Friday, May 15, 2009

DERAI-DERAI CINTA (28)

28. LAMUNAN DALAM KESEPIAN

Rizal ikut sebagai panitia perkenalan mahasiswa baru di kampusnya. Imran lebih betah di Jakarta kalau bersama-sama Rizal. Karena Rizal sibuk, Imran memilih kembali ke Bandung. Selama seminggu di Jakarta dia ke hilir ke mudik dengan Rizal di siang hari yang panas, menumpang bus Kopaja atau Metro Mini. Melintasi jalan raya yang macet. Melihat-lihat kota Jakarta yang panas dan berdebu. Terasa betapa Bandung memang lebih nyaman dibandingkan Jakarta. Bandung lebih bersahabat. Walaupun Bandung kadang-kadang juga cukup panas di siang hari.

Dia berangkat setelah berpamitan dengan nenek. Setelah berpamitan dengan mak tuo Fatma dan etek Munah. Sudah lepas rindu nenek kepadanya begitu pula rindunya kepada orang tua yang sangat disayanginya itu. Seperti biasa nenek menasihatinya agar berhati-hati, agar bekerja keras menyelesaikan sekolahnya. Biar cepat tamat dan usahakan untuk datang ke Jakarta kalau ada masa libur, begitu pesan beliau. Imran tersenyum mendengarnya. Dia berjanji akan mengerjakan seperti yang dinasihatkan nenek.

Imran naik kereta api Parahiyangan kembali ke Bandung. Rizal mengantarnya ke stasiun Jatinegara. Kecuali karena jadwalnya yang terbatas, naik kereta api sebenarnya lebih nyaman. Tempat duduknya lebih lega. Apa lagi naik kereta api Parahiyangan yang menempuh jarak Jakarta - Bandung dalam waktu tiga setengah jam. Dengan bus diperlukan waktu sampai lima jam untuk menghubungkan kedua kota ini. Jam lima kurang Imran sudah sampai di stasiun Bandung. Masih siang dan udara cerah. Dia langsung naik oplet ke arah Dago.

ITB masih sibuk dengan masa perkenalan mahasiswa baru. Waktu turun oplet Imran melihat serombongan mahasiswa baru dengan atribut aneh-aneh mereka mengayuh sepeda beriringan. Mahasiswa baru angkatan 1984. Mereka diijinkan untuk sejenak beristirahat dan mandi, sebelum melanjutkan acara lagi nanti malam. Imran masih ingat bagaimana beratnya masa-masa perkenalan itu dulu. Digojlok mahasiswa-mahasiswa senior sejak pagi buta sampai tengah malam. Banyak teman-temannya, anak-anak orang berada yang manja-manja terampun-ampun selama masa perkenalan itu. Imran membayangkan tentu Lala sedang mengalami hal yang sama saat ini.

Didapatinya rumah terkunci. Rumah kontrakan mungil yang sudah ditempatinya selama dua tahun. Di meja belajarnya ada secarik kertas. Pesan dari Syahrul. Rupanya dia juga ke Jakarta dua hari yang lalu. Disertai pesan tambahan, ‘si R uring-uringan dan berkali-kali menanyakan kapan kau pulang.’ Timbul sedikit rasa kasihan dalam hati Imran. Meski dia tidak tahu apa sebenarnya kepentingan Ratih ingin bertemu dengannya. Apa sebaiknya dia datang ke rumah sebelah? Menemui Ratih? Tapi ah, biarkan sajalah, pikirnya. Kalau dia datang dan bertemu layani dia berbicara baik-baik. Jangan datang berkunjung ke rumahnya, nanti bisa menimbulkan persepsi yang aneh-aneh.

Tiba-tiba bayangan anak dara itu mampir di otaknya. Bayangan Ratih. Dalam bayangan Imran anak gadis itu cukup sopan. Mungkin karena dia baru beberapa kali saja ngobrol dengannya. Dia mengenal beberapa anak-anak gadis yang lain, teman sama kuliah dari jurusan lain, yang bergaul akrab dengan anak laki-laki. Saling colek, saling berpegangan tangan tanpa malu-malu. Imran sangat risih melihatnya. Entahlah kalau mereka itu berpacaran pula. Apakah Ratih juga seperti itu dengan teman laki-laki di tempat kuliahnya? Aneh, kenapa bayangan Ratih ini tiba-tiba muncul di pikirannya?

Dinyalakannya tv. Untuk sekedar melengahkan pikiran. Ada acara taman kanak-kanak di TVRI. Lucu-lucu penampilan anak-anak kecil itu di depan kamera tv. Mereka menyanyi dengan lidah yang masih cadel terpatah-patah, dengan senyum polos kanak-kanak, dengan gerakan tubuh patah-patah yang kaku. Masa kanak-kanak memang masa yang paling indah. Bayangan Imran surut ke masa kanak-kanaknya di kampung. Masa bahagia dengan ibu dan ayah. Ketika dia juga menjadi murid Taman Kanak-kanak di kampungnya. Dan sekali waktu dibawa ibu-ibu guru untuk mengisi acara di RRI Bukit Tinggi. Ternyata itu adalah kenangan dari lima belas tahun yang lalu. Sudah cukup lama.

Sekarang usianya sudah lebih dua puluh tahun. Sebatang kara karena dia anak tunggal. Dia berbeda dengan Rizal yang punya kakak-kakak. Dan masih punya ayah dan ibu. Dia berbeda dengan anak-anak etek Munah. Walaupun di tengah keluarga mak tuo Fatma dan etek Munah dia diperlakukan seperti anak sendiri, dia tidak mungkin memungkiri kenyataan bahwa dia adalah anak yatim piatu. Ayah sudah meninggalkannya sebelas tahun yang lalu ketika dia masih duduk di kelas tiga SD. Sementara ibunya meninggal enam tahun kemudian. Ibu meninggal dipelukannya ketika terjadi bencana besar. Galodo, atau banjir bandang disertai batu-batu besar yang melanda dan merusak kampung. Ibunya yang sakit lumpuh terkorban pada waktu itu. Beliau menghembuskan nafas terakhir dipelukan Imran dengan pesan terakhir agar dia berhati-hati dalam menjalani hidup. Pesan yang selalu terngiang-ngiang di telinganya sampai sekarang.

Kenapa lamunannya sampai sejauh itu? Atau mungkinkah karena selama seminggu dia berada di tengah-tengah keakraban dua buah keluarga yang bahagia? Keluarga mak tuo Fatma dan etek Munah yang selalu hangat dan ceria? Sepertinya, meskipun dirinya diterima dengan penuh kehangatan dalam keluarga besar itu, alam bawah sadarnya tetap merasa iri tanpa dia sadari. Dia tidak memiliki kehangatan seperti yang dirasakan Rizal. Seperti yang dirasakan Dito, Andam dan Deman anak-anak etek Munah. Apalagi sekarang dia kembali berada di tempat tinggalnya. Sunyi di dalam kesendirian. Di rumah kontrakan ini.

Imran dikagetkan oleh suara azan maghrib. Dia bergegas pergi berwuduk. Dan pergi ke mushala untuk shalat berjamaah. Mushala itu berjarak sekitar tiga ratus meter saja dari tempatnya. Imran cukup rajin ikut shalat berjamaah di mushala itu. Jemaahnya tidak banyak. Yang banyak justru anak-anak kecil yang belajar membaca al Quran di mushala itu. Sehabis shalat maghrib dia tidak langsung pulang. Dia ikut mengaji. Dengan suara pelan. Dia sering melakukan hal yang sama di mushala ini.

Sesudah shalat isya baru dia kembali ke rumah. Dia melewati jalan di depan rumah induk tempat keluarga pak Bambang Sadarta tinggal. Jalan satu-satunya untuk ke mushala. Bagian depan rumah itu terlihat sepi dari luar. Mungkin keluarga itu sedang berkumpul di ruangan tengah. Imran baru sekali masuk ke rumah ini. Ketika menolong membukakan pintu kamar mandi yang macet.

Ternyata Syahrul sudah pulang.

‘Dari mana kau?’ tanya Syahrul begitu Imran masuk.

‘Dari mushala. Dari shalat...... Kau baru sampai ?’

‘Baru setengah jam...... Berarti kau di mushala sejak dari waktu maghrib.....’

‘Ya..... Aku pikir kau belum pulang.’

‘Kau kapan pulang ?’ tanya Syahrul pula.

‘Tadi sore. Aku naik kereta.’

‘Aku juga naik kereta. Berarti kita berselisih satu jam. Aku tidak tahu kalau kau pulang hari ini juga. Bagaimana kabar nenekmu?’

‘Beliau kurang sehat waktu aku datang. Batuk dan demam. Tapi sekarang sudah sembuh kembali.’

‘Pergi meraun panik dengan si Rizal seperti biasa?’

‘Ya, iyalah. Turun naik Metro Mini. Kau sendiri? Kok sebentar saja di Jakarta?’

‘Aku hanya mencari buku-buku. Aku memang tidak betah berlama-lama disana.’

‘Jakarta sangat panas.’

‘Ya... itu yang menyebabkan aku tidak tahan tinggal lama-lama di Jakarta....... Bagaimana? Si Ratih sudah ketemu ?’

‘Belum.’

‘Hari kau pergi ke Jakarta, sorenya dia datang mencari kau. Dua hari kemudian datang lagi. Terakhir di hari aku berangkat ke Jakarta. Rindu berat kelihatannya.. he..he..he..’

‘Masak sih?’

‘Kalau bukan rindu berat apa lagi namanya?’

‘Entahlah..... Kau belum lapar ?’ tanya Imran

‘Sudah lapar. Sudah jam berapa ini? Kita makan ke Balubur saja?’

Mereka pergi makan keluar.


***

Beberapa menit setelah kedua anak muda itu keluar, Ratih lewat di depan rumah mereka. Dia baru saja dari kampus. Ratih ikut jadi panitia masa perkenalan mahasiswa baru. Panitia itu baru saja mengadakan rapat persiapan pelaksanaan masa perkenalan yang akan dimulai besok. Dilihatnya lampu rumah Imran tidak menyala. Masih belum pulang juga orang itu, pikirnya.


*****

No comments: