Wednesday, February 20, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.2)

2. Lembah Anai.


Hari baru jam tiga lebih sedikit. Cuaca cerah. Pohan mengendarai mobil pelan-pelan mengikuti antrian taksi di depannya yang tertahan di tempat pembayaran parkir. Aswin memperhatikan mobil-mobil taksi berwarna warni berjejer. Ada plang pengumuman berulang-ulang di sebelah kiri dan kanan menuju ke loket parkir dengan tulisan ’Cermat, amanah dan berhati-hati di jalan!’

Sesudah loket pembayaran itu sebelum masuk ke jalan besar ada baliho besar potret seorang laki-laki baya berpakaian penghulu, tersenyum. Ada rangkaian kalimat pula seolah-olah ucapannya, dalam bahasa Minang; ’Pacik arek amanah! Tunjuak-an adaik istiadaik awak nan elok. Horomaik-i tamu! Sanang ati urang nan datang, bamanfaaik ka nagari awak. Jaan di khianati urang nan datang! Badoso awak ka Tuhan Allah!’

’Apa maksudnya tulisan di baliho itu? Kenapa dalam Bahasa Minang?’ tanya Aswin.

’Itu nasihat kepada anak nagari. Agar bersikap amanah. Agar menunjukkan adat yang baik dan menghormati tamu-tamu yang datang. Diingatkan bahwa orang yang datang berkunjung kesini pasti membawa manfaat bagi perekonomian anak negeri. Oleh karenanya jangan dikhiananti karena khianat itu perbuatan dosa. Peringatan ini ditujukan terutamanya kepada mereka yang bersentuhan langsung dengan para turis seperti sopir taksi, petugas bandara, karyawan hotel, para pedagang dan sebagainya. Agar mereka menjaga betul citra Minangkabau yang elok. Agar mereka mampu bersikap ramah dan sopan santun,’ jawab Pohan.

’Cukup bijak. Tapi seberapa ampuh?’ tanya Aswin pula.

’Kampanye seperti ini dipimpin langsung oleh gubernur negeri ini. Beliau meminta para ulama dan guru-guru sekolah untuk mendidik masyarakat memperbaiki akhlak. Menghormati tamu dan menunjukkan budi pekerti yang baik kepada setiap pendatang. Dan beliau membuat banyak sekali peringatan-peringatan senada. Nanti kamu akan melihat dan menyaksikan plang-plang yang lain di mana-mana. Di tengah pasar, di bawah jam gadang, di lembah Anai, di objek-objek wisata lainnya. Seberapa ampuh? Mudah-mudahan sudah banyak perubahan. Masyarakat jadi lebih santun. Walaupun masih pelan-pelan dan dalam tahap perubahan,’ jawab Pohan.

’Itu satu lagi,’ kata Aswin menunjuk baliho dengan potret seorang penghulu yang lain di pinggir jalan raya. Terbaca, ’Jaan mangicuah! Satiok sen asia kicuah maundang hukuman Allah. Di dunia jo di akhiraik. Nan barasiah nan ka diagiah-an ka anak binyi!’

’Apa pula artinya itu?’ tanya Aswin lagi.

’Jangan menipu! Setiap sen hasil menipu akan mengundang hukuman Allah baik di dunia maupun di akhirat. Berikan hanya yang halal saja kepada anak istri. Stiker kecil dengan kata-kata yang sama akan kamu lihat di depan pengemudi dalam setiap taksi,’ jelas Pohan.

’Ya. Memang benar. Perlu senantiasa diingatkan. Dengan demikian mudah-mudahan orang jadi ingat,’ komentar Aswin.

Mobil mereka melaju dengan santai menuju arah ke Bukit Tinggi. Melalui, Lubuak Alung, Sicincin, Kayu Tanam. Di Sicincin mereka berpapasan dengan keretapi wisata. Terlihat penuh dengan wisatawan di dalamnya.

’Kereta ini bisa sampai ke pinggir danau Maninjau?’ tanya Aswin.

’Bukan danau Maninjau. Ke pinggir danau Singkarak. Yang lebih banyak sampai ke Padang Panjang saja. Para turis umumnya menyenangi perjalanan di atas lembah Anai. Pemandangannya bagus,’ jawab Pohan.

’Tapi bisa sampai ke Bukit Tinggi?’ tanya Aswin lagi.

’Bisa. Bukit Tinggi pusat kereta wisata kedua. Bahkan bisa sampai ke Paya Kumbuh dan ke Lembah Harau.’

’Setiap hari dijalankan?’

’Hampir setiap hari. Pada saat-saat liburan panjang di bulan Juli dan Agustus bahkan lebih banyak lagi perjalanan kereta wisata itu.’

Tak terasa mereka sudah mendekati Anai. Aswin menatap pemandangan sepanjang jalan itu dengan decak kagum. Di dekat Air Mancur, Pohan menghentikan mobilnya. Mereka turun dari mobil dan berjalan ke arah air terjun melalui deretan kedai suvenir. Ramai juga pengunjung sore itu. Ada beberapa buah bis parawisata terparkir di pinggir jalan. Di tempat air terjun sendiri banyak orang turun ke pinggir kolam. Aswin tidak terlalu menikmati air terjun itu tapi lebih mengagumi lembah dengan batang air di bawah sana. Di atas terlihat jembatan jalan keretapi. Pemandangan ini jauh lebih mengagumkan baginya. Aswin mengambil foto pemandangan itu.

Mereka berhenti sekitar setengah jam di lembah Anai sebelum meneruskan perjalanan. Aswin melihat plang pengumuman yang lain disini. Diantaranya ajakan menghormati tamu dalam bahasa Minang dan ajakan menjaga kebersihan lingkungan. Memang cukup bersih disini. Setiap dua puluh meter terdapat tong sampah plastik bertutup. Tidak ada sampah berceceran. Ada dua orang berpakaian baju teluk belanga berjalan santai sambil mengawasi orang yang lalu lalang di sekitar tempat itu. Orang itu tersenyum ramah ketika Aswin memotretnya. Menurut Pohan mereka adalah polisi wisata, yang mengawasi ketertiban di tempat objek wisata. Orang yang ramah, yang tidak segan-segan mengambilkan sampah yang tercecer, menolong orang yang memerlukan bantuan, biasanya orang yang mintak tolong dipotretkan.

Mereka meneruskan perjalanan.

’Kata ayah rel yang di lembah Anai ini masih peninggalan Belanda. Apakah masih aman?’ tanya Aswin melanjutkan perbincangan.

’Secara berkala diperiksa tingkat keamanannya. Mudah-mudahan tetap aman.’

’By the way, sudah berapa lama keretapi wisata itu dijalankan? Karena menurut ayah keretapi di negeri Minangkabau ini sudah mati sejak pertambangan batubara di Sawahlunto tidak lagi ekonomis.’

’Baru sejak awal tahun 2007 yang lalu. Digagas oleh orang rantau pencinta kereta api waktu itu.’

’Oh begitu? Jadi perantau Minang yang membiayai untuk menghidupkan kembali perkeretapian ini?’

’Bukan membiayai. Tapi memprakarsai. Kata-kata ini mungkin sulit bagimu. Yang menggagas atau mengingatkan serta mengkampanyekan ide untuk menghidupkan kembali perkeretapian.’

’Mereka gagas dari rantau saja?’

’Tidak. Bahkan mereka turun dan datang kesini, bertemu dengan penjabat di kota Padang. Memberikan saran, dukungan dan sebagainya sampai akhirnya pemerintah daerah yakin dengan apa yang mereka anjurkan dan sependapat untuk menjalankan kereta wisata itu. Yang alhamdulillah berhasil.’

’Aku sangat salut dengan keperdulian perantau Minangkabau dengan tanah leluhur mereka,’ celetuk Aswin.

’Ya. Termasuk ayahmu. Mak Dang Pamuncak,’ jawab Pohan.

’Oh ya. Aku baru ingat gelar ayah Sutan Pamuncak. Gelarmu siapa?’ tanya Aswin pula.

’He..he.. aku belum bergelar. Gelar diberikan ketika laki-laki Minang sudah menikah, dan aku belum menikah.’

’Oh ya. Aku ingat cerita ayah tentang itu.’

’Kita segera memasuki Padang Panjang. Ada dua objek disini dalam program untukmu. Mengunjungi Minangkabau Mini. Hanya saja, kunjungan kesana lebih bermakna kalau dilakukan sampai malam hari. Malam hari ada pertunjukan randai serta kesenian saluang jo rabab. Apakah kamu akan langsung mengunjunginya malam ini?’

’Kenapa tidak? Tapi apa program kedua?’

’Mampir di sate mak Syukur.’

’Waaw. Kalau begitu kedua-duanya. Tepat sekali, kita makan sate mak Syukur dulu dan setelah itu kita jalan-jalan menikmati Minangkabau Mini sampai pertunjukan salung jo rebab itu. Randai aku hanya sekedar ingin menonton sebentar saja karena tidak yakin aku akan mengerti.’

’Kalau saluang apakah kamu akan mengerti?’

’Aku ingin melihat seperti apa saluang yang katanya hanya bambu bolong begitu saja dan peniupnya bisa memainkannya tanpa berhenti dalam waktu lama. Itu pasti akan sangat mengagumkan.’

’Baik kalau begitu, di depan kita kedai sate mak Syukur. Mudah-mudahan kamu akan menyukainya,’ ujar Pohan sebelum membelokkan mobilnya ke pelataran parkir.

’Aku akan menyukainya. Aku sudah membayangkannya sejak masih di LA sana. Waaw.... at last. Mak Syukur…… here I come....’ Aswin gembira sekali.

‘Tapi aku akan shalat dulu sebentar. Silahkan kamu memulainya,’ ujar Pohan pada saat mereka melangkah masuk ke kedai sate.

‘Aku juga mau shalat kalau begitu,’ Aswin menimpali.

‘Wah syukurlah kamu juga shalat. Tapi di pesawat selama dalam perjalanan….. apakah kamu juga tetap dapat mengerjakan shalat?’ tanyanya pula.

‘Tentu saja. It is a must. Apakah kamu membayangkan aku seorang Amerika kafir?’ tanya Aswin sedikit cemberut.

Pohan tersenyum mendengar pernyataan terakhir ini. Mak Dang Pamuncak rupanya tetap mendidik anaknya ini sebagai seorang Muslim. Yang baik.

Selesai shalat baru mereka menikmati hidangan sate. Ternyata Aswin benar-benar excited. Dia berpacu-pacu menghabiskan tusukan demi tusukan sate itu.

’Tapi.... apakah setiap orang Minang makan sate sebanyak ini?’ tanya Aswin sambil melahap sate yang ke sekian tusuk.

’Tidak. Sate ini dihidangkan sebanyak itu, kalau sanggup silahkan makan sampai habis, tapi kalau tidak sanggup memakan semuanya, yang akan dibayar hanya sebanyak yang dimakan saja,’ Pohan menjelaskan.

’Ooh begitu. Tapi sepertinya aku sanggup. Ini benar-benar enak. Kamu mungkin sudah bosan ya makan sate. Kelihatannya kurang semangat.’

’Ya silahkan..... Aku bukan juga bosan. Tenang saja. Kan kita bisa makan sambil santai-santai,’ jawab Pohan sambil tersenyum.

Sudah hampir jam enam waktu mereka selesai makan sate. Selama itu pula mereka bercerita tentang macam-macam. Tentang rantau Aswin dan ayahnya di Amrik sana. Tentang kampung mereka Koto Gadang. Tentang Negeri Minangkabau tanah nan dicinto.

Kebersihan di kedai sate ini tidak luput dari perhatian Aswin. Dan plang-plang peringatan lagi. Seperti yang dari tadi sudah dibacanya di sepanjang jalan sejak dari Bandara. Meski semua peringatan itu terlihat nyinyir agaknya, tapi mungkin memang harus demikian untuk membuat masyarakat sadar. Sebuah usaha yang positif.


*****

No comments: