Thursday, April 16, 2009

DERAI-DERAI CINTA (5)

5. ALAM YANG GANJIL

Keesokan harinya ternyata cuaca cerah. Matahari bersinar cemerlang. Timbul semangat karenanya, sebab sudah beberapa hari ini matahari tidak terlihat di pagi hari. Gunung Marapi masih berselimut pada bagian puncaknya. Di bagian lainnya terlihat bersih berwarna biru cerah. Sarasah (air terjun) di bagian tengah gunung terlihat dengan jelas seperti sebuah codetan. Berwarna putih.

Kegiatan orang kampung kembali berjalan normal. Yang mengumpulkan pisang kembali mengumpulkan pisang. Banyak yang berancang-ancang mau menjemur padi sebelum digiling di heler. Sepertinya akan panas sehari ini.

Imran tidak bersekolah. Dia libur karena ini adalah minggu tenang sebelum ujian akhir. Dia berusaha belajar sebaik-baiknya sebelum menghadapi ujian minggu depan. Dan pagi ini disempatkannya pergi menebang pisang di kebun istri mak etek Nursal. Dua tandan besar pisang ambon itu dibawanya pulang dengan menggunakan gerobak dorong. Etek Ema, istri mak etek Nursal, tidak mau menerima uang pembelian pisang. Gunakan untuk keperluan sekolahmu, kata etek Ema. Imran sangat berterima kasih. Memang selalu demikian. Sudah beberapa kali dia disuruh menebang pisang di sana, tapi etek Ema tidak mau menerima uang. Paling-paling dia hanya meminta dua sisir pisang ditinggalkan. Yang lain disuruh ambil semua.

Sebelum sampai di rumah, Imran berpapasan dengan mobil toke pisang yang dulu membawanya ke Paya Kumbuh.

‘Mau langsung kau jual?’ tanya mak Budin, toke itu.

‘Boleh. Pisang ini sudah tidak perlu diperam. Sudah mulai masak. Di rumah ada dua tandan pisang batu yang sudah masak. Silahkan mak Budin ambil semua,’ jawab Imran.

‘Atau, mau kau ikut menjualnya ke Bukit?’ tanya mak Budin.

‘Ah, tidak. Awak mau belajar. Awak mau ujian minggu depan,’ jawab Imran.

‘Katanya kau tidak mau lagi ikut dengan mobilku, benar?’

‘Sekarang ini tidak. Karena awak mau belajar,’ jawab Imran tegas.

‘Ya, sudahlah. Naikkanlah pisang itu! Pergilah ambil yang lain, yang kau katakan ada di rumah!’ perintah toke itu.

Imran mengangkatnya ke atas truk. Di atas truk itu sudah banyak tandan pisang yang lain. Rupanya toke itu akan segera menjualnya ke Bukit Tinggi.

‘Mamak tunggulah sebentar. Awak jemput ke rumah,’ kata Imran.

Mak Budin mengangguk. Dimatikannya mesin mobil. Imran segera kembali mendorong gerobak dengan dua bakul besar pisang batu yang sudah masak, siap untuk dibuat jadi goreng pisang.

‘Untung benar dibawa keluar sekarang. Kalau tidak, besok-besok pisang itu akan semakin lunak. Sudah susah menjualnya,’ kata mak Budin.

Imran mengangkat pisang-pisang yang sudah dipisah menjadi banyak sisir ke dalam truk.

‘Angkat saja dengan ketiding-ketidingmu itu. Nanti aku kembalikan,’ perintah mak Budin.

Imran setuju.

‘Jadi berapa sisir semua pisang ambon tadi? Berapa pula pisang batu?’

Imran menghitung dan memberitahukan jumlahnya. Mak Budin menghitung harganya, mengeluarkan uang dari dompet dan menyerahkan uang itu kepada Imran.

‘Kenapa sebanyak ini? Ini kan harga di pasar, mak?’ tanya Imran.

‘Ya, harga di pasar. Aku anggap kau sendiri yang menjualnya di pasar. Aku ingin kau tahu, bahwa aku bukan laki-laki yang suka beranak jawi! Kau catat itu! Aku menolongmu karena bersimpati dengan keadaanmu. Karena kau anak yatim,’ kata mak Budin, yang sudah kembali duduk di belakang kemudi.

Imran menatap mobil truk itu bergerak, berlalu dan akhirnya menjauh.

***

Sampai sore, hari masih tetap panas. Berbeda benar dengan kemarin yang hujan sehari suntuk. Panas sampai petang rupanya hari ini. Imran minta izin ibu untuk pergi ke pekan, pergi membeli obat gosok. Obat gosok yang diberikan nenek sudah hampir habis. Tangan ibu yang waktu itu terlihat bisa digerakkan sedikit, tetap seperti itu saja. Tidak ada perubahan lebih lanjut. Tapi ibu senang dipijit dan diurut dengan obat gosok. Hangat dan enak terasa. Imran berharap, mudah-mudahan lama kelamaan ada juga pengaruh obat gosok itu nantinya.

Imran mengendarai sepeda dengan santai. Ketika melintas di dekat batang air, diperhatikannya anak-anak kecil sedang memandikan kerbau. Ada satu hal yang menarik perhatiannya. Air batang air itu biasa-biasa saja. Tidak deras mengalir seperti biasanya sesudah beberapa hari hujan. Imran sadar bahwa hal itu agak aneh, tapi dia tidak tahu apa sebabnya.

Setelah membeli obat gosok dia segera pulang. Untuk kembali belajar.

***

Karena hari cerah, bertambah pula gairah orang main domino di lepau. Berlapoh-lapoh dan berdentang-dentang bunyi batu plastik itu dihempaskan. Yang menonton tidak kalah asyik. Sambil mengobrol hilir mudik. Yang main kadang-kadang ikut pula menimpali.

Muncak Amat yang duduk di sudut lepau melaporkan pengamatannya tentang air batang air. Terjadilah hotar panjang.

‘Ada yang agak ganjil. Hampir seminggu hari hujan, selama itu pula gunung Marapi berselimut awan gelap, tapi air batang air biasa-biasa saja,’ kata Muncak Amat.

‘Lalu kenapa?’ tanya Lelo yang sedang mengamati batu dominonya.

‘Tidak normal air batang air seperti itu. Harusnya lebih deras,’ jawab Muncak Amat.

‘Muncak berbahasa tinggi. Pakai istilah tidak normal segala. Yang normal itu seperti apa...... ? Taroklah ganja anam itu Pudin dari pada mati terkepit,’ Yusran Sati, mandan Lelo ikut menimpali sambil tetap berkomentar tentang permainannya.

‘Yang normal...., yang biasa, kalau berhari-hari hujan, air batang air itu deras berhari-hari pula,’ Muncak Amat menjelaskan lagi.

‘Jadi dimana salahnya kalau begitu ?’ tanya Pudin Gindo.

‘Salahnya, ganja anam kau sudah mati he..he..he... Salahnya? Entah? Dimana salahnya Muncak?’ tanya Yusran.

‘Salahnya? Kemana pergi air hujan yang banyak itu?’

‘Pertanyaan Muncak betul-betul seperti pertanyaan profesor. Siapa pula yang akan tahu kemana perginya?’ Lelo berkomentar sambil menghempaskan batunya yang terakhir.

‘Betul Lelo. Pertanyaan Muncak ini sulit. Tidak pandai kita menjawab,’ kata Pudin yang dapat giliran mengocok batu.

‘Aku sependapat dengan Muncak. Cobalah perhatikan serasah itu. Airnya besar. Terlihat dari sini codetan putih air serasah jatuh. Karena di atas gunung Marapipun hujan besar selama ini. Tapi entah kemana pergi air itu,’ guru Sofyan ikut berkomentar.

‘Cobalah terangkan kalau begitu, guru! Kemana agaknya pergi air. Sepertinya hal itu menjadikan Muncak Amat rusuh benar,’ kata Lelo, kali ini sambil menghempaskan balak enam.

‘Kalau menurutku, kalau air itu tidak turun, tidak mengalir kesini, berarti masih tertahan di atas,’ jawab guru Sofyan.

‘Siapa pula agaknya yang menahan, guru? Atau jangan-jangan orang bunian...he..he..’ Lelo terkekeh.

‘Tidak mesti. Dan lagi, aku belum pernah bertemu orang bunian. Aku tidak tahu kalau mereka banyak minum,’ jawab guru, ikut-ikutan melantur.

‘Seandainya tertahan, dimana pula akan tertahannya guru? Bukankah tidak ada kolam besar di atas gunung itu?’ tanya Muncak Amat bersungguh-sungguh.

‘Kolam besar mungkin saja ada di atas sana engku Muncak. Cobalah engku perhatikan, kan ada lembah-lembah juga di sela-sela punggung gunung Marapi itu,’ guru Sofyan menjelaskan.

‘Kalau begitu kan sudah jelas. Apa pula yang ganjil? Berarti air itu tertahan di kolam-kolam dalam lembah seperti yang dikatakan guru Sofyan,’ kata Lelo.

‘Bagaimana kalau air di kolam besar itu tumpah, kalau benar ada kolam besar di atas sana?’ tanya Muncak Amat.

‘Aih, Muncak.... Tidak disini seharusnya Muncak berpidato. Panjang betul telaahan Muncak. Kalau dia tumpah tentu mengalir dia ke hilir. Besar kembali air batang air yang Muncak risaukan itu...... Pas aku Gindo.... Batuku pun ikut pusing mendengar pemikiran Muncak Amat....’ kata Yusran Sati.

‘Tidakkah engku-engku takut kampung ini akan disiram banjir?’ tanya Muncak Amat lagi.

‘Yang pasti-pasti sajalah yang akan dipikirkan Muncak. Kalau semua dipikirkan, tidak pantas kita tinggal di kampung ini. Tidak takut pulakah Muncak seandainya gunung Marapi ini meletus?’ giliran Lelo berkomentar.

Semua tediam sementara.

‘Ada lagi yang ganjil,’ kali ini Sinaro yang berbicara.

‘Apa pula lagi? Atau jangan-jangan sudah mau kiamat agaknya, banyak betul hal yang ganjil-ganjil,’ giliran Pudin Gindo.

‘Sudah lama aku tidak melihat landak. Tadi pagi aku lihat empat ekor di tepi batang air,’ kata Sinaro.

‘Lalu? Apa pula urusannya?’

‘Barangkali saja landak itu ingin berjemur panas matahari, sesudah sepekan hari hujan,’ Lelo mencoba menjawab.

‘Landak itu biasanya keluar malam dari sarangnya di tepi batang air. Dimana tepatnya Sinaro melihatnya?’ tanya guru Sofyan.

‘Di rumpun betung di pinggir batang air,’ jawab Sinaro.

‘Entahlah, mungkin juga......’ guru Sofyan tidak meneruskan kata-katanya.

‘Mungkin juga apa, guru?’ tanya Pudin Gindo.

‘Mungkin juga mereka merasa sarang mereka di tepi batang air tidak aman,’ jawab guru.

‘Itupun hal yang repot kalau begitu. Bagaimana pula akan menanyakannya kepada landak?’ sergah Lelo.

‘Mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa. Sudahlah, sudah terlalu petang. Aku mau pulang dulu,’ kata guru Sofyan.

Dia keluar, meninggalkan lepau. Pertandingan domino pun sudah berakhir.


*****

No comments: