Thursday, October 30, 2008

SANG AMANAH (39)

(39)


Ruangan itu kosong. Pak Darmaji pergi kemejanya dan duduk merenung. Apa yang baru saja disampaikan pak Umar dicobanya untuk menelaah kembali. Pikirannya melayang jauh pada saat pertama kali bertemu dengan Rita di sekolah ini dua tahun yang lalu. Waktu itu mereka sama-sama baru ditempatkan sebagai guru di sekolah ini. Sama-sama masih muda, sama-sama masih sendiri, sehari-hari bersama di ruangan guru, sering digoda pula oleh guru-guru senior, meski dimulai dengan malu-malu akhirnya mereka menemukan banyak kecocokan. Mereka sama-sama senang ngobrol dan obrolan mereka bisa sama-sama menyenangkan. Kalau kata anak-anak sekarang ‘nyambung’. Sama-sama punya hobi membaca sehingga sering berdiskudi tentang buku dan sering pinjam meminjam buku. Sama-sama senang menonton filem di bioskop terutama filem-filem bertemakan drama cinta. Jadi cocoklah. Meski sejak awal lagi mereka sama-sama mengetahui pula bahwa ada yang berbeda di antara mereka, yaitu keyakinan. Agama yang mereka anut berbeda.

Selama berbulan-bulan mereka mencoba membatasi hubungan mereka sekedar sebagai teman. Teman akrab. Teman yang dibutuhkan untuk berdiskusi, untuk berbagi cerita. Mereka hanya berdiskusi di sekolah, sesudah jam-jam mengajar. Kadang-kadang mereka berdiskusi berlama-lama, sampai habis jam pelajaran, tapi setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Macam-macam yang jadi topik diskusi mereka. Sejarah, seni, filem, olah raga, kadang-kadang juga politik. Semua diskusi itu selalu hidup tanpa dibuat-buat. Selalu ada telaahan, selalu ada pendapat, ada kontra pendapat, analisa, dan kesimpulan. Mereka kadang-kadang pergi menonton bioskop bersama-sama tapi sesudah filem selesai mereka biasanya pulang sendiri-sendiri. Darmaji pernah bertanya sekedar berbasa basi apakah Rita mau diantarkan pulang, tapi jawabannya ‘tidak usah’. Sebuah jawaban ‘tidak usah’ polos yang tidak perlu penafsiran lain. Hubungan mereka tidak pernah mengarah kepada cinta. Keduanya seperti menyadari bahwa untuk urusan cinta apalagi untuk meningkat kejenjang pernikahan tidak akan mungkin. Dari obrolan mereka sehari-hari keduanya sudah sama-sama tahu bagaimana karakter orang tua mereka masing-masing. Bagaimana pandangan orang tua mereka tentang jodoh, sudah pernah mereka bahas. Itulah sebabnya mereka seolah-olah berusaha agar persahabatan mereka tidak meningkat menjadi hubungan yang lebih khusus.

Tapi itu dulu. Sepandai-pandainya menjaga jarak, namun dengan pergaulan akrab sehari-hari, dari perasaan kehilangan yang satu terhadap yang lain bila mereka tidak bertemu pada hari-hari mengajar yang berbeda, tumbuh juga bibit-bibit cinta meskipun tidak mereka tanamkan secara sengaja. Namanya manusia normal, sepasang orang muda, yang kalau dilihat dari penampilan masing-masing secara fisik sebenarnya sangat serasi. Yang laki-laki gagah, tinggi semampai, penuh perhatian, bertanggung jawab, berwibawa. Yang wanita cantik, punya harga diri, menyenangkan dalam bergaul.

Suatu hari Minggu sore mereka berjanjian untuk pergi menonton filem. Seperti biasanya, perjanjian itu berarti bertemu di bioskop untuk menonton bersama. Seperti biasanya, bukannya Darmaji harus datang menjemput Rita ke rumahnya. Mereka sudah melakukan nonton bersama ini beberapa kali. Selalu dengan cara yang sama. ‘Kita besok bertemu di bioskop ‘itu’ jam sekian’. Cukup itu saja. Dan keduanya sama-sama berusaha menghormati untuk hadir pada waktu yang disepakati. Filem yang mereka tonton kali ini agak panjang. Baru berakhir jam tujuh malam. Sesudah filem selesai kebetulan hari hujan. Mereka berdua sepakat untuk mampir ke restoran di samping bioskop untuk makan malam sambil menunggu hujan reda. Dan tentu saja mereka ngobrol panjang. Membahas filem yang baru saja ditonton. Sampai jam setengah sembilan malam hujan baru reda. Pada jam sekian tentu sangat tidak sopan membiarkan Rita pulang sendiri. Karena kali ini dia tidak mengendarai mobilnya sendiri untuk datang ke bioskop ini. Tadi dia diantar orang tuanya dan ditinggal dengan pesan supaya dia naik taksi saja pulangnya karena mereka, orang tuanya ada acara lain, mungkin sampai jam delapan malam. Tapi naik taksi jam setengah sembilan malam bagi seorang wanita muda tentu sangat tidak pantas dan bahkan beresiko tinggi. Maka Darmaji setengah ‘memaksa’ untuk mengantarkan dengan sepeda motornya. Dan ‘paksaan’ itu diterima Rita dengan wajar. Mereka berboncengan naik sepeda motor ke rumah Rita. Hujan masih belum reda betul. Masih ada rintik-rintik kecil. Dan jalanan basah oleh hujan. Cuaca dingin. Karena memang tidak berpakaian untuk naik motor Rita sangat kedinginan. Dan berusaha merapatkan tubuhnya ke tubuh Darmaji untuk berlindung dari rasa dingin. Mungkin pikiran Darmaji juga mengerti bahwa rekan sejawatnya, yang sekarang duduk di boncengan motornya, sedang kedinginan, sehingga duduk rapat-rapat ke tubuhnya. Tapi tubuh itu sendiri dijalari kehangatan lain. Kehangatan tubuh seorang pria dewasa ditempeli tubuh seorang wanita dewasa.

Itulah awalnya. Sampai di rumah Rita, Darmaji tentu tidak sopan pula kalau langsung pergi. Dan dia menerima tawaran Rita untuk masuk dulu, minum teh untuk menghangatkan badan. Dan orang tua Rita ternyata belum sampai di rumah. Mereka duduk berdua di ruang tamu untuk berbincang-bincang lagi sambil minum teh. Dan setan mulai mengajari mereka untuk merubah status teman sejawat mereka menjadi teman khusus. Waktu akhirnya Darmaji berpamitan untuk pulang, entah dari mana datangnya keberanian itu, dia merangkul Rita, dan mereka berpelukan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka berciuman. Tanpa kata-kata.

Darmaji pulang membawa ‘cinta’ dan Rita tinggal menyimpan ‘cinta’. Ada apa dengan cinta? Mereka tidak kuasa lagi menjawabnya.

Besoknya waktu bertemu di sekolah sebelum mengajar keduanya sama-sama malu. Sama-sama tidak mampu mengucapkan kata-kata. Mereka seperti jadi orang bisu. Hal ini jadi perhatian guru-guru lain karena tidak seperti biasanya. Biasanya begitu bertemu mereka langsung terlibat dalam obrolan. Obrolan yang membuat guru-guru lain percaya bahwa di antara mereka berdua tidak ada ‘cinta’. Yang ada hanya persahabatan karena sama-sama pandai berdiskusi. Mereka bahkan dijuluki anggota DPR karena setiap saat selalu saja membahas sesuatu.

Selama ini guru-guru lain tidak curiga meski mereka berdiskusi hanya berdua-dua di ruangan perpustakaan karena memang hanya berdiskusi. Pernah ada di antara guru-guru itu yang mencoba mengintai kalau-kalau di antara mereka ada ‘cinta’ tapi benar-benar tidak ada. Sehingga guru-guru yakin bahwa mereka itu bukanlah sepasang kekasih. Tapi pagi itu kok lain? Waktu ditanyakan secara sindirian oleh salah seorang guru kenapa hari itu anggota DPR tidak membahas apa-apa, dengan enteng dijawab pak Darmaji bahwa DPR sedang reses.

Mereka mengajar seperti biasa. Sesudah mengajar pada pagi ‘sesudah peristiwa’ itu pak Darmaji sedang sendirian di ruang guru. Dia baru akan mengajar lagi satu jam kemudian. Lalu masuk ibu Rita yang juga baru kembali dari mengajar. Hari ini, hari Senin, biasanya memang mereka berdua ngobrol di ruangan guru sementara menunggu jam mengajar berikutnya. Pak Darmaji masih merasa malu. Dan tidak berniat memulai pembicaraan. Dia hanya tersenyum malu kepada Rita yang juga tersenyum penuh arti kepadanya. Darmaji tidak tahan dengan suasana diam, tidak tahu mau melakukan apa lalu pergi keluar ruangan. Rita mengikuti dengan pandangan matanya. Darmaji yang tidak tahu mau kemana akhirnya masuk ke ruang perpustakaan.

Dia ingin bersunyi-sunyi di sana. Dia masih memendam rasa malu. Dia tidak bisa tidur semalaman. Dia bertanya-tanya kepada dirinya, apakah sebenarnya dia mencintai Rita? Kenapa mereka sampai berciuman kemarin? Bukankah selama ini mereka hanya bersahabat? Bukankah selama ini mereka hanya dua teman sejawat? Mereka sudah membuktikan itu lebih dari satu tahun. Tidak ada apa-apa. Bahkan waktu mereka pergi menonton berdua dan kemudian diketahui guru-guru lain, lalu guru-guru lain menduga bahwa mereka sudah mulai saling jatuh hati, mereka buktikan kembali bahwa itu tidak benar. Guru-guru itu melihat bahwa mereka datang ke bioskop sendiri-sendiri, Darmaji dengan sepeda motornya, Rita dengan mobilnya. Jadi hanya sekedar nonton bioskop bareng, tidak lebih. Tapi kenapa kemarin? Apakah yang mereka lakukan kemarin itu bukan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sama-sama memendam sesuatu? Benarkah? Apakah selama ini mereka berusaha membohongi diri mereka masing-masing?

Rita merasa tidak enak tinggal sendirian di ruang guru. Kalau guru-guru lain melihat mereka sendiri-sendiri begini tentu mereka akan semakin curiga bahwa mereka tidak berbaikan. Itu tidak baik. Maka Rita lalu menyusul Darmaji ke perpustakaan. Dia ingin mengajak Darmaji ngobrol. Ngobrol apa saja. Bila perlu mengobrolkan kenapa mereka sampai berciuman kemarin. Rita lebih santai. Dia tidak didera perasaan seberat Darmaji. Dia senang dengan pria itu. Mungkin juga ada sedikit perasaan lain. Mungkin juga. Tapi rasanya tidak jauh-jauh amat.

Rita masuk perpustakaan. Segera matanya menangkap Darmaji yang duduk di tempat biasanya mereka duduk ngobrol. Dia sedang melamun dan tidak menyadari kedatangan Rita. Rita mengambil tempat duduk di kursi di depan Darmaji. Suara tarikan kursi itu menyadarkan Darmaji. Dia menoleh kepada Rita dengan pandangan jengah. Mereka bertatapan. Lalu sama-sama menunduk, malu. Masih belum ada suara. Sampai akhirnya Darmaji membuka suara.

‘Saya minta maaf,’ katanya.

‘Saya juga,’ jawab Rita pendek.

‘Kita…kita…tidak bermaksud..’ Darmaji tidak meneruskan kata-katanya.

Rita terdiam. Di dadanya sekarang juga berkecamuk sejuta tanya. Sebenarnya mereka kemarin itu bemaksud apa sih? Apakah itu karena mereka iseng? Atau mereka melakukannya di bawah sadar? Tapi… ada apa sebenarnya di antara mereka? Tapi kenapa laki-laki ini jadi gugup sekali begini? Kenapa dia seperti menyesal sekali dengan peristiwa itu? Apa yang dia pikirkan sekarang? Atau apa yang dia rasakan sekarang? Sejak pagi ini mereka tidak seperti biasa. Mereka sama-sama seperti terpental, terpisah pada jarak yang tidak mereka ketahui jauhnya. Ini semua pertanda apa?

‘Saya tidak tahu kenapa sampai….’ Darmaji seperti bertanya kepada dirinya sendiri.

Rita tidak menjawab karena memang tidak jelas yang harus dijawab.

‘Sebenarnya di antara kita ini ada apa sih, Rit?’ Darmaji bertanya lebih jelas.

Rita tetap tidak bisa menjawab. Dia hanya menatap Darmaji dengan pandangan tajam. Pandangan yang agaknya mempunyai arti sebuah pertanyaan juga.

‘Apakah mungkin saya mulai…. saya mulai tertarik dengan kamu Rit. Apa ini yang namanya …’cinta’?’

Tidak ada jawaban.

‘Kamu punya perasaan juga nggak sih, terhadap saya?’ tanya Darmaji lagi.

‘Perasaan apa maksud mas Darmaji?’ Rita balik bertanya.

‘Apakah kita benar-benar hanya sebatas teman sejawat sesama guru selama ini?’ tanya Darmaji lagi.

‘Selama ini sepertinya iya. Selama ini benar begitu….saya rasa,’ jawab Rita.

‘Maksud kamu? Apa sekarang ada perubahan?’

‘Saya rasa sejak jam sembilan tadi malam ada perubahan,’ jawab Rita, tersenyum sambil menunduk malu.

‘Apakah kamu …. merasa bahwa saya tidak lagi hanya sebatas seorang teman sejawat…sejak jam sembilan tadi malam?’ tanya Darmaji.

‘Dua orang yang sekedar berteman rasanya…. tidak mungkin melakukan itu..’ jawab Rita malu.

‘Apakah saya bersalah telah melakukan itu..?’

‘Bukan mas Darmaji sendiri yang melakukannya…kita berdua melakukannya… berarti kita berdua yang bersalah,’ jawab Rita lagi.

No comments: