Monday, January 14, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (11)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (11)

11. MELARIKAN DIRI

Siapa Datuk Rajo Bamegomego sebenarnya? Nama kecilnya adalah Saman. Dia ini penghulu adat salah satu suku di kampung. Istrinya orang kampung ini juga. Di tengah kaumnya dia adalah orang pilihan, makanya diangkat jadi penghulu adat. Dia tamat sekolah Schakel, setingkat sekolah dasar di jaman Belanda. Dia pandai berbahasa Belanda. Ketika Indonesia merdeka diapun ikut jadi tentara pelajar dan sudah mulai tertarik dengan partai komunis karena pergaulannya dengan orang-orang komunis. Sejarah mencatat, partai komunis membuat kekeliruan pada tahun 1948. Tapi kekomunisannya sesudah pemberontakan PKI yang gagal di Madiun itu tidak pernah surut. Dia tetap bertahan sebagai kader PKI.

Sesudah penyerahan kedaulatan dia diangkat kaumnya jadi penghulu dan sejak itu dia menyandang gelar Datuk Rajo Bamegomego. Dia bekerja di kantor pemerintahan kota di Bukit Tinggi. Orangnya ambisius. Sayangnya dalam pergaulan dia sombong dan tinggi hati. Di matanya orang lain bodoh saja semua. Sifat ini kadang-kadang salah pasang secara keterlaluan. Dengan teman sekantornya sering terjadi kesalahafahaman akibat sikap sombong itu. Padahal orang-orang di kantor itu ada yang lebih pintar dan lebih tinggi pendidikannya dari dia. Akibatnya dia mempunyai banyak musuh di kantor.

Dia semakin terkucil karena keaktifannya dalam partai komunis. Di kantornya kebetulan tidak ada orang yang sealiran dengannya. Dalam setiap diskusi dan perdebatan sering dia jadi bulan-bulanan kawan-kawannya. Dia frustrasi dan berbuat nekad dengan cara berhenti jadi pegawai negeri untuk lebih berkonsentrasi di partai. Jadilah dia semakin kental dalam kekomunisan.

Sebelum pecah perang PRRI dia lebih banyak tinggal di Padang tapi keluarganya tetap tinggal di kampung. Ketika perang pecah, kebanyakan orang pulang ke kampung masing-masing. Diapun ikut pulang kampung. Sejak itu dia tidak pernah meninggalkan kampung kecuali pergi sebentar-sebentar untuk keperluan partai. Karirnya di partai cukup baik. Pernah dia ikut rombongan anggota partai dalam perjalanan ke luar negeri.

Secara ekonomi dia hampir tidak punya masalah. Di kampung dia tergolong orang kaya. Di tengah kaum sepersukuan, saudara perempuannya terhitung kaya. Begitu pula istrinya, untuk ukuran kampung termasuk orang berpunya dengan sawah yang luas. Dalam kegiatan partai, meski partai tidak memberinya penghasilan, tetapi ketika ada rapat-rapat khusus ada jugalah uang pengganti. Kadang-kadang cukup juga jumlahnya. Ketika dia tinggal di Padang sebelum pindah kembali ke kampung, partai menyewakan sebuah rumah kecil untuknya.

Di tengah-tengah kaum sepersukuan, meskipun para kemenakannya tidak menyukai kekomunisannya, terlebih-lebih ketidakpercayaannya dengan Tuhan, namun hubungan kekeluargaan mereka cukup baik. Dalam masalah kepentingan kemenakan dia tetap seorang Minang yang sangat perduli kepada mereka. Para kemenakan yang laki-laki selalu diberinya semangat agar rajin sekolah. Banyak dari kemenakan itu yang mengidolakan dia sebagai seorang laki-laki panutan, karena dalam anggapan mereka dia adalah seorang penghulu yang pintar dan cerdas. Bagi kaum sepesukuannya dia adalah seorang pemimpin yang sangat dihargai.

Kebalikannya, di tengah-tengah keluarga istrinya dia kurang disenangi karena disebabkan keangkuhan juga. Dengan mamak rumahnya (saudara laki-laki istrinya) dia sangat bertentangan karena mamak rumah tersebut orang surau. Orang surau punya tempat tersendiri sebagai musuh dalam kehidupannya. Hubungan dengan istrinya cukup istimewa untuk ukuran di kampung karena dia bertahan dengan mempunyai seorang istri saja. Kalau dia mau dia bisa dengan sangat mudah kawin lagi, karena dia penghulu. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Anaknya empat orang. Perempuan keempatnya. Anak-anak itu disuruhnya sekolah sampai sekolah menengah atas. Tidak ada yang sampai masuk ke perguruan tinggi. Dua orang anaknya bidan dan bekerja di rumah sakit. Yang dua orang lagi jadi guru sekolah rakyat dikampung. Hubungan ayah dan anak biasa-biasa saja. Tidak ada satupun dari anaknya yang tertarik dengan partai komunis.

Di dekat rumah saudaranya ada sebuah bangunan bekas surau yang tidak lagi difungsikan sebagai surau. Rumah kecil itu dijadikannya seperti kantor. Disana dia betah duduk membaca berlama-lama. Banyak buku-buku komunis terdapat disana. Umumnya buku-buku berbahasa Belanda dan sebagian berbahasa Indonesia. Dia juga menyimpan semua surat menyurat urusan partai dalam sebuah lemari kecil. Di dinding bagian mihrab surau ditempelkannya lambang PKI, sebuah bendera merah berlambang palu arit.

Saudara perempuannya sebenarnya sangat risih dengan lambang palu arit itu. Risih saja karena bangunan kecil itu tadinya adalah surau kaum. Benar bahwa surau itu sudah tidak digunakan sebagai surau lagi, tapi dengan melihat bendera merah besar itu, entah kenapa dia sangat kurang senang. Namun hanya sekedar tidak senang begitu saja. Tidak pernah dia berani mengatakan apa-apa. Setiap kali dia datang membawakan kopi untuk kakaknya kesana selalu dilengahkannya pandangannya dari bendera merah itu.

Kemenakan-kemenakan yang ingin berdiskusi atau bertanya kepadanya diterimanya di dalam kantornya yang bekas surau ini. Ada yang betah duduk dengannya berlama-lama disini, bertanya dan berdiskusi tentang masalah-masalah adat, karena dalam masalah adat dia cukup berpengetahuan. Aneh juga karena dia tidak pernah mempengaruhi seorangpun dari kemenakannya untuk jadi anggota PKI.

Seperti itulah sedikit latar belakang dan lingkungan kekerabatan Datuk Rajo Bamegomego.


***

Peristiwa yang terjadi tanggal 1 Oktober 1965 pagi di Jakarta, semakin jelas memojokkan posisi partai komunis. Hal itu tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Namun Datuk Rajo Bamegomego bukan orang yang cepat putus asa. Dia ingat betul, tahun 1948 dulu PKI juga gagal. Tapi sesudah itu? PKI bangkit kembali dengan lebih gagah. Kali inipun dia yakin hal yang sama akan terjadi. Walaupun dia kecewa, karena sementara ini yang terjadi sangat berbeda dengan yang dia harapkan. Tapi dia tetap yakin dalam waktu yang tidak lama PKI akan bangkit lagi.

Dan dia harus melakukan sesuatu. Dia harus pergi dari kampung karena di kampung semua orang kenal dengan kePKIannya. Tahu dengan sepak terjangnya selama ini. Di kampung cepat atau lambat dia pasti tidak akan aman. Datuk Rajo Bamegomego berniat untuk pergi ke Medan. Ini termasuk strategi yang dibahas dalam rapat-rapat internal PKI, bahwa seandainya terjadi sesuatu yang menyulitkan di Sumatera Barat, mereka, para pengurus partai akan lari ke Jakarta. Tapi jika Jakarta dinilai tidak aman, mereka akan menghindar ke Medan.

Datuk Rajo Bamegomego merancang sebaik-baiknya hari keberangkatannya. Sebelum itu, semua surat-surat dan buku-buku partai cukup disurukkan ke atas loteng surau ini saja. Termasuk bendera palu arit. Toh nanti, kalau keadaan sudah kembali aman dan terkendali dia segera akan pulang dan akan kembali berkantor disini. Rencana keberangkatan itu sudah disampaikannya kepada saudara dan beberapa kemenakan terpercayanya.

Sanak saudara dan kemenakan-kemenakannya sebenarnya keberatan dia pergi. Terdengar berita bahwa di pulau Jawa, orang-orang PKI sudah mulai diburu-buru dan dibunuhi. Meski di kampung tidak ada yang sanggup menjamin keamanannya, tapi rasa-rasanya orang kampung belumlah akan seberingas orang-orang di Jawa itu. Yang ada dalam benak engku Datuk justru sebaliknya. Terlalu beresiko baginya kalau dia tetap tinggal di kampung. Akhirnya, keluarga menyetujui kepergiannya. Dan kepergian itu tetap dirahasiakan dari penduduk kampung. Seorang kemenakannya membelikan karcis oto Sibualbuali dan dipesankan bahwa dia nanti akan naik di Palupuh, sebuah kampung yang sangat jauh dari kampungnya. Disana ada rumah temannya satu partai.

Koper kecilnya dibawakan oleh seorang kemenakannya dengan dibonceng sepeda malam hari ke Bukit Tinggi. Koper kecil itu dititipkan di loket Sibualbuali. Dia sendiri berangkat subuh-subuh buta dengan berjalan sambil melenggang. Seandainya ada orang yang melihat dan bertanya dapatlah dia mengatakan bahwa dia akan pergi ke Bukit Tinggi saja. Kepada istrinya dia berpesan bahwa dia akan pergi keluar kota untuk beberapa hari. Jadi kepada istrinyapun kepergiannya itu dirahasiakannya. Dari Bukit Tinggi dia menyewa bendi ke Palupuh. Begitu benar dia menjaga diri agar tidak ada yang tahu kemana dia pergi. Maka berangkatlah dia ke Medan.


***

Agak tepat juga langkah Datuk Rajo Bamegomego. Tidak berapa lama kemudian ada petugas tentara dari kantor Kodim datang untuk mendata siapa-siapa saja orang PKI di setiap kampung. Untuk sementara hanya didata saja. Mereka yang memang terdaftar sebagai anggota PKI diwajibkan untuk datang melapor sekali seminggu ke kantor koramil terdekat. Tidak ditahan dan tidak diapa-apakan.

Petugas kantor Kodim itu tentu saja sudah dapat laporan bahwa di kampung ini ada seorang PKI dengan gelar Datuk Rajo Bamegomego. Petugas itu mendatangi rumah istrinya. Istrinya memberitahu bahwa engku Datuk sedang keluar kota untuk beberapa hari. Waktu ditanya kemana keluar kotanya, istrinya tidak tahu. Petugas itu berjanji akan datang lagi beberapa hari kemudian.

Seminggu kemudian petugas itu datang lagi. Ternyata engku Datuk tetap tidak ada. Tentu saja petugas-petugas itu kesal. Atas saran istri engku Datuk mereka disuruh menanyakan ke rumah saudaranya.

Adik Datuk Rajo Bamegomego, Rohana namanya, sangat gugup ketika didatangi tentara. Tapi tentara itu cukup simpatik dan memberitahukan bahwa tugas mereka hanya mendata saja semua anggota PKI. Kepada petugas itu akhirnya Rohana tidak berani berbohong. Dia memberitahukan terus terang bahwa kakaknya, engku Datuk sedang pergi ke Medan.

‘Untuk keperluan apa beliau pergi ke Medan?’ tanya tentara petugas itu.

‘Kami kurang tahu. Menurut beliau masih untuk keperluan partai,’ jawab Rohana.

‘Tahu ibu dimana alamat beliau disana?’

‘Tidak tahu.’

‘Ada sanak famili yang bisa dihubungi di Medan?’

‘Tidak ada.’

‘Pernyataan ibu kami percayai sebagai keterangan yang benar. Karena kalau kemudian hari ternyata ibu mengatakan sesuatu yang tidak benar, ibu akan berhadapan dengan petugas hukum. Saya rasa ibu faham tentang itu, ‘ ujar tentara petugas itu.

‘Saya faham,’ jawab Rohana mulai tersedu.

‘Atau ada keterangan ibu yang ingin dikoreksi?’ tanya petugas itu pula.

‘Tidak ada. Saya tidak menyembunyikan apa-apa. Semua keterangan saya sejujurnya.’

‘Baik ibu. Kalau seandainya beliau pulang suruh beliau segera melapor. Dengan demikian beliau berada di bawah perlindungan kami. Sementara ini tugas kami hanya mendata setiap anggota PKI. Mereka diwajibkan melapor ke kantor koramil. Seandainya dikemudian hari ada masalah-masalah hukum, maka hukumlah yang akan berbicara. Itu sudah diluar tanggung jawab kami,’ begitu pesan petugas tentara itu.


***

Datuk Rajo Bamegomego sepertinya membuat kesalahan fatal dengan keberangkatannya dari kampung untuk menyelamatkan diri. Terdorong oleh harapannya bahwa PKI akan kembali lagi suatu saat nanti, akibatnya sungguh mengenaskan. Beritanya tidak pernah terdengar lagi. Dia hilang raib seperti ditelan bumi. Di medan orang-orang PKI ternyata juga diburu dan dibunuh orang. Banyak mayat orang-orang PKI itu dicampakkan orang ke sungai Ular di kota Medan, hanyut ke selat Malaka.

Tidak ada yang tahu apakah Datu Rajo Bamegomego termasuk satu di antara yang jadi korban seperti itu. Yang diketahui orang hanyalah bahwa dia tidak pernah lagi pulang.

Kaum sepersukuannya merasakan ini sebagai aib besar. Penghulu mereka hilang tidak tentu rimbanya. Mati tidak tahu dimana kuburnya. Salah satu kemenakannya mencoba mencari jejaknya ke Medan. Bertanya kalau-kalau ada orang yang kira-kira tahu. Tapi pekerjaan itu sia-sia saja. Beberapa orang kemenakannya merasa malu dan sangat terpukul. Mereka jadi serba rumit. Untuk menegakkan penghulu yang baru pengganti Datuk yang hilang tidak mungkin dilakukan.

Kebalikannya, orang kampung mencatat di dalam hati saja kehilangan Datuk Rajo Bamegomego. Boleh dikatakan tidak ada yang perduli dengan hal itu. Rasanya, seandainya beliau tetap menetap dikampung, paling-paling akan ditinggalkan orang dalam pergaulan, tidaklah ada orang yang akan sampai hati mencelakai jiwanya. Masyarakat kampung lebih pemaaf.


*****

No comments: