Saturday, October 18, 2008

SANG AMANAH (23)

(23)

‘Saya ingin juga mendapat masukan dari POMG maupun OSIS, kalau bisa, pak. Silahkan bapak dari POMG. Maaf tolong disebutkan nama dan orang tua dari siapa bapak?’ ibu Purwati minta pendapat lain.

‘Terima kasih. Nama saya Djoko Rismianto orang tua dari Indah, murid kelas dua B. Langsung ke pokok masalah saja, saya sebagai orang tua dari seorang anak perempuan memang lebih cenderung acara ini dilaksanakan siang hari. Kalau malam hari akan lebih sulit bagi kami untuk mengontrolnya. Acara sudah selesai jam sebelas, tapi jam dua belas anak kami belum pulang, terus kami mau bertanya kepada siapa? Sedangkan kalau acaranya siang hari, seandainya anak-anak muda itu ingin menambah acara, pasti tidak akan terlalu nekad, karena masih dapat dikontrol oleh masyarakat. Mungkin itu saja, ibu ketua.’

‘Terima kasih pak Djoko. OSIS bagaimana? Apa memang lebih cenderung acaranya malam begitu?’

‘Sejujurnya, buk. Kalau malam hari biasanya memang lebih susah diawasi, buk. Bahkan selama acara masih berlangsung, bisa saja nanti ada di antara kawan-kawan pergi mojok ketempat-tempat gelap. Suasananya mendukung sih, buk. Itu saja, buk. Kalau banyak-banyak saya bisa diajak duel nanti.’

Peserta rapat gerrrr…ketawa, mendengar pernyataan yang polos itu.

‘Baiklah, pak Mursyid. Saya rasa tidak usah kita adakan voting nih, kelihatannya sebagian besar suara sudah jelas menantang pendapat pak Mursyid. Namun demikian saya beri kesempatan yang terakhir seandainya masih ada hal baru yang ingin ditambahkan!’

‘Ya, sudah ibu ketua. Saya menyerah. OSIS saja sudah ikut-ikutan menyerang kok he..he..he.’

‘Wau, panjang diskusi kita. Jadi saya ketukkan palu bahwa acaranya diadakan hari Minggu pagi sampai selesai.’ Tok…tok…tok..

‘Berikutnya mengenai acaranya. Apakah ada yang ingin mengomentari?’

‘Saya ingin bertanya ibu ketua!’ kata ibu Lastri.

‘Bahasan kita acara sekarang, ibu Lastri. Silahkan!’

‘Pak Hardjono tadi tidak menyebutkan kapan waktu menyerahkan cindera mata untuk bapak kepala sekolah yang akan pensiun. Apa ini tidak dibahas? Itu saja dan terima kasih.’

‘Saya pikir mungkin sudah ada, cuma belum dikomunikasikan saja. Sama halnya dengan selingan oleh paduan suara guru-guru dan deklamasi atau sajak yang akan dibawakan salah seorang guru. Tapi, bagaimanapun saya persilahkan pak Hardjono menanggapinya langsung. Silahkan, pak.’

‘Benar sekali. Tadi yang saya sampaikan adalah pembagian acara secara garis besar. Untuk tepatnya, menurut pikiran saya, saat yang paling tepat untuk menyerahkan cindera mata adalah sesudah sambutan dari pak kepala sekolah dan sebelum memasuki acara hiburan.’

‘Maaf, ibu ketua. Boleh saya mengajukan usul?’ ibu Sarah mengangkat tangan.

‘Silahkan ibu Sarah!’

‘Saya usul agar acara dangdut dan joged ditiadakan saja, karena bisa mengundang penilaian negatif. Apalagi nanti kalau sampai terjadi guru dan murid berjoged ria bersama, rasanya tidak pantas. Itu saja ibu ketua.’

‘Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain?’

‘Saya tidak setuju, ibu ketua,’ kembali pak Mursyid mengacungkan tangan.

‘Silahkan pak Mursyid. Bagaimana tidak setujunya?’

‘Kita jangan terlalu piciklah hendaknya. Kalau sekedar berjoged apa sih salahnya? Apalagi ini pada saat acara resmi sekolah. Biar guru berjoged dengan muridpun saya rasa tidak usah dipermasalahkan. Toh hanya sekedar joged.’

‘Maaf, apa saya boleh menanggapi langsung, ibu ketua?’ tanya ibu Sarah kembali.

‘Silahkan ibu Sarah!’

‘Saya rasa bukan masalah picik atau bukan. Kita ini seperti lupa dengan pribahasa ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Seharusnya kita sebagai guru mendidik murid-murid agar berakhlak yang baik. Bukan malah sebaliknya, mengajarkan kepada mereka betapa sangat ‘permissive’nya kita. Betul, itu hanya sekedar joged, tapi dari arena main-main seperti itu, yang kita restui, atau lebih parah lagi kita bahkan ikut serta, akan terpicu hal-hal negatif sesudahnya. Joged itu sejauh yang saya lihat, identik dengan hal-hal yang kurang baik, identik dengan keramaian di tempat-tempat yang tidak sopan.’

‘Saya sangat tidak setuju. Joged hanyalah penyaluran jiwa seni rakyat kelas bawah. Kesenian rakyat jelata. Sama seperti musik dangdut. Memang bukan mainan orang gedongan. Tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang tidak sopan. Kalau dilingkungan kumuh atau di lingkungan tidak ‘sopan’ dalam tanda kutip joged itu populer, justru karena sebagian besar rakyat negeri ini masih hidup dilingkungan kumuh, dilingkungan orang-orang miskin. Begitu juga saya tidak sependapat dengan pribahasa yang ibu Sarah katakan tadi, untuk dikaitkan dengan urusan joged antara guru dan murid.’

‘Bagaimana ibu Sarah? Atau bapak-bapak, ibu-ibu yang lain?’

‘Boleh saya menambahkan lagi, ibu ketua?’

‘Silahkan, ibu Sarah!’

‘Saya ingin bertanya saja. Adakah nilai tambah yang bisa dipetik dari acara dangdut dan joged? Saya ajak bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain menilai. Tentu kita pernah melihat paling tidak di televisi, bagaimana seronok dan erotisnya….., saya ulangi….., erotisnya gerakan-gerakan joged itu. Dan saya tanya sekali lagi nilai tambah apa yang kita harapkan dari ‘seni’ dalam tanda kutip seperti itu? Tidakkah kita merasa malu melakukan gerakan-gerakan yang saya rasa kurang pantas itu, berpasangan dengan anak didik kita, atau di depan mata anak didik kita?’

‘Minta waktu ibu ketua,’ kali ini pak Wayan mengangkat tangan.

‘Silahkan pak Wayan!’

‘Saya juga ingin bertanya kepada ibu Sarah. Bagaimana pandangan ibu tentang seni tari? Ada juga kadang-kadang gerakan-gerakannya yang dapat diartikan seronok saya kira. Apakah itu juga tidak pantas?’

‘Silahkan langsung ibu Sarah, ditanggapi!’

‘Begini, pak Wayan. Seni tari dipertunjukkan sebagai tontonan. Setelah itu tergantung kepada selera yang menonton. Ada yang suka dan ada yang tidak suka. Kalau seseorang tidak suka, dia tidak menontonnya. Saya sependapat dengan pak Wayan. Ada gerakan-gerakan tari tertentu yang menurut sebagian orang seronok. Atau ada pakaian penari yang setengah terbuka, memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi. Misalnya seperti tari perut. Kebetulan memang bukan dari budaya kita. Yang dari negeri kita, tanpa maksud melecehkan, kalau pandangan saya pribadi, pakaian penari Jawa ataupun penari Bali yang menggunakan kemben saja kurang elok. Tapi sekali lagi, tarian seperti itu adalah kesenian untuk jadi tontonan. Jadi terserah kepada yang menonton.’

‘Ini mungkin karena ibu Sarah berjilbab. Jangan dibandingkan dengan ibu Sarah, dong!’ kata pak Muslih.

‘Maaf, pak Muslih apa ada saran? Atau pendapat yang lebih terarah? Setuju atau tidak setuju dengan pendapat ibu Sarah?’

‘Saya, ibu ketua,’ kali ini pak Situmorang.

‘Langsung saja, pak Situmorang!’

‘Saya usul diambil jalan tengah saja. Biar anak-anak yang berjoged, sebagai hiburan mereka. Kita guru-guru jadi penonton saja.’

Gerrr……. Peserta rapat ketawa mendengar usulan ini.

‘Ya.. Pak Sofyan! Pak Sofyan selalu kompak dengan pak Situmorang biasanya. Apa ada ide tambahan?’

‘Betul. Saya ingin menambahkan. Jogednya dibagi dua kloter saja. Joged murid-murid duluan. Sesudah itu joged guru sama guru. Jadi biar tidak dikatakan murid meniru guru seperti pribahasa tadi.’

Geeerrrrrrrrr…. Lebih riuh.

‘Minta waktu, ibu ketua,’ kata ibu Lastri.

‘Baik, silahkan ibu!’

‘Walaupun kedengarannya guyon, usulan pak Sofyan itu cukup simpatik saya rasa. Saya jadi ingat, di kantor-kantor pemerintah, setiap hari Jum’at pagi biasa diadakan senam massal. Pada waktu itu juga bercampur baur antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan senam. Sejauh ini belum ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang sumbang.’

‘Jadi bagaimana ibu Sarah? Mungkin masih ada sanggahan?’

‘Ya…. kalau bapak-bapak dan ibu-ibu semua sependapat bahwa joged itu wajib, silahkan. Tapi saya mohon maaf. Saya tidak mungkin ikut.’

‘Jadi…??? Atau bagaimana pendapat pak Umar? Mungkin ada pendapat lain untuk membantu ibu Sarah? Silahkan pak!’

‘Singkat saja, saya sependapat dengan ibu Sarah,’ jawab pak Umar.

‘Tidak ingin menambahkan, pak? Alasannya barangkali yang lebih spesifik?’

‘Alasannya, sama seperti yang sudah disampaikan juga oleh ibu Sarah. Kita, guru-guru adalah pendidik dan karenanya harus bisa memberi contoh yang baik kepada anak didik. Berjoged, meliuk-liukkan tubuh, berpasang-pasangan dengan orang lain, apalagi misalnya dengan murid, menurut pendapat saya pribadi, sangat tidak pantas.’

‘Tapi bagaimana seandainya mayoritas peserta rapat setuju dengan acara itu diadakan, apakah bapak keberatan?’

‘Saya, tidak suka, tidak akan ikut berpartisipasi, tapi saya tidak pada posisi untuk melarangnya.’

‘Baik, apakah kalau begitu kita lakukan ‘voting’? Atau, iya…. pak Hardjono? Ada tambahan?’

‘Bukan….., saya hanya ingin tahu apakah memang perlu diadakan ‘voting’ untuk menentukan hal seperti ini.’

No comments: