Tuesday, February 26, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.17)

17. Pantai Kata

Mereka tidak berlama-lama duduk di warung kelapa muda itu. Sesudah menghabiskan minuman kelapa muda mereka langsung melanjutkan lagi perjalanan, sementara pelancong-pelancong bule masih meneruskan obrolan mereka disana. Perjalanan diteruskan menuju ke arah barat sampai bertemu dengan simpang tiga.

‘Di pertigaan di depan kita berbelok ke kiri. Ke kanan adalah jalan ke Simpang Ampek di Pasaman,’ Pohan menjelaskan, persis sebelum mereka sampai di persimpangan.

’Kalau kita ke kanan ada jugakah objek wisata yang khas?’ tanya Aswin.

’Pemandangan sepanjang jalan kadang-kadang cukup bagus, melalui daerah pinggiran pantai. Tapi objek wisata di sepanjang jalan ini tidak ada yang istimewa,’ jawab Pohan.

Dan mereka berbelok ke kiri. Menuju ke Tiku. Menempuh jalan yang kadang-kadang berada tidak jauh dari pantai. Di pinggir jalan banyak tumbuh pohon kelapa. Pohon nyiur yang melambai-lambai. Ada kalanya terlihat rawa-rawa kecil di sebelah kanan, ditumbuhi keladi dan enceng gondok. Dan ada kalanya pula di sebelah kiri jalan terlihat sawah.

’Tiku yang terletak di sepanjang pantai ini termasuk bagian kabupaten Agam. Kabupaten Agam itu meliputi daerah di sekitar Bukit Tinggi, daerah pegunungan. Secara kekerabatan sebenarnya orang Tiku lebih dekat dengan orang Pariaman. Makanya orang sering menggandengkan nama Tiku dengan Pariaman,’ Pohan mengawali cerita.

’Kenapa begitu?’ tanya Aswin.

’Aku tidak tahu. Yang pernah aku baca, Tiku pernah jadi kota pelabuhan penting bagi kerajaan Aceh, yang menguasai pantai barat Sumatera sampai jauh ke selatan. Dan ketika itu Padang sudah dikuasai Belanda. Orang-orang yang menghindar dari berdagang dengan Belanda yang licik, datang ke Tiku, ke pasar perdagangan bebas. Kesini di bawa rempah-rempah dan beras dari dataran tinggi Agam.’

’OK. Mungkin waktu itu mereka sudah melalui belokan empat puluh empat.’

’Sangat mungkin. Karena konon pada waktu itu bahan perdagangan di bawa dengan kuda beban. Dan kamu tahu, aku selalu membayangkan di sepanjang jalan yang kita lalui ini dulu sering terjadi peperangan perebutan kekuasaan antara tentara Aceh melawan tentara penjajah Belanda,’ lanjut Pohan.

’Apakah sekarang Tiku masih mempunyai arti penting?’

’Pemerintah daerah sedang membangun dermaga di Tiku. Nanti diharapkan Tiku akan menjadi pusat perdagangan dan pelelangan ikan dan jadi kota industri perikanan,’ jawab Pohan.

’Sangat masuk di akal. Lautan Hindia sebegitu luasnya di hadapan. Dan pantai Sumatera yang sangat panjang membentang. Harusnya orang asing datang membeli ikan ke sini secara terbuka dan secara jujur. Bukan malah mencuri ikan di perairan negeri ini,’ Aswin berkomentar.

’Memang itu idenya. Tiku akan ditumbuhkembangkan menjadi pusat perikanan daerah Sumatera Barat.’

Mobil mereka terus melaju di jalan yang mulus. Banyak kendaraan lalu lalang di jalan raya ini, termasuk kendaraan pelancong, bus-bus pariwisata. Mereka terus juga berbincang-bincang sepanjang perjalanan. Sampai di satu tempat terlihat plang bertuliskan ’Pantai Kata’ dengan gambar sepasang pelancong berdiri di tepi pantai. Plang besar dengan gambar yang cukup mencolok itu sudah dapat terbaca dari jarak beberapa ratus meter.

’Pantai Kata. Kita mampir di sini?’ tanya Aswin ketika melihat plang besar itu

’Ya. Kita mampir di pantai ini,’ kata Pohan.

’OK. Kelihatannya agak istimewa kalau melihat pemberitahuan dengan huruf besar-besar itu,’ komentar Aswin.

’Mari kita lihat,’ ajak Pohan sambil memutar mobil berbelok ke kanan, memasuki jalan ke arah pantai.

Di kiri jalan ini terlihat beberapa buah baliho Bundo Kanduang seperti yang terlihat di bandara, dengan peringatan yang sama, dalam beberapa bahasa. Agar para pelancong memperhatikan hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Dan tentu saja peringatan agar berhati-hati berenang dan berekreasi di laut.

Mereka meluncur ke tempat parkir yang luas, yang terletak sekitar dua puluh meter dari pantai. Banyak kendaraan diparkir di situ, termasuk beberapa buah bus pariwisata besar-besar. Kedua anak muda ini langsung menuju ke tepi pantai. Pantai yang landai dengan pasir putih, terhampar memanjang dari utara ke selatan. Banyak sekali pelancong di sini. Ada yang sedang berenang di laut, yang sedang berjemur, yang sedang duduk-duduk santai di bawah pohon yang rindang. Di tengah laut ada yang sedang berperahu layar, beriring-iring dalam perahu dengan layar berwarna-warni.

Ada beberapa pohon berdaun rindang terpelihara dengan baik, dan banyak pohon kelapa. Dan agak ke belakang terdapat beberapa buah kios dan kedai kecil yang menjual minuman ringan. Ada pula dua buah bangunan cukup besar yang di dalamnya ada ruangan tempat orang berganti pakaian, ada kamar mandi dan peturasan. Masing-masing untuk laki-laki dan wanita. Semua terpelihara kebersihan dan kerapiannya. Dan tentu saja disini terlihat polisi-polisi wisata. Ada pula beberapa orang penyelamat pantai yang mengawasi orang-orang yang sedang berenang.

’Pantai yang elok dan indah,’ ujar Aswin kagum begitu mereka sampai di pantai itu.

’Ya, pantai berpasir putih ini sangat disenangi para pelancong,’ jawab Pohan.

‘Dan kelihatannya sangat terpelihara. Sangat bersih,’ komentar Aswin pula. ‘Pantas saja cukup ramai pengunjungnya.’

‘Apalagi kalau di saat musim libur. Jauh lebih banyak lagi yang datang ke sini.’

‘Tapi di dekat sini tidak terlihat adanya hotel. Dimana orang-orang ini menginap ?’

’Di dekat sini ada beberapa bungalow yang baru di bangun. Hotel memang belum ada. Kebanyakan turis itu menginap di Padang atau di Pariaman.’

’Laut dan pasir putih ini sangat menggoda. Bagaimana kalau kita ikut berenang?’ tanya Aswin.

’Terserah kamu. Tapi kalau aku pikir sih lebih baik kita bersilancar di Air Manis nanti sore,’ usul Pohan.

’Benar juga. Waktunya tanggung untuk berenang. Sudah terlalu panas. Atau mari kita berjalan-jalan saja di sepanjang pantai ini,’ ajak Aswin.

Tentu saja Pohan setuju.

Dan merekapun berjalan-jalan di pantai itu. Menikmati deburan ombak menghempas di pasir putih. Menikmati hembusan angin yang bertiup, yang menyebabkan daun pohon nyiur melambai-lambai. Sambil berbincang-bincang santai.

’Kenapa namanya Pantai Kata?’ tanya Aswin.

’Aku tidak tahu. Mungkin untuk menyaingi Pantai Kuta di Bali he..he..he..’ jawab Pohan asal-asalan.

’Oh ya? Apa betul? Tapi suasananya aku yakin tidak akan sama dengan di Bali.’

’Maksudmu?’

’Disini mungkin lebih teratur. Lebih banyak peraturan untuk ketertiban.’

’Ya.. Bagaimana ya? Kalau tidak diatur, kalau tidak ada filter dikhawatirkan para pendatang tidak hanya membawa manfaat kepada masyarakat di sini tapi bisa-bisa menjadi pembawa masalah.’

’Benar. Memang perlu adanya peraturan yang jelas dan tegas. Peraturan yang ditegakkan dengan konsisten,’ tambah Aswin.

’Itulah yang dilakukan pemerintah daerah di sini. Dan kelihatannya berjalan cukup baik. Para pelancong yang datang semakin ramai dan rasanya tidak ada yang mempermasalahkan peraturan-peraturan pemerintah daerah.’

’Benar sekali. Cukup mengagumkan melihat para pelancong asing bisa mematuhi aturan-aturan itu. Di pantai ini, seperti juga di Maninjau tidak ada wanita yang memakai bikini. Dan tempat ini tetap saja ramai,’ komentar Aswin.

Agak jauh mereka berjalan. Sampai ke tempat yang tidak ada lagi pelancongnya. Baru mereka berbalik kembali. Dari sini semakin terlihat keindahan pantai tempat para pelancong berkumpul karena bahagian itu memang lebih landai. Dan lebih banyak pohon-pohonan. Cuaca siang ini agak panas. Pastilah bernaung di bawah pohon-pohon itu sambil memandang ke arah laut sangat menyenangkan.

Dan mereka ikut duduk di bawah sebuah pohon yang rindang itu. Di bangku-bangku kayu sederhana. Sambil menikmati keindahan suasana pantai. Sejuk dan nyaman rasanya berada di sini.

’Apa kita lanjut dulu?’ tanya Pohan, setelah beberapa saat mereka berada di sana.

’OK. Kita terus ke Pariaman?’

’Ya. Kita terus ke Pariaman,’ jawab Pohan.

Mereka tinggalkan Pantai Kata yang masih saja ramai.

*****

No comments: