Friday, February 29, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.30)

30. Selamat Tinggal Ranah Bako (tamat)

’Sudah siap kopermu? Sudah siap untuk berangkat?’ tanya Pohan waktu mereka sudah selesai sarapan.

’Siap saja. Tinggal berangkat,’ jawab Aswin.

’Nggak mau kemana-mana lagi pagi ini?’ tanya Pohan lagi.

’Bagaimana kalau kita mancing?’ Aswin balik bertanya.

’Tidak ada masalah. Ayo! Mari kita ke ’tabek’,’ ajak Pohan.

’Aa iyo, pailah mamapeh, kan panjang ari lai,’ kata nenek yang mendengar diskusi mereka.

’Enek kapai mancaliak kami mamapeh?’ tanya Pohan.

’Dululah, biko enek caliak kian,’ kata nenek.

Mereka lalu pergi ke ’tabek’ di belakang rumah di sebelah. Masing-masing dengan satu tangkai pancing. Membawa umpan yang selalu tersedia di kulkas. Pagi sedang cerah benar. Biasanya kalau cuaca pagi cerah begini ikan mudah dipancing. Aswin pergi ke bangku-bangku yang agak kepanasan. Nyaman rasanya ketika punggungnya ditimpa matahari pagi di udara yang sejuk ini.

Benar saja. Baru saja pancing dilemparkan sudah langsung disambar ikan. Aswin mendapatkan ikan lele besar. Menggelepar-gelepar dengan sangat kencangnya waktu diangkat. Dan Pohanpun segera menyusul. Mendapatkan ikan mas berwarna merah. Aswin sampai berteriak senang melihat pancingnya mengena lagi. Juga seekor ikan mas.

Acara memancing jadi sangat seru. Ikan-ikan bagai berkejar-kejaran melahap umpan setiap kali pancing dilemparkan. Ikan mas, mujair besar-besar, tawes, lele berebutan memakan umpan. Sebentar saja mereka sudah dapat banyak ikan. Dan setiap kali seekor ikan dapat disambut dengan teriakan dan gurauan.

Sedang mereka asyik begitu etek datang berdua dengan etek Sarah. Etek minta tolong tek Sarah membersihkan beberapa ekor ikan yang sudah didapat. Akan digoreng untuk makan siang.

’Kamu sudah pernah makan ikan lele digoreng, Aswin?’ tanya etek kepada Aswin.

’Belum, tek,’ jawab Aswin.

’Biar lele ini juga digoreng nanti. Sarah, tolong ini juga dibersihkan,’ kata etek kepada etek Sarah.

Rasanya tidak ingin mereka berhenti memancing. Ikan-ikan terus saja memakan umpan yang dilemparkan. Tapi hari sudah beranjak siang dan udara mulai terasa panas. Akhirnya mereka berhenti juga.


*****

Etek sangat cekatan menggoreng ikan-ikan tadi. Digoreng kering. Wangi dan segar baunya, menitikkan selera. Dan dibuat etek pula samba lado tomat. Dengan ketimun mentah serta kol mentah diiris-iris. Seperti lalapnya orang Sunda. Nasi panas masih mengepul-ngepul.

Jam setengah dua belas mereka makan siang. Lebih awal dari biasanya, karena sebentar lagi Aswin akan berangkat. Makan terakhir di rumah bako ceritanya. Aswin sangat menikmati goreng ikan mas kering. Bahkan sirip dan ekornya juga dimakan. Katanya, itu cadangan kalsium yang baik. Memang enak bagai kerupuk. Sesudah makan mereka masih sempat berbincang-bincang.

’Pabilolah si Aswin ka baliak sudah iko lai?’ tanya nenek.

’Apa tuh maksud nenek?’ tanya Aswin kepada Pohan.

’Kapanlah kamu mau kembali lagi kesini,’ jawab Pohan menjelaskan.

’Nanti, nek. Nanti saya akan kembali lagi. I promise, I’ll return,’ jawab Aswin.

‘Pertanyaan agak pribadi. Kapan kamu mau menikah?’ tanya etek.

’Nanti, tek. Paling lama setahun lagi.’

’Orang mana calon menantu etek?’ tanya etek lebih lanjut.

’Orang Indonesia. Ayahnya Jawa dan ibunya Palembang. Mereka menetap di San Francisco. Dia masih bersekolah. Saya menunggu dia selesai kuliahnya,’ jawab Aswin.

‘Kalau kalian menikah bawalah dia pulang kampung,’ kata etek.

’Ya. Mudah-mudahan akan saya bawa nanti. Kamu Pohan? Kapan kamu menikah?’ tanya Aswin pula.

’Mungkin tahun ini juga,’ jawab Pohan.

’Dengan orang Minang?’ tanya Aswin.

’Ya, orang Koto Gadang. Tapi sekarang dia di Jakarta,’ etek yang menjawabkan.

’Waaw. Masih famili?’

’Tidak juga. Hanya sama-sama satu kampung asal saja,’ jawab Pohan.

’Jadi benar ya? Orang Koto Gadang, seboleh-bolehnya menikah dengan orang Koto Gadang juga?’ tanya Aswin.

’Ah, enggak juga. Buktinya ayahmu. Menikah dengan orang Sunda,’ jawab etek.

’Ya, ayah memang perkecualian sepertinya,’ kata Aswin.

’Masih ada lagi. Etek sendiri. Suami etek almarhum orang Batu Sangkar,’ kata etek.

’OK. Kalau begitu ibu mungkin salah dengar. Ibu yang mengatakan bahwa orang Koto Gadang seboleh-bolehnya menikah hanya dengan orang Koto Gadang.’

’Baik. Sudah waktunya kamu berangkat, sudah jam dua belas. Pergilah bersiap-siap,’ kata etek mengingatkan.

Aswin sudah siap. Kopernya sudah dipak dengan rapi.

Merekapun berpamitan. Aswin menyalami dan mencium nenek. Bersalaman dengan sangat takzim dengan etek. Dia ulang kembali janjinya. Insya Allah dia akan datang lagi. Dia benar-benar sangat tersanjung dengan penerimaan etek dan nenek yang begitu hangat. Nenek dan etek terharu melihat Aswin mau berangkat. Anak muda itu sangat menyenangkan dan sopan.

*****

Merekapun berangkat. Selamat tinggal nenek. Selamat tinggal etek. Selamat tinggal Koto Gadang. Mobil mereka bergerak melalui lebuh kampung. Menuju Koto Tuo. Menuju Padang Luar dan berbelok ke kanan. Menuju ke Bandara Internasional Minangkabau.

Panjang cerita mereka berdua sepanjang jalan. Mengevaluasi kunjungan sangat padat selama seminggu tepat. Aswin sangat berterima kasih atas kebaikan Pohan menemaninya selama seminggu itu. Menjelajah Negeri Minangkabau. Belum semua bagian negeri ini terkunjungi. Tapi yang sudah dikunjungi sangat memukau dan menakjubkan.

Jam dua kurang sedikit mereka sampai di bandara. Aswin berpamitan dengan Pohan. Mereka berpelukan. Persaudaraan mereka terasa begitu dekat. Pohan telah memperlakukannya benar-benar seperti saudara kandung. Meski mereka belum pernah bertemu sebelumnya kecuali hanya chatting di internet. Aswin masuk ke ruang dalam bandara untuk check in. Di pintu masuk itu mereka berpisah. Aswin terus ke dalam. Check in dan menyerahkan bagasinya. Lalu masuk ke ruang tunggu setelah selesai dengan urusan imigrasi. Setelah menunggu hampir satu jam dia menaiki pesawat Cathay Pacific. Yang akan membawanya ke Hongkong lalu terus ke LA. Selamat tinggal Bumi Minangkabau. Selamat tinggal ranah bako.


Tamat

Jatibening, Februari 2007

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.29)

29. Gulai Itik Koto Gadang

Jam setengah lima mereka sudah sampai di rumah. Masih sangat siang. Etek justru terheran-heran melihatnya.

’Dari mana kalian? Atau mau pergi lagi sesudah ini?’ tanya etek.

’Kami sudah menyelesaikan semua program. Kami baru saja dari Sungai Janiah. Tadi pagi ke Ngalau Kamang,’ Pohan menjelaskan.

’Apa kalian sudah lapar? Tapi masak iya sih, sudah lapar jam segini?’

’Belum, tek. Kami mau berjalan-jalan melihat sawah,’ jawab Aswin.

’Atau kalian mau minum teh dulu? Etek membuat ketan dan kolak pisang. Mau mencicipinya sekarang?’ tanya etek.

’Kalau itu sih boleh, kayaknya. Dan Mr. Aswin tidak minum teh, dia minum kopi,’ kata Pohan.

Nenek terbangun dari tidur siang. Beliaupun heran melihat anak-anak muda ini cepat pulang.

’Anto capek pulang? Kama pai saariko?’ tanya nenek.

Aswin menceritakan tentang perjalanan mereka sehari ini. Dan mereka ’minum kawa’ berempat, makan ketan dan kolak pisang, sambil mengobrol-ngobrol. Menurut nenek, cerita ikan Sungai Janiah itu termasuk pembodohan yang keterusan. Di tempat lain, seperti di Palupuh, di jalan ke Lubuk Sikaping juga ada ikan sakti dengan cerita yang lain pula. Intinya, ikan itu tidak boleh dimakan. Mungkin awalnya dulu adalah untuk melarang masyarakat agar tidak sembarangan mengambil ikan. Di tempat lain juga ada terdapat ikan ’larangan’, tapi lebih masuk di akal karena larangan itu berlaku pada waktu tertentu saja. Sekali setahun larangan itu dibatalkan dan penduduk boleh mengambil ikan. Ini lebih cerdas. Larangan-larangan itu mungkin berasal dari seseorang yang berpengaruh. Oleh bawahannya dikarang cerita, seolah-olah ikan itu sakti, atau ikan itu berasal dari manusia agar orang tidak mau memakannya. Di mana-mana tidak pernah terjadi manusia berubah jadi ikan, dan cerita itu tidak mungkin di terima akal. Dan pembodohan itu berketerusan sampai sekarang.

’Kok dicakau ikan tu, sudah tu digulai, amuah enek mamakan?’ tanya Pohan.

’Amuah. Baa lo kaindak amuah. Pai lah cakau kian, bao pulang!’ kata nenek, tersenyum.

Pohan juga tersenyum.

Aswin mengerti maksudnya, bahwa nenek mau memakan ikan Sungai Janiah itu kalau digulai.

’Seandainya ikan Sungai Janiah digulai etek kamu mau nggak memakannya?’ tanya Pohan kepada Aswin.

’Jelas mau. Dan ikan seperti yang kita lihat tadi itu pasti enak sekali kalau digulai,’ jawab Aswin.

Sesudah ’minum kawa’ kedua anak muda itu pamit mau berjalan-jalan ke sawah di dekat kampung. Berjalan di pematang-pematang sawah. Melihat pemandangan gunung Singgalang dan Marapi. Sawah yang padinya masih hijau. Membentang luas petak demi petak. Mereka bertemu dengan orang-orang kampung. Yang menyapa mereka dengan ramah. Mereka berjalan-jalan pula memudiki jalan-jalan kampung. Melihat rumah adat Minangkabau berukir-ukir di tengah kampung. Di dekat rumah adat itu mereka bertemu dengan seorang tua yang disapa Pohan dengan mak Sutan.

’Iko kan nan anak Tan Muncak, Pohan. Siapo namo?’

’Iyo mak Sutan. Namono Aswin,’ jawab Pohan.

Aswin menyalami orang tua itu.

’Lai pandai babahaso awak?’ tanya mak Sutan.

’Tidak pandai, mak Sutan,’ jawab Aswin.

’Bagaimana kabar ayah? Ada sehat-sehat saja dia. Sudah lama dia tidak pulang-pulang.’

‘Beliau baik-baik saja. Masih tetap bekerja sampai sekarang,’ jawab Aswin.

‘Dimana tempat dia merantau di Amerika tu gerangan?’

‘Beliau di San Francisco. Saya di Los Angeles,’ jawab Aswin.

‘Jauh jaraknya tu?’

‘Tidak terlalu jauh. Dengan pesawat bisa dicapai dalam empat puluh menit.’

‘Ada lama, cuti. Pabila balik kesana?’

‘Besok, mak Sutan,’ jawab Aswin.

‘He yayai, sudah mau balik saja kiranya? Ambo sangka mau lama di kampung. Tolong sampaikan salam ambo ka Tan Muncak ya. Katakan dari Pak Amir Sutan Mantari. Saya ini teman main beliau ketika kecil-kecil dulu. Berbapak memanggil saya. Kalau Pohan iya bermamak,’ kata orang tua itu.

’Baik, pak Sutan,’ jawab Aswin, tersipu.

Mereka berpisah dengan pak atau mak Sutan. Sore itu mereka shalat maghrib di mesjid. Sesudah shalat langsung pulang.

Sesudah shalat isya baru mereka makan. Acara makan malam jo gulai itiak Koto Gadang yang sudah diprogram sejak tadi subuh. Ternyata memang ’dua jempol naik’ rasanya. Best of best, kata Aswin. Tidak terlalu pedas seperti yang di kedai di Ngarai Sianok. Tapi sangat menggigit enak rasanya. Dan terpaksalah Aswin bertambuh pula makan.

’Benar-benar berdaso, tek. Benar-benar enak,’ kata Aswin, sesudah kekenyangan.

’He..he..he.. Pandai betul kamu memuji. Kalau tidak dilarang membawa masuk barang makanan di Amerika sana, etek bungkuskan untuk ayahmu. Gulai itik ini masih bisa tahan sampai dua tiga hari. Yang di kedai di ngarai itu di bawa orang sampai ke Irian.’

’Ya, sayang betul. Petugas custom di sana sangat tegas dan ketat. Tidak boleh barang makanan dibawa masuk.’

’Suruah sin lah no pulang. Ndak taragak bagaino jo ambo. Suruah no pulang, mak,’ kata nenek.

Aswin tersenyum-senyum mendengar.

’Kata nenek, bilang ke ayahmu agar pulang kampung. Masa dia nggak rindu sama nenek,’ etek menterjemahkan.

Sedang mereka berbincang-bincang santai itu berbunyi telpon. Rupanya, subhanallah, dari ayah Aswin. Dari San Francisco. Etek yang mengangkat.

’Kami baru kasudah makan. Panjang umua ambo Muncak, sadang kami pakecek-an ambo sabantako. Ka mangariman gulai itiak untuak ambo. Nan kecek si Aswin indak buliah dibao masuak di sinan......’

Ayah berbicara dengan etek, dengan nenek, dengan Pohan sebelum berbicara dengan Aswin. Tadinya ayah sekedar mengecek, apakah Aswin jadi berangkat besok.

’Bagaimana nek? Sudah nenek bilang langsung menyuruh ayah pulang?’ tanya Aswin.

’Alah. Jadih jano,’ jawab nenek.

’Ya, kata ayahmu memang dia kepingin pula pulang kampung. Sudah sangat rindu, katanya,’ etek menambahkan.

’Saya yakin, kali ini ayah akan benar-benar pulang. Kalau bilang rindu sudah keseringan. Tapi belum pernah kesampaian. Nanti kalau sudah mendengar cerita saya, tentang kenyamanan di sini, mudah-mudahan ayah akan lebih tergugah,’ kata Aswin.

’Sudah berapa tahun mak dang nggak pulang tek?’ tanya Pohan.

’Sejak di Amerika hanya pulang sekali dan itupun hanya sebentar. Ketika mak tuo Zainab, ibu beliau meninggal. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu.’

’Ya, betul. Sepuluh tahun yang lalu. Ayah pulang sendirian selama seminggu,’ kata Aswin menambahkan.

’Dan ibumu, belum pernah sekali juga ke kampung ini. Kan iyo, mak? Alun panah ceuk Lilis tu kamari?’ tanya etek kepada nenek.

’Alun. Alun panah lai,’ jawab nenek.

’Kalau ayah pulang kampung saya yakin bersama-sama ibu. Ibu juga selalu bilang sangat ingin jalan-jalan ke negeri Minangkabau.’

Mereka berbincang-bincang santai malam ini. Menghotar ke sana ke mari. Sampai jam sepuluh malam. Sebelum pergi tidur etek bertanya.

’Besok jam berapa kalian mau berangkat dari rumah?’

’Jam berapa bagusnya Pohan? Pesawat take off jam 3 sore,’ Aswin minta pendapat Pohan.

’Ke Bandara perlu 75 menit dari sini. Kamu harus sudah di Bandara sebelum jam dua siang. Lebih baik kita berangkat agak cepat. Jam dua belas misalnya.’

’Ya. OK kalau begitu.’

’Pagi sudah tidak kemana-mana, kan?’ tanya etek.

’Tidaklah, tek. Biar sekalian berangkat saja.’

*****

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.28)

28. Raun Terakhir

Sekarang mereka menuju ke mesjid raya, berjalan di hadapan deretan toko-toko. Sudah mendekati waktu shalat Jumat, sudah lebih jam setengah dua belas. Banyak orang yang juga sedang menuju ke arah mesjid. Terlihat dari pakaian yang mereka pakai. Ada yang berkain sarung dengan baju koko, ada yang memakai jas, ada yang memakai pakaian biasa tapi berkopiah dan menyandang sajadah di pundaknya. Mesjid raya terletak di pasar atas, dekat sekali dengan pasar dan toko-toko. Para pedagang yang laki-laki sudah bersiap untuk meninggalkan dagangannya, digantikan oleh istri atau adik perempuan mereka.

Mereka langsung ke tempat wudhu sesudah menitipkan sepatu dan kantong bawaan (oleh-oleh yang tadi di beli) di tempat penitipan. Menurut Pohan, barang-barang itu insya Allah aman di sana. Antri orang di tempat wudhu. Mereka harus menunggu sebentar sebelum dapat giliran berwudhu.

Di dalam mesjid sudah banyak jamaah. 5 saf di depan sudah hampir penuh. Mereka mengisi tempat yang masih kosong di saf kelima itu dan terpaksa duduk terpisah. Sesudah shalat tahyatul masjid dua rakaat mereka duduk menunggu. Ada orang yang sedang membaca al Quran. Jam dua belas lebih dua puluh khatib naik ke mimbar. Sesudah azan dikumandangkan, khatib berkhutbah. Tentang ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam. Tentang bagaimana membina kebersamaan dalam Islam dengan cara menegakkan jamaah, bukan hanya ketika shalat tapi dalam kehidupan nyata. Khutbah yang ringkas dan disampaikan dengan susunan kalimat yang mudah difahami. Lengkap dengan ayat-ayat al Quran dan contoh langsung dari Nabi Muhammad SAW.

Dan merekapun shalat. Bacaan imamnya sama fasih dan bagusnya dengan imam tadi subuh. Tapi ayat yang dibaca tidak sepanjang waktu shalat subuh. Sangat menyejukkan menyimak bacaan imam seperti itu. Shalatpun terasa lebih khusyuk.

Sesudah selesai shalat dan zikir, ketika Aswin mau berdiri dia melihat enche orang Malaysia yang bertemu di Tabek Patah, duduk persis di belakangnya. Orang itu juga kebetulan melihat kepada Aswin, dan bangkit berdiri. Mereka bersalaman, lalu berjalan bersama-sama keluar mesjid.

’Masih lama lagi nak balek?’ tanya enche itu.

’Kembali ke tempat saya? Besok rencananya,’ jawab Aswin.

’Berapa lama bercuti? Sudah nak balek, je?’ tanyanya lagi.

’Ya, liburan singkat saja. Hanya sepuluh hari dengan perjalanan,’ jawab Aswin.

’Bapak, masih lama lagi di sini?’ tanya Pohan.

’Saya, petang ni balek. Sekarang nak ke hotel, terus check out, lah. Jam lima petang ni bertolak ke KL. Selamat jalan lah, bila-bila masa boleh kita jumpa lagi,’ katanya berpamitan.

‘Selamat jalan juga,’ jawab Aswin dan Pohan hampir bersamaan.

Mereka berpisah di depan mesjid.

Acara berikutnya sesuai dengan program adalah makan nasi Kapau di kedai nasi uni Lis. Letaknya hanya beberapa puluh langkah saja dari pekarangan mesjid. Ke sana mereka melangkah, melalui lapangan parkir. Kedai uni Lis sedang ramai dengan pengunjung, karena ini adalah jam makan siang. Dan terpaksa pula antri karena tempat duduk di kedai itu semua penuh.

’Sudah dua kali kita antri untuk makan, sesudah beberapa hari yang lalu antri ketika mau makan gulai itik,’ celetuk Pohan.

’Ya, tapi tidak ada masalah kan? Malahan lebih bagus. Kita belum terlalu lapar. Baru dua jam sesudah makan bubur kampiun,’ jawab Aswin.

’Ya, sih. Atau kamu mau kita jalan dulu?’ tanya Pohan memancing.

’Kalau kita pergi, dan kembali lagi nanti, mungkin nasi Kapaunya sudah habis. Lebih baik kita antri saja tenang-tenang,’ jawab Aswin pula.

Aswin lebih terlatih dengan budaya antri jadi tidak mempermasalahkannya sedikitpun. Mereka berbincang-bincang santai sambil menunggu. Ada kira-kira seperempat jam sebelum mereka dapat tempat.

Kedai nasi Kapau uni Lis masih seperti itu juga tatanannya. Dengan panci-panci besar berisi aneka macam gulai bersusun-susun, di letakkan di depan orang yang melayani. Gulai tunjang, gulai ikan tawes bertelur, gulai usus sapi, dan aneka gulai sayur, rendang daging, dendeng balado, goreng belut, goreng ayam. Setiap tamu ditanyai dengan apa mereka ingin makan, dan lauk pilihan mereka langsung di masukkan kedalam piring yang sudah berisi nasi ditambah dengan sayur-sayur dan samba lado dendeng. Jadi lauknya bukan dihidangkan dalam piring-piring kecil seperti di rumah makan umumnya.

Aswin melihat semua ini dengan terheran-heran. Melihat panci-panci berisi gulai bersusun-susun itu, yang disendokkan oleh penjual dengan menggunakan sendok bertangkai panjang. Waktu ditanya dengan apa dia ingin makan, Aswin jadi kebingungan melihat begitu banyak pilihan.

’Apa rekomendasimu?’ tanya Aswin kepada Pohan.

’Aku akan makan dengan gulai tunjang dan dendeng balado. Itu kesukaanku kalau makan nasi Kapau. Kalau kamu mau makan pakai ikan, itu juga ada ikan tawes yang ada telurnya. Ikan paweh batalua. Jadi terserah kamu. Atau kalau mau mencicipi rendang?’

‘Apa itu tunjang?’

‘Kikil. Kamu mengerti kikil nggak ya? Terdapatnya di kaki sapi,’ Pohan mencoba menerangkan.

‘Baik, aku tahu apa itu kikil. Aku tidak suka. Aku akan makan pakai ikan bertelur saja,’ kata Aswin.

’Hanya itu? Tidak ingin menambah dengan goreng belut misalnya?’

’Apa memang harus mengambil dua macam lauk? Tapi ya OK jugalah. Aku minta ikan dan goreng belut.’

Kepada mereka dihidangkan sepiring penuh nasi berikut gulai yang mereka pesan ditambah dengan sayur nangka dan rebung. Sama seperti sayur ‘bubua samba’ tadi pagi, tapi kali ini hanya sebagai tambahan. Porsi nasi itu agak berlebihan kelihatannya. Aswin cukup terperangah menyaksikan itu.

Lain pula enaknya nasi Kapau ini. Meski agak pedas. Kombinasi ikan tawes dan goreng belut sangat cocok. Disertai gulai cubadak dan rebung muda. Pedas, gurih dan enak sekali. Sampai keluar keringat mereka makan. Dan nasi yang porsinya banyak tadi itu, karena enaknya berhasil juga dihabiskan. Meski setelah itu, seperti biasa, Aswin mengeluh kekenyangan. Repotnya lagi, mereka tidak bisa santai karena di luar masih ada orang yang menunggu. Jadi begitu selesai makan, hanya beristirahat beberapa saat, mereka merasa tidak enak untuk terus duduk. Segera berdiri meninggalkan kedai uni Lis. Untunglah kedai itu tidak terlalu jauh dari tempat mobil mereka diparkir. Berjalan ke tempat parkir sedang perut kekenyangan sekali, memang sangat kurang nyaman.

Sudah selesai pula satu lagi acara. Beranjak ke acara berikut. Pergi meraun ke Sungai Janiah. Dari tempat parkir di depan mesjid raya mereka berputar ke bawah jam gadang. Terus ke Birugo ke Jambu Ayia. Pohan mengendarai mobil itu melalui Banuhampu, terus ke simpang Bukit Batabuah di kaki gunung Marapi. Terus ke timur ke Pasanehan. Di pinggir jalan di Pasanehan ini mereka berhenti sebentar. Menikmati pemandangan yang indah ke tempat kerendahan di sebelah utara dengan sawah bersusun-susun luas terbentang bagaikan permadani hijau. Disela oleh rimbunan pepohonan berkelompok di sana sini mengelilingi kampung dan nagari. Di sebelah selatan mereka adalah gunung Marapi, yang untuk melihatnya harus mendongak saking dekatnya.

Mereka teruskan lagi perjalanan ke arah timur. Ke Lasi, ke Candung lalu berbelok ke utara menuju Baso. Jalan yang dilalui itu semuanya berada di sepanjang kaki gunung Marapi.

Di Baso mereka seberangi jalan raya Bukit Tinggi – Paya Kumbuh, untuk terus ke utara. Itulah jalan ke Sungai Janiah. Sungai Janiah sebenarnya adalah tempat wisata kesukaan anak-anak. Ada sebuah kolam kira 20 kali 20 meter dan di dalamnya terdapat ikan yang tidak dimakan oleh masyarakat.

Ikan itu menurut legenda yang sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan berasal dari sepasang anak manusia yang jatuh ke kolam saat di kampung itu ada sebuah pesta besar dengan membunyikan alat musik gong, ’baralek baraguang’, dulu di jaman entah berantah. Dua orang kanak-kanak kakak beradik terlepas dari pengawasan ibunya, karena sang ibu asyik menonton pertunjukan di pesta itu, lalu ketika dia sadar, kedua anaknya sudah hilang. Dicari kemana-mana semalam itu tidak ditemukan. Si ibu akhirnya pulang dengan perasaan sedih. Dalam tidurnya dia bermimpi, didatangi seorang orang tua, yang menyuruhnya untuk datang ke pinggir kolam membawa sedikit nasi dan memanggil nama anak-anaknya. Waktu dia keesokan harinya melakukan seperti yang disuruh orang tua dalam mimpi, di dalam kolam itu ditemuinya dua ekor ikan, yang adalah penjelmaan dari anak-anaknya yang hilang kemarin. Begitu konon cerita legenda itu.

Yang mengherankan, meskipun cerita seperti itu sangat tidak masuk di akal, kenyataannya memang tidak ada penduduk kampung yang mau memakan ikan dari kolam itu. Ikan-ikan itu berwarna keputih-putihan berukuran sampai sekitar empat puluh senti panjangnya. Mungkin dengan berat sekitar dua sampai tiga kilo. Ada lagi cerita yang katanya, katanya, katanya, ada dua ekor ikan yang besarnya sebesar perut kuda dan hanya keluar menampakkan diri sekali setahun saat menjelang hari raya Qurban. Itulah ikan ’mula-mula’, yang berasal dari dua orang anak yang terjatuh di jaman entah berantah tadi. Begitulah cerita dongeng atau legenda beredar, tanpa sedikitpun menggunakan logika.

Dan ikan-ikan itu menjadi jinak karena setiap pengunjung memberinya makan. Ada sejenis pensi atau kerang kecil yang dijual di warung-warung di pinggir kolam untuk dilemparkan ke dalam kolam lalu diperebutkan ikan-ikan itu. Ada seseorang yang cukup kreatif di kampung itu dan berhasil melatih ikan-ikan itu untuk beratraksi. Ketika ’pawang’ ini meletakkan lingkaran rotan di atas air, ikan-ikan yang sebagian cukup besar melompati lingkaran rotan itu. Bahkan lebih seru, ketika lingkaran rotan itu dililit dengan perca kain lalu dibakar, ditempatkan di atas air masih ada ikan-ikan itu yang berani meloncatinya. Boleh jugalah atraksi itu. Entah bagaimana cara pawang ini melatih ikan-ikan tersebut.

Aswin membeli beberapa kantong pensi dan memberikannya kepada ikan-ikan itu. Bahkan ketika pensi itu ditaruhnya di tangan yang dimasukkan ke dalam air, ada ikan yang berani mengambilnya. Jadi lumayan juga sebagai hiburan.

Setelah puas bermain-main dengan ikan-ikan untuk beberapa saat mereka pergi berjalan-jalan di sekitar kolam itu. Naik ke bukit kapur di seberang kolam untuk melihat pemandangan di sekitar kampung Sungai Janiah. Bukit yang cukup terjal tapi mempunyai jalan berupa tangga dari batu kapur yang di pahat.

Azan asar berkumandang dari mesjid di dekat kolam itu. Karena Pohan tidak menjamak shalatnya, dia shalat dulu di mesjid itu, ikut berjamaah. Sesudah shalat asar mereka tinggalkan Sungai Janiah.

Mereka kembali ke Bukit Tinggi.

’Kemana kita sekarang?’ tanya Aswin.

’Ya, kemana kita bagusnya sekarang? Kamu tidak ada keperluan lagi di Bukit Tinggi? Tidak ada yang mau dibeli lagi?’

’Tidak ada. Kalau begitu kita pulang saja. Kita melihat-lihat pemandangan di kampung, melihat sawah,’ usul Aswin.

Dan mereka menuju kampung.


*****

Thursday, February 28, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.27)

27. Ngalau Kamang

Mereka pulang hanya untuk mandi dan berganti pakaian. Dan segera bersiap-siap lagi mau pergi. Pagi ini cuaca agak gelap lagi. Mendung, meski belum hujan. Sejak tadi waktu mereka pulang dari Bukit Tinggi, cuaca sudah seperti ini, seperti mau hujan.

’Apakah nanti malam kalian mau makan di rumah?’ tanya etek sebelum mereka berangkat.

’Kenapa tek? Etek mau memasak apa?’ Aswin balik bertanya.

’Kalau kalian nanti makan di rumah, etek akan buatkan gulai itik Koto Gadang. Biarpun kamu sudah mencoba yang di kedai di ngarai, sekarang kamu bisa mencicipi yang masakan etek. Bagaimana?’

’Pasti menarik, tek. Ya, kita makan di rumah sajalah. Bagaimana Pohan?’

’Ya terserah kamu,’ jawab Pohan.

’Kalau begitu, confirmed. Kita akan makan di rumah nanti malam. Terima kasih, tek,’ kata Aswin pula.

Setelah berpamitan, merekapun berangkat. Ke Bukit Tinggi melalui ngarai. Terus ke Simpang Tembok. Berbelok ke Jirek dan terus ke Bukit Ambacang. Berbelok ke kanan sampai bertemu dengan jalan ke Kamang melalui Simpang Limau. Terus saja, melalui Pekan Kamis. Masih terus lagi sampai bertemu simpang tiga di Koto Panjang Kamang Hilir lalu berbelok ke kiri menuju Pekan Sinayan. Terakhir berbelok ke kanan melaui jalan yang agak lebih kecil. Sampai ke Ngalau Kamang.

Pohan memarkir mobil di tempat parkir. Banyak kendaraan terparkir di situ. Ada satu rombongan pelancong baru saja turun dari bus. Mereka berasal dari Negeri Belanda. Rombongan itu berjalan menuju ke pintu gua. Aswin dan Pohan bergabung dengan mereka. Pohan membeli karcis untuk masuk gua, sementara rombongan pelancong Belanda itu rupanya sudah punya karcis, dibelikan oleh petugas penyelenggara wisata. Mereka sekarang menuju ke pintu gua. Pintu masuk di mulut gua yang sudah dirapikan. Ditembok seperti pintu gerbang besar dengan ornamen gonjong rumah adat Minang di atasnya. Dengan plang bertuliskan ’Ngalau Kamang’ cukup besar. Disertai dengan informasi tentang ngalau. Tentu saja ada plang peringatan seperti di tempat-tempat lain.

Rombongan pengunjung itu antri untuk masuk. Setelah masuk mereka ikuti jalan kecil di dalam gua. Jalan sempit yang mula-mula mendatar tapi kemudian turun melalui tangga batu kapur yang dipahat. Untung ada tempat berpegangan, karena tangga itu cukup terjal. Penerangan listrik di dalam gua ini hanya sekedarnya saja, sekedar untuk dapat melihat stalagmit dan stalagtit yang memenuhi rongga-rongga goa. Macam-macam bentuk yang dibuat oleh alam, oleh larutan batu kapur dengan stalagmit dan stalagtit itu. Ada yang berbentuk makhluk besar dengan kepalanya seolah menyundul langit-langit gua. Ada yang seperti orang tidur. Ada yang seperti belalai gajah. Ada juga yang sekedar berbentuk pilar yang ramping, ketika bagian atas bertemu dengan bagian bawah. Terdengar bunyi tetes air yang sangat nyaring. Karena bunyi tetes-tetes itu memantul dan bersipongang di dinding gua. Kalau ada yang bersuara agak keraspun kedengaran sipongangnya.

Pemandu wisata menerangkan tentang data-data gua. Panjang gua ini, katanya yang bisa di jelajahi sekitar 1500m. Mungkin masih ada lanjutannya tapi tidak menerus dengan yang 1500 meter itu. Dengan bentuk gua yang tidak beraturan itu, ada bagaian yang cukup dalam seperti sumur. Tapi si pemandu wisata tidak tahu berapa dalam sumur tersebut. Dulu, katanya, tempat ini adalah tempat pasukan Paderi bersembunyi untuk mengatur siasat ketika berperang dengan Belanda.

Pengunjung harus hati-hati berjalan di jalan setapak yang sempit. Setelah berjalan di bagian yang datar di bawah, mereka bertemu dengan jalan setapak bercabang. Aswin dan Pohan mengikuti jalan ke kanan. Jalan ini berputar untuk pergi lebih ke bawah lagi. Melalui tangga batu yang lain lagi. Sampai ke dataran yang agak sempit. Terdengar desir air mengalir agak jauh di bawah sana. Rupanya ada sungai di situ. Sayang lampu penerangan tidak ada untuk pergi lebih jauh ke bawah. Tempat mereka berdiri sangat remang-remang. Akhirnya mereka putuskan untuk kembali ke atas. Sekarang mereka tempuh jalan ke kiri. Ternyata jalan ini menerus lebih panjang dan cukup rata. Penerangannyapun lebih memadai. Dinding gua terlihat berkerut-kerut akibat pelarutan batu kapur. Di depan ada lagi cabang. Pelancong berpisah di sini. Sebagian ke kanan dan sebagian ke kiri. Kata pemandu wisata, jalan itu bertemu di dalam.

Di tempat jalan melingkar itu bertemu terdapat sebuah lapangan yang lebih terang lampunya. Ada sebuah pesawat televisi terdapat di situ, menayangkan pemandangan keadaan gua sampai ke bagian-bagian yang paling dalam. Dan tersedia pula kursi-kursi tempat duduk. Para pelancong mengambil tempat duduk dan menyimak cerita tentang gua sambil menonton tayangan itu yang disampaikan dalam dua bahasa, Inggeris dan bahasa Indonesia. Setelah melihat tayangan video itu, umumnya pelancong sudah tidak ingin meneruskan penjelajahan lebih jauh ke dalam gua. Begitu pula dengan Aswin dan Pohan. Mereka kembali menuju ke pintu keluar.

Mereka keluar dari gua ngalau yang gelap itu. Sekarang mereka ikuti penunjuk menuju ke arah ngalau lain yang terbuka, terletak sekitar lima ratus meter dari tempat yang pertama ini. Melaui jalan di pinggir sawah. Lobang batu kapur yang terbuka disini bertingkat-tingkat dan bersekat-sekat seperti kamar-kamar. Meskipun kebersihan lingkungan ini dipelihara tapi ngalau ini berbau pesing. Bau yang berasal dari kotoran kelelawar yang ribuan jumlahnya, bersarang di langit-langit gua.

Aswin dan Pohan sebentar saja di ngalau terbuka ini. Mereka tidak ikut naik ke bagian yang bertingkat-tingkat itu. Aswin tidak tahan dengan bau kotoran kelelawar.

Mereka tinggalkan Ngalau Kamang, yang bagi Aswin tidaklah terlalu mengagumkan karena dia sudah pernah melihat gua batu kapur yang lebih bagus dari gua ini. Sekarang mereka kembali ke Bukit Tinggi. Hari baru jam sepuluh lebih sedikit. Mereka bisa mampir untuk berbelanja sebelum shalat Jum’at.

Sampai di Bukit Tinggi mereka langsung menuju mesjid raya dan memarkir kendaraan di lapangan parkir mesjid itu. Lalu pergi melihat-lihat ke pasar bertingkat. Mereka mampir ke toko yang menjual DVD. Aswin membeli DVD tentang objek-objek pariwisata Negeri Minangkabau. Dan DVD lagu-lagu Minangkabau termasuk saluang jo rabab sebagai oleh-oleh untuk ayah. Lama juga mereka memilih-milih lagu-lagu saluang. Aswin menginginkan lagu yang tidak terlalu sedih nadanya. Tapi hampir tidak ada seperti yang diinginkannya itu.Tak lupa pula dia membelikan baju gunting cina berterawang buatan Ampek Angkek yang juga dipesan ayah. Dan mukenah untuk ibu. Cukuplah itu saja sebagai oleh-oleh. Sebenarnya oleh-oleh yang paling bermakna adalah DVD-DVD itu. Yang akan dipertontonkannya nanti kepada kawan-kawannya sesampainya kembali di LA.

Berbelanja sebegitu saja sudah membawa mereka ke jam sebelas. Masih terlalu lama sebelum shalat Jum’at. Pohan mengingatkan, inilah waktu untuk mencoba bubur kampiun. Dan Aswin memang tidak lupa.

Mereka mampir ke sebuah kedai kopi. Yang di Ranah Bako ini lebih populer disebut orang boffet. Mereka mampir ke boffet ACC di dekat jam gadang. Untuk mencicipi bubur kampiun.

’Rupanya ngalau tidaklah terlalu berkesan bagimu,’ komentar Pohan waktu mereka menunggu pesanan bubur kampiun.

’Ngalau tadi itu tidak jelek. Tidak terlalu berkesan bagiku karena aku sudah pernah melihat yang lebih baik dari yang ini,’ jawab Aswin jujur.

’Lebih baik bagaimana yang sudah pernah kamu lihat itu?’

’Lebih besar dan luas. Dan diberi penerangan yang sangat terang benderang sehingga kita bisa melihat bentuk larutan batu kapur itu sampai detil sekali. Kalau menurut pendapatku, ngalau tadi mungkin akan lebih semarak kalau penerangannya juga ditingkatkan,’ jawab Aswin.

’Ya, barangkali pendapatmu ada benarnya. Dengan dibuat remang-remang seperti tadi kesannya justru jadi agak angker. Menyebabkan orang cepat bosan berada di dalam. Para pelancong yang masuk berbarengan dengan kita keluar hampir berbarengan lagi dengan kita,’ kata Pohan.

Bubur kampiun mereka sudah terhidang. Mereka langsung menikmatinya. Ternyata inipun cocok di lidah Aswin.

’Beruntung benar aku, sempat mencicipi makanan-makanan khas seperti ini. Sejak dari lompong sagu, amping dadih, lemang tapai, bubur kampiun, ketupat sayur, bubur samba. Ini semua akan mendorongku agar sering-sering datang kesini.’

’Belum kamu sebut sate mak Syukur, gulai itik..he..he..’ Pohan menambahkan.

’Ya, benar. Dan nanti siang? Kita akan makan apa lagi kamu bilang?’

‘Nasi Kapau. Sebenarnya masakan Minang biasa tapi yang ini, khusus dimasak oleh orang Kapau. Rasa dan penyajiannya sangat khas. Kamu akan melihatnya nanti,’ kata Pohan.

‘Aku tidak akan pernah melupakannya sesampai di LA nanti. Di sana aku tidak akan pernah bisa makan makanan seperti ini.’

Mereka berbincang-bincang santai. Sambil menunggu waktu untuk shalat Jumat. Sambil mengamati jam gadang yang terletak persis di hadapan mereka.


*****

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.26)

26. Shalat Subuh di Mesjid Raya

‘Jam berapa sekarang?’ tanya Aswin waktu terbangun subuh, dan dilihatnya Pohan sudah lebih dulu bangun.

‘Baru jam setengah lima. Perutku sakit dan aku barusan ke belakang. Aku pikir sudah tanggung mau tidur lagi. Sebentar lagi sudah waktu subuh,’ jawab Pohan.

‘Sakit perut kenapa?’ tanya Aswin pula.

’Ah, nggak. Sakit perut ingin buang air saja. Dan sekarang sudah nggak apa-apa,’ jawab Pohan.

’Kenapa kamu? Keracunan makanan di restoran kemarin?’

’Ah, nggak juga. Aku rasa bukan karena itu. Tapi, ngomong-ngomong ada sesuatu yang entah menarik bagimu entah tidak....’ Pohan ragu-ragu.

’Apa itu? Apa maksudmu?’

’Shalat subuh di mesjid raya Bukit Tinggi. Hari Jumat imam biasanya membaca surat yang panjang dan ada sujud sajadah. Sujud tambahan pada rakaat pertama, khusus di lakukan di shalat subuh hari Jumat.’

’Kelihatannya akan jadi pengalaman yang menarik bagiku. Apa kita tidak terlambat untuk ke Bukit Tinggi sekarang?’ tanya Aswin bersemangat.

’Tidak. Kalau kamu segera pergi berwudhu, waktu kita masih panjang. Ke Bukit Tinggi kita hanya memerlukan 15 menit dari sini. Subuh jam 5 lebih 5. Waktu kita lebih dari cukup,’ jawab Pohan.

’OK. Aku akan ke kamar kecil dan sekalian berwudhu.’

’OK juga. Kalau begitu aku panaskan mobil sementara kamu ke kamar mandi.’

Mereka bersiap-siap. Etek terbangun mendengar mereka ribut-ribut dan sedikit heboh. Apalagi mendengar suara mesin mobil dihidupkan.

’Mau kemana kalian pagi-pagi begini?’ tanya etek waktu berpapasan dengan Aswin dekat kamar mandi.

’Kami mau shalat subuh di Bukit Tinggi,’ jawab Aswin.

’Oo o. OK, etek pikir kalian akan langsung berangkat pergi melancong lagi.’

Dan merekapun pamit mau berangkat lalu langsung pergi. Melalui jalan ke ngarai Sianok. Melalui jalan yang sunyi sepi.

’Tadi ada sujud apa namanya kamu bilang dalam shalat subuh di hari Jumat?’

’Sujud sajadah. Kalau aku tidak salah, imam membaca surah ke 32 dari Al Quran yang namanya surah Sajadah. Ayat ke 15 surah itu disebut ayat sajadah. Kalau kita mendengar ayat seperti itu dibacakan, sunah atau sangat dianjurkan kita sujud dan sujudnya disebut sujud sajadah,’ jawab Pohan.

’Bagaimana aku tahu kalau itu ayat ke 15? Dan apakah bacaan sujudnya berbeda dengan bacaan sujud ketika shalat biasa?’

’Bagaimana kita tahu? Akupun tidak hafal ayat surah sajadah itu. Tapi aku mengikuti saja gerakan imam. Ketika dia sujud aku ikut sujud. Dan memang harus agak melihat karena imamnya tidak memberi komando, tapi tiba-tiba dia sujud. Orang yang sudah hafal ikut sujud. Dan kita ikut sujud. Apa yang dibaca? Menurut ustad ada bacaannya khusus, tapi kalau tidak hafal, boleh kita baca bacaan ketika sujud seperti dalam shalat umumnya.’ Pohan menjelaskan panjang lebar.

’Tentu itu ada dalil dan keterangannya. Bukan sesuatu yang diimprovisasi oleh imam shalat.’

’Oo, jelas ada dalilnya. Ada haditsnya, kata ustad. Ada contohnya dari nabi Muhammad jadi bukan sesuatu yang dibuat-buat,’ jawab Pohan.

’Dan kamu sudah hafal bacaannya?’ tanya Aswin.

’Sudah hafal. Sajada wajhiya lillatzii khalaqahu wa sam’ahu, wa abshaarahu, bi haulihi, wa quwwatihi. Fatabarakallahu ahsanul khaaliqiin. Artinya, aku sujudkan wajahku kepada Sang Penciptanya, dan (yang menciptakan) pendengarannya, dan (yang menciptakan) penglihatannya dengan kekuasaan dan kekuatanNya. Allah Maha Memberkati dan sebaik-baiknya Pencipta.’

’Hebat. Bisa kamu ulang pelan-pelan biar aku coba menghafalkannya pula?’

Dan Pohan mengulanginya. Beberapa kali, sampai akhirnya Aswinpun hafal.

Persis saat azan subuh baru mulai dikumandangkan ketika mereka sampai di mesjid raya Bukit Tinggi. Cukup ramai jamaah yang datang untuk melaksanakan shalat subuh di mesjid ini. Cuaca dingin kota Bukit Tinggi yang cukup menusuk tidak mengurangi semangat mereka yang datang untuk melaksanakan shalat disini. Mereka masuki mesjid. Jamaah sudah ramai di dalam. Menunggu selesainya kumandangan azan. Lalu orang-orang itu shalat sunah sebelum subuh dua rakaat. Shalat sunah fajar. Tidak lama sesudah itu iqamat dikumandangkan. Jamaah yang banyak itu berdiri mengatur saf. Meluruskan dan merapatkan saf. Siap sudah semua. Dan imam memberi komando. Mengangkat tangan untuk takbir. Allahu Akbar. Dengan suara berat yang berwibawa.

Dan dibacanya surah alfatihah. Dengan bacaan yang sangat indah dan fasih. Dan makmum mendengarkannya dengan khusyuk di belakang. Selesai alfatihah disambut amiin yang panjang oleh jamaah. Dibacanya surah Sajadah. Aliif Laam Miim. Tanziilul kitaabi laa raibafiihi min rabbil ’aalamiin..... Syahdu. Merdu. Mendayu. Makmum menyimak dengan khusyuk. Biar tidak mengerti artinya sekalipun.

Sesudah ayat yang ke lima belas. Imam langsung sujud. Makmum langsung sujud. Pohan dan Aswin ikut sujud. Sajada wajhiya lillatzii khalaqahuu...... Dan imam itu bangkit berdiri kembali. Meneruskan bacaannya dalam ayat-ayat surah sajadah. Sampai selesai. Sampai dia rukuk dan makmum ikut rukuk. Imam sujud dan makmum ikut sujud. Dan seterusnya sampai dia bangkit untuk rakaat yang kedua. Mengulangi bacaan alfatihah. Dilanjutkan dengan surah yang lain. Hal ata ’alal insaani hiinum....

Selesai shalat subuh. Dikuti zikir dan doa. Dan ada kuliah subuh, begitu istilahnya. Aswin betah saja duduk mendengarkan ceramah itu. Ustad bercerita tentang makna kejujuran. Makna amanah. Setiap orang yang beriman seharusnya adalah orang-orang yang jujur dan amanah. Yang dapat menahan serta mengendalikan dirinya dari berbuat zalim kepada orang lain dengan tidak mengambil hak orang lain. Dengan tidak melukai orang lain. Ustad membacakan ayat-ayat al Quran dan hadits-hadits nabi dalam ceramahnya.

Mereka dengarkan taklim itu sampai selesai. Yang selesainya ketika hari sudah terang benderang.

Waktu mereka bergerak keluar terdengar orang berbicara dalam bahasa Melayu. Tentu pelancong Malaysia agaknya. Boleh jadi yang menginap di Novotel Hotel. Atau hotel mana lagi yang berdekatan dengan mesjid ini. Berarti di antara jamaah shalat subuh ini juga ada kaum pelancong. Ya, kenapa tidak. Seperti waktu itu sama-sama shalat di Tabek Patah.

’Kemana kita?’ tanya Aswin.

’Mencari sarapan. Ada jenis sarapan yang mirip dengan ketupat sayur namanya ’bubua samba’. Bubur nasi yang sudah seperti lontong atau ketupat, dimakan dengan gulai sayur dan kerupuk merah. Kerupuk merah yang kita lihat dijemur orang di Piladang. Kamu masih ingat?’

’Ya. Aku masih ingat. Dan tentu bubur nasi itu tidak ada bedanya dengan ketupat sayur yang dibeli etek pagi-pagi tiga hari yang lalu?’

’Hampir tidak ada bedanya. Tapi rasanya pasti agak berbeda.’

’OK sajalah. Dimana tempatnya?’

’Di jalan kita mau pulang. Di jalan masuk ke ngarai. Ada kedainya disana.’

Hanya dalam beberapa menit merekapun sampai di lepau ’bubua samba’ itu. Persis di mulut jalan menuju ke dalam ngarai di sebelah kiri jalan. Dan tidak hanya ’bubua samba’ yang tersedia. Semuanya ada di situ. Mau ketan dan pisang goreng, atau ketan dengan srikaya, mau bubur kampiun, mau apam serabi. Pokoknya lengkap.

Karena yang direkomendasi Pohan adalah ’bubua samba’, maka itulah yang mereka pesan. Dan secangkir kopi untuk Aswin serta teh telur untuk Pohan. Ternyata memang top rasanya. ’Bubua samba’ dengan sayur nangka dan rebung, dengan kerupuk merah, dengan sambel. Lepau yang tidak seberapa besar itu dipenuhi pengunjung. Sebagian adalah warga di sekitar lepau dan sebagian lagi orang yang sengaja datang. Terlihat beberapa mobil terparkir di depan lepau.

’Kita bawakan untuk etek dan nenek?’ tanya Aswin.

’Ya, kita bawakan untuk etek dan nenek. Dan nenek senang dengan bubur kampiun.’

’Apa maksudnya bubur juara itu?’ tanya Aswin.

’Wah, apa saja ya, yang dimasukkan mereka? Ada ketan, ada bubur sumsum atau bubur tepung beras, ada srikaya, ada bubur.. entah apa lagi namanya. Semua itu disatukan dengan kuah santan dan tengguli. Atau kamu mau mencobanya?’

’Tidak sekarang. Sekarang ’bubua samba’ ini sudah lebih dari cukup,’ jawab Aswin.

’Kenapa kamu tidak mau mencoba dua makanan berbarengan? Sesudah makan lompong sagu tidak mau makan yang lain. Sesudah ’bubua samba’ tidak mau mencoba bubur kampiun. Tapi kemarin di Padang sesudah makan steak mau makan es krim.’

’Begini. Kalau makanan itu baru aku coba, dan aku menyukainya, aku tidak ingin rasa enaknya segera hilang dari mulut. Tapi kalau makanan itu sudah biasa aku makan, tidak ada masalah mencoba yang lain sesudah itu,’ Aswin menjelaskan.

’Berarti ’bubua samba’ ini cukup enak?’

’Ya. Ini enak.’

’Atau kita bawa pulang juga untuk kamu nanti di rumah?’

’Sebentar dulu. Acara kita hari ini apa saja? Maksudku setelah pulang ke rumah, sesudah mandi, kita ke mana?’

’Nanti kita ke ngalau Kamang. Dan shalat Jum’at di mesjid raya lagi. Atau di mesjid mana saja. Dan nanti sesudah shalat Jum’at kita makan nasi Kapau uni Lis. Habis itu ke Sungai Janiah dekat Baso. Heboh kan? Acara kita?’

’Jam berapa kita berangkat?’

’Sekitar jam sembilan. Ngalau Kamang tidak jauh. Hanya sekitar 12 kilometer dari Bukit Tinggi.’

’Panjang betul urusannya. Kalau begitu tidak usah kita bawa pulang. Aku rasa sebelum shalat Jumat nanti kita bisa sempatkan makan bubur kampiun dimana saja.’

’OK kalau begitu. Jadi kita suruh bungkus dua bubur kampiun untuk etek dan nenek. Kata etek, dia juga mau bubur kampiun,’ kata Pohan.

Dia sudah menanyakannya kepada etek di rumah.


*****

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.25)

25. Senja Di Sepanjang Jalan Danau Singkarak

Sudah menjelang senja waktu mereka meninggalkan rumah makan merangkap kedai kopi di pinggir danau Singkarak. Sudah hampir jam enam sore. Tapi masih terang benderang. Perjalanan mereka lanjutkan menyusuri danau Singkarak. Di sebelah kanan jalan, rel keretapi kadang-kadang terletak lebih tinggi dari jalan raya. Dengan pokok pohon kapas berbaris-baris di sisinya. Dan jalan ini masih setia menemani pinggiran danau. Air danau yang tidak sampai satu meter di bawah jalan, dibatasi tebing yang kadang-kadang ditanggul dengan beton. Karena riak danau yang tenang ini, adakalanya mampu pula menghempas menimbulkan penggerusan ke pinggir danau, menyebabkan longsor, sehingga mengancam jalan raya.

Aswin bisa melihat lepas ke arah danau, yang beriak kecil. Yang ada beberapa perahu layar sedang melaju pelan di dalamnya. Perahu layar dengan warna layar mencolok sedang berlayar beriring-iring. Perahu para pelancong yang berlayar menurutkan hembusan angin senja. Berlayar dari arah selatan ke utara. Di latar belakang terlihat air danau membiru kemerahan berkilau ditimpa sinar matahari senja, beriak berkejaran menuju pantai. Sungguh pemandangan yang seronok dan indah. Dan karena jalan yang berbelok, pemandangan ke arah danau itu seperti timbul tenggelam dari pandangan. Kadang nampak, kadang terlindung oleh bangunan rumah atau kedai di pinggir danau.

Sore semakin menjelang malam. Matahari sudah tenggelam ke balik bukit di seberang danau di sebelah barat. Namun cahayanya masih leluasa menguasai tepi siang. Dan mobil melaju terus di sepanjang tepi danau ke arah utara. Menemani dua bus pariwisata di hadapan yang sedang menuju ke arah yang sama. Lamat-lamat terdengar suara orang mengaji dari mesjid di pinggir danau. Mungkin kaset orang mengaji lebih tepatnya. Tanda hari sudah menjelang maghrib. Di langit di atas danau terlihat kawanan kelelawar terbang. Mau pergi dinas malam. Entah dimana pula mereka akan panen malam ini. Memanen buah-buahan di kebun penduduk.

Malampun menjelang. Azan maghrib terdengar samar-samar dari mesjid yang entah di mana keberadaannya kali ini karena tidak terlihat di tepi jalan ini. Membuat suasana sangat syahdu, di jalan di pinggir danau yang indah ini. Suara azan yang menyerukan nama Allah. Allah Yang Maha Besar. Yang menguasai seantero jagad. Yang menciptakan keindahan dan keelokan ini. Kemudian jalan ini terlihat sunyi karena mereka sedang berada di pesawangan. Di jalan yang tidak ada kampung. Yang ada hanyalah tepi danau di sebelah kiri. Dan tebing bukit di sebelah jalan keretapi di sebelah kanan. Tidak ada yang lain. Mobil mereka terus juga melaju. Dan redup malam semakin kentara. Ketika di sebuah belokan mobil ini mengarah ke tengah danau, kelihatan langit merah bermega-mega seperti yang mereka lihat beberapa hari yang lalu di atas danau.

’Di mana kita shalat maghrib?’ tanya Aswin.

’Di mesjid Ombilin, di tempat kita shalat waktu itu,’ jawab Pohan.

’Masih jauh?’ tanya Aswin lagi.

’Kira-kira sepuluh menit perjalanan lagi,’ jawab Pohan pula.

Benar saja. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai di mesjid Ombilin. Di kampung yang agak ramai karena di sini banyak terdapat rumah makan dan kedai-kedai yang masih tetap buka sampai saat sesudah maghrib seperti sekarang. Pohan memarkir mobil di pinggir jalan. Mereka menuju mesjid yang terletak di tempat agak ketinggian yang ada tangga batu untuk mencapainya. Orang sudah selesai shalat maghrib. Aswin dan Pohan shalat berdua saja. Menjamak shalat maghrib dan isya.

Seorang tua menghampiri mereka ketika mereka sedang memakai sepatu di luar mesjid sesudah selesai shalat, dan menyapa ramah.

’Anak berdua ini yang shalat di sini hari Sabtu senja beberapa hari yang lalu ya?’ tanyanya ramah.

’Benar pak,’ jawab Pohan pendek.

’Dari meraun-raun tampaknya. Dimana tinggal?’

’Benar, kami dari berkeliling-keliling. Sekarang mau pulang ke Koto Gadang,’ jawab Pohan lagi.

’Tadi dari mana rupanya?’

’Dari danau kembar, pak.’

’Ooh. Singgahlah dulu. Rumah ambo di sebelah ini,’ kata orang tua itu pula.

’Terima kasih pak. Biarlah kami terus dahulu. Sudah malam,’ jawab Pohan berbasa basi.

Mereka turuni tangga ke bawah, menuju ke tempat parkir. Dan mereka lanjutkan perjalanan. Masih di jalan di pinggir danau yang mulai sedikit mendaki dan berbelok-belok. Makin lama makin meninggalkan pinggir danau dan terus juga mendaki. Menuju ke Padang Panjang.

’Kenapa orang tua tadi bertanya? Kamu mengenalnya?’ tanya Aswin.

’Itukan pertanyaan basa basi saja. Dia rupanya ingat telah melihat kita pada hari Sabtu yang lalu waktu kita shalat disana,’ jawab Pohan.

’OK. Aku pikir dia mengenal kamu, sampai mengajak mampir.’

’Ya, begitulah basa basi. Orang Minang sangat terkenal pandai berbasa basi. Di kedai nasi, meskipun dia menghadapi sepiring nasi, orang satu kedai ditawarinya makan bersama. Itulah basa basi.’

’Bagaimana kalau kita tiba-tiba mau ikut mampir ketika diajaknya seperti tadi? Apakah kita sopan namanya?’

’Boleh saja. Kalau memang merasa berkepentingan untuk mampir. Atau mungkin untuk menghormatinya lalu kita bersedia mampir. Tapi dalam prakteknya, orang tahu mana ajakan basa basi, mana ajakan sungguh-sungguh,’ jawab Pohan.

’OK. Aku mengerti.’

Semakin dekat mereka ke Padang Panjang. Sebenarnya sudah waktunya makan. Pohan mengingatkan Aswin.

’Tidak kepingin makan sate mak Syukur lagi?’ tanya Pohan.

’He..he..he.. Good idea. Tapi setelah itu kita langsung pulang saja. Kita sudah cukup capek hari ini. Bagaimana kalau kita bawakan sate untuk etek dan nenek juga? Menurutmu apakah mereka sudah makan malam?’

’Biar aku tanya,’ jawab Pohan, sambil mengeluarkan hand phone, mau menelpon ke rumah.

’Sebaiknya kamu berhenti dulu kalau mau menelpon. Jangan menggunakan mobile phone sambil menyetir,’ kata Aswin.

Pohan menurut. Di kepinggirkannya mobil. Berhenti sebentar, dan dia telpon etek di rumah. Dan etek bertanya, jam berapa mereka akan sampai di rumah. Kalau terlalu malam, tidak usah repot membawakan sate mak Syukur. Waktu diberitahu mereka akan segera pulang etek setuju dan katanya akan menunggu kedatangan mereka.

’Kalau begitu kita bawa pulang saja dan kita makan bersama-sama di rumah. Bagaimana pendapatmu?’ tanya Aswin.

’Itu lebih baik,’ jawab Pohan.

Mereka singgah di kedai sate mak Syukur. Yang tetap ramai. Dan bau wangi sate yang dibakar menitikkan selera. Mereka minta dibungkuskan empat bungkus sate. Plus satu bungkus sate extra tanpa ketupat. Untuk dibawa pulang. Aswin mengamati sate yang dibungkus dengan daun pisang. Disiapkan oleh tukang sate mak Syukur yang sangat cekatan. Tidak lama mereka menunggu, sate-sate itu sudah siap. Dan mereka segera meneruskan lagi perjalanan pulang.

Jam delapan lebih waktu mereka sampai di rumah. Ditunggu etek dan nenek yang memang masih belum tidur. Mereka segera menikmati sate mak Syukur yang ternyata masih panas. Sambil berbincang-bincang tentang pemandangan yang mereka nikmati dua hari terakhir.

’Tadi siang di mana kalian makan?’ tanya etek.

’Di restoran di pinggir jalan ke Solok,’ jawab Aswin.

’Sari Manggis?’ etek menebak.

’Ya, Sari Manggis. Rupanya sangat populer restoran itu. Dan memang enak makan di sana,’ jawab Aswin.

’Siang tadi kami kelaparan. Sesudah kecapekan berenang di Teluk Bungus. Dan karena sarapan tidak makan ketupat sayur, tapi makan roti bakar he..he..he..’ kata Pohan.

’Kamu yang kelaparan atau kalian keduanya?’ tanya etek pula.

’Kami berdua. Perut Amerika dan perut Minang sama-sama kelaparan sesudah kecapekan berenang,’ jawab Pohan.

’Di maa kalian sambayang bagai?’ tanya nenek.

’Di mushala di danau Di Atas siang tadi, dan di mesjid di Ombilin waktu maghrib,’ jawab Aswin yang mengerti pertanyaan-pertanyaan singkat nenek.

’Syukurlah. Jaan ditingga-tinggaan sambayang,’ kata nenek pula.

Aswin agak berfikir mendengar kalimat nenek yang terakhir ini. Nenek rupanya menyadarinya.

’I said, don’t you ever forget to perform your daily prayers,’ nenek menambahkan.

‘Ya, nek,’ jawab Aswin tersenyum.

Mereka lanjutkan obrolan mereka sampai sekitar jam sepuluh. Sebelum pergi tidur.


*****

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.24)

24. Singkarak

Cuaca alhamdulillah bersahabat saja sejak beberapa hari ini, sejak mereka menjelajahi tamasya negeri Minangkabau. Kecuali sedikit hujan kemarin pagi ketika mereka akan berangkat dari kampung, setelah itu cuaca selalu cerah. Begitupun sore ini, matahari bersinar dengan cemerlang. Matahari sudah menurun ke arah barat. Hari sudah pukul tiga sore.

Sekarang mereka pacu mobil ke arah Solok. Melalui Lubuk Selasih. Gunung Talang sekarang berada di sebelah kanan jalan. Pantas saja tidak terlihat tinggi, kalau tingginya 2600m, lalu dilihat dari tempat yang lebih seribu meter tingginya. Artinya selisih tinggi gunung dan tempat melihat kurang dari 1600m. Gunung Marapi di lihat dari Bukit Tinggi masih sekitar 2000m selisih tingginya. Gunung Talang terlihat polos sampai ke puncaknya.

Dari Lubuk Selasih mereka terus menuju Solok. Melalui nagari Talang. Dan dari Talang jalan mulai menurun. Masih berliku berkelok-kelok, tapi menurun. Menurun panjang. Jalan ini ramai dengan kendaraan. Baik bus angkutan umum, bus pariwisata dan mobil-mobil kecil angkutan umum atau mobil pribadi. Maklumlah jalan ini adalah jalan yang menghubungkan Padang dengan Solok. Yang mendaki terengah-engah karena pendakian yang panjang. Yang menurun menuju ke arah Solok harus berhati-hati karena jalan ramai. Rumah adat bergonjong banyak terlihat di pinggir jalan. Rumah adat yang masih terpelihara dengan ukiran dan atap gonjong.

’Di kota Solok ada yang perlu kita kunjungi?’ tanya Aswin.

’Kalau panorama alam mungkin tidak ada. Di Solok juga ada gedung kesenian, tempat pertunjukan tari-tarian dan silat Minang, seperti yang pernah aku katakan. Di sini juga ada gelanggang pacuan kuda. Selain itu, ada atraksi yang diminati pelancong, melihat peternakan ayam kokok berlenggek, sambil mendengarkan suara kokok ayam yang ber’lenggek-lenggek’. Kamu pasti tidak faham arti kata ’lenggek’. Iya kan?’

’Tidak. Apa maksudnya?’ tanya Aswin pula.

’Kokok ayam jantan pasti kamu tahu. Kokok ayam yang umum adalah datar saja. Misalnya ’Ku ku ku kuuuuuuk’, seperti itu. Ayam kokok berlenggek, berkokok bertingkat-tingkat. Ku ku ku kuuuuk..kuuk..kuuk..kuuk. Kamu faham nggak?’

’OK. Lalu apa istimewanya?’

’Tidak ada istimewanya bagi orang yang tidak menyukai. Sama-sama kokoknya ayam. Tapi ada orang yang menyenangi karena memang berbeda dengan bunyi kokok ayam biasa.’

’Memangnya tidak semua ayam pada waktu sudah cukup umur mampu berkokok seperti itu?’ tanya Aswin.

’Tidak. Memang ada keturunan ayam tertentu yang mampu berkokok seperti itu. Dan sekali lagi ayam yang bisa berkokok seperti itu memang jarang,’ jawab Pohan.

’Dan orang datang untuk mendengar kokoknya saja?’ tanya Aswin.

’Ada yang membelinya. Untuk dipelihara di rumah mereka. Harganya jauh lebih mahal dari ayam biasa,’ jawab Pohan menjelaskan.

’Tadi malam kamu bercerita tentang balam tigo gayo yang juga mahal harganya. Kelihatannya mirip dengan ayam jago kokok berlenggek. Benar demikian?’

’Ya, benar sekali. Balam tigo gayo itu juga sangat langka. Dan setahuku tidak ada dibudidayakan orang. Makanya harganya jauh lebih mahal. Dan yang membeli tentu orang yang memang suka dan banyak uangnya.’

Merekapun sampai di Solok. Pohan membawa mobil sekedar berputar melihat-lihat kota Solok, yang seperti kota lain, banyak bangunan kantor beratap gonjong rumah adat Minang. Seperti kota lain, kota inipun sangat apik dan bersih. Terlihat anak-anak sekolah wanita yang umumnya pakai seragam dan berjilbab. Di Solok setiap murid SMP dan SMA yang beragama Islam memang diwajibkan memakai jilbab oleh pemerintah daerahnya.

’Waktu yang tepat untuk rehat kopi,’ celetuk Aswin.

’Baik. Mari kita makan lamang tapai di sini. Ada sebuah boffet di tengah kota yang cukup terkenal dengan lamang tapainya,’ kata Pohan.

Mereka mampir ke boffet Saiyo. Mereka pesan lamang tapai dan kopi untuk Aswin. ’Orang Amerika’ ini memang sangat penggemar kopi. Pohan memesan teh telor. Katanya bagus untuk penambah tenaga untuk menyetir. Nikmat sekali lamang tapai di boffet ini. Pantas saja pengunjungnya banyak.

’Di mana peternakan ayam kokok bertingkat itu?’ tanya Aswin.

’He..he..he.. Bukan bertingkat. Berlenggek. Ayam kokok berlenggek. Di jalan ke Bukit Tinggi. Kenapa? Kamu penasaran? Ingin mendengarkan kokoknya?’

’Apakah siang-siang begini ayam itu masih berkokok?’

’Lah, ayam kan tidak mengenal waktu untuk berkokok. Kamu pikir mereka berkokok hanya pagi hari saja?’

’OK. Mau juga aku mendengar kokok berlenggek kalau memang di jalan yang akan kita lalui juga.’

Setelah cukup istirahat mereka berangkat lagi. Meninggalkan kota Solok.

’Dimana letak kota Sawah Lunto penghasil batu bara?’ tanya Aswin.

’Melalui jalan di belakang kita. Dari jalan kita memasuki Solok tadi ada simpangan ke kanan. Itu jalan ke Sawah Lunto. Sekaligus jalan ke bagian selatan Sumatera. Sawah Lunto sekitar 35 kilometer dari Solok,’ jawab Pohan.

’OK. Aku pikir tadinya kita akan melalui Sawah Lunto,’ kata Aswin pula.

’Sebenarnya kita bisa juga liwat Sawah Lunto. Terus ke Batusangkar melalui Talawi. Melalui Pagar Ruyung lalu menepuh jalan yang kita lalui hari Senin kemarin. Tapi kita tidak akan melihat danau Singkarak,’ Pohan menjelaskan.

’No problem. Kita liwat jalan ini saja. Melihat danau Singkarak. Menyusuri danau Singkarak berpuluh kilometer seperti yang kamu katakan.’

Ya. Sebentar lagi, sesudah melampaui jalan lurus ini kita mendekati pinggir danau Singkarak bagian selatan,’ kata Pohan.

Jalan lurus dengan sawah terbentang luas di kiri dan kanannya. Di sebelah kanan terlihat bukit yang sejajar dengan jalan yang mereka tempuh. Pohan membelokkan mobil ke kiri melalui sebuah jalan kampung yang lebih sempit. Jalan menuju ke peternakan ayam kokok berlenggek. ’Peternakan’ itu sebenarnya sebuah tanah yang cukup luas dan dipagari tinggi sekelilingnya dengan pagar kawat. Ada beberapa buah kandang ayam yang juga ditutupi dengan kawat. Kandang-kandang itu sangat terawat dan bersih. Di tanah lapang itu banyak sekali ayam. Ada ayam yang sudah besar, induk ayam dengan anak-anaknya dan ayam-ayam yang masih muda berkeliaran bebas. Semuanya ayam kampung biasa. Baru saja mereka masuk mendekat ke kandang yang berpagar tinggi itu, terdengar suara kokok ayam. Berlenggek. Ayam-ayam itu berkokok bersahut-sahutan. Ku ku ku kuuk kuuk kuuk kuuk. Sepertinya mereka mendemonstrasikan kebolehan mereka berkokok karena ada tamu yang datang. Aswin memperhatikan bunyi kokok itu. Sekarang dia bertanya-tanya, apakah ada ayam yang berkokok tanpa ’lenggek’. Dan ternyata ada. Dari kumpulan di kandang yang terpisah. Ku ku ku kuuk.

’Ini bukan kokok yang favorit?’ tanya Aswin.

’Kamu dengar ’kan bedanya? Coba dengarkan sebentar lagi,’ kata Pohan.

Dan ternyata memang beda. Antara yang berlenggek dan yang non lenggek. Padahal penampilan kedua jenis ayam itu tidak ada bedanya.

Lanjut lagi perjalanan. Mereka lalui negeri Saning Bakar. Dan danau Singkarak mulai kelihatan. Sangat elok di sore hari begini. Dengan riak-riak kecil di air danau. Dan perahu-perahu nelayan. Perahu untuk pergi menangkap ikan bilih. Makin lama makin nyata sosok danau Singkarak di sebelah kiri jalan. Benar sekali bahwa jalan ini umumnya menyusur tepi danau. Berkelok ketika tepi danau berkelok pula. Di sebelah kanan mereka adalah rel keretapi. Sekarang terlihat orang main ski air di tarik speed boat. Seperti di Maninjau. Dan ada pula bus air seperti di danau Di Atas tadi siang. Hanya saja di sini untuk menyeberang ke sisi sebelah barat lalu kembali. Karena kalau untuk mengitari danau tentulah akan memakan waktu terlalu lama. Mungkin diperlukan waktu tiga jam lebih untuk itu.

Mereka berhenti di kampung Kacang. Ada sebuah rumah makan merangkap kedai kopi di pinggir danau. Dengan pekarangan yang luas tempat orang bisa duduk-duduk di bawah payung besar sambil memandang ke arah danau. Aswin dan Pohan ikut duduk di situ.

’Kamu mau masuk ke danau?’ tanya Pohan.

’Nggak ah. Cukup di Maninjau dan di danau Di Atas tadi saja. Kenapa memang?’

’Siapa tahu, kamu kepingin main ski air, seperti mereka itu,’ kata Pohan.

’Nggak lah. Atau? Mungkin kamu ingin main ski air?’ Aswin balik bertanya.

’Nggak juga,’ jawab Pohan.

’Ya sudah, kita duduk-duduk saja di sini,’ jawab Aswin.

’Kamu mau minum kopi lagi?’ tanya Pohan.

’Kenapa? Nggak enak ya, kita hanya nompang duduk saja? Pesan teh saja.’

Pohan setuju. Mereka memesan teh saja. Yang datang dengan kue-kue basah. Ada lepat bugis, serabi, panekuk. Mereka duduk sambil berbincang-bincang. Sambil melihat danau.

’Berapa dalam danau ini?’ tanya Aswin.

’Hampir tiga ratus meter di bagian paling dalam,’ jawab Pohan,

’Danau ini bukan kaldera gunung api purba, tapi rekahan sebuah patahan besar yang membentang sepanjang pulau Sumatera. Begitu menurut literatur yang aku baca,’ kata Aswin.

’Ya. Patahan Semangko. Begitu disebut para ahli geologi.’

‘Betul. Kamu juga mengetahui rupanya. Pulau Sumatera bagaikan dibagi dua oleh patahan besar itu. Bahagian sebelah barat pulau Sumatera mempunyai pegunungan Bukit Barisan. Dan patahan itu melalui bagian dari Bukit Barisan. Daerah ini sangat rawan dengan bencana gempa.’


‘Ya. Kamu tahu? Betapa takutnya warga kota Padang akan bahaya gempa dan tsunami. Repotnya lagi, para ahli geologi yang memperhatikan gejala alam ini secara ilmiah, menduga bahwa gempa besar diikuti meluapnya laut sangat berpotensi untuk terjadi. Tapi ya itulah. Itu sepenuhnya di bawah kekuasaan Tuhan. Pencipta alam raya ini,’ ucap Pohan.

‘Ya. Benar. Semua ciptaan Tuhan ini berpotensi menimbulkan bahaya. Gunung Marapi atau gunung Talang bisa meletus. Letusan gunung bisa sedahsyat letusan gunung Krakatau tahun 1883. Dan itu semua ada di dekat kita. Kalau memang Tuhan mau membiarkan datangnya bencana, apalah daya kita manusia,’ Aswin menambahkan.

‘Kamupun setuju rupanya. Bahwa kita tidak mungkin lepas dari kekuasaan Tuhan. Dan untuk terhindar dari murka Tuhan, menurutku hanyalah dengan tidak berbuat dosa kepada Tuhan.’

’Tentu aku setuju. Dan aku percaya betul dengan hukuman-hukuman Tuhan. Dengan cara begitu aku memelihara diri dari melakukan perbuatan dosa.’

‘Baiklah, sudah jam lima lebih. Bagaimana? Kita lanjutkan lagi perjalanan kita?’

’OK. Tapi apa acara kita malam ini?’ tanya Aswin.

’Terserah kamu. Aku tidak punya usulan. Kita sudah main kim, sudah menonton tari-tari Minang, menonton saluang jo rabab serta randai. Kecuali kamu ingin mengulang salah satu dari acara itu,’ kata Pohan.

’Tidak usah. Mungkin kita ngobrol dengan etek dan nenek lagi saja di rumah malam ini,’ kata Aswin.


*****

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.23)

23. Danau Kembar

Sesudah terperangah kekenyangan mereka harus melanjutkan lagi perjalanan. Makan di restoran Sari Manggis memang istimewa. Restoran ini memang berusaha menghidangkan masakan ala dapur di rumah sendiri. Di rumah orang Minang yang suka memasak. Yang mereka makan adalah pangek ikan, yang cocok kemana-mana dengan ’samba lado’ tomat. Ditemani urap daun pepaya, daun singkong, kangkung dan daun kemangi. Mantap sekali rasanya.

’Ayo kita teruskan perjalanan,’ Pohan mengingatkan.

’OK. Sekarang kita langsung ke danau kembar, kan?’ tanya Aswin.

’Ya. Langsung. Jaraknya lebih sedikit dari 20 kilometer saja dari sini.’

Mereka segera berlalu dari restoran Sari Manggis. Menuju ke arah tempat mereka datang tadi, ke Lubuk Selasih. Dan terus ke timur kali ini ke arah danau kembar. Di sebelah kiri mereka terlihat gunung Talang, sebuah gunung berapi aktif yang bahkan beberapa waktu yang lalu sempat agak meradang batuknya. Jalan yang mereka tempuh cukup bagus dan kadang-kadang berkelok-kelok pula. Dengan hutan semak belukar di sisi jalan.

’Gunung ini termasuk gunung berapi aktif, bukan?’ tanya Aswin, waktu dia membaca papan penunjuk bertuliskan ’Gunung Talang’.

’Ya. Beberapa tahun terakhir bahkan sangat aktif, sehingga penduduk yang tinggal di kaki gunung Talang ini pernah terpaksa mengungsi,’ jawab Pohan.

’Kelihatannya tidak setinggi gunung Marapi. Adakah jalan menuju ke puncaknya?’

’Memang lebih rendah dari gunung Marapi. Gunung ini tingginya 2597m di atas muka laut. Disamping itu, tempat kita berada saat ini juga lebih tinggi dari Bukit Tinggi. Tempat ini lebih dari 1000 meter di atas muka laut. Jalan ke puncak gunung itu pasti ada. Tapi aku belum pernah mendaki gunung ini,’ jawab Pohan.

Mereka berpapasan dengan beberapa buah bus pariwisata, yang penuh penumpang. Para pelancong yang kembali dari danau kembar. Atau bahkan mungkin dari Solok Selatan.

’Apakah jalan ini hanya sampai ke danau kembar saja?’ tanya Aswin.

’Bukan. Ini jalan ke Muaro Labuh. Ke arah Solok Selatan,’ jawab Pohan.

’Kamu bilang di Solok Selatan juga banyak terdapat objek wisata,’ kata Aswin.

’Banyak. Pemandangan di sana juga bagus-bagus. Tapi dengan waktumu yang terbatas, tidak mungkin kita mengunjungi semua itu. Makanya aku hanya memasukkan danau kembar saja sebagai objek untuk kita kunjungi di daerah sini,’ kata Pohan pula.

’Aku benar-benar harus kembali lagi ke sini,’ celetuk Aswin.

Tak terasa akhirnya mereka sampai di kampung Alahan Panjang. Di sebelah kanan terlihat danau Di Atas. Ada jalan menurun menuju ke arah danau itu. Pohan masih meneruskan perjalanan mobil beberapa meter lagi dan berbelok ke kiri. Jalan yang ini sedikit mendaki.

’Kita naik ke atas sana. Ada tempat melihat pemandangan ke arah kedua danau di atas sana,’ kata Pohan.

’Itu tadi yang di sebelah kanan jalan kamu bilang danau Di Atas? Dan kita naik ke atas sini untuk melihat danau Di Bawah? Apakah tidak terbalik?’

’Tidak terbalik. Kita akan melihat danau Di Bawah memang berada di tempat yang lebih rendah, jika dilihat dari atas sana nanti.’

’Dan nama danau-danau ini, disamping dikenal sebagai danau kembar, hanya disebut danau Di Atas dan danau Di Bawah begitu saja? Atau ada namanya yang lain?’

’Ya..hanya dikenal seperti itu saja. Yang tadi danau Di Atas, yang mau kita lihat danau Di Bawah.’

Tiba-tiba Aswin melihat banyak sekali buah markisa tergantung di kedai buah-buahan di pinggir jalan.

’Itu buah apa yang berwarna oranye?’ tanya Aswin.

’Buah markisa. Kamu lihat di sebelah sana, itu pohonnya,’ kata Pohan sambil menunjuk ke pinggir jalan.

’Markisa? Buah peninggalan Spanyol atau Portugis kedengarannya,’ kata Aswin.

’Mungkin juga. Mungkin dibawa seorang Marquis dulu ke sini. He..he..he..’

Mereka sampai di pelataran parkir di tempat yang agak ketinggian. Dan berjalan kaki di jalan yang sedikit mendaki ke arah panorama danau kembar, melalui kebun markisa yang sedang berbuah lebat. Udara di sini cukup dingin. Ramai pengunjung di bangunan panorama itu. Melihat ke bawah ke arah utara. Di sana terlihat danau Di Bawah. Dengan pemandangan yang cantik. Tapi tidak ada jalan ke arah pinggir danau itu dari sini. Danau Di Bawah terlihat utuh. Ada teropong pula di panorama ini. Aswin menggunakan teropong melihat ke sekitar danau. Di pinggir sebelah timur terlihat jalan melalui kampung-kampung. Terlihat beberapa orang sedang menunggang kuda di jalanan itu dengan santai. Pastilah mereka itu para pelancong juga. Di dalam danau ada beberapa buah kapal yang disebut bus air.

’Apakah posisi danau memang tidak sama tinggi? Maksudku bukan di ketinggian yang sama, sehingga ada yang disebut Di Atas dan Di Bawah?’ tanya Aswin masih penasaran, waktu dia mengamati posisi kedua danau itu dari panorama ini.

’Tidak sama tinggi. Ini aku bawa catatannya karena aku tidak mungkin menghafalkannya,’ kata Pohan sambil mengeluarkan selembar kertas dari dompetnya. ’Danau Di Atas, panjang 6.3 km, lebar 2.8 km, permukaan airnya berada pada ketinggian 1600m di atas muka laut. Danau ini dangkal, bagian terdalamnya hanya 44m. Lalu, danau Di Bawah, panjang 5.6 km, lebar 3 km, permukaan airnya berada pada ketinggian 1566m di atas muka laut. Danau Di Bawah sangat dalam, bagian terdalam 886m kedalamannya. Jadi dasar danau Di Atas sama tinggi dengan muka air danau Di Bawah.’

’Hebat sekali informasimu. Aku percaya sekarang. Boleh jadi danau-danau ini merupakan kawah gunung-gunung api purba seperti halnya danau Maninjau.’

’Sangat boleh jadi. Sebenarnya di sebelah barat laut dari tempat ini, dekat puncak gunung Talang, ada sebuah danau lagi yang lebih kecil. Danau yang lebih kecil itu benar-benar mirip dengan kawah gunung. Sayang jalan kesana hanya melalui jalan setapak.’

’Berapa jauh dari sini?’

’Sekitar lima sampai enam kilometer.’

Aswin tersenyum.

’Cukup jauh untuk dicapai dengan berjalan kaki. Kenapa kita tidak pergi ke bawah sana?’ tanya Aswin.

’Kamu ingin mengelilingi danau dengan bus air?’ Pohan balik bertanya.

’Untuk sekedar melihat-lihat,’ jawab Aswin.

’Kalau untuk melihat pemandangan, ya dari sini ini. Tapi kalau kamu ingin naik bus air, melihat pemandangan di sekeliling danau, aku usulkan di danau Di Atas saja. Nanti kita turun ke bawah ke dermaga bus air di danau Di Atas. Kecuali kalau kamu ingin menunggang kuda lagi, di kampung di bawah itu, kita perlu turun ke bawah sana,’ Pohan menjelaskan.

’OK. Kalau begitu kita tidak usah turun ke sana.’

Mereka menikmati pemandangan dari panorama itu hampir satu jam lamanya. Sambil berbincang-bincang. Pohan menceritakan bahwa di lapangan di sekitar panorama ini secara berkala diadakan lomba layang-layang se Indonesia. Bahkan diikuti pula oleh pecinta layang-layang dari luar negeri seperti Jepang, Korea, Taiwan dan Malaysia. Perbukitan yang agak rata tempat mereka sedang berada memang sangat ideal untuk bermain layang-layang karena di sini angin senantiasa bertiup.

Lalu mereka pindah ke danau Di Atas. Yang untuk pergi kesana harus melalui jalan menurun ke jalan raya tadi. Berbelok ke kanan, lalu ada jalan menurun ke kiri. Sampai ke pinggir danau. Di pinggir danau ini ada dermaga bus air. Bus yang bisa membawa pelancong mengelilingi danau.

Pohan membeli karcis bus air untuk mereka berdua. Bus air itu dapat memuat 30 orang pelancong. Tapi waktu mereka naik penumpangnya hanya sekitar dua puluhan orang saja. Dan bus air itu segera berangkat. Mengelilingi danau, mulai dari sisi sebelah timur terus ke arah selatan. Ada seorang pemandu wisata di bus air itu. Yang menceritakan tentang danau ini, luasnya, kedalamannya, jenis ikan yang terdapat di dalamnya. Tentang lokasi dan ketinggian muka air danau. Tentang kenapa dinamai danau Di Atas sementara yang satunya danau Di Bawah. Tentang nama-nama kampung di pinggir danau. Aswin mencatat informasi yang disampaikan pemandu wisata itu. Yang ternyata cocok dengan apa yang diberitahu Pohan sebelumnya.

Diceritakannya pula, bahwa mungkin karena posisi danau di tempat yang relatif tinggi, dan suhu airnya sangat dingin, tidak banyak ikan yang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu. Danau ini tidak mempunyai jenis ikan yang khas seperti danau Singkarak dan Maninjau.

Bus air itu melaju santai di atas air yang beriak kecil. Berputar ke arah barat dan berputar lagi ke utara. Membelok lagi waktu mereka berhadapan dengan sebuah tanjung yang menjorok ke dalam danau. Kadang-kadang terlihat kawanan monyet di pohon kayu di pinggir danau. Monyet memang ada di mana-mana. Akhirnya mereka mendekat dan sampai kembali di dermaga. Hampir satu jam mereka mengelilingi danau. Melihat pemandangan yang memang cukup indah di sekeliling danau.

Penumpang bus air turun dengan perasaan puas. Perjalanan mengelilingi danau itu cukup berkesan, apa lagi dengan informasi yang disampaikan oleh pemandu wisata yang menguasai betul informasi di sekitar danau. Selesailah kunjungan mereka ke danau kembar dan mereka sekarang berangkat menuju ke Bukit Tinggi. Melalui Solok dan danau Singkarak. Tidak lupa mereka melakukan shalat dulu di mushala dekat dermaga bus air sebelum berangkat. Berwudhu dengan air dari kran yang terasa dingin di kulit. Shalat di mushala yang terpelihara kebersihan dan kerapiannya.


*****

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.22)

22. Ke Danau Kembar

‘Kita berangkat sekarang?’ tanya Pohan, ketika mereka sudah selesai mandi dan merapihkan diri.

‘OK,’ jawab Aswin pendek.

Mereka menuju ke tempat parkir. Hari sudah jam sepuluh pagi. Mereka tinggalkan Teluk Bungus yang elok. Menempuh kembali jalan mendaki lalu berbelok ke kiri, menyusuri jalan di lereng bukit. Berliku dan mengitari bukit, menuju ke arah Teluk Bayur. Melalui jalan yang di kiri kanannya banyak pohon kayu dan pohon kelapa bercampur baur. Sesudah jalan berbelok di ujung perbukitan, terlihat di hadapan mereka Teluk Bayur yang ramai dengan kapal-kapal. Sepertinya tadi pagi waktu berangkat pemandangan ini luput dari perhatian. Terlihat pula banyak kapal-kapal pesiar di dalam laut di bawah sana. Entah siapalah pemiliknya. Mobil terus melaju. Sampai ke sebuah simpang tiga sebelum area pelabuhan Teluk Bayur. Ke kiri adalah arah ke pelabuhan dan terus ke Air Manis yang kemarin mereka tempuh. Ke kanan arah ke Indarung. Pohan membelokkan mobil ke arah kanan.

’Sekarang kita menuju Sitinjau Laut. Kita tidak akan masuk lagi ke dalam kota Padang,’ Pohan menjelaskan.

’OK. Jadi hanya dua objek ini sajakah yang penting untuk kita lihat di Padang? Air Manis dan Teluk Bungus?’ tanya Aswin.

’Secara umum yang kita lihat sudah mewakili keindahan kota Padang. Sudah kita lihat pantai Air Manis saat matahari terbenam sore kemarin. Sudah kita lihat tadi pagi ombak Purus di tempat nelayan menarik pukat. Sudah kita lalui tadi pagi sambil lalu pantai dekat Muaro. Biasanya sore-sore banyak orang duduk-duduk bersantai-santai menyaksikan deburan ombak dan menanti matahari terbenam di sana. Sambil makan rujak atau makan sate udang goreng. Rujak sudah kita makan di Air Manis kemarin. Kalau waktumu banyak kita bisa juga berjalan-jalan dan melihat-lihat di pelabuhan Muaro, pelabuhan kapal-kapal kecil ke kepulauan Mentawai. Dan sudah kita lihat Teluk Bungus. Kalau kamu menyukai pemandangan laut yang tenang sebenarnya ada lagi tempat yang jauh lebih indah. Agak lebih jauh ke selatan dari kota Padang, sekitar 60 kilometer lagi. Disana ada pulau yang lebih besar dibandingkan pulau Angsa Dua di Pariaman, melindungi laut dari hempasan ombak. Lautnya sangat biru dan tenang.’

’Waaw. Kenapa kita tidak kesana?’ tanya Aswin.

’Kalau kita ke sana, sebaiknya menghabiskan satu hari penuh untuk menyeberang dan melihat-lihat ke pulau yang aku katakan. Banyak lagi objek yang dapat kita lihat di sana.’

’Apa nama tempatnya? Kenapa tidak kamu beritahu sebelumnya kalau itu memang lebih cantik?’

’Ada nama nagari Sungai Nyalo di sana. Di sekitar kampung itulah terdapat lokasi yang aku katakan. Bahkan tidak cukup sampai di sana saja. Kita harus melanjutkan lagi terus ke selatan untuk melihat pemandangan yang juga sangat memukau. Dengan waktumu yang terbatas aku tidak merencanakan membawamu kesana. Nanti kalau kamu datang lagi, dan bisa tinggal lebih lama akan aku bawa ke tempat-tempat yang tidak kalah indahnya di daerah selatan,’ ujar Pohan.

’Yang kita tuju sekarang apakah cukup dikunjungi untuk sejam dua jam saja seperti tempat-tempat yang sudah kita datangi?’ tanya Aswin.

’Panorama danau kembar, untuk dilihat satu sampai dua jam sudah cukup. Kecuali kalau kamu ingin kita menjelajah pula ke dalam danau-danau tersebut,’ jawab Pohan.

’Ada apa saja yang menarik di danau-danau itu?’

’Pesiar mengelilingi danau. Karena danaunya lebih kecil dibandingkan Maninjau atau Singkarak, mengelilingi danau dengan bus air sangat menyenangkan dan tidak makan waktu lama. Untuk melihat-lihat kampung-kampung di sekitar danau.’

’Di kedua danau?’

’Ada di kedua danau. Tapi yang lebih menarik menurutku adalah yang di sebelah utara. Banyak kampung-kampung yang di lalui seperti yang terlihat dari panorama Danau Di Baruah itu.’

’Tapi, by the way ini jalan yang kita tempuh kemarin ’kan? Apa kita melalui jalan ke Bandara lagi untuk pergi ke danau-danau itu?’

’Ya. Kita ikuti jalan ini sampai ke Lubuk Bagalung namanya di depan sana. Di sana ada simpang tiga. Kalau mau ke Bandara kita belok ke kiri dan untuk ke arah Solok kita terus ke arah timur.’

’Apakah kita akan melalui Solok sebelum menuju danau kembar?’

’Tidak. Nanti ada lagi simpang tiga di Lubuk Selasih sesudah Sitinjau Laut. Di Lubuk Selasih kalau akan ke Solok kita belok ke kiri dan kalau mau ke danau kembar ke kanan.’
’Berapa jauh dari Selasih ke danau kembar?’

’Lebih kurang 20 kilometer. Sejauh itu pula kalau kita ke Solok. Kenapa? Kamu sudah memikirkan dimana kita makan siang? He..he..he..’

’He..he..he.. Jam berapa sih ini? Tapi iya, kenapa perutku jadi agak lapar ya? Atau karena kita terlalu capek berenang dan menyelam?’

’Baik, sekarang jam setengah sebelas. Kalau kamu memang lapar, kita bisa makan di rumah makan arah ke Solok dari Lubuk Selasih. Ada rumah makan Sari Manggis di sana yang populer di kalangan pelancong. Sebenarnya rumah makan dengan masakan Minang biasa. Tapi memang enak. Bagaimana? Kita ke sana dulu atau langsung ke arah danau? He..he..he..he.’

’Aku rasa sebaiknya kita makan dulu di sana. Jam berapa kita sampai disana kira-kira?’

‘Sekitar jam setengah dua belas, mudah-mudahan,’ jawab Pohan.

Dari Lubuk Bagalung jalan mulai mendaki menyusuri bukit yang terjal, bagian dari rangkaian bukit batu kapur bahan baku pabrik semen Padang di Indarung. Dan mereka lalui pula area pabrik semen itu. Berikut bukit batu kapur yang diteruka untuk jadi bahan baku semen, yang terlihat dari jalan raya ini. Rumah penduduk terlihat disaputi debu. Debu yang berasal dari pabrik semen. Ini adalah jalan ke jurusan Solok melalui Sitinjau Laut. Jalan yang berliku berkelok-kelok melalui perbukitan dengan lembah-lembah cukup terjal dan kadang-kadang berpotensi untuk longsor. Sejak beberapa tahun ini pemerintah daerah mencoba mengatasi masalah longsor dengan menanam baja beton di bagian yang dikhawatirkan mudah longsor.

Sitinjau Laut adalah puncak pendakian dari Padang. Di tempat yang ketinggian ini terdapat lokasi untuk memandang ke arah lautan Hindia. Untuk meninjau ke arah laut, makanya bernama Sitinjau Laut. Pemandangan yang lumayan indah untuk dinikmati dari tempat ketinggian ini. Mereka berhenti sebentar di Panorama Sitinjau Laut, meneropong ke arah laut. Di bangunan lepas tanpa dinding tapi beratap tempat orang bisa beristirahat sambil menikmati keindahan pemandangan. Meninjau laut. Yang memang memukau, dilihat dengan teropong yang tersedia pula di sini. Terlihat kapal nelayan di bawah sana. Dan kapal Pelni yang sedang berlayar di laut lepas. Banyak pula pelancong berhenti di sini. Untuk tujuan yang sama, melihat pemandangan ke arah laut.

Tidak lama mereka berhenti di situ. Dan mereka lanjutkan lagi perjalanan sesudah beristirahat sebentar. Di daerah ketinggian yang agak rata sesudah Sitinjau Laut. Di taman hutan raya Bung Hatta, sebuah taman cagar alam tempat terdapat banyak tumbuh-tumbuhan langka pulau Sumatera. Di nagari Ayia Sirah. Sebelum jalan mulai menurun menuju ke arah Lubuk Selasih. Jalan menurun yang juga berkelok-kelok.

Seperti rencana mereka, dari Lubuk Selasih mereka terus menuju ke arah Solok. Ke rumah makan Sari Manggis untuk makan siang. Entah karena sarapan di hotel tadi pagi yang tidak memadai, entah karena kecapekan berenang, yang jelas perut mereka memang sangat lapar. Restoran yang terletak di sebelah kanan jalan arah ke Solok itu terletak di sebidang tanah yang luas. Dengan pelataran parkir yang juga luas. Ada taman dan kolam ikan di bagian belakangnya. Kolam tempat memelihara sementara ikan yang akan dimasak untuk jadi hidangan di restoran itu. Sehingga gulai ikan di sini selalu merupakan gulai ikan segar.

Dan jam setengah dua belas ketika Aswin dan Pohan sampai di sana adalah jam ketika gulai-gulai baru saja masak. Biasanya restoran ini mulai ramai sesudah jam dua belas. Orang yang melancong ke Danau Kembar di pagi hari, menjelang siang kembali dari sana dan mampir di rumah makan ini.

Aswin dan Pohan segera mengambil tempat di restoran yang masih sepi itu. Duduk di pinggir ’tabek’ yang berisi ikan gurame dan ikan mas besar-besar. Pelayan rumah makan menanyakan apakah mereka ingin memesan ikan yang masih berenang itu untuk dimasakkan atau mau makan dengan gulai yang sudah tersedia saja. Pertanyaan yang lumayan menggelitik seandainya perut belum terlalu lapar. Bisa saja tamu meminta digorengkeringkan seekor ikan mas, atau minta dibakarkan seekor ikan gurami. Yang langsung ditangkap dari ’tabek’, seperti kata pelayan yang ramah itu.

’Berapa lama untuk menyiapkan seekor gurami bakar?’ tanya Aswin.

’Setengah jam,’ jawab pelayan itu.

’Waduh. Terlalu lama. Tidak adakah ikan gurami yang sudah dibakar?’

’Tidak ada, pak. Ikan mas goreng kering dan gurami bakar disiapkan berdasarkan pesanan,’ jawab pelayan pula.

’Aku sudah sangat lapar. Sudahlah, bawakan yang ada saja,’ kata Aswin pula.

’Baik, pak,’ jawab pelayan itu.

Dan hidangan seperti umumnya di rumah makan Minang, dalam waktu sekejap sudah datang memenuhi meja di hadapan kedua anak muda itu. Dengan aneka macam lauk. Lengkap dengan gulai ikan gurami yang sangat menarik bagi Aswin. Mereka makan dengan lahap. Mungkin karena benar-benar kehabisan energi sehabis berenang tadi.

’Aku tahu kenapa kita lapar sekali,’ kata Pohan.

’Kenapa?’ tanya Aswin.

’Karena tadi malam kita makan kentang giling. Dan pagi ini sarapan roti. Sedangkan kemarin-kemarin kita makan nasi malam hari dan makan ketan atau ketupat untuk sarapan,’ jawab Pohan.

’Masak? Apa bukan karena kita kecapekan berenang?’ tanya Aswin.

’Itu mungkin faktor penambahnya. Yang pasti kalau aku, tanpa makan nasi, rasanya belum benar-benar makan,’ kata Pohan.

’Kenapa tadi malam kamu ikut-ikutan makan kentang dan daging?’

’Tadi malam aku juga ingin mencoba steak dan pure kentang. Tapi ternyata tidak memadai bagi perutku. Dan tadi pagi kita sarapan dengan beberapa potong roti bakar. Makanya akupun sangat lapar sesudah berenang tadi,’ kata Pohan.

’OK. Sekarang kita bertemu nasi. Tentu perut kita tidak akan protes lagi.’

’Aku yakin tidak akan.’

Jam dua belas tepat, ketika mereka bersiap-siap meninggalkan rumah makan Sari Manggis, menuju ke danau kembar.


*****

Wednesday, February 27, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.21)

21. Teluk Bungus

Teluk Bungus terletak sekitar 20 kilometer di sebelah selatan kota Padang. Untuk mencapainya harus melalui jalan ke Teluk Bayur dan terus ke arah selatan melalui jalan berliku di perbukitan di tepi pantai. Sepanjang jalan di punggung bukit ini terlihat pemandangan yang indah dan memukau. Terutama pemandangan ke arah lautan Hindia yang luas terbentang, dengan warna biru berkilau. Teluk Bungus merupakan sebuah teluk yang cukup luas, bahkan lebih luas dari pelabuhan Teluk Bayur, dan menjadi objek wisata yang sangat populer di kota Padang. Dikelilingi oleh perbukitan, bibir pantai Teluk Bungus terlihat agak sempit di bagian utara dan selatan. Jalan masuk ke pantai di teluk ini terletak di bagian tengah teluk, menurun dari bukit ke arah pantai yang lebih lebar di bagian ini.

Orang datang ke sini untuk berenang dan menyelam, melihat keindahan dasar laut dengan segenap faunanya. Ada juga yang datang untuk memancing. Di sisi sebelah utara ada perkampungan nelayan, dan orang juga dapat melihat perahu nelayan yang beriring-iring dari sini menuju ke tengah laut untuk mencari ikan. Di bagian tengah yang lebih luas dan landai banyak terdapat bungalow dan villa, tempat orang dari kota Padang datang menginap di akhir pekan. Suasana di Teluk Bungus lebih tenang dibandingkan dengan suasana kota Padang yang sibuk dan ramai.

Dinas pariwisata pemerintah daerah menjaga benar keindahan dasar laut di teluk ini karena pemandangannya sangat menyenangkan bagi para pelancong. Penggunaan speed boat dan perahu bermotor dilarang agar tidak mencemari laut. Disini pelancong bisa juga berlayar dengan menggunakan perahu layar tanpa mesin. Atau mereka dapat menyelam ke dasar laut di bagian pinggir yang hanya sekitar dua atau tiga meter dalamnya. Bagian dasar laut ini ditumbuhi terumbu karang berwarna warni dan banyak ikan berukuran kecil sampai sedang bermain di sela-sela karang.

Jam delapan kurang, Pohan dan Aswin sudah sampai di Teluk Bungus. Tapi sebelumnya mereka masih sempat melihat orang menarik pukat tidak jauh dari Hotel Pangeran. Orang menarik pukat itu terlihat secara kebetulan oleh Aswin, di pantai sebelah utara bangunan hotel, ketika dia memandang dari jendela hotel. Tadi, jam enam pagi mereka sudah sarapan. Dan sesudah itu langsung check out dari hotel. Sebelum menuju ke arah Teluk Bayur untuk pergi ke Teluk Bungus, mereka singgah ke tepi pantai di sebelah utara hotel, ke tempat para nelayan sedang menarik pukat beramai-ramai. Pemandangan orang menarik pukat yang dilakukan tidak jauh dari hotel ini termasuk sebuah atraksi untuk ditonton pelancong yang menginap di hotel. Sebelumnya, kegiatan ‘mahelo pukek’ ini sudah semakin langka. Mungkin karena secara materi hasilnya semakin kurang meyakinkan. Pukat yang di tarik beramai-ramai oleh sekumpulan sekitar lima belas orang, sebelumnya menjelang subuh dihantarkan dengan perahu ke tengah laut, sekitar dua sampai tiga kilometer dari pantai. Begitu matahari terbit, mulailah para nelayan itu bergotong royong menarik atau ‘mahelo pukek’ di pantai yang berpasir. Menarik pukat dalam formasi berbaris ke belakang, berjalan mundur dengan tangan menghela tali pukat, bahkan ada yang dengan melilitkan tali itu ke pinggangnya. Setiap kali yang paling belakang cukup jauh dari tepi air dia berpindah kembali ke depan, menarik sejak dari batas hempasan ombak. Begitu bergantian berulang-ulang.

Banyak pelancong yang menyaksikan pagi ini. Bahkan ada yang ikut membantu menarik pukat. Dua orang turis Jepang, ikut berbaris, menghela seirama dengan para nelayan. Mungkin sebagai pembuktian betapa cintanya orang Jepang terhadap usaha mencari ikan. Gerakan itu terus berlalu, berjalan mundur ke belakang, menghela dalam tarikan nafas, meski ada juga yang bersenandung dalam gumaman lagu ’Helo pukek iyo rang helokan’.

Kira-kira sejam sejak tarikan pertama, semakin dekat pukat itu ke pantai. Bahkan sudah terlihat beriak-riak di dalam laut yang bukan riaknya gelombang. Ketika ikan di dalam pukat berusaha menggelepar dalam pukat yang semakin menyempit saja. Lalu satu, dua, tiga, empat lima, enam............. Seseorang memberi komando, karena perut pukat sudak muncul di pasir yang masih dihempas oleh ombak. Menggelembung penuh berisi ikan. Pukat itu sampai sudah di pantai, ditarik ketempat yang lapang dimana kemudian ikan-ikan itu diambil dan dipindahkan ke keranjang-keranjang yang sudah disediakan. Macam-macam ikan yang tertangkap. Tenggiri, cakalang, kakap, dan entah apa saja lagi. Bermacam-macam pula warnanya. Semua menggelepar-gelepar. Dan tertangkap pula seekor kura-kura di dalam pukat. Yang tadi memberi komando, yang mungkin memang pemimpin nelayan itu menyuruh lepaskan penyu itu kembali ke laut. Karena memang ada himbauan pemerintah daerah untuk melindungi penyu.

Kedua orang Jepang yang ikut menghela pukat nampak sangat excited. Dia ikut menimang-nimang ikan tenggiri sebelum memasukkannya ke keranjang. Si pemimpin berceloteh.

’Hajan inyo ko mah yuang. Agieh lah inyo gak duo ikue, nak dimakan nyo matah-matah lauek tu...’

Teman-teman nelayan tertawa mendengar.

Aswin juga sangat terkagum-kagum melihat hasil tangkapan dengan cara tradisional yang sederhana itu. Terkagum-kagum melihat ikan segar dan besar-besar menggelepar. Ada ikan kakap yang sekitar sepuluh kilo beratnya. Tangkapan yang sangat bagus. Dan ikan-ikan yang besar-besar itu tanpa dilelang sudah dipesan oleh hotel. Untuk jadi santapan tamu hotel nantinya. Ikan segar yang baru keluar dari laut yang kaya raya, di hadapan kota Padang.

Setelah menyaksikan pemindahan ikan ke keranjang itu barulah Aswin dan Pohan berangkat meninggalkan pantai. Keluar ke arah jalan raya Ir. H. Juanda kembali. Berbelok ke kanan. Mereka menuju ke arah Teluk Bayur. Melalui jalan yang sedikit macet di tengah kota. Mereka sempatkan juga melihat-lihat sambil terus melaju, bagian-bagian kota Padang. Berjalan di jalan raya di tepi pantai. Melalui Muaro, jembatan Siti Nurbaya, Kampung Cina dengan bangunan antik tempo doeloe di Pondok.

Lalu terus ke arah pelabuhan Teluk Bayur. Terus lagi ke arah selatan melalui jalan berbukit dan berliku. Kadang-kadang mendaki, lalu berbelok, menurun dan berbelok patah mengelilingi bukit. Kadang-kadang merapat ke pantai lalu agak menjauh. Di sepanjang jalan terlihat pohon-pohon cukup tinggi berbaur dengan pohon kelapa di lereng perbukitan ini. Setelah melalui semua itu akhirnya mereka sampai di Teluk Bungus.

’Waaw, ini bagus sekali,’ komentar Aswin waktu mereka turun menuju pantai Teluk Bungus, memandang teluk luas yang hanya beriak kecil saja di pagi ini, terbentang di hadapan.

’Inilah Teluk Bungus,’ kata Pohan.

’Indah. Sangat indah,’ kata Aswin.

Pantai Teluk Bungus sudah ramai pagi-pagi begini. Para pelancong ramai-ramai berenang dan menyelam. Dan ada juga yang masih berjalan-jalan di sepanjang pantai tapi sudah berpakaian untuk berenang. Laut biru dan tenang memang sangat mengundang untuk diterjuni dan dijelajahi.

’Kita bisa menyewa alat untuk menyelam di sini,’ kata Pohan waktu mereka keluar dari mobil.

’Pakaian dan tabung udara untuk menyelam maksudnya?’

’Mungkin itu juga ada. Tapi bukan itu yang aku maksud. Sekedar alat snorkling. Untuk melindungi mata. Kita tidak usah sampai masuk jauh ke tengah laut. Di pinggir-pinggir sini saja cukup indah dasar lautnya,’ kata Pohan.

Dan itulah yang mereka lakukan. Menyewa alat snorkling, berikut sepatu pendayung, dan menyelam di sekitar pinggir laut yang relatif tenang airnya. Indah sekali pemandangan di bawah sana, dengan terumbu karang dan ikan-ikan yang seolah-olah seperti bisa ditangkap dengan tangan. Kedua anak muda itu sangat pandai berenang dan menyelam. Mereka seperti melayang dalam air. Mengejar ikan-ikan yang tentu saja jauh lebih gesit. Bergerak ke mana-mana. Bermacam-macam jenis dan warna ikan di bawah sana. Ada ikan-ikan kecil berwarna hijau kekuningan yang ratusan atau bahkan mungkin ribuan jumlahnya berenang berkelompok. Seperti ada komandan pemimpinnya, dan yang lain, yang jumlahnya sangat banyak itu mengiring di belakang, berenang melingkar-lingkar. Dan ada pula cumi-cumi yang berenang seperti payung yang mengembang menguncup lucu sekali. Di dasar laut, di sela-sela karang, ada sejenis ikan yang bersembunyi, mengintip mangsanya, ikan kecil lainnya dan dengan kesigapan luar biasa menangkap mangsa itu.

Mereka lihat ikan pari berenang. Ada tiga ekor berenang terpisah. Ikan yang mirip tempayan besar, dengan buntut panjang. Aswin memberi isyarat agar menjauh dari ikan pari itu. Pohan maklum dengan isyarat itu, bahwa ikan pari sangat berbahaya dengan pecut ekornya yang berbisa. Tapi kalau tidak diganggu, mudah-mudahan ikan itu juga tidak akan menyerang balik.

Semua pemandangan itu indah dan menakjubkan. Tidak bosan-bosan untuk mengamatinya. Turis-turis Jepang atau mungkin juga orang Korea datang dengan perlengkapan yang lebih lengkap dengan kamera, mengabadikan pemandangan dasar laut ini. Mereka menyelam ke tempat yang lebih dalam.

Dengan peralatan sederhana yang mereka sewa, Pohan dan Aswin tidak bisa pergi ke tempat yang dalam. Kadang-kadang mereka naik dulu ke permukaan sebentar lalu kembali lagi berenang dan menyelam. Menikmati panorama bawah air yang sangat elok. Tapi akhirnya mereka kecapekan juga. Sesudah sekitar satu setengah jam bermain dalam air akhirnya mereka berhenti dan keluar dari laut. Aswin yang lebih dulu mengajak keluar.

’Perjalanan kita masih akan berlanjut. Sebaiknya kita tidak terlalu lama di sini. Nanti kamu terlalu capek menyetir,’ katanya.

’OK. Kalau begitu kita keluar sekarang saja,’ kata Pohan setuju.

Mereka mengembalikan peralatan yang mereka sewa. Lalu mandi di kamar mandi di tempat penitipan barang. Dan bersiap-siap untuk berangkat. Di dalam laut masih banyak orang yang berenang dan menyelam. Ada juga yang baru saja sampai.

’Benar-benar indah,’ Aswin berkomentar. ’Kalau waktuku banyak ingin aku menginap di tempat yang cantik ini.’

’Sayang kamu terburu-buru. Atau kamu segera saja kembali lagi. Masih banyak sebenarnya objek wisata yang perlu dikunjungi di negeri ini,’ Pohan mengomentari.

’Aku akan kembali. I shall return, for sure,’ jawab Aswin.

‘Dan jangan hanya untuk seminggu,’ tambah Pohan.

‘You know what? Aku akan berpromosi kepada teman-temanku di sana tentang Minangkabau Country. Akan aku perlihatkan foto-foto yang aku ambil selama kunjungan ini. Satu hari nanti aku akan datang dengan rombongan pelancong ke sini. Kamu bersiap-siap saja untuk jadi pemandu kami. I promise, I shall return.’

‘No problem. Aku akan selalu siap. Insya Allah.’

‘Ya. Insya Allah.’

*****

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.20)

20. Hotel Pangeran

Jam setengah delapan malam mereka sampai di hotel Pangeran. Hotel berbintang yang terletak di Purus atau di jalan Ir. H. Juanda. Mereka disambut oleh petugas receptionist yang sangat ramah dan sopan. Pohan memberitahu bahwa dia sudah memesan sebuah kamar untuk malam ini di hotel ini atas namanya. Petugas itu segera menemukan kode pemesanan kamar tersebut dan menanyakan apakah mereka menginginkan kamar yang menghadap ke laut atau sebaliknya. Mereka memilih kamar yang menghadap ke laut. Dan mereka mendapatkan sebuah kamar di tingkat empat.

Sementara Aswin mengamati penampilan hotel yang tidak ubahnya hotel-hotel besar berbintang di manapun. Ada baliho dengan ucapan selamat datang dengan potret seorang gadis Minang dalam pakaian adat, setinggi aslinya, tersenyum dan sedang memegang carano. “Welcome to Pangeran Beach Hotel in Minangkabau Country”. Dan beberapa pengumuman tentang yang boleh dan yang tidak boleh. ‘The Dos and The Don’ts. Memang harus demikian, harus jelas sejelas-jelasnya. Dan running text tentang apa yang sedang ‘in’ malam ini. Menu utama di restoran, acara di assembly hall. Dan pengumuman, ’just for your information that we do not serve any liquor and alcoholic drink in this hotel’. ’Just for your info,’ jadi tegas-tegas saja bahwa itu bukan sesuatu kekurangan atau kekeliruan dan oleh karenanya tidak ada dan tidak perlu minta maaf. Agak sedikit ‘keras’ mungkin, tapi berterus terang.

‘Ada pertunjukan apa malam ini di sini?’ tanya Pohan kepada petugas receptionist waktu petugas itu menyerahkan kunci kamar.

’Randai,’ jawab Aswin. ’Randai Rambun Pamenan. Dengan penjelasan cerita yang akan dibacakan dalam bahasa Inggeris, di mulai jam delapan tiga puluh, di hall di lantai ini,’ Aswin menjelaskan dengan rinci, karena dia sudah melihat dan membaca informasi di running text info.

Petugas itu tersenyum dan membenarkan keterangan Aswin.

’Bapak menyukai pertunjukan randai?’ tanya petugas receptionist itu pula.

’Ya, saya suka,’ jawab Aswin.

‘Selamat menikmatinya pak. Dan selamat menikmati pelayanan kami. Lift ada di sebelah sana. Tolong beritahu kami kalau bapak memerlukan bantuan,’ ujar petugas itu sambil tersenyum.

‘Terima kasih,’ jawab Aswin.

Mereka menuju lift untuk naik ke lantai empat.

’Kamu mau makan di luar?’ tanya Pohan.

’Kalau makan di luar, kemana? Apa yang khas di Padang ini?’ tanya Aswin.

’Banyak restoran di sini. Tinggal pilih kamu mau makan apa. Selain masakan Minang juga ada masakan Cina, masakan Jawa, masakan Thailand atau masakan Eropah,’ jawab Pohan.

’Bagaimana kalau kita makan di hotel ini saja? Aku ingin juga menonton lagi randai Rambun Pamenan,’ usul Aswin.

’Terserah kamu,’ jawab Pohan.

Dan mereka dapatkan kamar yang menghadap ke laut. Laut yang terlihat temaram dari balik jendela. Di bawah cahaya bulan. Lamat-lamat terlihat pula api di perahu nelayan di tengah laut sana.

Sesudah mandi mereka turun lagi ke lantai dasar. Ke restoran yang menghidangkan masakan Eropah. Restoran itu sedang ramai-ramainya. Ada segala bangsa yang sedang makan di sini. Bau harum masakan tercium menitikkan selera.

’Aku ingin mengetahui bagaimana kwalitas masakan Eropah mereka,’ ujar Aswin.

Atas saran Aswin mereka memesan T bone steak dengan mashed potato. Di daftar menu tertera bahwa ada T bone jenis lokal dan ada yang diimpor dari New Zealand. Yang terakhir ini harganya lebih dua kali lipat.

Waktu pelayan menulis pesanan mereka yang semula diminta dua T bone impor, Pohan minta agar yang satunya yang lokal saja.

’Kenapa? Minta saja yang New Zealand dua-duanya,’ cergah Aswin.

’Kamu bilang untuk membandingkan. Mari kita bandingkan sekalian perbedaan kwalitas impor dengan lokal, ’ jawab Pohan.

’Kalau begitu biar aku makan yang lokal,’ usul Aswin.

’Tidak, kita bagi keduanya. Kita cicipi baik yang lokal maupun yang impor sama-sama,’ kata Pohan pula.

’OK,’ kata Aswin singkat, sambil tersenyum.

Dan mereka ngobrol sambil menunggu pesanan datang. Sambil memperhatikan juga tamu-tamu hotel yang ramai itu. Yang terlihat berwajah puas dan gembira. Menikmati makan malam mereka masing-masing. Macam-macam bahasa terdengar. Dan pelayan restoran ini sibuk melayani para tamu. Berjalan tergesa-gesa ketika menyampaikan pesanan ke dapur dan begitu pula ketika kembali membawa hidangan. Wajah pelayan inipun terlatih untuk senantiasa ramah dan tutur kata mereka sangat sopan santun.

’Coba kamu perhatikan. Restoran ini penuh. Di setiap tempat yang kita kunjungi selalu banyak pelancong. Kamu tahu tidak, berapa kira-kira jumlah turis yang datang ke sini setiap harinya,’ ujar Aswin.

’Yang aku tahu ada sepuluh sampai lima belas penerbangan yang datang langsung dari luar negeri setiap hari pada hari-hari biasa seperti sekarang. Dari Malaysia dan Singapura masing-masing dua penerbangan. Dari Bangkok, dari Hong Kong, dari Tokyo, dari Seoul, dari Syanghai dan dari Perth masing-masing satu. Dari Abu Dhabi, dari Kuwait, dari Jeddah, dari Brunai dari Manila dua sampai tiga kali seminggu. Kalau masing-masing pesawat membawa 300 orang saja, berarti tiap hari ada sekitar 3000 sampai 4500 orang yang datang. Makanya hotel-hotel selalu penuh dan hotel-hotel baru banyak yang sedang dibangun,’ jawab Pohan.

’OK. Berarti sekitar 1.5 juta orang per tahun. Sudah cukup banyak. Tapi aku yakin bisa bertambah banyak lagi. Prospek pelancongan di negeri ini sangat bagus. Karena memang tempat ini sangat layak dikunjungi,’ Aswin menganalisa.

’Benar sekali. Itu pulalah yang sedang aku rintis. Ikut mengembangkan pariwisata negeri ini,’ jawab Pohan.

Pesanan mereka datang. Dua T bone steak, saus jamur dengan pure kentang, lokal dan import. Hampir tidak ada bedanya. Dan seperti usul Pohan, mereka memotong dan membagi dua dagingnya.

Aswin mencicipi kedua bahagian itu bergantian.

‘Perfect. Yang impor sedikit lebih empuk dan memang sedikit lebih tasty. Bagaimana pendapatmu?’ tanya Aswin.

‘Akupun merasakan yang impor sedikit lebih empuk. Tapi rasa menurutku tidak ada bedanya,’ jawab Pohan.

Mereka nikmati makan malam itu dengan santai sambil meneruskan obrolan. Dan Aswin memperhatikan di kiri kanan, orang-orang asing itu menikmati makan malam mereka tanpa ’wine’, tanpa problem. Mereka minum lemon tea, atau air mineral. Happy happy saja. No problemo. Aswin juga minum lemon tea dingin sementara Pohan memesan Aqua saja. Dan mereka nikmati pula es krim coklat bercampur dengan vanila. Nyaman sekali.

Tiba-tiba lamat-lamat terdengar suara saluang. Dari hall tempat randai. Berarti acaranya segera akan dimulai. Benar saja, hari sudah jam setengah sembilan. Mereka tidak tergesa-gesa.

’Biar saja mereka mulai. Nggak apa-apa kita datang terlambat. Pertunjukannya akan berlangsung sampai jam sebelas,’ ujar Pohan.

’OK. No problem. Kita habiskan dulu es krim ini. Kamu masih mau minum teh atau kopi?’ tanya Aswin pula.

’Ah nggak usah. Aku sudah cukup dengan ini saja,’ jawab Pohan.

Akhirnya mereka selesaikan juga rangkaian makan malam. Dan sekarang mereka beranjak ke hall tempat pertunjukan randai. Sudah terlambat sepuluh menit. Pemain randai sudah ber heip tah – heip tah sambil menepuk celana galembong mereka.

Ramai yang menonton randai. Kursi penuh sampai ke belakang. Aswin dan Pohan masih mendapat tempat duduk tapi agak jauh di bagian belakang. Aswin menyimak baik-baik setiap untaian cerita yang disampaikan dalam bahasa Inggeris. Jadi bertambah paham dia dengan pertunjukan randai yang dimainkan. Tapi kata-kata pemain randai atau penyair dalam pengantar randai itu hampir tidak ada yang dimengertinya. Lamat-lamat dia fahami cerita tentang seorang ibu janda yang di pinang oleh seorang bangsawan asing tapi si ibu itu menolaknya. Dia kemudian diculik dan di bawa ke negeri orang asing itu untuk dipaksa menikah. Karena dia tetap menolak, ibu janda itu di penjarakan. Dia mempunyai seorang anak yang bernama Rambun Pamenan. Rambun Pamenan yang sudah beranjak dewasa, pergi mencari ibunya ke negeri yang jauh itu dengan bertanya ke sana ke mari, sampai akhirnya menemukan negeri tempat ibunya dipenjarakan. Rambun Pamenan menempuh hutan rimba, menyeberangi lautan untuk mencapai negeri itu. Dan dia berhasil membebaskan ibunya lalu membawanya pulang kembali ke kampung halaman mereka.

Cerita itu yang dimainkan dalam randai. Dengan syair dan pantun, diiringi bunyi saluang jo rabab. Dan celana galembong yang berlapoh-lapoh. Setiap kali satu adegan berganti, penyair membaca pantun yang sama yang sampai-sampai Aswin hafal. Balam timbago tigo gayo, murai barapak ateh pintu, salam takzim dari ambo, kaba baraliah tantang itu. Tentu saja perlu bantuan Pohan untuk menterjemahkan arti pantun peralihan adegan yang sudah dapat dihafalkan Aswin itu.

Asyik juga menonton randai. Dan mereka betah duduk sampai acara itu selesai jam sebelas kurang sepuluh menit. Barulah mereka masuk ke kamar untuk tidur.

’Besok pagi apa acara kita?’ tanya Aswin waktu mereka masih di lift.

’Habis sarapan kita ke Teluk Bungus untuk menyelam. Kita akan di sana sampai sekitar jam sepuluh, lalu berangkat menuju Solok untuk terus ke Danau Kembar. Jadi sehabis sarapan kita langsung check out saja dari hotel ini,’ usul Pohan.

’OK. Hari berikutnya yang mudah-mudahan akan banyak kejutan lagi. Seperti hari ini. Seperti hari-hari kemarin,’ kata Aswin.

Mereka sudah sampai di kamar untuk segera tidur.


*****