Tuesday, April 14, 2009

DERAI-DERAI CINTA (3)

3. MIMPI

Seperti biasa, pagi itu Imran menyiapkan makanan untuk ibunya. Sesudah membantu membersihkan tubuh orang tua yang dikasihinya itu. Imran sungguh seorang anak yang berbakti. Tidak pernah sekalipun dia menunjukkan kekesalannya dalam merawat ibunya itu. Dibantunya orang tuanya menggosokkan gigi, menyiapkan pispot, disiapkannya air untuk membersihkan diri sesudah ibunya buang hajat (alhamdulillah ibunya masih bisa melakukan itu sendiri dengan tangannya yang tidak lumpuh), mengangkat pispot sehabis digunakan, membantu mengganti pakaian ibu. Semua dibantu Imran tanpa omelan, tanpa kekasaran. Semua dilakukannya dengan sepenuh hati dan kesabaran. Dia pula yang mencuci pakaian orang tuanya itu. Dia yang memasak makanan. Sebuah rangkaian pekerjaan yang anak perempuan pun mungkin tidak banyak yang mampu melakukan.

Imran sadar bahwa ibu sangat memerlukan pertolongannya. Tanpa bantuannya ibunya tidak akan berdaya apa-apa. Tanpa bantuannya ibunya tidak akan terurus. Kalau ibunya sampai tidak terurus penyakitnya akan bertambah berat. Dan Imran tidak ingin kehilangan ibu. Imran sangat sadar akan semua itu. Kesadaran yang menambah semangatnya untuk semakin berbakti kepada ibu yang sangat dikasihinya.

Pagi itu, ketika menemani ibu sarapan, mereka terlibat dalam percakapan seperti biasa.

‘Tinggal berapa hari lagi sebelum ujian akhir Ran ?’ tanya ibu.

‘Tiga minggu lagi bu. Tanggal 14 Mai nanti,’ jawab Imran.

‘Bagaimana kira-kira? Sudah siap kamu?’

‘Mudah-mudahan bu. Mudah-mudahan sudah siap.’

‘Mungkin sementara ini dihentikan dulu mengurus pisang. Berhenti dulu main bola. Pergunakan waktumu sebaik-baiknya untuk belajar,’ kata ibu.

‘Tidak apa-apa ibu. Awak cukup belajar malam hari saja. Sebelum tidur dan pagi-pagi sebelum subuh,’ jawab Imran.

‘Jaga betul kesehatanmu Ran. Tidak terbayangkan kalau kamu ikut sakit pula......’ dan mata ibu mulai berlinang-linang.

‘Iya ibu. Awak berusaha menjaga kesehatan. Ibu doakan saja, mudah-mudahan awak senantiasa ditolong Tuhan Allah,’ jawab Imran sambil menyapu mata ibu yang berair.

Mereka sama-sama diam sejenak.

‘Ran, tadi malam ibu bermimpi agak aneh,’ ibu kembali memulai pembicaraan.

‘Mimpi apa bu ?’

‘Ibu bermimpi memetik petir di langit. Hari gelap gulita, tiba-tiba ada petir. Ibu berusaha mengambil petir itu di langit, tapi ibu terjungkal.’

‘Mungkin itu mimpi permainan tidur saja agaknya ibu,’ jawab Imran.

‘Ya. Sepertinya begitu. Sepertinya mimpi tidak karuan...... Tapi .... anehnya.’

Ibu tidak meneruskan kata-katanya karena tersedak. Imran mengambilkan gelas dan menyodorkan minuman itu ke mulut ibu. Ibu minum beberapa teguk.

‘Tapi anehnya, ibu bermimpi yang sama dua kali. Pada saat mimpi kedua, rasanya ibu terjungkal dan jatuh dihimpit batu.’

‘Terus bagaimana?’

‘Ibu terbangun, dan badan ibu basah oleh keringat.’

‘Atau mungkin karena di kampung kita sekarang sudah masuk listrik. Lalau ibu bermimpi seperti ketika kita dulu mengurus surat-surat untuk memasukkan listrik ke rumah ini,’ Imran mencoba menduga-duga arti mimpi itu.

‘Tapi sekarang kan rumah kita sudah diterangi listrik. Dan kita tidak ada masalah waktu memasukkannya dulu.’

‘Ya juga ya bu. Entah apalah artinya mimpi ibu. Mudah-mudahan, kalaupun ada artinya, sesuatu yang baik saja hendaknya yang akan terjadi.’

Ibu dan anak itu menyelesaikan sarapan mereka. Imran bergegas untuk berangkat ke sekolah. Setelah segala sesuatunya beres barulah dia berangkat. Ibu selalu mengingatkan agar dia berhati-hati di jalan.

Sepanjang jalan Imran memikirkan apa agaknya ma’na mimpi ibunya itu. Tiba-tiba dia tersadar, bahwa dia juga pernah bermimpi agak aneh beberapa hari yang lalu. Di dalam mimpinya dia melihat pohon-pohon pisang di kampung itu rubuh semua dilempari orang dengan batu. Entah siap yang melemparinya. Bahkan pisang yang sudah dibelinya, yang disimpan di dalam kandang di bawah rumah juga habis ditindis batu. Hanya saja Imran tidak memikirkan mimpi itu sedikitpun. Mimpi memang seringkali berbentuk aneh-aneh, seperti sesuatu yang tidak masuk di akal. Seperti mimpi ibu memetik petir.

Imran sampai di sekolah. Dan melupakan urusan mimpi-mimpi aneh itu.


***

Dua hari kemudian, ketika mereka sarapan bersama-sama lagi, ibu bercerita bahwa tadi malam, beliau kembali bermimpi tentang hal yang sama. Kali ini hati Imran bergetar. Diam-diam diperhatikannya wajah ibu. Ada seberkas kekhawatiran di dalam hatinya. Apa artinya ibu terjungkal ketika memetik petir? Diam-diam diperhatikannya tempat tidur ibu. Sebuah tempat tidur besi yang kokoh. Dan ibu tidur dibagian tengah tempat tidur itu. Di hadapan tempat tidur diletakkan meja, sebagai penghalang, sekaligus untuk digunakan ibu ketika beliau makan. Ah, mudah-mudahan itu hanya sebuah mimpi kosong. Atau sekurang-kurangnya, dia cukup yakin ibu tidak akan jatuh dari tempat tidur yang kokoh ini. Karena lumpuh separo badan, ibu tidak bisa banyak bergerak dalam tidurnya. Jadi mudah-mudahan mimpi itu tidak akan berarti ibu terjatuh dari tempat tidur.

Rupanya ibu juga memperhatikan kecemasan di muka Imran.

‘Tempat tidur ini cukup kokoh. Mudah-mudahan ibu tidak akan jatuh dari tempat tidur ini,’ kata ibu, ketika beliau melihat mata Imran mengamati tempat tidur.

‘Betul, bu. Tempat tidur ini cukup kokoh.’ Jawab Imran.

‘Dan bukankah ibu tidak sanggup bangun untuk duduk sendiri,’ tambah ibu.

‘Ya, benar bu. Mudah-mudahan tidak ada hubungannya mimpi ibu dengan.........’ Imran tidak meneruskan kata-katanya.

‘Mudah-mudahan demikian.’

Kedua ibu dan anak itu terdiam sejenak. Ibu melanjutkan menyuap sendiri makan paginya.

‘Kau harus melanjutkan sekolah setamat SMP nanti Ran,’ ibu mengalihkan pembicaraan.

Imran tidak menjawab. Ditatapnya mata ibu dengan hati-hati.

‘Lanjutkan sekolahmu. Entah ke STM entah ke SMA. Yang penting lanjutkan sekolahmu!’ kata ibu menambahkan.

‘SMA dan STM hanya ada di Bukit Tinggi ibu. Kalau pergi sekolah sejauh itu, pasti akan sangat lama awak meninggalkan ibu. Biarlah awak nantikan ibu lebih sehat. Baru awak bersekolah kembali,’ jawab Imran.

‘Penyakit ibu ini entah kapan akan sembuhnya. Kau pasti sanggup melakukan seperti sekarang ini, nak. Biarlah agak sedikit lebih lama kau berada di luar rumah. Insya Allah ibu tidak akan apa-apa.’

‘Awak khawatir kalau harus meninggalkan ibu terlalu lama. Kalau sekolah di Bukit Tinggi mungkin jam tiga baru awak akan sampai di rumah. Siapa yang akan menjaga ibu selama itu ?’

‘Kau jangan khawatir. Nek Piah selalu meluangkan waktu menolong ibu. Berjanjilah, bahwa kau akan melanjutkan sekolah.’

‘Biarlah awak pikir-pikir dulu ibu. Kita berdoa, mudah-mudahan ada nanti jalan keluarnya.’

Ibu tersenyum mendengar jawaban Imran.

‘Satu lagi Ran,’ ibu memulai lagi setelah hening sesaat.

‘Ya, ibu.’

‘Kita tidak tahu apa-apa yang akan terjadi besok atau lusa. Nyawa kita di tangan Allah. Seandainya singkat umur ibu....’

‘Jangan katakan itu, ibu......,’ Imran memotong kata-kata ibu.

‘Benar, nak. Nyawa kita ditangan Allah. Seandainya terjadi apa-apa dengan ibu, pandai-pandai kau meniti hidup, nak. Pandai-pandai kau membawa diri. Dan jangan sekali-kali kau lupakan shalat! Senantiasa doakan ayah dan ibu!’

Imran tidak dapat menahan tangis. Sesak dadanya mendengar kata-kata ibu. Pertanda apakah agaknya ini ?

Sebenarnya, tadi malam diapun bermimpi yang sama. Seperti mimpinya beberapa hari yang lalu. Semua pohon pisang di kampung itu habis runtuh ditimpa batu. Entah siapa yang melemparinya dengan batu. Kenapa dia sampai bermimpi yang sama dua kali? Atau mungkinkah karena terpengaruh cerita ibu yang juga bermimpi berulang-ulang? Imran tidak mau menceritakan mimpinya itu.

Imran mengemasi piring bekas mereka sarapan dan dibawanya ke dapur. Sebelum pamit mau berangkat ke sekolah, disalaminya ibu. Diciumnya tangan ibu.

‘Mudah-mudahan Tuhan Allah melindungi kita semua, ibu,’ katanya sesenggukan.

Ibu tersenyum dan mengangguk.

‘Hati-hati kau dijalan, nak,’ kata ibu seperti biasa.

Imran mengangguk.

Pikirannya buncah dalam perjalanan ke sekolah. Tidak henti-hentinya dia berdoa, agar kiranya dia dan ibunya senantiasa dilindungi Yang Maha Kuasa.


*****

No comments: