Friday, December 19, 2008

SANG AMANAH (98)

(98)


‘Ceritanya sebenarnya panjang dan berbelit-belit. Saya awali dari anak saya Rita itu saja. Dia pernah bercerita dan menyebut nama bapak sebagai tempat dia bertukar fikiran beberapa bulan yang lalu. Itu pula alasannya kenapa saya datang ke sini sekarang. Di samping saya juga tidak tahu harus bertanya kemana, padahal urusan ini sangat perlu saya tanyakan.

Anak saya itu berpindah agama, dari Kristen, agama saya dan keluarga saya, menjadi Islam. Kami sudah berdiskusi cukup lama, sudah bertengkar, saya sudah marah-marah dan sebagainya, tapi dia sudah tidak bisa digoyahkan sedikitpun. Boleh dikatakan bahwa akhirnya saya terpaksa menyerah dan membiarkannya pindah agama itu, karena saya tidak mau kehilangan dia, anak saya satu-satunya. Meskipun dia menyangkal bahwa dia masuk agama Islam itu karena ingin menikah dengan seorang laki-laki Islam dalam kenyataannya memang itu yang akan dia lakukan berikutnya. Dia juga keras sekali mau menikah dengan laki-laki pilihannya, yang juga adalah anak buah bapak di sekolah ini, yang bernama Sudarmaji. Waktu itu dia pernah mengatakan, setelah dia berdiskusi dengan bapak, bahwa kalau dia menikah secara Islam, saya tidak bisa bertindak sebagai walinya, karena saya bukan orang Islam. Inilah yang ingin saya tanyakan. Apakah betul bapak mengatakan demikian dan kalau benar apa alasannya dan apakah ada jalan keluarnya? Karena kepinginnya saya, saya sendiri terlibat dalam menikahkan anak saya itu. Nah, apakah itu mungkin dilaksanakan?’ tanya pak Widodo.

Pak Umar menarik nafas dalam-dalam. Dalam hatinya dia sangat lega, karena kedatangan orang ini ternyata hanya ingin sekedar bertanya. Tidak ada yang berbeda apa yang pernah dia dengar dari Rita dengan yang baru saja diuraikan pak Widodo ini.

‘Maaf, pak. Betul bahwa beberapa bulan yang silam, sudah cukup lama, ibu Rita pernah berdiskusi dengan saya mengenai pernikahan antar agama. Waktu itu saya jelaskan bahwa pernikahan antar agama itu sebaiknya dihindari karena penuh resiko, terutama untuk kelangsungan hidup berumah tangga jangka panjang. Saya ingat, waktu ibu Rita menanyakan pendapat saya sehubungan dengan sebuah ayat dalam al Quran yang membolehkan seorang laki-laki Islam menikahi wanita bukan Islam, dalam hal ini yang beragama Yahudi atau Kristen. Hal itu saya jelaskan panjang lebar waktu itu, dalam konteks bagaimana ‘boleh’nya pernikahan seperti itu dilaksanakan. Kami berdiskusi sampai ke tata cara pernikahan dalam Islam. Dan waktu itu saya katakan, bahwa di dalam agama Islam, pada saat seorang ayah menikahkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki, pada dasarnya dia sedang menyerahkan tanggung jawab pengurusan puterinya untuk dunia dan akhirat. Kalau dilihat dari aturan agama Islam, jika orang tua wanita tidak beragama Islam, bagaimana mungkin dia akan menyerahkan tanggung jawab dunia sampai akhirat tadi itu. Baik yang menyerahkan tanggung jawab yakni orang tua mempelai wanita, maupun yang menerima tanggung jawab atau pengantin pria tidak berada dalam satu visi yang sama pada saat upacara pernikahan itu. Menurut saya hal ini yang kurang tepat. Namun demikian secara hukum pernikahan hal itu boleh saja dan syah.’

‘Bagaimana sebenarnya prosesi menikahkan anak perempuan itu secara Islam, pak? Saya pernah menghadiri acara pernikahan keponakan saya secara Islam, memang saya perhatikan ayah mempelai wanita mengucapkan sesuatu, sambil bersalaman dengan pengantin pria, lalu pengantin pria itu mengulangi kata-katanya. Ini dilakukan di hadapan pak Kiyai. Apa bukan begitu itu saja pak?’

‘Memang betul begitu itu saja. Upacara seperti yang bapak sebut tadi itu pembacaan ‘ijab’ dan ‘kabul’ namanya. Ucapan ayah pengantin wanita itu disebut ijab, artinya penyerahan puterinya untuk dinikahi pengantin laki-laki, lalu yang terakhir ini menerimanya. Penerimaan pengantin laki-laki itu disebut kabul. Hal itu dilakukan di depan saksi-saksi. Sesudah ijab dan kabul ini maka syahlah hubungan kedua pengantin itu sebagai suami istri.’

‘Jadi kalau begitu, tidak bolehnya seorang ayah dari pengantin wanita yang bukan Islam mengucapkan kata-kata tadi, hanya berdasarkan interpretasi bapak saja. Apa benar demikian?’

‘Ya, itu pemahaman saya saja. Di samping biasanya, seorang orang tua pengantin wanita yang bukan Islam itu, memang tidak mau terlibat dalam upacara pernikahan menurut agama Islam.’

‘Seandainya bapaknya itu mau? Katakanlah saya, seandainya saya mau?’

‘Seandainya bapak mau, secara hukum nyata, hal itu sudah syah.’

‘Apa maksud bapak dengan hukum nyata?’

‘Tadi sudah saya katakan, bahwa perlu adanya saksi-saksi dalam upacara pernikahan itu. Jika saksi itu sudah melihat adanya ijab dan kabul dibaca, ya sudah syah.’

‘Oh jadi begitu. Nah sekarang untuk kasus anak saya Rita. Karena sekarang dia sudah beragama Islam. Sedang saya tetap seorang Kristen. Apakah saya tetap boleh menikahkan dia langsung? Tidak perlu saya wakilkan kepada orang lain yang beragama Islam? Dan pernikahan itu syah? Benar begitu?’

‘Ya, benar begitu.’

‘Dan saya dalam hal ini, sebelum upacara itu tidak perlu berpura-pura masuk Islam dulu dengan mengucapkan janji sebagai orang Islam, atau apa namanya itu, mengucapkan kalimosodo, tidak perlu begitu?’

‘Tidak perlu.’

‘Baiklah. Kalau begitu sudah terjawab pertanyaan saya. Saya tidak punya pilihan lain dan harus mengijinkan pernikahan anak saya satu-satunya ini. Justru karena dia anak tunggal saya itulah, saya juga ingin terlibat langsung dalam acara pernikahannya. Terus terang, tidak mudah bagi saya. Tapi tetap harus saya jalani,’ ujar pak Widodo.

‘Saya mengerti perasaan bapak,’ kata pak Umar.

‘Satu pertanyaan lagi pak. Apakah upacara pernikahan itu mesti dilakukan di mesjid atau bolehkah dilakukan di rumah?’

‘Boleh dua-duanya pak, di rumah ataupun di mesjid sama-sama boleh dan sama-sama ada dilakukan orang,’ jawab pak Umar.

‘Dan seandainya di mesjid, apakah saya boleh masuk ke dalam mesjid?’

‘Boleh,’ jawab pak Umar singkat.

Pak Widodo mengangguk-angguk. Kelihatannya dia puas dengan semua keterangan yang diberikan pak Umar.

‘Kapan rencananya pernikahan mereka pak?’ tanya pak Umar.

‘Awal bulan depan. Tiga minggu lagi dari sekarang. Undangannya sudah jadi. Saya pikir mereka sudah mulai mengedarkannya. Bapak belum menerima undangan?’

‘Belum, pak,’ jawab pak Umar.

‘Oh, ya sebelum saya lupa. Bukankah diperlukan seorang saksi yang ikut menanda tangani berita acara pernikahan itu? Bisakah bapak bertindak sebagai saksi itu?’

‘Diperlukan dua orang saksi biasanya untuk urusan administrasi, pak. Kalau bapak minta, insya Allah saya bersedia.’

‘Oh ya? Diperlukan dua orang saksi rupanya. Saya ucapkan terima kasih atas kesediaan bapak sebelumnya. Mungkin saksi satunya akan kami mintakan dari rombongan pengantin pria saja. Baiklah kalau begitu, pak. Terima kasih banyak atas penjelasan-penjelasan yang bapak berikan. Saya mohon pamit dulu,’ ujar pak Widodo sambil menyalami pak Umar.

‘Terima kasih sama-sama, pak,’ jawab pak Umar.


*****


Ada amplop undangan berwarna biru muda di meja setiap guru. Tidak salah lagi, undangan pernikahan antara Sudarmaji S.Pd dengan Rita Melinda Widodo S.Pd yang akan dilangsungkan pada hari Minggu pertama di bulan Oktober. Resepsi pernikahan itu akan dilangsungkan di Balai Kartini, sebuah gedung perhelatan mewah di jalan Gatot Subroto. Akad nikahnya akan di langsungkan pada siang harinya di rumah kediaman Ir. Widodo, keluarga pengantin wanita.

Undangan itu betul-betul sebuah antiklimaks. Sebuah terminal dari perjalanan panjang hubungan dua insan dalam liku-liku yang penuh warna. Banyak rekan guru-guru yang bersimpati kepada kedua calon pengantin itu, tapi ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah manuver yang terlalu beresiko. Apapun komentar dan pendapat orang lain bagi kedua calon pengantin tidak ada yang perlu dirisaukan lagi. Surat undangan itu jadi bukti bahwa mereka segera akan memetik kemenangan. Tidak ada lagi aral yang melintang. Tidak ada halangan dari kedua belah pihak orang tua. Itulah sebuah kemenangan yang tidak terbayangkan pada awal-awalnya.


*****

No comments: