Monday, December 14, 2009

DERAI-DERAI CINTA (37)

37. TIGA DARA CEMAS

Kuliah selesai jam empat sore. Diluar hari sedang hujan. Yuni dan teman-temannya masih duduk di ruang kuliah menunggu hujan reda. Sambil ngobrol.

‘Sudah lama nggak ke Titimplik, Yun,’ kata Rita.

‘Nggak lama juga. Tapi nih sekarang mau kesana,’ jawab Yuni.

‘Oh ya? Pas bener aku nanya kalau gitu ya..he..he..’

‘Kamu belum mau pulang?’

‘Ya, mau dong. Tapi kan masih hujan begitu…’

‘Kamu bawa motor?’

‘Nggak. Kenapa memang?’

‘Kalau gitu kita naik beca aja. Mau berangkat sekarang?’

‘Kasihan mang becaknya dong. Kamu nggak lihat itu hujan masih deras gitu..’

‘Benar juga ya….,’ jawab Yuni.

Sudah hampir jam lima ketika hujan baru reda. Para mahasiswa Psikologi itu mulai beranjak dari ruang kuliah. Yuni dan Rita naik becak ke rumah kos-an Rita di Titimplik. Tiba-tiba matahari terlihat menyeruak di antara gumpalan awan di sore hari itu. Lumayan membawa kehangatan di saat udara lembab. Meski tepat di atas awan hitam masih bergelayut. Sepertinya hujan akan berlanjut lagi. Dan benar saja, begitu mereka sampai di rumah hujan mulai turun kembali. Cuaca seolah-olah sekedar memberi mereka kesempatan untuk pulang tanpa gangguan hujan.

Yuni langsung menuju kamar Irma. Pintu kamar itu terbuka, tetapi Irma tidak ada di dalam. Di meja belajar Irma ada dua buah album foto. Yuni mengambil dan melihat album itu. Ketika sedang asyik mengamati foto-foto itu Irma masuk.

‘Heh, dari mana kamu?’ tanya Yuni.

‘Dari kamar mandi,’ jawab Irma pendek.

‘Oo…. Bagus-bagus ya foto ini. Kapan kalian ke Cibodas?’

‘Minggu kemarin…… Kamu nggak nanya ngapain aku di kamar mandi…?’

Yuni mengamati wajah Irma.

‘Nggak, ya? Kenapa emang? Memangnya kamu ngapain di kamar mandi?’

‘Nyuci…’

‘Oooo… tumben rajin.’

‘Kamu nggak nanya aku nyuci apa?’

‘Apaan sih? Emangnya kamu nyuci apa?’

‘Nyuci sal. Salku kena darah.’

‘Salmu kena darah? Aneh amat. Kok bisa darah sampai ke sal? Kamu jorok, ah.’

‘Kamu nggak nanya darah apa?’

‘Sial…… kamu ini ngomong apa sih? Dari tadi berteka-teki melulu? Darah apaaaa?’

‘Darah Imran….’

‘Apaa?’ tanya Yuni dengan mata mendelik.

‘Ya, darah Imran. Imran mahasiswa ITB itu.’

‘Kamu nggak sedang becanda kan?’

‘Ngapain aku becanda…… Imran kecelakaan di angkutan kota. Kepalanya berdarah dan kakinya patah……’

‘Apa kamu bilang????’

‘Tenang….. Tenang…… Aku menceritakan yang sebenarnya…’

‘Kamu bilang kakinya patah? Dan berdarah-darah? Dimana? Dimana dia sekarang?’

‘Tenang…… Tenang saja, Neng. Jangan panik …’

‘Irma! Coba ceritakan yang jelas…. ‘

‘Baik! Sekarang coba dengarkan! Aku lewat di ujung jalan Dago. Ada sebuah angkutan kota menabrak pohon. Mobil itu agak ringsek di bagian depannya. Di jok depan mobil angkutan itu ada Imran. Kepalanya berdarah. Darah mengalir di tangannya yang dipakainya untuk menutupi kepalanya itu. Aku memberikan sal yang kupakai untuk menutup lukanya. Habis itu aku menjemput uda Fauzi di Rangga Malela lalu dengan mobilnya kami antarkan Imran ke rumah sakit Hasan Sadikin. Aku dan uda Fauzi menunggu disana sampai temannya Syahrul datang. Syahrul dijemput Rinto. Sebelumnya Rinto mengiringkan aku sejak dari foto studio di jalan Merdeka. Waktu aku meninggalkan rumah sakit, kepalanya yang luka sudah dijahit. Dokter yang mengurusnya mengatakan kemungkinan Imran harus dioperasi untuk memasang pen di kakinya yang patah. Aku tidak tahu kelanjutannya.’

Yuni ternganga mendengar uraian panjang Irma. Lama dia tidak bisa berkata-kata.

‘Kau mau mengantarkan aku melihatnya ke rumah sakit?’ tanya Yuni kemudian.

‘Tidak di saat hujan lebat seperti sekarang ini.’

‘Kalau nanti hujan berhenti?’

‘Kalau belum terlalu malam…….’

‘Aku benar-benar ingin melihat keadaannya…’


***

Lutfi dan Yani agak terlambat pulang dari biasanya. Pasien sore itu banyak. Pasien-pasien itu menunggu ketika Lutfi pergi ke rumah sakit Hasan Sadikin melihat Imran,. Tidak semua terlayani oleh Yani sendirian. Setelah kembali, Lutfi meneruskan memeriksa mereka. Sudah jam setengah sepuluh waktu kedua dokter muda itu sampai di rumah. Uni Lani dan Lala masih duduk di meja makan sesudah selesai makan.

‘Imran kecelakan,’ kata abang Lutfi memberi tahu begitu masuk rumah.

‘Hah?’ uni dan Lala berteriak kaget bersamaan.

‘Ya… Dia dapat musibah. Sekarang dia dirawat di Hasan Sadikin,’ abang Lutfi menambahkan.

‘Musibah apa bang? Bagaimana keadaannya?’ tanya Lala.

‘Angkutan yang ditompanginya mengalami kecelakaan. Kaki Imran patah dan harus digips. Tadi waktu abang tinggalkan dia sudah istirahat di kamar rawat ditemani Syahrul.’

‘Kita pergi melihatnya sekarang ‘yok, un,’ Lala mengajak uni Lani.

Uni tidak segera menjawab.

‘Abang rasa sekarang sudah kemalaman. Bagaimana kalau besok pagi saja?’

‘Aku kepingin melihat dia sekarang. Kita pinjam mobil abang, deh. Uni yang nyetir. Mau nggak un?’

‘Biar dia istirahat malam ini. Kalau kita kesana, pasti akan mengganggu waktu istirahatnya. Besok pagi-pagi abang antarin deh. Gimana?’

‘Kayaknya benar seperti kata abang,’ uni Lani menambahkan.

Lala akhirnya mengalah.

***

Syahrul meninggalkan rumah sakit pagi-pagi sekali karena dia akan ujian. Dan dia harus pulang dulu kerumah. Keadaan Imran tidak mengkhawatirkan. Tadi malam dia bisa tidur dengan tenang karena dokter memberinya obat untuk menghilangkan rasa sakit. Perawat-perawat rumah sakit berlaku sangat baik dalam melayani dan mengurus keperluan Imran.

Di gang menuju rumah, Syahrul bertemu dengan Sukma yang baru pulang dari berbelanja di Balubur.

‘Dari mana kak, pagi-pagi begini?’ Sukma yang duluan menyapa.

‘Dari rumah sakit. Kak Imran kecelakaan kemarin dan dirawat di rumah sakit,’ jawab Syahrul.

‘Kecelakaan? Kecelakaan apa, kak?’

‘Kecelakaan mobil. Mobil yang ditompanginya menabrak pohon.’

‘Bagaimana keadaannya?’

‘Kakinya patah.’

‘Aduuuh kasihan…. Di rumah sakit mana?’

‘Di Hasan Sadikin.’

‘Aduh kasihan ya kak. Mudah-mudahan kak Imran cepat sembuh….’

‘Ya.. Kamu doain saja.’

Syahrul sudah sampai di rumah pondokannya dan Sukma berlari menuju rumahnya.

Sampai di rumah Sukma segera melapor ke semua orang yang sedang sibuk bersiap-siap di pagi itu.

‘Kak Imran kecelakaan…’ katanya.

‘Apa?’ tanya Ratih yang paling duluan bertanya.

‘Kak Imran kecelakaan mobil angkutan kemarin. Dia sekarang di rumah sakit. Aku barusan dikasih tahu kak Syahrul,’ jawab Sukma.

‘Di rumah sakit mana?’ tanya uci pula.

‘Kata kak Syahrul di rumah sakit Hasan Sadikin.’

Ratih bergegas keluar ke rumah Syahrul ingin menanyakan kepastian berita itu. Ditemuinya Syahrul sedang buru-buru mau berangkat lagi.

‘Kak! Benar kak Imran dapat musibah?’

‘Ya,’ jawab Syahrul pendek, sambil mengunci pintu rumah.

‘Di ruang berapa?’

‘Kok saya malahan lupa nomornya. Kalau kamu mau pergi melihatnya kamu tanyakan saja di bagian informasi.’

‘Bagaimana keadaannya, kak?’

‘Kakinya dipasangi gips. Kepalanya diverban dan kemarin dijahit. Tapi keadaannya tenang-tenang saja kok. Maaf, ya. Saya harus buru-buru. Saya mau ujian.’

‘Kok pagi-pagi amat, kak. Baru juga jam setengah tujuh.’

‘He..he.. Kami ujiannya jam tujuh. Jam tujuh kurang sudah harus ada di ruangan… Maaf sekali lagi ya….’

Syahrul langsung berangkat. Ratih masih termangu mendengar informasi dari Syahrul.


*****

No comments: