Tuesday, May 27, 2008

NEGERI INI

NEGERI INI

Pesawat itu mendarat dengan sangat mulus. Nyaris tanpa goncangan. Di luar cuaca sangat cerah. Sekarang pesawat itu bergerak pelan menuju tempat berhenti. Pramugari melaksanakan tugasnya yang terakhir, mengucapkan selamat datang di negeri tujuan ini, memberitahukan perbedaan waktu dan mengucapkan selamat jalan kepada para penumpang. Dan pesawat itu akhirnya berhenti. Para penumpang bersiap-siap untuk turun. Tidak terkecuali Bahdar.

Baru sekali ini dia berkunjung kesini. Ke negeri ayah dan bundanya. Kedatangannya bukan untuk mengunjungi orang tuanya itu karena mereka tinggal di ibukota. Dia bertugas untuk memberi penyuluhan kepada pegawai pemerintah tentang tata kota, sesuai dengan keahliannya. Penyuluhan itu akan berlangsung dua hari di hotel terbesar di kota di atas bukit. Bahdar seolah-olah sudah tahu tentang kota yang udaranya sejuk itu. Kota kebanggaan ayahnya. Cerita tentang kota itu diceritakan ayah berulang-ulang kepadanya.

Namun, temannya yang orang Negeri Ini mewanti-wanti. Negeri Ini sedang berubah ke arah kebaikan tapi sisa-sisa kebiasaan jaman jahiliyah masih belum semuanya sirna. Berhati-hati di bandara ketika memilih taksi, berhati-hati di penginapan, berhati-hati berbelanja di pasar, berhati-hati kalau sempat pergi melancong ke tujuan wisata. Berhati-hati, karena ada saja orang nakal. Orang yang menggunakan kesempatan untuk menipu. Begitu pesan temannya itu.

Bahdar keluar dari pesawat, langsung menuju ke tempat mengambil bagasi. Koper kecilnya dimasukkannya ke bagasi karena dia harus menenteng komputer jinjing dan in focus. Seorang portir menyapanya ramah dan bertanya seandainya dia memerlukan bantuan untuk membawakan bagasinya. Bahdar ingin berbuat baik kepada portir itu.

‘Saya hanya punya sebuah koper kecil,’ katanya.

‘Kalau bapak mau dibantu akan saya ambil dan antarkan ke mobil bapak,’ jawab portir itu.

‘Saya mau dibantu. Tapi, sekali lagi hanya sebuah koper kecil. Dan saya rasa tidak perlu troli itu untuk membawanya,’ Bahdar menjelaskan.

‘Tidak apa-apa, pak. Ongkosnya lima ribu rupiah untuk satu potong. Seperti bapak lihat di pengumuman itu,’ portir itu menambahkan sambil tersenyum ramah.

‘Baik kalau begitu, tolong diambilkan. Ini tanda pengenal bagasi saya,’ jawab Bahdar sambil menyerahkan secarik kecil kertas.

Portir itu berlalu dengan kertas kecil di tangannya menuju ke ban berjalan. Bahdar mencari-cari loket tempat pemesanan taksi. Tapi tidak ditemukannya. Beberapa menit saja, sang portir sudah kembali membawakan tas yang beratnya tidak sampai sepuluh kilo.

‘Bapak ada mobil jemputan?’ tanya portir itu.

‘Tidak. Saya akan menyewa taksi. Dimana tempat memesan taksi untuk ke luar kota?’ Bahdar balik bertanya.

‘Tidak ada pak. Bapak bisa mengambil langsung taksi di luar itu. Bapak ikut saja antri untuk mendapat giliran,’ kata portir itu.

‘Tapi? Tarifnya harus dirundingkan dulu atau bagaimana?’ Bahdar mulai khawatir akan langsung menemukan tantangan yang pertama.

‘Oh, tidak pak. Taksi itu semuanya menggunakan argometer. Nanti bapak harus membayar sesuai dengan biaya yang tercantum di argometernya.’

Bahdar terdiam. Dia masih berpikir tentang kemungkinan akan dijahili nanti di tengah jalan.

Sesuai saran portir itu, Bahdar masuk ke barisan antrian. Dia mendapat sebuah taksi berwarna hijau metalic. Bersih dan sangat terawat kelihatannya. Sopir taksi itu turun membukakan pintu bagasinya. Portir meletakkan koper kecil ke dalam bagasi. Bahdar memberikan uang sepuluh ribu rupiah. Portir itu mengembalikan lima ribu.

‘Tidak usah. Ambillah kelebihan uang itu,’ kata Bahdar.

‘Oh tidak pak. Tidak boleh. Hak saya hanya yang lima ribu. Terimalah kembalian uang bapak,’ kata portir itu sambil mengulurkan tangan dengan uang lima ribu rupiah.

‘Tidak boleh? Tidak boleh oleh siapa? Saya ikhlas memberikannya,’ Bahdar agar terkesiap.

‘Tidak, pak. Terima kasih. Bapak terimalah uang kembalian ini,’ ujar portir itu bersungguh-sungguh.

Bahdar betul-betul terpana. Dia tidak bisa berkata apa-apa ketika portir itu meletakkan uang itu ke tangannya dan minta ijin untuk berlalu.

Sopir taksi itu menyapanya ramah dalam bahasa daerah Negeri Ini. Ketika dilihatnya Bahdar tidak segera menjawab, karena dia masih melamunkan portir tadi, sopir taksi berganti menggunakan bahasa Indonesia.

‘Selamat datang di Negeri Ini, pak. Kemana tujuan bapak? Kemana bapak akan saya antar ?’ tanya sopir taksi itu ramah.

‘Terima kasih. Tolong antarkan saya ke kota di atas bukit,’ jawab Bahdar.

‘Baik, pak. Kita berangkat. Bismillah.’

Sopir taksi itu ternyata sangat ramah. Umurnya mungkin sebaya dengan Bahdar. Dia berbicara dengan sangat sopan. Dan beberapa kali bertanya kalau-kalau Bahdar sudah merasa cukup nyaman di dalam mobilnya. Kalau-kalau ac mobil itu sudah memadai dinginnya. Kalau-kalau Bahdar ingin mendengarkan musik. Atau kalau-kalau barangkali Bahdar ingin beristirahat tidur saja sepanjang perjalanan. Dan mobil itu dikendarainya dengan sangat hati-hati.

Bahdar menemukan kejutan kedua. Sopir taksi ini ternyata sangat profesional sekali. Dan sangat ramah sekali. Mereka terlibat dalam obrolan santai. Sopir itu menjawab setiap pertanyaan Bahdar dengan baik. Tidak berlebih-lebihan, tidak dengan nada menggurui atau sok tahu tapi hanya dengan keramahan.

Pemandangan di sepanjang jalan sangat memukau. Itulah yang jadi bahasan dalam obrolan mereka. Lebih tepatnya, Bahdar bertanya tentang objek yang dilihatnya dan sopir taksi itu menjelaskan.

Mereka sampai di kota di atas bukit dan langsung menuju ke hotel tempat Bahdar akan menginap. Sopir yang ramah itu bergegas turun membukan pintu mobil untuk Bahdar. Koper kecilnya sudah dikeluarkan petugas hotel. Bahdar mengemasi barang jinjingannya, komputer, in focus dan jaketnya.

Sopir taksi itu mengingatkan untuk memeriksa semua barang-barang agar jangan ada yang tertinggal. Ongkos taksi seperti yang tertera di argometer adalah 185,000 rupiah. Bahdar menyerahkan dua lembar uang kertas seratus dan menyuruh ambil saja kembaliannya.

Kejutan berikutnya. Sopir taksi itupun tidak mau diberi tip. Dia mengembalikan uang kembalian dan minta dengan sesopan mungkin agar Bahdar menerima uang kembaliannya.

‘Waw. Negeri apa ini? Saya ikhlas memberikan kelebihan uang ini untuk bapak. Terimalah!’ pinta Bahdar bersungguh-sungguh.

‘Terima kasih banyak, pak. Saya sudah mendapatkan yang hak saya. Selamat beristirahat, pak,’ kata sopir itu, seperti portir di bandara tadi, meletakkan uang kembalian itu ke tangan Bahdar.

Dimasukinya lobby hotel itu. Dia segera mendapatkan keramahan lain lagi. Keramahan yang tidak dibuat-buat. Dia disuruh memilih kamar, apakah yang menghadap ke pegunungan atau yang menghadap ke sisi kota. Bahdar memilih yang menghadap pegunungan. Proses check in sangat cepat dan dia segera menuju ke kamarnya di tingkat lima. Hotel ini sangat rapih dan bersih. Karyawannya tampak serba ceria dan banyak senyum. Merekapun sopan-sopan.

Bahdar sangat ingin mengetahui reaksi pegawai hotel yang mengantarkan kopernya ke kamar. Orang itu diberinya tip sepuluh ribu rupiah. Masya Allah. Orang inipun menolak.

‘Maaf, pak saya tidak menerima pemberian,’ begitu katanya.

‘Tapi anda sudah menolong membawakan koper saya,’ ujar Bahdar.

‘Itu tugas saya, pak. Itu pekerjaan saya. Saya digaji untuk itu,’ jawabnya sambil tersenyum.

Bahdar ingin berteriak rasanya menanyakan, berapa benar sih gajimu? Tapi tidak sanggup melakukannya. Dia hanya melongo.

Waktu dia sedang di kamar kecil, telepon berdering. Bahdar segera mengangkatnya.

‘Maaf, pak. Ini dari front office. Ada seorang tamu ingin menjumpai bapak, bolehkah saya mengantarkan ke tempat bapak ?’ suara di gagang telepon itu.

‘Tamu saya? Boleh saya tahu nama beliau ?’ tanya Bahdar.

‘Sebentar pak. Akan saya tanyakan.’

Terdengar suara percakapan di seberang sana.

‘Nama beliau pak Syahrul pak. Sopir taksi yang mengantar bapak dari Bandara.’

‘Sopir taksi? Ada apa? Boleh saya berbicara dengan orang itu?’ tanya Bahdar.

Gagang telepon itu diserahkan ke orang itu.

‘Pak. Maaf, pak. Ini hp bapak ketinggalan di taksi saya. Jatuh ke lantai,’ suara sopir taksi itu.

‘Waduh. Sebentar pak, saya periksa di jaket saya,’ jawab Bahdar.

Ternyata benar, hpnya tidak ada di kantong jaket. Berarti hp itu terjatuh ke lantai taksi.

‘Baik, pak Syahrul. Saya akan turun ke bawah,’ ujar Bahdar.

Bahdar segera turun ke lobby. Sopir taksi itu dengan senyum ramah menyerahkan hp itu. Bahdar hanya melongo menerimanya. Dia tidak mengucapkan apa-apa.

‘Saya pamit, pak,’ ujar sopir taksi itu.

Bahdar tersentak. Diulurkannya tangannya menyalami sopir itu.

‘Terima kasih banyak. Terima kasih banyak. Anda benar-benar mengagumkan saya,’ ucapnya setengah kebingungan.

‘Terima kasih kembali pak. Selamat istirahat,’ jawab sopir taksi itu sebelum berlalu.

Mengagumkan, desahnya dalam hati. Orang itu sungguh mengagumkan.

Bahdar menemukan banyak lagi kejutan di kota di atas bukit. Di restoran di tengah kota. Di taksi yang disewanya untuk pergi melihat-lihat ke tempat wisata. Di tempat wisatanya sendiri. Dia menemukan keramahtamahan dan kejujuran dimana-mana.

Penyuluhan yang dilakukannya berjalan dengan sangat baik. Dia malu sebenarnya, karena dalam hal keramahan masyarakat, contoh-contoh dalam makalahnya seolah-olah tidak bermakna. Prilaku masyarakat di Negeri Ini bahkan lebih baik dari contoh dalam makalah itu.

Justru dia yang bertanya dalam seminar itu gerangan apa yang menjadikan masyarakat Negeri Ini sebegitu ramah dan jujur. Jawabannya sungguh mengagumkan Bahdar. Ceramah yang santun dan terus menerus oleh para ulama serta contoh langsung dari para penjabat ditambah dengan tindakan hukum yang bersungguh-sungguh. Semua itu telah merubah prilaku masyarakat Negeri Ini.

Bahdar membawa oleh-oleh yang sangat berharga itu untuk dipersembahkannya kepada orang tuanya. Negeri Ini benar-benar telah berubah.


*****

No comments: