Wednesday, December 19, 2007

SEORANG SOPIR TAKSI

SEORANG SOPIR TAKSI


Sebuah taksi berjalan pelan di belakangku. Begitu aku berbelok kekiri di persimpangan jalan taksi itu ikut berbelok dan terus melaju menuju ke arah mesjid. Suara azan maghrib tengah berkumandang dan terdengar lantang dari pengeras suara di kubah mesjid. Taksi itu berhenti persis di depan mesjid. Dari kejauhan kulihat sopir taksi itu keluar dari taksinya. Tangannya memegang kopiah beledru hitam. Aku yang masih beberapa puluh langkah lagi dari pagar mesjid dapat melihat sosok sopir yang kurus tinggi itu. Dalam hati aku bergumam, ‘wah, seorang sopir yang saleh rupanya, alhamdulillah.’

Waktu melihat kebarisan saf yang sudah tersusun rapi, mataku bersirobok dengan mata pengemudi taksi kurus tinggi tadi. Dia berada di saf yang pertama. Pandangan matanya tajam. Guratan wajahnya terlihat keras. Aku hanya sepintas melihatnya sebelum pandangan mataku menyapu segenap jamaah yang saat itu sudah siap memulai shalat. Kamipun shalat. Seselesai shalat, seperti biasa aku memutar dudukku menghadap serong ke belakang ke arah kanan. Kami larut di dalam kesyahduan dan keheningan zikir.

Dalam keheningan itu aku dikejutkan oleh zikirnya yang mendengus, lirih dengan bunyi lah…lah…lah… beraturan. Sepertinya dia berusaha menahan suara itu tapi tetap saja ujung lah…lah…lah… berhamburan keluar disetiap tarikan nafasnya. Matanya terpejam dan kepalanya berayun-ayun mengiringi desisan suara lirih itu. Beberapa puluh detik aku sempat memperhatikannya sebelum istighfar, memejamkan mata pula, aku mencoba menghindar darinya untuk meneruskan kesunyian zikirku. Kemudian aku tutup rangkaian zikir itu dengan shalat sunah ba’diyah.

Waktu aku mengakhiri shalat dengan tolehan salam ke kiri, laki-laki sopir taksi itu sudah duduk persis di belakangku, sudah lebih dahulu selesai shalat agaknya. Diulurkannya tangannya kepadaku diiringi ucapan salam yang lengkap, ‘assalamu’alaikum warahmatullahi wabaratuh’. Akupun menjawab utuh.

‘Khusyuk benar rasanya saya shalat di sini. Mesjid apa namanya ini pak haji?’ katanya memulai percakapan.

‘Alhamdulillah kalau begitu. Mesjid Al Husna. Sampeyan sopir taksi yang di depan mesjid itu bukan?’ saya bertanya berbasa-basi.

‘Benar. Nama saya Ali Masykur. Rupanya pak haji mengenali setiap jamaah mesjid ini dan tahu kalau ada pendatang baru.’ ungkapnya dengan dialek Jawa Timur.

‘Bukan begitu. Kebetulan saya melihat taksi sampeyan berjalan perlahan di belakang saya sebelum berbelok ke arah mesjid ini tadi.’

‘Oh iya, saya ingat tadi mengikuti pak haji. Saya sedang mencari-cari dari arah mana datangnya suara azan. Begitu saya melihat menara mesjid saya langsung bergegas dan tidak ingat mengajak pak haji bersama-sama. Maafkan saya.’

‘Tidak apa-apa. Jadi tiap hari membawa taksi?’ saya coba mengalihkan pembicaraan.

‘Berganti hari. Sehari jalan, sehari istirahat.’ jawabnya.

‘Tapi ngomong-ngomong ini mesjid Muhammadiyah rupanya?’

‘Bukan. Kenapa agaknya?’ saya tanya setengah menyelidik.

‘Masak sih bukan mesjid Muhammadiyah? Dari cara shalatnya, dari cara zikirnya, dari suasana mesjidnya saya yakin ini mesjid Muhammadiyah.’

‘Baiklah, coba jelaskan bagaimana ciri mesjid Muhammadiyah dan bagaimana pula ciri mesjid yang bukan Muhammadiyah? Karena ini bukan mesjid Muhammadiyah, mesjid apa lagi kira-kira menurut dugaan sampeyan?’

‘Saya terlahir dari lingkungan NU. Orang tua saya, orang sekampung saya semua orang NU. Di mesjid kalangan NU sesudah azan biasanya ada alunan salawat badar, imamnya biasanya pakai sorban dan berbaju gamis. Sesudah shalat biasanya kami zikir beramai-ramai. Sesudah itu kami bersalawat nabi sambil bersalam-salaman sebelum mengerjakan shalat sunat. Sedang di sini tidak demikian. Dan biasanya yang tidak melakukan demikian hanya di lingkungan orang Muhammadiyah, yang kononnya selalu bersu’uzhon bahwa orang NU terlalu banyak bid’ah. Apakah mesjid ini benar-benar bukan mesjid Muhammadiyah?’ tanyanya lagi.

‘Bukan. Mesjid ini bukan mesjid Muhammadiyah dan bukan mesjid NU. Mesjid ini mesjid umat Islam. Di mesjid ini kami tidak pernah mempercakapkan Muhammadiyah atau NU, kami berusaha hanya mempercakapkan Islam tanpa ada sekat-sekat.’

‘Wah! Cerita baru bagi saya. Bagaimana dengan amalan-amalan sehari-hari seperti zikir dan sebangsanya? Apakah juga hanya berdasarkan Islam tanpa sekat-sekat itu tadi?’

‘Betul sekali. Cukup hanya berdasarkan Islam. Lagi pula bukankah yang sampeyan maksudkan tadi hanya menyangkut ibadah-ibadah sunah? Apakah shalat tadi misalnya berbeda dengan shalat yang sampeyan kenal atau sampeyan lakukan? Apakah bacaan al fatihahnya berbeda dengan yang sampeyan kenal? Mudah-mudahan tidak berbeda bukan? Islam tidak pernah membagi diri menjadi NU dan Muhammadiyah. Di mesjid ini kami bersama-sama membaca-baca kitab hadits baik sahih Bukhari, Muslim, Abu Daud dan sebagainya. Yang menyangkut amalan sehari-hari, apa-apa yang kami baca, dan kami yakini kesahihannya atau bisa pula setelah kami bertanya kepada para ustad, kami coba mengamalkan. Kalau memang tidak ada tuntunan suatu amalan tersebut kami tidak mau melakukan.’

‘Kalau tidak salah itu juga yang dikatakan oleh orang-orang Muhammadiyah. Itu juga yang dijadikan alasan oleh mereka untuk mengatakan orang NU sering mengada-adakan amalan yang tidak ada tuntunannya. Bukankah itu berarti bahwa di mesjid ini lebih diterima faham Muhammadiyah?’

‘Sekali lagi tidak. Kalau orang Muhammadiyah mengatakan demikian tidak ada sangkut pautnya dengan kami di mesjid ini. Kami berusaha menjadi orang Islam, mengikuti al Quran dan hadits Rasulullah SAW. Itu saja. Tahukah sampeyan bahwa NU dan Muhammadiyah itu hanya ada di negeri kita ini saja sementara Islam ada di seluruh bagian bumi? Apakah sampeyan akan menuduh imam shalat di masjidil Haram orang Muhammadiyah pula karena di sana juga tidak ada zikir bersama-sama, tidak ada salawat badar? Coba bayangkan kalau sesudah zikir semua orang harus bersalam-salaman pula seperti yang saudara katakan tadi, belum selesai semua orang disalami sudah masuk lagi waktu shalat, bisa jadi urusan semua orang nantinya hanya shalat dan bersalam-salaman saja.’

‘Benar juga yang pak haji katakan. Tapi apakah pak haji terganggu dengan cara zikir saya tadi?’

‘Mulanya saya terganggu. Artinya saya tertarik untuk memperhatikan sampeyan. Tapi tidak lama, setelah itu saya sudah larut lagi dengan diri saya sendiri.’

‘Apakah jamaah disini kira-kira terganggu?’

‘Saya tidak tahu. Tapi paling tidak tentu sampeyan merasa seolah-olah begitu karena cara sampeyan kebetulan agak berbeda dengan jamaah di sini. Tapi bukankah tidak ada yang menegor sampeyan?’

‘Tidak ada yang menegor tapi saya telah tampil berbeda. Tentu akan jadi omongan jamaah lain.’

‘Tidak perlu pula sampeyan pikirkan.’

‘Bagaimana sebenarnya pandangan pak haji tentang NU dan Muhammadiyah di negeri kita ini? Apakah itu merupakan suatu kekeliruan?’

‘Wah! Sampeyan jangan terlalu cepat menafsirkan kemungkinan pendapat orang lain. Saya tidak pernah mengatakan NU dan Muhammadiyah itu merupakan suatu kekeliruan. Berkumpul dalam suatu wadah organisasi dengan nama apapun tentu tidak ada salahnya. Mau bergabung dengan NU atau Muhammadiyah sebagai suatu induk organisasi massa Islam silahkan saja. Apalagi kalau tujuannya untuk kemashlahatan umat, untuk mendidik umat dengan pesantren-pesantren, dengan madrasah-madrasah, dengan sekolah-sekolah bahkan sampai ke perguruan tinggi. Semuanya itu bagus sekali. Yang kurang elok adalah kalau sesudah itu yang lebih ditonjolkan adalah organisasinya ketimbang Islamnya. Lalu saling merasa organisasinya yang serba lebih. Lalu saling jelek menjelekkan. Cara seperti ini tentu bukan cara-cara Islam.’

‘Benar. Benar sekali yang pak haji katakan. Saya setuju. Setuju sekali. Baiklah. Apakah saya boleh sering-sering menumpang shalat di mesjid ini? Kalau pas kebetulan liwat dekat-dekat sini?’

‘Masya Allah! Tidak ada istilah menumpang shalat di mesjid. Mesjid itu tempat shalat. Mesjid yang manapun. Janganlah sampeyan merasa bahwa mesjid itu bersekat-sekat, ada mesjid kelompok ini, kelompok itu.’

‘Benar pak haji. Pak haji benar sekali. Saya yang salah melulu. Saya mohon maaf.’

Perbincangan kami berakhir saat dikumandangkan azan shalat Isya.



*****

No comments: