Sunday, November 30, 2008

SANG AMANAH (78)

(78)

Samsul dikejar ‘dead line’. Dia seharusnya sudah memberikan informasi penyelidikannya tentang Edwin kepada ketua OSIS hari ini. Tapi dia belum mendapatkan informasi yang memadai. Dia belum berhasil menemui Edwin. Dan siang ini dia harus berusaha mengejar kembali berita penting itu. Dia harus bertemu dengan Edwin. Samsul minta tolong dan sekalian mengajak Amir untuk menunjukkan pompa bensin tempat Edwin bekerja. Kedua anak itu sudah setuju pergi ke sana pulang dari sekolah hari ini. Dengan berboncengan sepeda motor mereka langsung menuju ke arah Tebet, melalui jalan raya Kali Malang, Cawang, jalan M.T Haryono dan berputar di bawah jembatan layang menuju jalan Prof. Dr. Saharjo di Tebet. Mereka melaju sampai ke pompa bensin tempat Edwin bekerja. Di pompa bensin itu ada empat orang pegawai pengisi bensin berpakaian seragam. Tapi tidak ada Edwin. Amir mencari mas Hendro di kantor pompa bensin. Mas Hendro agak heran melihat kedatangan Amir dengan temannya dan menyapa akrab.

‘Tumben lo Mir. Ada apa?’ tanya mas Hendro.

‘Nyari Edwin mas. Dia masih kerja di sini kan?’ Amir balik bertanya.

‘Masih. Tapi barusan di ajak saudara orang yang ditolonginnya tadi malam ke rumah sakit,’ jawab mas Hendro.

‘Orang yang ditolongin? Siapa bang?’

‘Tadi malam ada tabrakan maut di depan sini. Ada yang meninggal satu orang. Terus…. Edwin katanya nolongin yang satunya, yang luka parah tapi masih hidup. Ngantarin ke rumah sakit naik taksi. Orang yang selamat ini, tadi malam waktu dibawa ke rumah sakit lagi pingsan. Terus tadi pagi udah sadar. Katanya pingin ketemu orang yang nolongin. Nah barusan Edwin dijemput sama adiknya… kayaknya sih. Baru aja. Belum juga seperempat jam,’ mas Hendro menjelaskan.

‘Rumah sakit mana, mas?’

‘Katanya di Keluarga Sejahtera Jatinegara. Emang ada apa sih?’ mas Hendro jadi penasaran.

‘Yaa. Ada perlu aja mas. Kira-kira lama nggak, mas ya?’

‘Yaa…itu sih gue kagak tau. Tapi gue rasa nggak bakalan lama. Kan dia lagi kerja. Tadi waktu dijemput itu, anak yang jemput bilang, sebentar aja. Karena saudaranya yang kecelakaan, sama ibunya pingin ketemu. Tapi..ngomong-ngomong gue jadi penasaran bener. Ada apaan sih emangnya?’

‘Ah nggak. Pengen ngobrol-ngobrol aja. Ada yang mau ditanyain sih. Tapi ngomong-ngomong gimana dia kerjanya di sini bang?’ tanya Amir.

‘Baik-baik aja. Anaknya rajin dan nggak macem-macem. Jujur. Gaulnya sama yang lain-lain di sini enak. Dan dia belum pernah bolos. Kan udah lumayan lama juga dia kerja di sini. Ada empat bulanan gue rasa. Dan nggak pernah protes. Sebenarnya lagi gue test juga nih. Sejak dari pertama kali masuk gue biarin masuk siang terus. Dia kerja dari jam dua belas siang sampai jam sepuluh malam. Dan dia nggak pernah ngomel. Paling-paling, pernah agak terlambat datang, mungkin gara-gara macet, eh besoknya dia datang lebih cepet. Pokoknya baik-baik aja deh,’ jawab mas Hendro.

‘Jadi nggak pernah ada masalah, gitu mas?’ tanya Amir.

‘Nggak tuh. Masalah apa sih, maksud lo?’

‘Ya nggak tau. Masalah apa aja barangkali. Tapi kalau mas Hendro bilang nggak ada ya bagus dong. Gue kan nggak enak kalau ternyata ada masalah.’

‘Nggak ada masalah apa-apa. Kalau ada kan nggak bakalan dia bisa bertahan lama kerja di sini. Ngomong-ngomong lo barusan dari sekolah langsung ke sini? Nggak pulang dulu lo?’ tanya mas Hendro lagi.

‘Kebetulan ada perlu aja mas. Oh ya, kenalin ni teman gue di sekolah, mas. Samsul,’ Amir memperkenalkan Samsul.

‘Pengen kerja di sini juga? He..he..he,’ mas Hendro bercanda.

‘Pengen juga kali mas. Ngomong-ngomong, berapa gajinya kalau kerja di sini mas?’ tanya Samsul, ‘to the point’.

‘Gajinya berapa bener sih. Dua puluh rebu sehari tambah uang makan tujuh rebu lima ratus. Ya lumayan, biar nggak ngenyusahin orang tua lah. He..he..he,’ jawab mas Hendro pula.

‘Dibayarnya bulanan mas?’ tanya Samsul lagi.

‘Nggak. Mingguan. Tiap hari Sabtu. Biar bisa buat ngajak pacar nonton layar tancap. He..he..he. Gimana? Lo mau ikut kerja juga nggak?’

‘Belum sekarang, mas. Siapa tahu nanti-nanti saya kepingin kerja.’

Amir mungkin sudah sangat lapar. Dia mengajak Samsul untuk pergi makan dulu di warung di sekitar tempat itu.

‘Sul! Edwin mungkin agak lama nih. Mendingan kita pergi makan dulu aja, yuk! Gue lapar nih. Ntar kita ke sini lagi.’

‘Mau makan dimana?’ tanya Samsul.

‘Mas! Warteg yang di sebelah sana itu masih ada ya?’ tanya Amir ke mas Hendro.

‘Masih. Bener juga, mendingan lo pergi makan dulu aja ke sana. Nih, gue kasih duit buat makan. Kalau di Warteg segini cukup buat berdua,’ mas Hendro memberikan selembar dua puluh ribuan.

‘Yaa. Terima kasih banget nih. Dengan duit segini masih bisa lebih nih, buat makan berdua di Warteg. Yok Sul, kita pergi makan,’ Amir menerima uang itu sambil tersenyum. Kedua anak itu berjalan menuju Warteg.

Waktu mereka kembali dari makan, Edwin sudah ada di pompa bensin itu. Anak itu merasa heran, ada urusan apa kedua temannya itu datang menemuinya ke tempat dia bekerja. Tapi dia berusaha tenang-tenang saja. Karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

‘Tumben Sul, Mir. Lagi ngapain lo? Katanya mas Hendro lo nyariin gue?’ Edwin menyapa kedua temannya itu ramah.

‘Iya. Emang bener sih. Ada yang mau kita tanyain,’ jawab Samsul.

‘Semalam lo ke rumah kata nyokap gue. Ada apa Sul?’

‘Bener. Semalam gue ke rumah lo. Gue lagi dapat tugas nih dari OSIS. Tugasnya memantau…ciiieh… bahasanya keren ya? Memantau bagaimana keadaan lo sekarang. Maksudnya bagaimana keadaan lo sejak sudah nggak sekolah. Lo nggak keberatan kan?’ tanya Samsul.

‘Ah, nggak. Tapi apanya yang mau lo pantau? Apa gue masih bernafas atau udah enggak? Begitu?’ tanya Edwin santai.

‘Ceritanya sih panjang, nih. Gini. Di sekolah sekarang kepseknya kan baru. Kepsek yang sekarang memang agak beda dengan pak Suprapto. Orangnya, gue bilang keras, tapi baik banget. Maksudnya dalam soal peraturan dia ini keras. Lo tau nggak. Di sekolah sekarang udah nggak ada yang berani merokok. Bahkan guru-guru udah nggak ada yang ngerokok, begitu peraturan dia. Tapi perhatian dia ke kita-kita, maksudnya buat kemajuan pelajaran kita, baik banget. Nah, kemarin ini ada anak berkasus mau dimasukin sekolah di sana. Anak itu keponakannya ibu Purwati. Kasusnya apa nggak usah gue ceritain dulu. Anak itu sih belum atau mungkin juga nggak diterima. Tapi ceritanya terus jadi berkembang kemana-mana. OSIS mau protes kalau memang anak berkasus itu mau diterima, karena dulu teman-teman kita dikeluarin. Eh, nggak taunya sama pak kepsek yang baru ini OSIS disuruh memantau tadi itu. Kita disuruh memantau keberadaan teman-teman yang dulu dikeluarin. Kayak-kayaknya sih, kalau lo mau, lo bakal diijinin kembali ke sekolah. Tapi ini biar guru-guru nanti yang menghubungi lo. Tugas gue adalah menyelidiki, apakah lo sudah tidak terlibat lagi dengan barang-barang gituan. Dan menurut cerita yang gue dengar dan melihat juga keadaan lo seperti sekarang, gue yakin kalau lo ini bersih. Dan biar lo tau, yang dipantau adalah semua yang dikeluarin dari sekolah waktu itu. Jadi bukan cuma lo aja. Begitu ceritanya,’ Samsul bercerita panjang.

Edwin termangu mendengar cerita Samsul. Lama dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Matanya menerawang jauh. Bersekolah kembali? Betapa sebenarnya dia sangat gembira mendapatkan tawaran ini. Ah, seandainya ayah masih ada. Betapa ayah akan sangat gembira mendengar tawaran ini. Tapi itulah masalahnya. Ayah sudah tidak ada. Dan dia sekarang membantu ibu untuk mencari nafkah, menggantikan ayah. Kayaknya tawaran itu terlalu indah tapi sudah tidak mungkin lagi terjangkau.

‘Kenapa Win? Kok lo ngelamun?’ tanya Samsul.

‘Ah, nggak. Jadi begitu ceritanya? Ya gue senang dong, kalau memang begitu ceritanya. Lo memang pernah ngelihat gue ‘sakau’ kan waktu itu? Dulu. Di sekolah. Itu akibat kedunguan gue. Sebenarnya sih gue nggak pernah nyandu dengan itu barang. Dua tiga kali gue dicekokin anak-anak dengan pil yang dimasukin ke minuman. Sesudah dikeluarkan dari sekolah itu gue kapok. Gue bersumpah nggak bakalan lagi gue mau iseng nyobain benda haram itu. Tapi ya itulah. Gue terlambat. Sampai dikeluarin dari sekolah. Tapi sekarang. Lo bilang, mungkin gue mau ditawarin lagi kembali ke sekolah? Sesudah hampir setahun nggak sekolah? Gue senang banget sebenarnya. Tapi kayaknya nggak mungkin. Terus terang aja. Lo taukan, babe gue udah nggak ada? Dan sekarang gue bekerja nyari duit untuk membantu nyokap gue. Buat biaya sekolah adik-adik gue,’ Edwin bercerita sendu.

‘Gue ngerti Win. Tapi gini aja deh. Karena tugas gue adalah mendapatkan berita tentang lo, maka gue mau ceritain apa adanya. Tentang gimana kelanjutannya, seandainya lo ditawarin kembali ke sekolah, sementara ini nggak usah kita bicarakan dulu. Gimana Win?’ Samsul mengusul.

‘Ya nggak apa-apa. Silahkan lo bilangin aja apa adanya. Paling tidak gue berterima kasih banyak kalau memang nasib gue diperhatiin lagi. Apakah kenyataannya nanti gue bisa beneran bersekolah lagi atau nggak, kan lain lagi ceritanya,’ jawab Edwin pula.

‘Jadi gitu aja deh Win. Sori nih ngegangguin lo lagi kerja. Kalau gitu gue balik dulu ya?’

‘Ya deh. Sekali lagi gue berterima kasih nih. Salam aja buat teman-teman,’ jawab Edwin.

Kedua anak itu berpamitan ke mas Hendro sebelum meninggalkan pompa bensin itu. Edwin memperhatikan mereka pergi. Sambil bertanya dalam hatinya. Siapa agaknya kepala sekolah SMU 369 yang baru itu? Yang punya rencana yang tidak umum itu? Mau menerima kembali murid yang sudah pernah dikeluarkan. Rasanya terlalu indah untuk benar-benar jadi kenyataan.

Ah ngapain juga hal itu dipikirin, bisikan dalam hati Edwin.



*****

No comments: