Sunday, March 30, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (29)

29. Jeddah


Kami tinggalkan Makkah. Dengan melengong juga ke belakang melihat menara-menara Masjidil Haram. Melalui terowongan-terowongan, lubang-lubang perut bumi yang bagai sambung menyambung di kota ini. Mula-mula menuju ke kantor maktab 106 dekat Aziziah untuk mengambil dokumen / pasport kami. Dan sesudah itu, beriring-iring, rombongan kami dengan rombongan besar, melaju di jalan raya bebas hambatan menuju Jeddah. Berhenti sebentar di check point. Entah apa yang mereka periksa. Dan ada cadeau lagi dari Khadamul Harramain. Kotak berwarna hijau lagi seperti ketika kami datang dua minggu yang lalu dari Madinah, beserta sebotol plastik ukuran satu liter air zam-zam. Tidak besar artinya kalau ditilik dari harganya isi kotak hijau berisi kue-kue dan minuman ini. Tapi saya terharu lagi, ini pemberian tanda putih hati. Kami ini tamu Allah, datang memenuhi panggilan Allah ke negeri ini, dan penjaga negeri ini menerima kami dengan basa basi yang paling asli. Bukan karena mau mengambil muka, muka siapa pula di antara kami ini yang akan mereka ambil. Bukan karena mau minta maaf, kesalahan apa pula yang mereka perbuat kepada kami. Tapi benar-benar sebagai tanda menghormati tamu. Subhanallah.

Bus melaju dan terus melaju. Melalui batas Haram. Keluar dari tanah Haram. Melalui padang pasir dan bukit batu gersang. Di negeri yang insya Allah akan selalu dikunjungi orang-orang yang beriman ini. Jarak sekitar seratus kilometer ke Jeddah terasa dekat saja ketika bus ini berlari di jalan yang mulus. Lebih kurang satu jam saja sejak kami meninggalkan hotel di Makkah kami sudah memasuki kota Jeddah. Untuk berputar-putar melihat kota pelabuhan dan pintu gerbang kerajaan Saudi ini. Kota yang dipoles-poles meniru kota moderen di manca negara. Di persimpangan-persimpangan jalan ditempatkan onggokan-onggokan objek abstrak sebagai hiasan. Sebagai pengganti patung. Karena patung tidak boleh karena ianya tidak islami. Maka macam-macam bentuk objek yang dipajang itu. Dari kubus-kubus batu bertumpuk-tumpuk. Ada pula yang separoh mobil sedan yang dipancangkan kedalam tonggak tembok masif. Ada pula sepeda besar sekali. Dan air mancur dengan kolamnya.
Ya, air adalah sebuah prestasi kepedulian negeri padang pasir ini. Air laut Merah yang tak terbatas jumlahnya itu, mereka suling untuk mengairi segalanya. Untuk air minum, air cuci-mencuci, air siram-menyiram. Untuk menyirami pohon-pohon yang ditanam untuk menghijaukan Arafah. Air, yang kami para jamaah nikmati, bagaikan tanpa batas banyaknya dimanapun kami berada di negeri padang pasir ini.

Kami berwisata sebelum menuju hotel di Jeddah ini. Melihat pantai laut Merah. Melihat Mesjid Terapung di pantai laut Merah dan berhenti sejenak disana persis saat menjelang maghrib. Untuk berpose dan melihat-lihat. Mengamati matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat di laut Merah. Kami berlima duduk-duduk saja di pinggir jalan. Ramai juga pelancong disini sore ini. Para jamaah haji Indonesia juga. Kelihatannya menziarahi Mesjid Terapung sudah merupakan bagian dari paket perjalanan ibadah. Meski sudah maghrib, tapi kami tidak shalat di mesjid itu. Kami segera berangkat setelah itu menuju ke hotel Ka’ki tempat kami menginap malam ini.

Sesudah shalat maghrib dan isya di hotel, saya dijemput anak / keluarga ‘belahan’ saya yang sudah jadi mukimin disini sejak nenek-nenek kami. Bertamu ke rumah mereka. Dijamu dirumah mereka dalam suasana persaudaraan yang tulus. Padahal mereka hampir tidak bisa berbahasa Indonesia. Kami hampir sangat tidak bisa berbahasa Arab. Dan kita berbahasa gado-gado, kadang-kadang bercampur dengan bahasa Inggeris. Kami sangat akrab. Anak-anak sangat akrab. Ini adalah pertemuan mereka yang kedua sesudah tahun 2001 waktu kami datang berumrah dulu. Kami lalui obrolan dalam bahasa yang ‘tidak karuan’ itu sampai hampir jam sebelas malam. Mereka menahan kami untuk menginap, tapi kami minta maaf karena tidak boleh berpisah dari jamaah dan rombongan.

Dan besok paginya kami dijemput lagi untuk pergi menziarahi seorang dari sepupu saya yang terbaring sakit di bagian lain kota Jeddah. A, nama suami sepupu saya adalah keturunan orang Jawa Timur yang sudah dua tiga generasi pula menetap di Makkah. Sangat ramah. Dia ingin mengajak kami melancong lagi di Jeddah, tapi kami beritahukan bahwa waktu kami sangat terbatas. Kami harus keluar dari hotel jam dua siang ini untuk bertolak ke Jakarta pada malam harinya. Disempatkannya juga membawa kami sekedar berkeliling-keliling. Sekedar menunjukkan bagian-bagian kota, yang tadi malam sudah kami lalui. Jam sebelas lebih kami diantarkannya kembali ke hotel. Kami berpisah dan saling mendoakan keselamatan masing-masing. Mudah-mudahan berjumpa lagi.

Di hotel sebenarnya ada temuramah terakhir dengan rombongan besar karena masing-masing kami nanti akan berangkat dari tempat pemberangkatan yang berbeda. Rombongan besar akan berangkat dari terminal umum, menggunakan pesawat Emirat yang akan membawa mereka terbang ke Dubai, Colombo, Kuala Lumpur dan Jakarta. Sementara kami akan berangkat dari terminal haji dengan pesawat Saudia dengan penerbangan langsung Jeddah – Jakarta. Sayang saya sekeluarga sudah terlambat untuk mengikuti acara temuramah itu. Tapi kami masih akan bersama-sama makan siang sebentar lagi. Sesudah shalat berjamaah di mushalla hotel. Kebersamaan ini, rupanya sudah benar-benar hampir selesai.

Masih ada lagi sedikit ‘ngepak-ngepak’ yang terakhir yang harus diurus. Mengepak oleh-oleh dari sepupu yang di Jeddah sini untuk sepupu-sepupu di Jakarta. Oleh-oleh sebagai tanda putih hati, sebagai tanda awak berdunsanak. Yang saya jadi ingat karenanya, sejak saya kecil dulu, setiap ada orang kampung kami yang pulang dari melaksanakan haji, selalu saja nenek, kemudian ibu saya, menerima paket dari ‘dunsanak awak’ di Makkah, berisi tamar, berisi kurma, berisi tiin. Oleh-oleh pengikat tali dunsanak. Dan sekarang akan diterima adik saya yang perempuan.

*****

No comments: