihentikan sejak dimulai dulu. Kadang-kadang mereka takut. Kadang-kadang mereka jadi frustrasi. Tapi mereka selalu berdua-dua untuk membahasnya. Berminggu-minggu, berbulan-bulan. Diskusi mereka berjalan terus. Bahkan pernah mereka merasa perlu mencari pemecahan dalam agama masing-masing. Tidak langsung ada jawaban. Agama sepertinya tidak terlalu mereka pahami. Mereka coba untuk mempelajari bagaimana ketentuan dalam agama pasangan masing-masing. Sekedar mencari tahu. Sekedar menjadi bahan diskusi. Rita pernah melibatkan guru agama Islam, pak Darmawan, dalam berdiskusi. Dia menanyakan bagaimana hukumnya dalam Islam pernikahan beda agama. Dan dia terheran-heran mendengar penjelasan pak Darmawan yang mengatakan bahwa ada pendapat ulama yang mengatakan boleh seorang laki-laki Muslim menikahi seorang wanita Kristen. Pak Darmawan menjelaskan hal itu dengan penafsiran dari ayat Al Quran. Rita penasaran. Dia minta izin membacanya sendiri dari tafsir Al Quran itu. Dan dia membacanya. Dan dia berkenalan dengan kitab suci agama Islam itu.

Darmaji juga pernah bertanya kepada pak Situmorang bagaimana pandangan agama Kristen tentang pernikahan antara orang yang berbeda agama. Bagaimana hukumnya menurut agama Kristen seandainya seorang Kristen menikah dengan seorang yang bukan Kristen. Menurut pak Situmorang, sejauh yang diketahuinya, meski dia bukan seorang pendeta, hal itu adalah tidak mungkin. Hal itu tidak dibenarkan. Jadi kedua calon mempelai harus mempunyai keyakinan yang sama. Seorang Kristen Katholik tidak boleh dinikahkan dengan seorang Kristen Protestan kalau keduanya masih berpegang dalam agama mereka masing-masing. Jadi memang tidak mungkin menurut kepercayaan Kristen. Berarti papanya Rita tidak mengada-ada. Dia hanya sangat berpegang teguh dengan kepercayaannya.

Dalam serba terkepung itu pernah Rita mengatakan, kelihatannya agama Islam lebih bertoleransi. Kelihatannya dalam Islam masih dibuka kesempatan untuk pernikahan mereka seandainya papanya mengizinkan. Dan seandainya papanya mengizinkan, meskipun itu kelihatannya juga tidak akan mungkin, maka mereka masih mungkin menikah menurut aturan agama Islam. Menurut Al Quran, menurut kitab sucinya orang Islam. Tapi bagaimana mungkin papanya akan mengizinkan dia menikah secara Islam, biarpun dia tidak masuk Islam? Mana mungkin papanya bisa diajak kompromi dalam hal seperti itu?

Sebenarnya Rita sudah sering mencoba berbicara dengan baik-baik dengan papanya. Dia berikan segala argumentasi kenapa dia tertarik dengan Darmaji. Dia ceritakan secara rinci betapa pergaulan mereka selama ini didasari saling menghormati, saling menghargai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang Darmaji. Mereka bisa saling menghormati keyakinan masing-masing. Jadi kenapa dong papanya tidak mengizinkan? Tapi jawabannya seperti kaset yang diputar berulang-ulang. Sekali tidak, akan senantiasa tidak diizinkan.


*****

SANG AMANAH (39)

(39)


Ruangan itu kosong. Pak Darmaji pergi kemejanya dan duduk merenung. Apa yang baru saja disampaikan pak Umar dicobanya untuk menelaah kembali. Pikirannya melayang jauh pada saat pertama kali bertemu dengan Rita di sekolah ini dua tahun yang lalu. Waktu itu mereka sama-sama baru ditempatkan sebagai guru di sekolah ini. Sama-sama masih muda, sama-sama masih sendiri, sehari-hari bersama di ruangan guru, sering digoda pula oleh guru-guru senior, meski dimulai dengan malu-malu akhirnya mereka menemukan banyak kecocokan. Mereka sama-sama senang ngobrol dan obrolan mereka bisa sama-sama menyenangkan. Kalau kata anak-anak sekarang ‘nyambung’. Sama-sama punya hobi membaca sehingga sering berdiskudi tentang buku dan sering pinjam meminjam buku. Sama-sama senang menonton filem di bioskop terutama filem-filem bertemakan drama cinta. Jadi cocoklah. Meski sejak awal lagi mereka sama-sama mengetahui pula bahwa ada yang berbeda di antara mereka, yaitu keyakinan. Agama yang mereka anut berbeda.

Selama berbulan-bulan mereka mencoba membatasi hubungan mereka sekedar sebagai teman. Teman akrab. Teman yang dibutuhkan untuk berdiskusi, untuk berbagi cerita. Mereka hanya berdiskusi di sekolah, sesudah jam-jam mengajar. Kadang-kadang mereka berdiskusi berlama-lama, sampai habis jam pelajaran, tapi setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Macam-macam yang jadi topik diskusi mereka. Sejarah, seni, filem, olah raga, kadang-kadang juga politik. Semua diskusi itu selalu hidup tanpa dibuat-buat. Selalu ada telaahan, selalu ada pendapat, ada kontra pendapat, analisa, dan kesimpulan. Mereka kadang-kadang pergi menonton bioskop bersama-sama tapi sesudah filem selesai mereka biasanya pulang sendiri-sendiri. Darmaji pernah bertanya sekedar berbasa basi apakah Rita mau diantarkan pulang, tapi jawabannya ‘tidak usah’. Sebuah jawaban ‘tidak usah’ polos yang tidak perlu penafsiran lain. Hubungan mereka tidak pernah mengarah kepada cinta. Keduanya seperti menyadari bahwa untuk urusan cinta apalagi untuk meningkat kejenjang pernikahan tidak akan mungkin. Dari obrolan mereka sehari-hari keduanya sudah sama-sama tahu bagaimana karakter orang tua mereka masing-masing. Bagaimana pandangan orang tua mereka tentang jodoh, sudah pernah mereka bahas. Itulah sebabnya mereka seolah-olah berusaha agar persahabatan mereka tidak meningkat menjadi hubungan yang lebih khusus.

Tapi itu dulu. Sepandai-pandainya menjaga jarak, namun dengan pergaulan akrab sehari-hari, dari perasaan kehilangan yang satu terhadap yang lain bila mereka tidak bertemu pada hari-hari mengajar yang berbeda, tumbuh juga bibit-bibit cinta meskipun tidak mereka tanamkan secara sengaja. Namanya manusia normal, sepasang orang muda, yang kalau dilihat dari penampilan masing-masing secara fisik sebenarnya sangat serasi. Yang laki-laki gagah, tinggi semampai, penuh perhatian, bertanggung jawab, berwibawa. Yang wanita cantik, punya harga diri, menyenangkan dalam bergaul.

Suatu hari Minggu sore mereka berjanjian untuk pergi menonton filem. Seperti biasanya, perjanjian itu berarti bertemu di bioskop untuk menonton bersama. Seperti biasanya, bukannya Darmaji harus datang menjemput Rita ke rumahnya. Mereka sudah melakukan nonton bersama ini beberapa kali. Selalu dengan cara yang sama. ‘Kita besok bertemu di bioskop ‘itu’ jam sekian’. Cukup itu saja. Dan keduanya sama-sama berusaha menghormati untuk hadir pada waktu yang disepakati. Filem yang mereka tonton kali ini agak panjang. Baru berakhir jam tujuh malam. Sesudah filem selesai kebetulan hari hujan. Mereka berdua sepakat untuk mampir ke restoran di samping bioskop untuk makan malam sambil menunggu hujan reda. Dan tentu saja mereka ngobrol panjang. Membahas filem yang baru saja ditonton. Sampai jam setengah sembilan malam hujan baru reda. Pada jam sekian tentu sangat tidak sopan membiarkan Rita pulang sendiri. Karena kali ini dia tidak mengendarai mobilnya sendiri untuk datang ke bioskop ini. Tadi dia diantar orang tuanya dan ditinggal dengan pesan supaya dia naik taksi saja pulangnya karena mereka, orang tuanya ada acara lain, mungkin sampai jam delapan malam. Tapi naik taksi jam setengah sembilan malam bagi seorang wanita muda tentu sangat tidak pantas dan bahkan beresiko tinggi. Maka Darmaji setengah ‘memaksa’ untuk mengantarkan dengan sepeda motornya. Dan ‘paksaan’ itu diterima Rita dengan wajar. Mereka berboncengan naik sepeda motor ke rumah Rita. Hujan masih belum reda betul. Masih ada rintik-rintik kecil. Dan jalanan basah oleh hujan. Cuaca dingin. Karena memang tidak berpakaian untuk naik motor Rita sangat kedinginan. Dan berusaha merapatkan tubuhnya ke tubuh Darmaji untuk berlindung dari rasa dingin. Mungkin pikiran Darmaji juga mengerti bahwa rekan sejawatnya, yang sekarang duduk di boncengan motornya, sedang kedinginan, sehingga duduk rapat-rapat ke tubuhnya. Tapi tubuh itu sendiri dijalari kehangatan lain. Kehangatan tubuh seorang pria dewasa ditempeli tubuh seorang wanita dewasa.

Itulah awalnya. Sampai di rumah Rita, Darmaji tentu tidak sopan pula kalau langsung pergi. Dan dia menerima tawaran Rita untuk masuk dulu, minum teh untuk menghangatkan badan. Dan orang tua Rita ternyata belum sampai di rumah. Mereka duduk berdua di ruang tamu untuk berbincang-bincang lagi sambil minum teh. Dan setan mulai mengajari mereka untuk merubah status teman sejawat mereka menjadi teman khusus. Waktu akhirnya Darmaji berpamitan untuk pulang, entah dari mana datangnya keberanian itu, dia merangkul Rita, dan mereka berpelukan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka berciuman. Tanpa kata-kata.

Darmaji pulang membawa ‘cinta’ dan Rita tinggal menyimpan ‘cinta’. Ada apa dengan cinta? Mereka tidak kuasa lagi menjawabnya.

Besoknya waktu bertemu di sekolah sebelum mengajar keduanya sama-sama malu. Sama-sama tidak mampu mengucapkan kata-kata. Mereka seperti jadi orang bisu. Hal ini jadi perhatian guru-guru lain karena tidak seperti biasanya. Biasanya begitu bertemu mereka langsung terlibat dalam obrolan. Obrolan yang membuat guru-guru lain percaya bahwa di antara mereka berdua tidak ada ‘cinta’. Yang ada hanya persahabatan karena sama-sama pandai berdiskusi. Mereka bahkan dijuluki anggota DPR karena setiap saat selalu saja membahas sesuatu.

Selama ini guru-guru lain tidak curiga meski mereka berdiskusi hanya berdua-dua di ruangan perpustakaan karena memang hanya berdiskusi. Pernah ada di antara guru-guru itu yang mencoba mengintai kalau-kalau di antara mereka ada ‘cinta’ tapi benar-benar tidak ada. Sehingga guru-guru yakin bahwa mereka itu bukanlah sepasang kekasih. Tapi pagi itu kok lain? Waktu ditanyakan secara sindirian oleh salah seorang guru kenapa hari itu anggota DPR tidak membahas apa-apa, dengan enteng dijawab pak Darmaji bahwa DPR sedang reses.

Mereka mengajar seperti biasa. Sesudah mengajar pada pagi ‘sesudah peristiwa’ itu pak Darmaji sedang sendirian di ruang guru. Dia baru akan mengajar lagi satu jam kemudian. Lalu masuk ibu Rita yang juga baru kembali dari mengajar. Hari ini, hari Senin, biasanya memang mereka berdua ngobrol di ruangan guru sementara menunggu jam mengajar berikutnya. Pak Darmaji masih merasa malu. Dan tidak berniat memulai pembicaraan. Dia hanya tersenyum malu kepada Rita yang juga tersenyum penuh arti kepadanya. Darmaji tidak tahan dengan suasana diam, tidak tahu mau melakukan apa lalu pergi keluar ruangan. Rita mengikuti dengan pandangan matanya. Darmaji yang tidak tahu mau kemana akhirnya masuk ke ruang perpustakaan.

Dia ingin bersunyi-sunyi di sana. Dia masih memendam rasa malu. Dia tidak bisa tidur semalaman. Dia bertanya-tanya kepada dirinya, apakah sebenarnya dia mencintai Rita? Kenapa mereka sampai berciuman kemarin? Bukankah selama ini mereka hanya bersahabat? Bukankah selama ini mereka hanya dua teman sejawat? Mereka sudah membuktikan itu lebih dari satu tahun. Tidak ada apa-apa. Bahkan waktu mereka pergi menonton berdua dan kemudian diketahui guru-guru lain, lalu guru-guru lain menduga bahwa mereka sudah mulai saling jatuh hati, mereka buktikan kembali bahwa itu tidak benar. Guru-guru itu melihat bahwa mereka datang ke bioskop sendiri-sendiri, Darmaji dengan sepeda motornya, Rita dengan mobilnya. Jadi hanya sekedar nonton bioskop bareng, tidak lebih. Tapi kenapa kemarin? Apakah yang mereka lakukan kemarin itu bukan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sama-sama memendam sesuatu? Benarkah? Apakah selama ini mereka berusaha membohongi diri mereka masing-masing?

Rita merasa tidak enak tinggal sendirian di ruang guru. Kalau guru-guru lain melihat mereka sendiri-sendiri begini tentu mereka akan semakin curiga bahwa mereka tidak berbaikan. Itu tidak baik. Maka Rita lalu menyusul Darmaji ke perpustakaan. Dia ingin mengajak Darmaji ngobrol. Ngobrol apa saja. Bila perlu mengobrolkan kenapa mereka sampai berciuman kemarin. Rita lebih santai. Dia tidak didera perasaan seberat Darmaji. Dia senang dengan pria itu. Mungkin juga ada sedikit perasaan lain. Mungkin juga. Tapi rasanya tidak jauh-jauh amat.

Rita masuk perpustakaan. Segera matanya menangkap Darmaji yang duduk di tempat biasanya mereka duduk ngobrol. Dia sedang melamun dan tidak menyadari kedatangan Rita. Rita mengambil tempat duduk di kursi di depan Darmaji. Suara tarikan kursi itu menyadarkan Darmaji. Dia menoleh kepada Rita dengan pandangan jengah. Mereka bertatapan. Lalu sama-sama menunduk, malu. Masih belum ada suara. Sampai akhirnya Darmaji membuka suara.

‘Saya minta maaf,’ katanya.

‘Saya juga,’ jawab Rita pendek.

‘Kita…kita…tidak bermaksud..’ Darmaji tidak meneruskan kata-katanya.

Rita terdiam. Di dadanya sekarang juga berkecamuk sejuta tanya. Sebenarnya mereka kemarin itu bemaksud apa sih? Apakah itu karena mereka iseng? Atau mereka melakukannya di bawah sadar? Tapi… ada apa sebenarnya di antara mereka? Tapi kenapa laki-laki ini jadi gugup sekali begini? Kenapa dia seperti menyesal sekali dengan peristiwa itu? Apa yang dia pikirkan sekarang? Atau apa yang dia rasakan sekarang? Sejak pagi ini mereka tidak seperti biasa. Mereka sama-sama seperti terpental, terpisah pada jarak yang tidak mereka ketahui jauhnya. Ini semua pertanda apa?

‘Saya tidak tahu kenapa sampai….’ Darmaji seperti bertanya kepada dirinya sendiri.

Rita tidak menjawab karena memang tidak jelas yang harus dijawab.

‘Sebenarnya di antara kita ini ada apa sih, Rit?’ Darmaji bertanya lebih jelas.

Rita tetap tidak bisa menjawab. Dia hanya menatap Darmaji dengan pandangan tajam. Pandangan yang agaknya mempunyai arti sebuah pertanyaan juga.

‘Apakah mungkin saya mulai…. saya mulai tertarik dengan kamu Rit. Apa ini yang namanya …’cinta’?’

Tidak ada jawaban.

‘Kamu punya perasaan juga nggak sih, terhadap saya?’ tanya Darmaji lagi.

‘Perasaan apa maksud mas Darmaji?’ Rita balik bertanya.

‘Apakah kita benar-benar hanya sebatas teman sejawat sesama guru selama ini?’ tanya Darmaji lagi.

‘Selama ini sepertinya iya. Selama ini benar begitu….saya rasa,’ jawab Rita.

‘Maksud kamu? Apa sekarang ada perubahan?’

‘Saya rasa sejak jam sembilan tadi malam ada perubahan,’ jawab Rita, tersenyum sambil menunduk malu.

‘Apakah kamu …. merasa bahwa saya tidak lagi hanya sebatas seorang teman sejawat…sejak jam sembilan tadi malam?’ tanya Darmaji.

‘Dua orang yang sekedar berteman rasanya…. tidak mungkin melakukan itu..’ jawab Rita malu.

‘Apakah saya bersalah telah melakukan itu..?’

‘Bukan mas Darmaji sendiri yang melakukannya…kita berdua melakukannya… berarti kita berdua yang bersalah,’ jawab Rita lagi.

Wednesday, October 29, 2008

SANG AMANAH (38)

(38)

9. Kisah Cinta Sepasang Guru

Pak Darmaji datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Dia seharusnya mengajar sesudah jam istirahat pertama, atau jam sepuluh. Hari baru jam setengah sembilan. Pak Darmaji ingin menghadap pak Umar. Dia sudah mendengar bahwa ada peraturan dilarang merokok bagi setiap orang di lingkungan sekolah. Tapi dia datang bukan untuk urusan itu. Di ruangan guru masih ada tiga orang guru tadi, pak Situmorang, pak Sutisna dan pak Sofyan.

‘Maaf pak Sofyan, pak Umar ada di dalam nggak?’ tanya pak Darmaji.

‘Ada…. mau protes juga?’ tanya pak Sofyan.

‘Bukan….saya ada keperluan lain,’ jawabnya sambil menuju ke pintu ruangan pak Umar.

Pak Darmaji mengetok pintu dan memberi salam.

‘Selamat pagi, pak. Apa saya boleh minta waktu sebentar?’ tanya pak Darmaji.

‘Selamat pagi.. tentu…silahkan masuk…silahkan duduk..,’ jawab pak Umar.

Pak Darmaji duduk. Jantungnya berdebar-debar. Entah dari mana dia harus memulai pembicaraan. Padahal tadi dia sudah mantap betul ingin minta pendapat pak Umar. Tadi dia sudah menghapalkan kata-kata yang akan disampaikannya. Tapi sekarang seperti semua itu hilang dari ingatannya. Pak Umar melihat bahwa pak Darmaji agak ragu-ragu.

‘Apa yang bisa saya bantu pak Darmaji?’ pak Umar memulai membuka pembicaraan.

‘Betul pak, maaf. Maksud saya ada yang ingin saya sampaikan. Tapi sifatnya sangat pribadi sebenarnya. Saya ingin minta nasihat bapak,’ pak Darmaji mulai menemukan kembali kata-katanya.

Pak Umar bangkit dari kursinya dan pergi menutup pintu.

‘Silahkan kalau begitu. Apa yang ingin saudara sampaikan?’ tanya pak Umar sambil kembali ke kursinya.

‘Begini, pak. Sebelumnya sekali lagi saya minta maaf sehubungan dengan….dengan peristiwa kemarin. Saya malu sekali sebenarnya,’ Darmaji masih agak ragu-ragu.

‘Kalau masalah itu sudah saya maafkan. Tapi apakah ada hal lain yang mungkin bisa saya bantu?’ tanya pak Umar pula.

‘Bapak tidak keberatan kalau saya bercerita mengenai masalah pribadi saya?’

‘Saya tidak keberatan,’ jawab pak Umar pendek.

‘Baiklah pak. Ini menyangkut hubungan saya dengan Rita. Kami terlibat dalam hubungan asmara tapi menghadapi masalah yang cukup berat, terutama buat saya. Pertama, kami berbeda keyakinan. Rita beragama Kristen. Hubungan kami tidak direstui oleh orang tuanya. Dan orang tuanya sangat keras bahkan pernah mengancam saya. Tapi kami berdua merasa ada kecocokan meskipun kami juga menyadari kendala yang ada. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya saya sudah pernah mencoba berterus terang kepada orang tuanya, menyampaikan keinginan saya untuk menikah dengan Rita. Orang tuanya tidak mengizinkan karena perbedaan agama itu. Sesudah itu mereka melarang hubungan kami dan melarang saya datang ke rumah mereka. Tapi kami selalu bisa bertemu di sekolah. Dan kami semakin yakin bahwa kami seharusnya menjadi pasangan suami istri. Itulah masalah yang saya tidak tahu bagaimana mencari jalan keluarnya, pak,’ ungkap pak Darmaji.

‘Ya, repot juga kalau begitu. Memang sebenarnya pernikahan berbeda agama itu mengandung banyak resiko. Di samping resiko tidak berbaikan dengan mertua seperti yang saudara ceritakan, ditambah lagi resiko sesudah mempunyai anak-anak nantinya. Anak-anak mau ikut agama siapa? Ikut agama ayahnya atau ikut agama ibunya? Pasti tidak mudah. Apakah anda berdua tidak menyadari hal itu?’

‘Saya menyadarinya, pak. Tapi mungkin karena terdorong oleh perasaan yang menggelora, hal-hal seperti itu tidak pernah saya pikirkan benar. Kecuali menghadapi kendala yang disebabkan oleh orang tuanya saat ini.’

‘Barangkali harus dihadapi secara realistis. Karena saya khawatir, kalaupun diteruskan mungkin akan menimbulkan korban, seperti misalnya hubungan buruk dengan orang tuanya Rita di samping hubungan mereka, orang tua dan anak, yang mungkin juga bisa terganggu. Apalagi kalau mereka sudah mengancam-ancam. Tentu tidak baik akibatnya.’

‘Jadi kalau menurut bapak tidak mungkin akan ada jalan keluarnya?’

‘Jalan keluar agar rencana anda berdua tetap terlaksana menurut saya memang sulit,’ jawab pak Umar.

‘Maaf pak, bagaimana pandangan bapak seandainya kami nekad ‘kawin lari’?’

‘Kalau saya jelas tidak setuju dengan cara seperti itu. Pernikahan itu adalah sesuatu yang suci apalagi kalau dipandang dari kacamata agama Islam. Pernikahan itu adalah suatu perjanjian, dengan ijab dan kabul, perjanjian yang diikrarkan oleh orang tua mempelai wanita dengan mempelai laki-laki. Ada serah terima tanggung jawab bagi pemeliharaan seorang wanita. Ayah mempelai wanita menyerahkan tanggung jawab atas anaknya kepada mempelai laki-laki, tanggung jawab untuk di dunia dan akhirat. Jadi sangat salah kalau pernikahan itu dilakukan dengan cara yang saudara sebut sebagai kawin lari tadi itu. Kalau boleh saya sarankan kalian berdua pergi kembali menghadap orang tuanya, sampaikan sekali lagi keinginan kalian berdua, dan minta keikhlasan orang tuanya untuk mengizinkan kalian berdua menikah. Menurut saya hanya itu satu-satunya jalan.’

‘Itu sudah pernah saya lakukan, pak. Dan hasilnya seperti tadi saya katakan. Orang tuanya marah-marah dan mengancam akan mengadukan saya ke polisi kalau sampai saya menikahi Rita.’

‘Ya…. kalau begitu apa lagi yang bisa saudara harapkan?’ tanya pak Umar.

‘Apakah bapak sedang mengatakan agar saya melupakan Rita, dan tidak usah berharap bisa menikahinya?’

‘Saya pikir itu mungkin suatu kenyataan yang harus saudara hadapi.’

‘Tapi itu terlalu berat rasanya buat saya pak. Dan saya yakin begitu juga buat Rita. Kami benar-benar saling mencintai.’

‘Cerita seperti yang saudara katakan bukan sesuatu yang baru. Banyak terjadi hal yang sama. Tapi kalau menurut pandangan saya, memang hubungan seperti itu sebaiknya dicegah sedini mungkin. Artinya, pada saat kita menyadari ada penghalang berupa keyakinan yang berbeda, cepat-cepat menarik diri. Saya kurang tahu seberapa baik saudara memahami dan mematuhi peraturan agama saudara,’ tambah pak Umar pula.

‘Terus terang, saya mungkin bukan seorang Muslim yang baik, pak. Saya sering lalai dalam melakukan shalat. Tapi orang tua saya lebih taat,’ jawab Darmaji.

‘Kalau dari fihak orang tua saudara tidak adakah kendala?’ tanya pak Umar lagi.

‘Sebenarnya ada kendala pak. Orang tua saya haji, berwanti-wanti betul agar saya memutuskan hubungan saya dengan Rita. Orang tua saya juga tidak setuju saya menikah dengan orang yang tidak beragama Islam.’

‘Kalau begitu bukankah masalahnya sudah jelas? Kenapa saudara berdua tidak mencoba menerima kenyataan apa adanya?’

‘Menghadapi orang tua saya mungkin lebih mudah pak. Rita pernah mengatakan mau menikah secara Islam.’

‘Maaf saudara Darmaji, kalau menurut saya, kalian berdua ini memang perlu belajar lebih banyak. Pernikahan itu bukan sandiwara, bukan hanya untuk upacara satu hari. Pernikahan itu sesuatu yang sakral, sesuatu yang suci. Jadi hendaknya jangan mempermain-mainkan agama untuk memenuhi hasrat sesaat. Dia mau menikah secara Islam, tapi sesudah itu? Kalau hanya untuk main-main, kalau hanya untuk sekedar memenuhi peraturan, saya khawatir saudara akan kecewa nantinya. Tuhan akan marah kepada kalian dan kehidupan kalian tidak akan mendapat berkah. Janganlah memperolok-olokkan agama.’

‘Bagaimana kalau seumpamanya dia masuk Islam dengan sungguh-sungguh?’

‘Tapi saudara hanya mengatakan dia mau menikah secara Islam. Tidak berarti dia mau menjadi seorang Muslimah sungguh-sungguh, kan?’

‘Saya berandai-andai. Maksud saya seandainya dia mau masuk Islam secara bersungguh-sungguh.’

‘Saya rasa saudara sedang mempertinggi tempat jatuh. Mengandaikan bahwa orang yang saudara inginkan menjadi istri saudara masuk Islam, padahal dia belum tentu berpikiran demikian. Jadilah seorang yang dapat menerima apa adanya, seorang yang realistis. Kalau tidak, saudara akan jadi sangat frustrasi nanti pada saat menghadapi kenyataan yang pahit.’

‘Rita pernah mengutarakan keinginannya mau masuk Islam kepada saya.’

‘Masih dalam konteks ini? Masih sehubungan dengan kisah kasih kalian berdua?’

‘Bukan, tapi pada saat kami berdiskusi tentang agama. Saya bukan seorang yang berpengetahuan tentang agama, jadi saya tidak menanggapi secara baik.’

‘Bagaimana sampai dia mengatakan ketertarikannya? Dari mana dia bisa tertarik tentang Islam?’

‘Dia membaca buku-buku tentang perbandingan bermacam-macam agama. Dia banyak menanyakan tentang agama Islam kepada saya. Saya hanya bisa menjawab bagian-bagian luarnya saja.’

‘Kalau begitu biarkanlah dia berproses dengan dirinya sendiri. Tapi hal itu tidak usah dihubung-hubungkan dengan rencana saudara untuk menyuntingnya.’

‘Makanya saya tanyakan, bagaimana seandainya dia itu sudah masuk Islam dan bersungguh-sungguh sebagai seorang muslimah.’

‘Itu lain urusannya. Kalau dia masuk Islam bukan karena mau menikah, lalu dinikahi sesudah dia beragama Islam tentu boleh. Tapi bukan berislam hanya sekedar untuk mengikuti upacara pernikahan secara Islam lalu sesudah itu kembali dengan agamanya. Yang seperti ini adalah berbohong dalam beragama. Bohong dengan agamanya sendiri dan membohongi pula agama Islam.’

‘Benar, pak. Dia pernah mengatakan ingin masuk Islam kepada saya. Tapi dia sangat takut kepada kedua orang tuanya.’

‘Ya repot memang,’ pak Umar berkomentar singkat.

‘Tidak adakah jalan lain sedikit juapun yang bapak lihat?’

‘Jalan lain agar kalian bisa menikah?’

‘Bukan. Jalan agar dia bisa masuk Islam tanpa menimbulkan masalah dengan orang tuanya.’

‘Secara manusiawi tidak. Saya tidak melihat jalan keluar. Tapi secara rohani, seandainya saya menghadapi hal yang sulit dalam kehidupan ini, saya mengadu kepada Allah. Saya berdoa kepadaNya agar dikeluarkan dari kesulitan yang saya hadapi. Dalam hal yang saudara tanyakan tadi, kalau memang Allah menggerakkan hati seseorang untuk beriman kepadaNya, Allah akan memudahkan urusan orang tersebut dengan cara yang tidak diduga-duga.’

‘Jadi perlukah dia berdoa misalnya kepada Allah, padahal dia belum beragama Islam?’

‘Mungkin dimulai dengan berdoa kepada Tuhan, tanpa menyebutkan Allah kalau memang dia belum meyakini atau beriman kepadaNya, meminta bimbingan dan petunjuk untuk beriman sesuai dengan yang tergores dihatinya. Kalau memang dia cenderung kepada Islam, dan kalau Allah berkehendak menjadikannya seorang yang beragama Islam, mudah-mudahan Allah akan menunjukinya.’

‘Baiklah pak. Atas pandangan-pandangan bapak saya ucapkan terima kasih banyak. Saya mohon maaf sekali lagi mengganggu waktu bapak,’ pak Darmaji ingin mengakhiri diskusi itu.

‘Terima kasih kembali. Saya sarankan juga agar saudara Darmaji mengenal agama saudara sendiri secara lebih baik.’

‘Baik pak. Saya akan berusaha. Dan saya mohon diri,’ kata pak Darmaji sambil bangkit dari tempat duduknya dan beranjak ke ruangan guru.


*****

Tuesday, October 28, 2008

SANG AMANAH (37)

(37)

Pagi ini ada acara khusus di SMU 369. Kemarin semua murid-murid, guru-guru, pegawai Tata Usaha, petugas keamanan, sudah diberitahu bahwa pagi ini, semua tanpa kecuali diminta berkumpul di lapangan upacara. Pagi ini akan ada pengarahan dari kepala sekolah mengenai tata tertib sekolah. Jam tujuh semua sudah berkumpul. Murid-murid berbaris dalam kelompok kelas masing-masing. Sementara guru-guru dan pegawai yang bukan guru berjajar menghadap ke lapangan. Acara ini bukan upacara bendera. Pak Umar mengambil tempat di podium dan segera memulai wejangannya.

‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Rekan-rekan guru dan anak-anak sekalian.

Karena sejak kemarin saya sudah resmi menjadi kepala sekolah di SMU ini, maka kemarin…. hari pertama saya sebagai kepala sekolah, saya melakukan pemeriksaan di sekolah kita ini. Dan saya telah menemukan banyak hal-hal luar biasa yang cukup mencengangkan saya. Langsung ke pokok masalah, saya menemukan bahwa sekolah kita yang sangat anggun terlihat dari luar ternyata di dalamnya menyimpan penyakit-penyakit yang perlu kita obati. Saya sudah memeriksa semua kamar kecil, baik di lantai dasar maupun di lantai atas. Kamar kecil di lantai atas semua kotor dan bau. Dinding dan pintu kamar kecil itu penuh dengan coretan-coretan. Bahkan ada tulisan dengan kata-kata yang tidak senonoh. Ini menunjukkan ketidak perdulian murid-murid terhadap pentingnya arti kebersihan. Di bagian belakang gedung sekolah yang bersebelahan dengan pagar, saya menemukan banyak sekali sampah-sampah plastik, kertas, bungkus coklat, bungkus biskuit, kotak rokok, yang kelihatannya justru dibuang dari jendela kelas. Saya mengunjungi gudang, perpustakaan, kantin, pekarangan mesjid sekolah di sebelah selatan, dimana saya menemukan banyak hal-hal yang mengejutkan saya. Di antara yang cukup mengejutkan adalah banyaknya pecandu rokok di antara kalian dan mereka sepertinya menganggap seolah-olah merokok tidak dilarang di sekolah ini. Saya bahkan menemukan juga bahwa persediaan rokok dalam jumlah banyak terdapat di kantin. Saya temukan gudang yang kunci gemboknya dirusak, dan kelihatannya ada yang memanfaatkan gudang itu untuk keperluan yang patut dicurigai. Oleh karena itu saya perlu menjelaskan beberapa hal.

Pertama-tama yang menyangkut kebersihan. Kebersihan sekolah ini adalah tanggung jawab kita semua tanpa kecuali. Oleh karenanya kita harus menjaga kebersihan sekolah ini dengan sebaik-baiknya. Pagi ini, sesudah acara penjelasan ini kita semua akan bergotong royong membersihkan tempat-tempat yang saya katakan kotor tadi. Kita akan membersihkan kamar kecil di lantai atas, membersihkan pekarangan di dekat pagar tembok. Saya sudah memintakan pak Mursyid dan pak Hardjono untuk mengatur siapa yang membersihkan bagian mana. Saya katakan kita, karena saya sendiri akan ikut serta. Coretan-coretan spidol akan kita cat pada waktu yang akan datang. Dan mulai hari ini…saya minta dengan sangat…. dengan hormat…. tidak ada lagi corat-coret seperti itu.

Yang kedua menyangkut masalah rokok. Sekolah ini mulai hari ini saya nyatakan bebas asap rokok. Tidak ada seorangpun yang diizinkan merokok di dalam pekarangan maupun di dalam kelas, di ruangan guru, di kantin, di perpustakaan, di gudang sekolah. Larangan ini berlaku bagi semua. Jadi mohon maaf, termasuk guru-guru, pegawai TU, petugas keamanan, saya minta dengan segala hormat untuk tidak lagi merokok di lingkungan sekolah mulai saat ini. Di luar pagar sekolah silahkan merokok. Kepada murid-murid yang masih kedapatan merokok akan dikenakan sangsi.

Sebelum menjelaskan sangsi-sangsinya, saya minta agar mulai hari ini setiap murid menyiapkan sebuah buku tulis yang akan digunakan sebagai buku catatan kepribadian murid. Buku catatan itu boleh buku tulis bekas asal masih ada lembaran yang masih belum digunakan. Setiap guru piket yang mendapatkan murid-murid mana saja melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah diminta menegor dan mencatat pelanggaran itu di dalam buku catatan tersebut. Pada saat yang sama guru piket mencatatnya pula di buku catatan petugas piket.

Sangsi bagi murid-murid yang masih kedapatan merokok di sekolah pertama kali sejak sekarang adalah disuruh pulang untuk hari itu dan pelanggarannya dicatat di buku catatan kepribadian. Apabila yang bersangkutan kedapatan merokok yang kedua kalinya, maka dia akan dilarang masuk sekolah selama seminggu dengan memberi tahukan orang tuanya dan pelanggarannya dicatat di buku yang sama. Apabila sesudah dua kali kedapatan, masih melakukan pelanggaran yang ketiga kalinya, murid tersebut boleh memilih antara dikeluarkan dari sekolah ini, pindah ke sekolah lain atau tidak boleh bersekolah selama satu tahun. Hal ini bukan sangsi yang dibuat mengada-ada melainkan sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh dengan tujuan agar semua murid dapat mematuhinya. Kepada guru-guru maupun karyawan non guru yang melakukan pelanggaran terhadap larangan merokok akan dikenakan tindakan administrasi.

Perbuatan mencorat-coret untuk mengotori apapun di sekolah, apakah itu meja belajar, pintu kamar kecil, tembok sekolah, kendaraan orang lain, kantin sekolah juga akan dikenakan sangsi. Sangsinya adalah, bagi yang melakukan pelanggaran mencorat-coret dengan menggunakan spidol yang tidak bisa dicuci, untuk pertama kalinya, diharuskan membersihkan kembali coret-coretannya tersebut dan perbuatannya dicatat di buku catatan kepribadian sebagai pelanggaran pertama. Mengulangi kesalahan yang sama kedua kalinya, di samping di suruh membersihkan kembali akan dikenakan pelarangan masuk sekolah selama dua hari. Melakukannya lagi yang ketiga kalinya, akan dilarang masuk sekolah selama dua minggu. Kalau setelah itu masih melakukan lagi kesalahan yang sama berarti yang bersangkutan tidak betah lagi bersekolah di sini, jadi kita persilahkan saja meninggalkan sekolah.

Pemeriksaan dan pengawasan seperti yang saya lakukan kemarin, insya Allah akan tetap saya lakukan dengan teratur selama saya masih bertugas di sekolah ini. Segenap guru-guru akan terlibat dalam pengawasan terhadap tegaknya peraturan tadi. Mungkin akan timbul pertanyaan kenapa mesti ada sangsi yang sangat berat itu. Sangsi ini diperlukan untuk tegaknya peraturan. Tanpa sangsi maka peraturan tidak akan ada gunanya. Dan sangsi yang saya sebutkan dibuat secara bertahap agar dapat dipatuhi dengan segala perhitungan yang normal. Kalau kalian berani mencoba-coba berarti kalian berani mengambil resiko dan resikonya sudah diberitahukan sejelas-jelasnya. Ini bukanlah peraturan yang diputuskan secara mendadak melainkan peraturan yang sebenarnya sudah ada tapi selama ini belum diterapkan bersungguh-sungguh.

Ringkasnya saya mengajak semua fihak di sekolah ini untuk berubah. Berubah dari sikap egois dan mementingkan diri sendiri menjadi sikap bertoleransi. Merokok mencerminkan sikap egois, yang mementingkan kepuasan diri sendiri dan mengabaikan gangguan yang ditimbulkannya kepada orang lain. Berubah dari sikap vandalis kepada sikap cinta kebersihan dan kerapihan. Berubah dari sikap sembrono dan tidak santun kepada sikap sopan dan berakhlak yang baik. Untuk diingat bahwa kita berada di lingkungan sekolah, tempat menuntut ilmu dan tempat belajar menjadi manusia yang tahu dengan tata krama, dengan sopan santun.

Akhirnya saya sudahi pesan-pesan ini dengan harapan agar kiranya dapat diindahkan dengan sebaik-baiknya. Sesudah ini seperti yang saya katakan tadi, kita akan begotong royong selama lima belas menit, membersihkan pekarangan terutama yang di samping gedung sekolah dan kamar-kamar kecil.

Terima kasih, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.’

Murid-murid kemudian membubarkan diri dan mengikuti petunjuk yang sudah disusun oleh pak Mursyid dan pak Hardjono. Pak Umar ikut mengemasi dan mengumpulkan sampah di pekarangan samping, memasukkannya ke keranjang sampah. Semua guru-guru, karyawan Tata Usaha dan semua murid ikut bekerja mengikuti contoh yang diberikan langsung oleh bapak kepala sekolah.


*****

Pak Situmorang mendatangi pak Umar sesudah selesai kerja gotong royong. Dia mau protes atas peraturan yang baru saja diumumkan oleh kepala sekolah mengenai kebijaksanaan baru tentang larangan merokok. Kedua orang guru itu terlibat dalam perdebatan yang cukup keras.

‘Boleh saya minta waktu sebentar pak,’ pak Situmorang memulai pembicaraan.

‘Tentu, pak Situmorang. Mungkin lebih baik kita berbicara di ruangan saya saja,’ jawab pak Umar.

Pak Situmorang mengikuti pak Umar ke ruangannya.

‘Maaf nih pak. Terus terang saja, saya mau protes. Saya tidak setuju dengan kebijaksanaan ‘tidak boleh merokok’ yang bapak canangkan termasuk untuk guru-guru dan pegawai sekolah. Saya rasa itu melanggar hak azazi kami para perokok. Kalau bapak melarang murid-murid itu bisa dimengerti. Tapi, kami yang sudah guru-guru ini kenapa pulak mesti dilarang-larang. Itu sajanya pak. Jadi sekali lagi saya tidak setuju dengan larangan itu.’

‘Saya mengerti keluhan pak Situmorang. Tapi apakah menurut pak Situmorang wajar kalau kita larang murid melakukan suatu hal karena hal tersebut tidak baik tapi dibiarkan kalau dilakukan oleh guru?’

‘Ya, kenapa tidak? Mereka belum pantas untuk merokok, belum bisa mendapatkan uang untuk membeli rokok. Jadi wajar kalau dilarang. Sedangkan kami, kami membeli rokok dengan uang kami sendiri, kenapa mesti dilarang?’

‘Kalau soal mencari uang tentu berbeda. Tapi mereka mendapat uang jajan dari uang tua mereka. Mungkin ada yang dapat uang jajan lebih besar dari gaji kita. Jadi itu bukan ukuran. Ini peraturan untuk mendidik. Dan dimana-mana di dunia ini ada yang namanya peraturan. Begitu juga di sekolah ini kita perlu menegakkan peraturan.’

‘Tapi ya…. peraturan yang adillah pak! Saya ini sudah sejak mahasiswa…. sudah sepuluh tahun lebih merokok, belum pernah ada orang yang melarang-larang saya. Baru sekarang ini, karena bapak jadi kepala sekolah di sini, saya dilarang orang. Padahal saya sudah empat tahun mengajar di sini tidak ada masalahnya selama ini. Kenapa pulak sekarang mesti berubah?’

‘Pak Situmorang! Saya tidak melarang anda merokok. Saya hanya menetapkan di lingkungan sekolah ini tidak boleh merokok. Kalau anda mau merokok kan bisa dilakukan diluar sekolah?’

‘Ah, itu bertele-tele namanya itu, pak. Tidak melarang…. hanya tidak boleh. Macam mana pulaknya itu?’

‘Apakah anda tidak bisa menerima, bahwa di tempat-tempat tertentu ada peraturan yang berlaku dan memang harus dipatuhi?’

‘Di sini sejak lama tidak ada peraturan itu pak. Kenapa pulak sekarang mesti diada-adakan?’

‘Karena kita ingin menegakkan disiplin di sini. Dulu mungkin tidak ada disiplin. Atau mungkin tidak diperdulikan orang. Saya ingin merubah itu. Kita harus bisa belajar berdisiplin.’

‘Kenapa peraturan merokok yang bapak buat? Kenapa tidak peraturan yang lain? Tidak boleh terlambat kek, tidak boleh membolos kek, tidak boleh berpacaran kek. Kenapa mesti tidak boleh merokok?’

‘Pak Situmorang biasa ke gereja kalau hari Minggu kan? Apa di gereja dibolehkan merokok?’

‘Di gereja itu sejak saya kecil sudah dilarang. Kalau di sini sejak saya jadi guru tidak ada yang melarang. Baru bapak ini yang melarang. Ini yang tidak adil namanya.’

‘Sekarang…. kalau seandainya bapak-bapak yang lain termasuk pegawai Tata Usaha tidak lagi merokok di lingkungan sekolah, apakah pak Situmorang akan tetap merokok sendirian?’

‘Iyah… kenapa bapak larang orang-orang itu? Kan tidak adanya hak bapak melarang-larang mereka.’

‘Bukan…. maksud saya, seandainya semua orang sudah mau berhenti?’

‘Mereka bukannya berhenti secara sukarela. Mereka berhenti kan karena bapak larang. Karena bapak menggunakan kekuasaan tadi itu.’

‘Ya…katakan karena mereka terpaksa menerima peraturan…lalu mereka tidak merokok di sekolah, apakah pak Situmorang akan tetap merokok?’

‘Kalau dilarang saya juga akan terpaksa berhenti. Tapi itu tidak fair namanya. Kenapa pulak orang dewasa dilarang-larang merokok. Kan mengada-ada namanya peraturan macam begitu.’

‘Begini saja pak Situmorang. Saya sudah menetapkan demikian peraturannya. Saya tidak mau merubahnya.’

‘Ya sudahlah. Tapi saya ingatkan, bapak membuat sebuah peraturan yang sangat tidak populer. Sangat diktator. Mungkin memang begitu kebiasaan bapak, saya tidak tahu. Dengan sangat terpaksa saya patuhi larangan itu. Baiklah pak, itu sajanya.’

‘Baik. Terima kasih kalau begitu.’

Pak Situmorang meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan masih dongkol. Di ruangan guru ada pak Sutisna dan pak Sofyan yang rupanya mendengarkan pembicaraan di dalam kantor kepala sekolah tadi karena pintunya tidak ditutup.

‘Jadi bagaimana pak Situmorang?’ tanya pak Sutisna.

‘Apanya yang bagaimana? Parah kali boss baru ini. Macam-macam saja peraturan dibuatnya. Lebih galak pulak dia lagi dari bapakku. Dulu waktu masih kecil bapakkunya yang macam itu. Main larang, main serba tidak boleh. Sekarang kan sudah bukan anak-anak laginya kita ini?’ pak Situmorang masih meneruskan uneg-unegnya.

‘Tapi berani nggak? Kalau cuman ngomel-ngomel mah semua juga bisa?’

‘Maksudnya apa pulak ini pak Tisna ini? Mau memprovokasi?’

‘Ee….ini mah lain provokasi. Kalau pak Situmorang berani terus merokok, siapa tahu masih banyak yang ikutan. Kalau pak Situmorang berani, saya juga beranilah….sooklah. Berani nggak?’

‘Ah…bukan urusan berani nggak beraninya ini. Urusan konduite kita yang bisa dibikinnya hancur nantik. Begini-begini saya kan bermimpi juga kepingin jadi kepala sekolah.’

‘Kalau gitu mah jangan ngadumel wae atuh. Sudah sajah nggak usah banyak omong lagi. Saya kirain teh berani ngalawan peraturan. Teu nyahona paur oge.’

‘Ah..sudahlah pak Tisna. Janganlah memancing-mancing juga lagi.’

‘Kenapa mesti pusing benar sih? Kan yang dilarang cuma di sekolah. Di luar masih bisa merokok. Apa pula yang diributkan?’ pak Sofyan mencoba menengahi.

‘Kalau pak Sofyan tentulah iya. Merokok cuman sekedar kepas-kepus saja. Tak merokokpun tak apa. Nah awak ini mana mungkin? Ah sudahlah…. Janganlah bicara rokok jugak lagi…menambah pusing kepala sajanya…..’


*****

Monday, October 27, 2008

SANG AMANAH (36)

(36)

‘Pertanyaan pak!’ seorang murid lagi mengangkat tangan.

‘Ya..silahkan. Sebutkan nama dan dari kelas berapa?’

‘Terima kasih pak. Nama saya Tigor dari kelas tiga IPA 1. Saya ini merokok memang karena sudah kecanduan pak. Kalau tidak merokok saya tidak bisa belajar dan berkonsentrasi pak. Bagaimana jalan keluarnya, pak?’

‘Baik. Apakah kamu juga merokok di dalam kelas?’ tanya pak Umar.

‘Tidak, pak. Hanya kalau pas jam istirahat saja pak.’

‘Ya…. Kalau begitu sekarang kamu rubah sedikit jadwal merokokmu. Kalau di sekolah tidak merokok, begitu keluar dari gerbang sekolah silahkan merokok.’

‘Jadinya saya tidak bisa konsentrasi pak.’

‘Itu namanya sugesti. Kamu pasti bisa kalau kamu berusaha. Buktinya kamu bisa menunggu sampai jam istirahat.’

‘Kalau tidak bisa bagaimana pak?’

‘Kamu pindah sekolah ke sekolah yang mengizinkan kamu merokok.’

Tigor terdiam, tidak berkomentar lagi.

‘Kalian perhatikan sekali lagi. Berhenti merokok tidak akan menjadikan orang sakit apalagi sampai mati, maaf. Setiap pecandu rokok bisa berhenti seandainya mereka mau berusaha untuk berhenti. Tapi kebanyakan pecandu rokok mempersilahkan diri mereka diperbudak oleh rokok. Mereka merasa seolah-olah mereka akan lumpuh total kalau berhenti merokok. Tidak bisa konsentrasi, tidak bisa berfikir jernih. Padahal itu hanya sugesti dan menunjukkan kelemahan mental. Kenapa orang tidak bisa konsentrasi kalau tidak merokok? Karena yang dipikirkannya hanya rokok. Orang seperti Tigor ini menunggu-nunggu waktu istirahat dan membayangkan rokok yang menurut dia akan memberikan kepuasan kepadanya. Kenapa tidak boleh merokok di sekolah? Karena dengan merokok kalian meracuni orang lain yang tidak merokok. Asap rokok kalian jadi racun kepada orang yang tidak suka rokok. Bau baju kalian, bau badan kalian yang suka merokok menjadi pengganggu kepada teman-teman kalian yang tidak suka mencium bau rokok. Dan kita harus bisa saling menghormati, saling menjaga agar tindakan kita jangan mengganggu kepada orang lain. Saya tidak usah menerangkan bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan. Sekarang sudah diwajibkan menempelkan pemberitahuan bahaya merokok di bungkus rokok, kalian semua tahu itu. Tapi saya ulangi sekali lagi, saya bukan mau melarang kalian merokok secara total. Saya mengerti betul bahwa melarang seperti itu mengada-ada dan tidak akan ada jaminan akan kalian patuhi. Maka saya hanya menetapkan peraturan yang berlaku di sekolah ini. Diluar sana kalian bebas untuk merokok. Kecuali tentu saja di tempat-tempat yang diberlakukan pula larangan merokok.’

Semua murid-murid diam. Beberapa orang terlihat lesu, di antaranya Tigor yang baru saja bertanya. Tidak ada lagi yang berani bersuara.

‘Kalau tidak ada lagi pertanyaan, pertemuan kita selesai. Kalian boleh kembali ke kelas masing-masing. Beritahukan kepada guru kalian bahwa kalian baru saja dikumpulkan kepala sekolah untuk membahas peraturan dilarang merokok di sekolah,’ kata pak Umar mengakhiri pertemuan itu.

Pak Hardjono mengambil daftar mereka yang hadir dalam pertemuan itu. Semua ada empat puluh lima orang. Murid-murid itu berdiri dan langsung meninggalkan ruangan menuju kelas mereka masing-masing. Sebagian dengan lesu. Tapi tidak seorangpun yang bersuara.

Pak Umar meminta pak Mursyid agar memberi tahu guru-guru lain untuk mengadakan rapat penting sesudah jam pelajaran sekolah selesai siang ini.


*****

‘Gile nih, Umar Bakri. Galak juga dia, ‘ komentar Rano saat menuruni tangga.

‘Ah, biasa….. lagi unjuk gigi karena baru menjabat. Paling ntar juga capek sendiri. Berani tarohan,’ yang lain menambahkan.

‘Tapi sementara ini kita memang kudu hati-hati deh,’ Asrul menimpali.

‘Kalau gue bilang, kayaknya dia orangnya emang keras. ‘Feeling’ gue begitu. Ngomongnya pasti-pasti. ‘Silahkan merokok diluar, tapi di sekolah, ada peraturan’.

‘Apalagi kalau lo ingat omongan dia tentang ‘catatan keperibadian’. Idenya memang ada-ada saja,’ Sugeng menambahkan.

Murid-murid itu masuk ke kelasnya masing-masing.


*****


Sesudah jam pelajaran terakhir guru-guru berkumpul di ruangan guru atas permintaan bapak kepala sekolah untuk acara rapat mendadak. Ada dua puluh orang guru yang hadir pada kesempatan itu. Pak Umar langsung saja menyampaikan pokok permasalahan tentang kebiasaan merokok di kalangan murid-murid. Sebelumnya pak Umar meminta masukan dari ibu Purwati, wakil kepala sekolah, tentang peraturan dan sangsi bagi siswa merokok di sekolah yang sudah berlaku selama ini.

‘Peraturan tertulis tidak ada seingat saya. Hanya sering kali diingatkan oleh bapak kepala sekolah pada kesempatan upacara bendera bahwa para siswa dilarang merokok. Dan seingat saya pula tidak ada sangsi apa-apa yang di berikan. Sehingga seolah-olah ada ketentuan bahwa anak-anak dibiarkan merokok asal tidak kelihatan oleh guru,’ ibu Purwati menjelaskan.

‘Maksudnya tidak ada yang mengawasi dan tidak ada sangsi?’ tanya pak Umar lebih lanjut.

‘Seingat saya tidak. Tapi pernah ada yang kedapatan merokok, saya lupa oleh guru mana, murid tersebut dilarang mengikuti pelajaran pada hari itu.’

‘Waktu itu saya juga pernah mendapatkan seorang murid merokok dalam kelas pada waktu jam istirahat. Memang saya marahi dan hari itu saya suruh pulang,’ pak Hardjono menjelaskan.

‘Jadi aturan baku, yang bisa dijadikan ketetapan hukum tidak ada?’ tanya pak Umar lagi.

‘Tidak ada. Saya yakin tidak pernah ada,’ pak Hardjono menambahkan.

‘Berapa orang di antara guru-guru yang merokok?’ tanya pak Umar pula.

Guru-guru yang hadir berusaha mengingat dan menyebutnya satu per satu.

‘Pak Situmorang, pak Darmaji, pak Kus kadang-kadang, pak Wisnu. Siapa lagi, ya?’ pak Mursyid mencoba menghitung.

‘Pak Sofyan, kadang-kadang merokok saya lihat. Yang agak perokok berat itu pak Darmawan. Pak Sutisna kadang-kadang suka juga merokok,’ tambah pak Hardjono.

‘Ibu-ibu ada tidak yang merokok?’ tanya pak Umar lagi.

‘Setahu saya tidak ada, pak,’ jawab ibu Purwati.

‘Bagaimana dengan karyawan Tata Usaha?’

‘Yang saya tahu pak Kosasih sama petugas komputer itu, siapa namanya?’ pak Muslih menjelaskan.

‘Itu…., pak Sumitro. Benar itu perokok berat juga itu,’ jawab pak Mursyid.

‘Baiklah. Saya akan tetapkan peraturan bahwa merokok akan dilarang di sekolah ini. Bagi guru-guru yang merokok saya minta dengan hormat agar membantu rencana ini, sekaligus untuk jadi contoh di hadapan murid-murid. Kepada karyawan Tata Usaha akan saya beritahukan pula. Akan ada sangsi bagi anak-anak yang kedapatan merokok di sekolah. Tadi sudah saya sampaikan kepada anak-anak yang kedapatan merokok waktu mereka dikumpulkan di ruang serba guna. Sangsi itu adalah berupa….disuruh pulang pada waktu kedapatan pertama kali, skors seminggu kalau kedapatan untuk kedua kalinya dan dikeluarkan kalau masih mengulangi sampai ke tiga kalinya.’

‘Wah! Apa tidak terlalu berat sangsi seperti itu pak? Dalam sehari barangkali semua anak-anak perokok itu akan terpaksa dikeluarkan,’ kata ibu Purwati.

‘Peraturan yang tidak ada sangsinya akan dilecehkan. Peraturan ini bukan untuk main-main tapi benar-benar sesuatu yang harus ditegakkan. Dan sangsi itu harus tegas.’

‘Maaf, apa dasar pertimbangannya pak?’ tanya pak Muslih.

‘Dasar pertimbangannya adalah bahwa merokok itu merusak kesehatan. Baik kesehatan yang merokok itu sendiri maupun kesehatan orang lain yang berada di sekitarnya. Di sekolah kita berkewajiban mendidik anak-anak untuk menyadari adanya bahaya ini. Saya tidak mungkin melarang pecandu rokok itu untuk berhenti merokok secara total, karena itu akan sia-sia. Saya tidak mungkin mengawasi mereka setiap saat. Tapi di sekolah kita bisa mengawasi mereka untuk tidak merokok. Harapannya kalau mereka bisa dilarang merokok di sekolah, mudah-mudahan penularan kecanduan merokok bisa kita halangi. Karena biasanya merokok itu dimulai dari coba-coba. Sementara mencoba-coba itu sangat mungkin dilakukan di sekolah kalau tidak dibatasi. Harapan lebih jauh lagi mudah-mudahan kebiasaan merokok anak-anak itu bisa dihentikan,’ pak Umar menjelaskan.

‘Bagaimana cara mengawasinya pak?’ tanya ibu Sofni.

‘Betul sekali pertanyaan ibu Sofni. Hal ini yang akan saya sampaikan. Saya akan meminta setiap guru bertugas sebagai pengawas harian atau bertugas piket. Saya tidak tahu apakah selama ini ada kewajiban untuk piket bagi guru-guru. Piket ini maksudnya adalah untuk mengawasi murid-murid secara berkesinambungan. Kita para guru bertanggung jawab tidak hanya urusan pendidikan mereka tapi termasuk juga akhlak mereka. Ringkasnya setiap hari akan ada tiga orang guru piket dan setiap guru akan kebagian bertugas sekali dalam dua minggu. Saya sendiri insya Allah akan ikut mengontrol dan mengawasi, terutama ke tempat-tempat tersembunyi di sekolah ini.’

‘Jadi bertambah tugas dong berarti,’ ibu Purwati berkomentar.

‘Ya…. Dan tugas seperti itu saya rasa tidak akan terlalu memberatkan.’

‘Lalu kapan peraturan dilarang merokok ini mulai berlaku?’

‘Mulai hari ini. Besok pagi saya akan mengumpulkan semua murid sebelum masuk kelas untuk mengumumkannya. Jadi besok pagi saya harap kehadiran bapak-bapak dan ibu-ibu juga.’

Pak Umar membahas juga sepintas masalah kebersihan yang sangat memprihatinkan di sekolah ini. Rapat itu ditutup mendekati jam tiga siang.


*****

SANG AMANAH (35)

(35)


Jam sembilan tigapuluh tepat bel berbunyi. Jam istirahat pertama. Guru-guru mengakhiri pelajaran dan murid-murid keluar kelas bergerombol-gerombol. Tujuh ratus lebih murid SMU 369 dari delapan belas kelas sekarang berkeliaran di setiap pojok area sekolah. Sebagian pergi ke kantin. Tapi kantin hanya mampu menerima kehadiran sekitar empat puluh sampai lima puluh orang. Itupun sudah berdesak-desak. Sisanya? Mereka sepertinya punya tempat beristirahat sendiri-sendiri tanpa ada yang terlalu perduli. Ada yang ke pojok-pojok sepi sekolah berdua-duaan. Ada yang berkumpul di tempat yang tidak terawasi untuk….merokok bersama. Ada yang bergerombol di lapangan parkir mobil di bawah pohon yang sejuk. Ada yang hanya di luar kelas saja. Ada yang masuk ke perpustakaan. Ada yang menyempatkan main basket atau sekedar melempar-lemparkan bola ke ring basket, meski hari panas. Waktu istirahat lima belas menit. Selama lima belas menit itu terjadi keriuhan luar biasa di area sekolah.

Pekarangan di samping selatan mesjid adalah tempat yang sangat favorit bagi pecandu rokok. Tempat ini luas, terlindung pula. Jam istirahat adalah merupakan waktu pertemuan para ‘smokers’ di tempat ini. Hal ini sudah berlangsung lama. Mungkin ada guru yang tahu bahwa anak-anak merokok di sana tapi tidak pernah ada yang perduli. Di sana para perokok bergerombol dalam beberapa kelompok kelas atau kelompok pertemanan, saling berbagi cerita sambil menghisap rokok. Boleh dikatakan tempat itu juga adalah arena tempat belajar merokok. Umumnya murid-murid yang tadinya belum pernah menghisap rokok terpancing untuk ikut-ikutan mencoba.

Seperti biasanya pagi inipun ramai dengan para ‘smokers’. Sekitar tiga puluhan orang bergerombol dalam enam kelompok. Riuh dengan ketawa mendengar banyolan-banyolan. Dan ‘full of asap rokok’ tentu saja. Obrolan mereka tentu bermacam-macam. Dari barat sampai ke timur. Dari acara perpisahan pak Suprapto sampai kedatangan pak Umar yang mereka juluki Umar Bakri. Dari urusan pinjam meminjam buku sampai cerita sinetron. Pokoknya semuanya lengkap.

*****

Pak Umar sudah memilih titik sasaran untuk pagi ini. Pelan-pelan dia berjalan di emperan kelas paling utara di gedung sebelah barat. Murid-murid yang juga berkeliaran di sepanjang bagian luar kelas itu memberi salam. Tidak ada yang curiga apa-apa. Memang biasa juga guru-guru seperti mengawasi murid-murid dengan berjalan berkeliling di bagian luar kelas seperti itu di saat jam istirahat. Pak Umar meneruskan langkahnya ke dekat mesjid sekolah. Dia tidak masuk ke mesjid tapi berputar ke bagian sebelah barat mesjid. Di samping mesjid sebelah selatan itu atau lebih tepatnya di belakang tempat berwudhu adalah titik rawan yang sudah di curigainya. Benar saja. Dia tidak melihat siapa-siapa di belakang tempat wudhu itu karena terhalang temboknya, tapi dia melihat kepulan asap ke udara dari bagian atas tembok itu. Dan mereka yang berada di sebelah tembok pasti tidak ada yang tahu kedatangan pak Umar. Mereka kedengaran sangat riuh dan berisik dengan suara ketawa lepas, ramai sekali. Pak Umar tidak mendekati mereka dari dekat tempat wudhu tapi berputar melalui bagian mihrab mesjid di sebelah barat. Dan di sana… ada pesta merokok. Ada sekitar tiga puluhan murid sedang asyik menikmati rokok. Sebagian besar tidak sadar dengan kehadiran pak Umar yang tiba-tiba itu. Hanya dua tiga orang yang melihat. Mereka yang tiga orang ini membuang rokok dan berusaha untuk meninggalkan tempat itu. Pak Umar tepat melihat kepada mereka bertiga. Pak Umar mengucapkan salamnya yang khas. ‘Assalamu’alaikum anak-anak….’ Maka terjadilah kepanikan luar biasa. Hampir serentak mereka berpaling ke arah pak Umar dan hampir semua spontan membuang rokoknya. Pak Umar melanjutkan.

‘Semua! tolong mengambil kembali rokok yang sudah dibuangnya! Semua tanpa kecuali…ya..ya..semua… Tidak….kalian tidak boleh ragu-ragu… Kalian tidak boleh ragu-ragu dan saya bersungguh-sungguh menyuruh kalian mengambil kembali rokoknya. Dan jangan ada yang meninggalkan tempat ini…itu namanya pengecut. Kalian tidak akan dihukum…. tidak akan diapa-apakan. Hayo! Semua ambil kembali rokoknya di tanah itu.. Ya..ya kamu juga…saya melihat kamu barusan membuang rokok kamu, ambil lagi! Silahkan dinikmati, silahkan merokok dengan santai… Sudah semua? Sudah semua memegang kembali rokoknya? Ya..ya..silahkan kalau mau dihisap lagi, jangan ragu-ragu… Sekarang kalian semua ikuti saya…kita jemput teman-teman kalian di sebelah sana. Pasti juga ramai yang sedang merokok di sana…Tidak…bukan…saya koreksi..bukan kalian mengikuti saya…tapi kalian berjalan di depan…kita ke samping gedung di sebelah timur…ayo mulai jalan. Hayo jalan…jangan ada yang membuang rokoknya, sayang masih panjang…dan silahkan dihisap..ya…silahkan dihisap santai saja… Kita melalui samping mesjid dulu, biar bisa menemui teman-teman kalian tanpa mengagetkan mereka…hayo jalan ke sini!’

Arak-arakan sekitar tiga puluhan murid, masing-masing memegang rokok berjalan berbaris-baris menuju ke gedung sebelah timur merupakan pemandangan yang luar biasa. Mereka mengambil jalan agak berputar melalui pekarangan antara gedung lama sebelah timur dan gedung baru. Sasaran adalah di belakang gedung baru di sudut tenggara, dekat pagar sekolah. Karena yang paling depan adalah sesama perokok, mereka yang berkumpul di pojok tenggara ini tidak curiga apa-apa. Mereka semua baru kaget waktu pak Umar muncul di tengah-tengah tiga puluhan orang itu. Melihat kehadiran pak Umar masih ada yang sempat membuang rokoknya. Seperti tadi pak Umar menyuruh mereka yang membuang itu memungut rokoknya kembali. Di sini ada sekitar lima belasan perokok.

‘Baiklah. Sekarang kita akan pergi ke ruang serba guna di atas dan akan berbincang-bincang di sana. Hayo…..semua kita ke sana dan kita melalui tangga di tengah gedung sebelah sana. Mari silahkan…jangan ada yang membuang rokoknya ya!’

Sekarang empat puluh lima orang berbaris-baris dengan rokok di tangan. Mungkin semua menggerutu dalam hati. Ini rokok sialan kok masih lebih dari separo dan terpaksa dipegangi terus. Mereka beriring-iringan menaiki tangga. Pak Umar memerintahkan seorang murid untuk memanggil pak Mursyid dan pak Hardjono dan meminta keduanya menyusul ke ruang serba guna di lantai dua. Murid itu, yang memandang rombongan itu sambil melongo, bergegas mencari pak Mursyid dan pak Hardjono ke ruangan guru. Semuanya disuruh duduk di ruangan seba guna itu dengan tangannya tetap masih memegang rokok masing-masing. Meski tidak dihisap, tidak ada yang berani menghisap, ruangan itu pelan-pelan dipenuhi asap rokok.

‘Baiklah anak-anak sekalian, sementara menunggu pak Mursyid dan pak Hardjono silahkan dinikmati rokok kalian, silahkan dihisap. Kenapa tidak ada lagi yang menghisap rokoknya? Silahkan, sayang..rokok mahal-mahal dibeli tidak dinikmati. Dan saya tidak marah. Saya tidak sinis. Saya tidak sedang dan tidak akan menghukum kalian karena kalian merokok, jadi silahkan dinikmati rokoknya!’

Pak Umar melayangkan pandangannya ke sekeliling. Ternyata tidak ada yang berani. Ternyata nyali mereka ciut. Pak Mursyid dan pak Hardjono datang di ruang serba guna.

‘Terima kasih pak Mursyid, pak Hardjono. Mari kita duduk bersama di depan sini, karena saya ingin berdiskusi dengan anak-anak ini dan saya minta bapak-bapak berdua bisa menjadi saksi tentang apa yang akan kita bicarakan.’

Pak Umar mengambil tempat di depan ruang serba guna itu bersama kedua guru olah raga itu dan mulai dengan wejangannya.

‘Baiklah, anak-anak sekalian. Saya ulangi sekali lagi, saya tidak dalam rangka mau menghukum kalian gara-gara rokok. Saya juga tidak ingin menanyakan kenapa kalian merokok, karena itu bukan urusan saya. Saya bahkan tidak melarang kalian untuk merokok karena itu adalah hak kalian. Saya ulangi sekali lagi…. saya tidak melarang kalian untuk merokok. Dan saya tidak mungkin melarang kalian merokok karena saya tidak akan mampu mengawasi kalian terus menerus. Sampai di sini jelas?’

Tidak ada yang menjawab dan tidak ada yang bersuara. Terdengar bel masuk kelas berbunyi.

‘Tapi…harap kalian perhatikan! Tapi… di sekolah ini saya melarang kalian merokok. Ini adalah peraturan sekolah. Kalian dilarang mengotori udara di sekolah ini dengan asap rokok. Peraturan ini harus ditegakkan. Dimana-mana di dunia ini ada peraturan, dan di sekolah ini kita juga mempunyai peraturan. Adalah tugas saya untuk mengawasi tegaknya peraturan itu. Untuk yang sudah terjadi sampai hari ini, bahkan sampai saat ini, saya maafkan. Mungkin kalian belum tahu adanya peraturan tidak boleh merokok, mungkin kalian tidak diingatkan, atau mungkin kalian merasa bahwa peraturan itu tidak pernah ditegakkan dengan sungguh-sungguh atau apapun alasannya, saya tidak ingin mempermasalahkannya. Yang sudah berlalu..sudah selesai..tidak kita ungkit-ungkit lagi. Untuk yang akan datang…saya sampaikan kepada kalian sekali lagi, kita punya peraturan. Dan saya ditugaskan untuk mengawasi tegaknya peraturan itu di sini. Peraturan itu tidak akan ada artinya kalau tidak dipatuhi. Untuk menegakkan peraturan perlu adanya jaminan agar peraturan itu tidak dilanggar. Perlu adanya sangsi. Saya tidak tahu apakah selama ini sudah ada sangsi. Apakah ada sangsi selama ini untuk pelanggaran merokok yang dilakukan oleh murid di sekolah, pak Mursyid?’

‘Saya tidak ingat pak. Yang saya tahu biasanya kalau kedapatan, oleh guru-guru diperingatkan saja.’

‘Baiklah, kalau begitu. Kita anggap saja bahwa selama ini belum ada sangsi. Mulai hari ini akan saya tetapkan sangsi bertahap sebagai berikut. Pertama, setiap murid yang kedapatan merokok di dalam pekarangan sekolah pada hari itu akan di suruh pulang, tidak boleh ikut belajar dan ini akan dicatat di dalam buku catatan kepribadian masing-masing. Oh ya..catatan kepribadian ini wajib dipunyai masing-masing siswa. Catatan kepribadian ini akan diisi oleh guru piket pada saat kalian melakukan pelanggaran. Setiap murid akan diwajibkan mempunyai catatan keperibadian. Kalau kalian dicurigai melakukan pelanggaran apa saja maka yang pertama-tama akan ditanyakan adalah catatan kepribadian kalian. Jadi harap berhati-hati dengan buku catatan keperibadian itu. Pelanggaran merokok yang kedua kalinya akan dikenai sangsi diskors atau tidak boleh masuk sekolah seminggu. Hal ini bukan saja dicatat di buku catatan keperibadian tapi juga dengan memberi tahukan kepada orang tua yang bersangkutan. Pelanggaran ketiga kali, sangsinya yang bersangkutan dinyatakan langsung tidak akan naik kelas. Dan kalau yang bersangkutan kelas tiga, tidak diijinkan ikut ujian akhir sekolah. Mungkin ada pertanyaan sampai di sini?’

Tidak ada yang bertanya. Semua murid itu berpandang-pandangan.

‘Ada yang ingin ditanyakan?’ pak Umar kembali menawarkan.

‘Apa saya juga boleh bertanya pak?’ tanya pak Mursyid.

‘Oh tentu, silahkan pak Mursyid!’

‘Bagaimana kalau seorang murid kedapatan merokok di sekolah sudah diluar jam pelajaran. artinya sesudah lonceng pulang sekolah dibunyikan?’

‘Tetap dicatat di buku catatan keperibadian. Jadi tujuan utamanya adalah penegakan hukum. Mereka yang melanggar sekali dapat sangsi ringan, melanggar kedua kali sangsinya bertambah berat, melanggar ketiga kalinya lebih berat lagi.’

Semua diam. Semua tidak ada yang berkomentar. Tapi tiba-tiba seorang murid mengangkat tangan.

‘Silahkan. Siapa namamu dan dari kelas berapa?’ tanya pak Umar.

‘Terima kasih, pak. Nama saya Asrul dari kelas dua B, pak. Pertanyaan pertama apakah peraturan yang bapak katakan dengan sangsi itu mulai berlaku sekarang? Yang kedua, mungkin masih ada di antara kami yang punya kebiasaan merokok tapi tidak hadir di sini saat ini. Apakah mereka juga dikenakan sangsi yang sama mulai hari ini juga? Itu saja pertanyaan saya pak, terima kasih.’

‘Pertanyaan yang bagus. Sebelumnya apa saya boleh minta tolong pak Hardjono? Mengedarkan kertas untuk absensi mereka yang hadir di sini sekarang. Nah! Menjawab pertanyaan Asrul ini, bagi kalian yang hadir di sini sekarang, peraturan itu segera berlaku sejak hari ini. Jadi jangan ada yang berani lagi mencoba merokok pada waktu istirahat kedua nanti. Bagi mereka yang tidak hadir di sini masih akan ada kelonggaran hari ini. Nanti pada waktu istirahat kedua saya akan melakukan penggeledahan lagi. Kalau kalian ingin berbuat baik kepada mereka yang kalian kenal silahkan di beri tahu. Besok pagi sebelum masuk kelas semua murid akan dikumpulkan di lapangan upacara untuk menyampaikan aturan berikut sangsi ini.’

Sunday, October 26, 2008

SANG AMANAH (34)

(34)

‘Apakah anda berdua ingin agar kita berbicara di sini atau di ruangan kantor saya?’ tanya pak Umar.

Kedua orang itu hanya berpandang-pandangan, tidak bersuara. Keduanya gelisah dan ketakutan. Pak Umar mengulangi kata-katanya.

‘Baiklah, saya rasa sebaiknya kita berbincang-bincang di ruangan saya. Kalau di sini saya khawatir ada lagi yang masuk ke sini, dan akibatnya akan menjadikan semakin tidak nyaman bagi anda berdua. Mari ikut ke ruangan saya!’ pak Umar setengah memerintah.

Pak Umar lebih dulu keluar. Dia membukakan pintu lebar-lebar agar pintu itu tidak menutup kembali. Ketiga orang itu menuju ke kantor pak Umar, kantor kepala sekolah. Di ruangan guru sedang tidak ada orang. Pak Umar memepersilahkan kedua orang itu masuk dan duduk sementara pak Umar menutup pintu kantornya.

‘Maaf, saudara.. pak Darmaji, guru bahasa Jepang bukan? Dan anda.... ibu Rita guru …?’

‘Guru kimia, pak,’ jawab ibu Rita.

‘Saya minta maaf karena mengganggu anda berdua. Sebelum anda berprasangka macam-macam, saya akan memberikan jaminan bahwa saya bukan orang yang suka mempermalukan orang lain. Anda berdua adalah rekan sejawat saya di sekolah ini. Akan tetapi saya juga ingin memberitahukan atau mengingatkan bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab penuh di sini untuk pendidikan moral dan akhlak murid-murid dan termasuk juga guru-guru. Bahwa anda sepasang kekasih itu bukan urusan saya, tapi kalau anda sebagai guru, menggunakan sarana sekolah untuk memadu kasih seperti yang….maaf… terlihat oleh saya tadi tentu saja saya berkeberatan. Di sekolah ini jelas bukan tempatnya. Saya rasa sangat tidak pantas hal seperti itu dilakukan di lingkungan sekolah apalagi oleh seorang guru. Sementara hanya itu saja yang ingin saya katakan. Apakah anda berdua keberatan dengan apa-apa yang saya ungkapkan?’

‘Tidak pak….. dan saya mohon maaf… Saya berjanji tidak akan mengulanginya..’ ibu Rita yang lebih dahulu menjawab.

‘Saya juga minta maaf, pak,’ pak Darmaji menambahkan.

‘Baklah kalau begitu, kita saling memaafkan dan melupakan apa yang tadi….’, pak Umar tidak meneruskan kata-katanya.

‘Sekali lagi maaf, pak. Apa yang harus saya lakukan sekarang?’ tanya pak Darmaji agak gugup.

‘Saya tidak tahu. Sebentar lagi pak Darmaji mungkin harus mengajar. Silahkan mempesiapkan bahan pelajaran.’

‘Tapi hari ini saya tidak mengajar, pak….. eh..eh..maksud saya..’

‘Ya kalau begitu barangkali pak Darmaji seharusya hari ini libur… mungkin tidak ada keperluannya di sekolah….maksud saya yang berhubungan dengan tugas mengajar,’ kata pak Umar menambahkan.

‘Apakah maksud bapak saya boleh pergi…sekarang..?’ tanya pak Darmaji, masih gugup.

‘Ya…silahkan. Dan Ibu Rita juga. Apakah ibu Rita juga tidak mengajar hari ini?’ tanya pak Umar kepada ibu Rita.

‘Saya mengajar pak. Nanti sesudah istirahat pertama,’ jawab ibu Rita.

‘Ya..kalau begitu silahkan mempersiapkan bahan pelajarannya.’

Kedua orang guru ini berdiri, memberi hormat kepada pak Umar dan melangkah keluar. Pak Darmaji terheran-heran. Hanya begitu saja reaksi kepala sekolah itu? Apakah dia sedemikian pemaafnya? Apakah dia sedemikian tidak perdulinya? Atau dia menganggap apa yang tadi mereka lakukan sesuatu yang biasa-biasa saja? Atau jangan-jangan dia akan mencatat prilakunya tadi itu didalam catatan khusus untuk pertimbangan kenaikan pangkatnya nanti. Ah, sudahlah. Bagaimanapun dia memang sudah tertangkap basah tadi, mau apa lagi. Tapi anehnya, apa urusan kepala sekolah itu tadi ke ruang perpustakaan pagi-pagi begitu? Atau jangan-jangan dia memang sudah mengintip. Jangan-jangan dia sudah tahu bahwa mereka, dia dan Rita, sering memanfaatkan ruangan itu untuk bermesraan. Darmaji jadi berdebar-debar terus. Dia harus berbicara dengan kepala sekolah itu. Ya...ya…dia harus berbicara. Dia harus memberi penjelasan tentang apa yang sedang dihadapinya. Tapi? Bukankah itu urusan pribadinya? Bukankah kepala sekolah itu sudah mengatakan tidak mau ikut campur urusan pribadi mereka? Bahwa yang jadi kepentingannya hanya menyangkut tata tertib dan kesopanan di sekolah, sementara yang lain tidak? Jadi bagaimana dia akan membicarakan masalahnya dengan pak Umar itu?

Darmaji bahkan tidak sempat untuk berpamitan dengan Rita, kekasihnya. Pikirannya galau sekali. Dia memang tidak ada tugas mengajar hari ini. Biasanya, meskipun tidak bertugas mengajar tidak ada halangan bagi setiap guru untuk hadir di sekolah. Sebaliknya, seandainya mereka tidak datang juga tidak dipermasalahkan. Kasus Darmaji tentu berbeda. Dia datang bukan untuk kepentingan sekolah tapi untuk memadu kasih. Singkatnya untuk berpacaran. Hal yang sudah lumayan lama mereka lakukan. Selama itu, mungkin ada di antara guru-guru yang curiga tapi tidak pernah ada yang mengusili mereka. Tidak pernah ada yang perduli. Ruangan perpustakaan itu adalah saksi bisu tentang kisah kasih mesra mereka berdua yang dijalankan begitu cermat selama ini. Belum pernah mereka ketahuan oleh siapapun. Belum pernah ada yang curiga apalagi sampai menangkap basah seperti yang dilakukan pak Umar pagi ini. Pagi ini benar-benar sial. Benar-benar memalukan. Dia juga sadar bahwa dia itu adalah guru yang seharusnya menjadi contoh kepada murid-murid. Dia juga mengerti bahwa sekolah itu bukan tempat berpacaran. Tapi, itulah. Itu yang sudah terjadi.

Darmaji melangkah ke tempat parkir sepeda motor dan mengambil sepeda motornya lalu pergi. Dia tidak tahu mau kemana, tapi yang jelas dia harus pergi dari sekolah ini. Dia tidak ingin terlihat lagi hari ini oleh pak Umar. Dia merasa sangat malu.


*****

Meskipun juga merasa malu, Rita berusaha lebih tenang. Keluar dari ruangan pak Umar dia menuju ke meja kerjanya. Rita melihat Darmaji keluar dari ruangan guru sambil menunduk. Mungkin dia sangat ketakutan. Mungkin dia sangat gugup atau mungkin juga sangat malu. Dia bahkan tidak mengatakan apa-apa kepada dirinya sebelum berlalu keluar. Rita berusaha menahan debaran jantungnya yang sebenarnya juga sangat tidak beraturan. Dikeluarkannya buku Ilmu Kimia pegangan guru dan dibalik-baliknya halaman demi halaman buku itu sementara pikirannya melayang entah kemana. Dia juga tidak bisa mengartikan sikap pak kepala sekolah tadi itu. Yang malahan minta maaf karena merasa sudah mengganggu mereka, yang nyata-nyata, diapun sadar, melakukan kekeliruan. Sedikitpun dia tidak marah. Tidak ada pertanyaan yang menghakimi. Tidak ada pertanyaan menyelidik. Tidak ada ancaman. Bahkan, entah kenapa dia mengatakan bahwa dia tidak suka mempermalukan orang lain. Entah apa maksudnya. Atau apakah kepala sekolah ini sedemikian realistis dan menganggap wajar saja dua orang guru yang tentunya sudah dewasa berpacaran? Yang dipemasalahkannya hanya tempatnya. Ini sekolah dan seyogianya hal itu tidak dilakukan di sini. Itu saja. Rita terkejut dari lamunannya ketika pak Kus memasuki ruang guru dan menyapanya.

‘Selamat pagi, Rita. Rajin benar… menyiapkan bahan yang mau diajarkan!’ pak Kus berbasa-basi sambil tersenyum. Sebelumnya dia sempat melirik buku di hadapan Rita.

‘Selamat pagi, pak Kus. Nggak juga…. kebetulan memang ada pertanyaan waktu itu dari anak-anak yang saya belum bisa jawab…. Sudah selesai mengajarnya, pak Kus?’ Rita balas bertanya.

‘Belum….. Saya juga sama nih. Barusan ada pertanyaan dari anak-anak tapi saya tidak tahu jawabannya. Makanya.. saya lagi nyari buku pegangan juga nih.’

Setelah menemukan buku yang dicarinya pak Kus segera mau kembali ke kelas. Sebelum keluar dia setengah bertanya.

‘Perasaan saya barusan melihat pak Darmaji ke belakang. Apa tadi nggak ketemu Rita?’

‘Ya, barusan dia ke sini. Tapi buru-buru pergi. Mungkin ada keperluan lain,’ jawab Rita.

*****

Pak Umar tidak terlalu kaget meski juga tidak habis pikir, kok dua orang guru mau berpacaran di sekolah. Tapi…. ya mungkin saja karena pengaruh darah muda, selalu saja ingin menggunakan setiap kesempatan yang ada. Siapa pula yang perduli dengan ruangan perpustakaan yang tidak ada buku-bukunya dan sepertinya tidak ada yang mengurusnya itu? Sementara ruangan itu tertutup. Kebetulan saja yang dipergokinya tadi pak Darmaji dan ibu Rita. Kebetulan saja mereka sekedar berpeluk-pelukan. Bagaimana kalau lebih dari itu? Astaghfirullah….

Bukan hanya peristiwa pak Darmaji dan ibu Rita yang tengah berputar di dalam benak pak Umar, tapi semua yang dilihatnya pagi ini. Semua bukti-bukti bahwa tata tertib sekolah ini sangat rapuh. Kelihatannya banyak sekali murid-murid sekolah ini yang pecandu rokok. Kelihatannya rokokpun diperjualbelikan secara resmi di kantin sekolah. Apakah tidak ada guru-guru yang tahu? Apakah tidak ada guru-guru yang perduli? Dan gudang yang kunci gemboknya dibuka paksa sampai rusak itu. Siapa pula agaknya yang menggunakannya untuk ….? Astaghfirullah…..

Semua temuannya pagi ini dicatat di buku catatan pribadinya. Bukan untuk apa-apa, tapi sekedar catatan yang mungkin diperlukannya pada waktu rapat kalau nanti semua masalah ini dikemukakannya kepada guru-guru. Pak Umar menunggu waktu. Sebentar lagi, pada saat jam istirahat dia ingin menyaksikan sendiri semua temuannya tadi terutamanya perihal rokok. Lima menit lagi bel akan dibunyikan.


*****

SANG AMANAH (33)

(33)

8. Kepsek Baru Peraturan Baru

Resmi sudah pak Umar menjadi kepala sekolah SMU 369. Hari-hari pertama sebagai kepala sekolah digunakannya untuk konsolidasi, mengenali setiap pribadi guru-guru dan karyawan bukan guru sekolah itu secara lebih rinci. Pak Umar berusaha mengenali bangunan SMU 369 sampai hal sekecil-kecilnya. Secara diam-diam diperiksanya dimana terdapat tempat-tempat tersembunyi seperti di samping kelas, di belakang kantin, di tempat parkir, kamar kecil, bagian dalam ruangan serba guna, perpustakaan dan sebagainya. Ruangan-ruangan tersembunyi seperti itu mungkin saja dimanfaatkan oleh anak-anak untuk kegiatan yang tidak baik.

SMU 369 terletak di atas tanah seluas sekitar 6000m persegi. Di depan sekali, dekat jalan raya adalah jalan masuk selebar lima meter mulai dari gerbang sekolah sampai ke ruangan kelas terdekat sepanjang 40m. Jalan masuk ini bersebelahan dengan lapangan parkir untuk kendaraan roda empat. Di tengah-tengah lapangan parkir itu ada satu pohon besar sangat rimbun sebagai peneduh dan di sisi timur dan selatannya ada beberapa pohon palem tumbuh berjejer. Bangunan sekolah terletak di bagian yang menjorok kedalam di atas tanah berukuran lebih kurang 60 kali 70an meter, memanjang dari utara ke selatan. Jalan masuk dari pintu gerbang membuat sudut empat puluh derajat dengan bangunan sekolah yang memanjang utara - selatan itu.

Bangunan awal adalah dua buah bangunan bertingkat dua berhadap-hadapan, masing-masing dengan empat lokal di lantai dasar. Lantai dasar itu dibagi menjadi dua bahagian yang dipisahkan oleh tangga di tengah-tengah. Waktu mula-mula dibangun sekolah itu terdiri dari dua belas ruangan kelas, kantor kepala sekolah dan kantor tata usaha, ruangan guru, sebuah laboratorium dan perpustakaan. Di bagian ujung setiap bangunan itu baik yang di lantai dasar maupun di lantai atas terdapat kamar kecil. Di antara kedua bangunan induk itu ada lapangan yang biasanya digunakan untuk tempat upacara bendera seluas delapan ratus meter. Sekeliling pinggirnya ditutup dengan batu paving dan bagian tengahnya merupakan lapangan basket. Bangunan sekolah di sebelah timur terletak sekitar satu setengah meter dari tembok pagar sekolah. Antara bangunan sekolah dan pagar adalah emperan dan got kecil. Bagian sebelah barat merupakan lapangan selebar lebih kurang sepuluh meter. Lapangan sebelah barat ini ditumbuhi beberapa pohon buah-buahan dan sebagian besar waktu itu dijadikan taman. Di sebelah selatan, atau di bagian paling jauh dari jalan masuk terhampar lapangan rumput cukup luas untuk jadi lapangan bola. Ada beberapa pohon peneduh tumbuh di pinggir lapangan itu.

Beberapa tahun sesudah SMU 369 didirikan jumlah murid-murid baru yang mendaftar ke sekolah itu semakin bertambah, oleh karenanya diperlukan tambahan ruangan kelas baru. Bangunan itu mula-mula dikembangkan dengan menambahkan masing-masing satu kelas bertingkat di bagian sebelah utara mengikuti bangunan asal menjadikannya menyerupai bentuk huruf ‘U’ yang terpotong di tengah. Bagian yang terpotong adalah lanjutan dari jalan masuk. Dengan tambahan empat ruangan kelas, maka jumlah masing-masing kelas bisa ditingkatkan menjadi lima kelas. Keadaan dengan jumlah ruangan mencukupi itu tidak bertahan lama. Tahun-tahun berikutnya murid baru yang mendaftar ke sekolah itu semakin banyak. Bahkan pernah sekolah itu diharuskan Debdikbud menerima murid kelas satu sampai delapan kelas dan sekolah dibagi menjadi kelas pagi dan kelas siang. Kondisi seperti itulah yang didapatkan pak Suprapto waktu dia mula-mula menjabat sebagai kepala sekolah lima tahun yang lalu.

Pak Suprapto adalah pelopor pembangunan tambahan sepuluh ruang kelas baru. Gedung baru itu adalah lima kelas bertingkat yang dibangun di lapangan sebelah selatan, tegak lurus dengan bangunan awal. Bangunan tambahan itu berdiri sendiri, berjarak kira-kira lima meter dari kedua bangunan awal. Bagian sebelah timurnya sejajar dengan bangunan awal, satu setengah meter dari tembok sekolah. Di sebelah barat agak menjorok melebihi lebar ruangan kelas lama. Di tanah yang masih tersisa di bagian barat daya kompleks sekolah itu atau di sebelah barat dari bangunan tambahan, dibangun mesjid sekolah. Lapangan di sebelah barat kemudian dibagi menjadi tiga bahagian, masing-masing tempat parkir sepeda motor sepanjang satu kelas, kantin sekolah bersebelahan dengan gudang, rumah kecil penjaga sekolah, menara air dan kebun mini sekolah yang sekarang berbatasan dengan mesjid sekolah.

Dengan jumlah kelas sebanyak itu dan susunan bangunan seperti itu memang terdapat beberpa titik yang agak tersembunyi seperti di sebelah tenggara, di belakang bangunan baru dekat tembok selatan, di sebelah kantin sekolah di sebelah barat, di belakang mesjid. Tempat-tempat seperti ini menjadi perhatian khusus pak Umar. Di samping itu ada beberapa ruangan yang tidak rutin dipakai seperti ruang perpustakaan, ruangan laboratorium, ruangan serba guna dan gudang sekolah di samping kantin yang tidak luput dari perhatiannya.

Sekolah dengan lebih dari tujuh ratus murid tentu memerlukan perhatian yang sungguh-sunguh. Pak Umar sendirian tidak akan mungkin mengawasi sekolah sebesar itu apalagi dengan jumlah murid sebanyak itu. Dia harus melibatkan semua guru-guru untuk ikut memikul tanggung jawab bersama. Pak Umar ingin meningkatkan pengawasan di sekolah ini, terutama pengawasan terhadap prilaku murid-murid. Moral atau lebih tepatnya akhlak siswa merupakan bagian paling penting yang harus dibenahi. Pak Umar mengerti benar dengan kebiasaan-kebiasaan anak muda seusia siswa SMU sekarang yang seringkali cenderung melanggar aturan dan bahkan menjurus kepada kerusakan moral. Di sekolah tempat dia mengajar sebelumnya, tempat-tempat yang tersembunyi itu bila tidak diawasi bisa dijadikan anak-anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dilarang seperti merokok, berpacaran bahkan ada yang main judi. Pak Umar tidak ingin hal yang sama terjadi di sekolah ini. Dan seandainya kebiasaan-kebiasaan seperti itu sudah ada di sini, dia bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Masalah moral atau tepatnya masalah akhlak memang telah menjadi masalah nasional yang cukup memprihatinkan sekarang ini. Kerusakan moral dan kebejatan akhlak dipertunjukkan masyarakat luas secara terang-terangan. Orang seolah-olah saling berlomba menunjukkan ketidak taatan terhadap hukum, ketidak pedulian terhadap aturan, kedurhakaan terhadap norma-norma agama. Orang seperti bangga dengan perbuatan melawan hukum, dengan perbuatan tercela, dengan perbuatan dosa. Dan ini biasanya dimulai dengan pelanggaran-pelanggaran kecil, meningkat menjadi kejahatan-kejahatan yang lebih besar dan pada akhirnya ada orang yang mampu melakukan kerusakan apa saja untuk kepentingan pribadinya. Contoh-contoh pelanggaran-pelanggaran itu bisa terlihat dimana saja. Di jalanan dengan pelanggaran tertib lalu lintas yang dilakukan secara terang-terangan oleh banyak pemakai jalan raya. Seringkali bahkan ditunjang pula oleh perlakuan aparat yang ikut melanggar padahal seharusnya mereka membantu penegakkan hukum. Pelanggaran hukum bisa terlihat di kantor-kantor, tempat dimana orang menyalah gunakan wewenang atau mungkin juga jabatan. Pelanggaran sering terjadi di pasar-pasar, di mall-mall moderen, di rumah sakit. Pokoknya dimana saja. Bahkan terjadi di sekolah-sekolah dengan tawuran. Bahkan di perguruan-perguruan tinggi, ada mahasiswa berprilaku bar-bar tanpa rasa malu.

Hal ini tidak akan pernah berubah kalau tidak ada yang berusaha memulai memperbaikinya. Hal ini akan semakin parah kalau tidak ada yang perduli. Pak Umar berkeyakinan bahwa tempat yang paling ideal untuk mengawali perbaikan moral itu adalah di sekolah. Mereka perlu diawasi, tapi bukan untuk dihukum atau dikenakan sangsi melainkan untuk dibina agar tidak terlanjur terjerumus ke lembah kehinaan.

*****

Disaat semua murid-murid sudah masuk kelas mengikuti pelajaran, pak Umar berjalan-jalan di sekeliling sekolah. Dimulai dengan pemeriksaan kamar kecil yang biasa digunakan murid-murid. Di setiap lantai ada dua kamar kecil yang diperuntukkan satu untuk murid wanita dan satu untuk murid laki-laki. Segera dia menemukan bahwa tidak semua kamar kecil itu terpelihara. Kamar kecil di lantai atas umumnya kotor. Pintu dan didindingnya penuh dengan coretan-coretan bahkan ada tulisan kata-kata yang tidak senonoh. Ada puntung rokok berserakan dimana-mana. Lantainya kotor dan umumnya bau. Padahal keran air berfungsi dengan baik. Pengawasan terhadap kamar kecil di lantai atas ini kelihatan sangat minim sekali. Pak Umar mencatat di buku catatan kecilnya semua yang diamatinya.

Sesudah memeriksa semua kamar kecil dan mencatat hal-hal penting yang diamatinya di sana pak Umar meneruskan pengamatannya ke kantin sekolah dan sekitarnya. Yang mengusahakan kantin ini bernama pak Mamat. Dia dibantu oleh istrinya ibu Iroh dan seorang pembantu lain bernama mbak Iyem. Kantin ini menyediakan makanan seperti lontong, bakso dan mie instan yang dimasakkan sesuai pesanan, serta minuman ringan dalam botol. Meja-kursi maupun peralatan makan di kantin ini cukup bersih. Tapi tetap saja di meja-meja kantin itu ada coretan-coretan menggunakan spidol yang tidak bisa dihapus dengan air. Kata-kata yang dituliskan di meja itu juga ada yang tidak pantas. Yang sangat mengherankan pak Umar bahwa kantin itu juga menjual rokok dengan persediaan beberapa macam merek rokok dalam jumlah cukup banyak. Persediaan rokok itu memang tidak langsung terlihat dari depan karena ditaruh di lemari yang letaknya membelakangi pintu masuk. Pak Mamat langsung gugup waktu pak Umar memegang rokok dagangannya. Pak Umar tidak bertanya apa-apa dan berbuat seolah-olah keberadaan rokok di sana sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja.

Dari kantin dia melanjutkan ke gudang sekolah yang terletak di samping kantin. Gudang yang seharusnya dikunci ternyata kunci gemboknya sudah di rusak. Kunci gembok itu masih menempel di sana tapi kaitan gemboknya tercabut secara paksa. Gudang itu berisi tumpukan meja-kursi yang sudah rusak, peralatan berkebun, sepeda rusak yang entah punya siapa. Terdapat pula peralatan yang dipakai untuk pementasan kemarin ini ditumpuk begitu saja. Ada sebuah pojokan tertutup oleh tumpukan meja kursi yang lebih bersih dari tempat lain. Sepertinya sering dipakai untuk tempat duduk-duduk. Entah apa yang pernah dilakukan oleh entah siapa di tempat ini.

Pak Umar meneruskan pemeriksaan di dekat mesjid sekolah. Di samping sebelah selatan mesjid ada lapangan kira-kira tiga meter antara bangunan mesjid dengan pagar tembok. Ada lobang tempat pembakaran sampah di tanah terbuka yang sedikit ini. Tapi karena sampah sekolah tidak banyak, kelihatannya tempat pembakaran sampah ini jarang dimanfaatkan. Dan tempat ini benar-benar tersembunyi dari pandangan. Entah kenapa ada ‘tempat persembunyian’ seperti itu di sekolah. Seperti sudah diduganya, di sana juga berceceran puntung rokok. Dan ada beberapa kartu domino berceceran di tempat pembakaran sampah itu. Pak Umar kembali mencatat yang dilihatnya. Pak Umar menyusuri emperan di sebelah selatan bangunan baru. Emperan itu hanya kira-kira dua meter dari pagar tembok sekolah. Di pojok timur, di sudut pekarangan sekolah tempat tembok bagian selatan dan timur bertemu, ada pula tempat tersembunyi persis di belakang bangunan baru. Di sini juga terdapat puntung rokok.

Diteruskannya menyusuri emperan di samping timur yang berbatasan dengan tembok pagar sekolah. Emperan ini kotor. Sampah bertebaran hampir di sepanjang jalan selebar satu meter ini. Bahkan di got aliran air cucuran atap terdapat banyak sampah-sampah kertas. Sampah di sini kelihatannya berasal dari dalam kelas yang dibuang melalui jendela. Ada beberapa puntung rokok juga ditemukan tapi tidak sebanyak di dekat mesjid. Pak Umar meneruskan langkahnya mengikuti emperan di sebelah utara yang berbatasan dengan lapangan parkir mobil. Mungkin karena emperan sebelah utara ini langsung terlihat waktu memasuki gedung sekolah dari arah gerbang, tempat ini bersih dan terpelihara.

Pak Umar melangkah menuju ke ruang perpustakaan yang beberapa hari yang lalu pernah dikunjunginya dengan pak Kosasih. Pintu ruangan perpustakaan itu tidak dikunci. Pak Umar mendorong pintu itu dan melangkah masuk. Dan apa yang dilihatnya di dalam benar-benar hampir menjadikan jantungnya copot. Pak Umar beristighfar, ‘Astaghfirullahil’azhiim’. Pak Darmaji dan ibu Rita, pak guru Darmaji dan ibu guru Rita, sedang berciuman dan berpelukan mesra. Keduanya bahkan tidak menyadari kehadiran pak Umar saking asyik dan masyuknya. Dua orang guru sedang berpacaran di ruang perpustakaan pada waktu jam sekolah. Mungkin ini bukan pemandangan yang paling buruk. Mungkin saja yang lebih buruk dari ini bisa terjadi. Mungkin saja ini masih awal dari sesuatu yang lebih buruk yang akan terjadi. Dan ini berlangsung di sekolah. Agaknya waktunya sudah direncanakan sedemikian rupa. Pada saat kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung dan ruangan perpustakaan ini sedang sepi. Tidak ada yang menggunakan ruangan perpustakaan maka ada saja yang memanfaatkannya untuk hal lain. Dan yang sangat menusuk perasaan pak Umar, hal ini dilakukan sepasang guru. Pak Umar berdehem. Kedua guru yang sedang memerankan acara film itu tersentak kaget dan secara refleks melepaskan pelukan masing-masing. Agaknya saat ini giliran mereka berdua yang hampir copot jantungnya. Wajah mereka berubah pucat dan mata mereka melotot, bagaikan tidak percaya bahwa mereka tertangkap tangan oleh kepala sekolah yang baru ini. Beberapa detik tidak ada suara. Pak Umar juga tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Tapi akhirnya keluar juga kata-katanya.