Thursday, December 25, 2008

SANG AMANAH (106)

(106)


Malam ini keluarga pak Umar menunggu cerita. Mereka semua tahu, pasti pak Umar akan menceritakan keadaan terakhir Suwagito. Kemarin mereka telah mendengar semua kejadian itu, mengenai kecelakaan yang menimpa Suwagito. Sampai dia dibawa ke rumah sakit Harmoni lalu ke rumah sakit Keluarga Sejahtera Jatinegara, yang minta uang jaminan empat juta rupiah, yang oleh ayah diminta tangguhkan sampai pagi ini. Mereka semua ikhlas uang tabungan mereka digunakan untuk membayar uang jaminan itu. Dan tadi pagi masalah uang jaminan itu harusnya sudah teratasi.

Malam ini sesudah makan malam, sekitar jam delapan malam, pak Umar menceritakan apa saja kejadian hari itu. Mula-mula semua kejadiaan yang menyangkut keadaan Suwagito. Sampai sore hari ini anak itu sudah kembali sadar sesudah siang tadi dia menjalani operasi di kepalanya.

Lalu pak Umar menceritakan dengan rinci tentang hadiah undian film foto berwarna, yang tadi pagi diceritakan pak Hardjono.

‘Sekarang ayah bertanya, bagaimana menurut pendapat ibu, menurut pendapat kalian tentang hadiah itu?’ tanya pak Umar.

‘Saya mau menjawab duluan,’ ujar Fauziah.

‘Bagaimana menurut kamu Puteri Kecil?’ tanya pak Umar.

‘Menurut saya ini merupakan sebuah ujian yang jawabannya sebenarnya sangat mudah. Hadiah itu bukan milik ayah, tapi karena tertulis atas nama ayah, maka ayahlah yang paling berhak menentukan untuk apa mobil itu atau uangnya akan digunakan jika mobil itu dijual.’

‘Atau apakah hadiah itu seharusnya menjadi milik Arif Budiman?’

‘Kalau dia mau memang dia yang lebih berhak, karena dia yang mengisi kupon undian itu meskipun dia menuliskan nama ayah,’ jawab Faisal.

‘Tapi menurut pak Hardjono dia tidak mau,’ ujar pak Umar pula.

‘Kalau menurut pendapat saya, ayah perlu menanyakan kepadanya langsung. Kalau dia ingin memilikinya, maka memang dia lebih berhak. Kalau dia bilang ayah yang lebih berhak memilikinya, saya setuju dengan adikku yang cantik ini, ayah gunakan untuk apa saja yang bermanfaat. Biaya perawatan mas Suwagito bisa diambil dari sana. Dan ayah serahkan sebahagian kepada mas Arif itu, sejumlah yang kira-kira patut,’ kali ini giliran Amir menyampaikan pendapatnya.

‘Bagaimana dengan sisanya? Karena pasti masih ada sisanya,’ kata pak Umar pula.

‘Ayah serahkan ke mesjid. Atau buat anak yatim,’ usul Faisal.

‘Kalau saya berpendapat ayah serahkan saja untuk sekolah,’ usul Amir.

‘Kenapa?’ tanya Faisal.

‘Karena uang itu berupa hadiah undian. Asal mulanya dari pembayaran foto-foto sekolah. Jadi yang lebih berhak menggunakannya adalah sekolah SMU 369,’ jawab Amir.

‘Benar ayah. Bang Amir benar. Saya sependapat dengan bang Amir,’ ujar Fauziah.

‘Bagaimana menurut kamu Sal?’ tanya ayah kembali.

‘Ya, benar. Saya setuju itu cara yang terbaik,’ jawab Faisal.

‘Tapi ibu kalian tidak memberikan pendapatnya,’ ujar pak Umar.

‘Ibu masih belum terlalu yakin dengan hadiah itu. Apakah hal itu sungguh-sungguh atau jangan-jangan hanya akal-akalan pengusaha. Kalau betulan, ayah harus menebusnya 20% dari harga mobil Kijang itu. Dari mana uangnya? Atau, apa mungkin diambil uangnya saja?’ tanya ibu.

‘Benar juga yang dikatakan ibu. Ayah akan memastikan benar-benar terlebih dahulu hadiah itu. Tadi pak Hardjono berjanji akan menemani ayah untuk melihatnya langsung besok siang. Kalau hadiah itu benar-benar ada, baru kita cari pembelinya,’ jawab ayah.

‘Jadi kesimpulannya, ayah akan memastikan dulu keberadaan hadiah itu, iya kan? Dan kalau memang ada hadiah itu akan dijual. Uangnya seperti yang diusulkan Amir sebagian untuk biaya rumah sakit mas Suwagito, sebagian untuk mas Arif dan sisanya untuk kas sekolah SMU 369. Begitu ayah?’ Faisal mencoba menyimpulkan.

‘Ya, ayah rasa begitu,’ jawab ayah mengakhiri ‘rapat keluarga’ malam itu.


*****

Ternyata hadiah itu benar-benar ada. Hari Jumat siang pak Umar dan pak Hardjono mendatangi kantor produser film foto berwarna penyelenggara undian berhadiah itu. Dua buah mobil Toyota Kijang terpajang di kantor itu. Yang satu akan segera diambil pemenangnya. Orangnya sedang mengurus pembayaran pajak undian sebesar 20% dari harga mobil. 20% itu adalah tiga puluh juta rupiah. Harga mobil itu seratus lima puluh juta rupiah, sesuai dengan daftar harga mobil. Pegawai kantor perusahaan itu menawarkan seandainya pak Umar mau menjual mobil hadiah itu, dia bisa menerima langsung seratus dua puluh juta rupiah dikurangi komisi dua persen. Tapi pak Hardjono menganjurkan untuk berfikir dulu sambil mencari calon pembeli yang lain. Pak Umar setuju dengan usulan pak Hardjono itu. Akhirnya mereka meninggalkan kantor itu dan berjanji akan kembali lagi.

Keesokan harinya, pak Umar memanggil Arif Rahman murid kelas tiga IPA dua ke kantornya, pada saat istirahat pertama. Pak Umar menjelaskan tentang hadiah dari undian itu dan menanyakan pendapat Arif. Anak itu tidak sedikitpun ragu mengatakan bahwa hadiah itu adalah milik pak Umar dan bukan miliknya.

‘Bukankah kamu yang mengisi kupon undian itu?’ tanya pak Umar.

‘Waktu itu saya tidak berfikir macam-macam pak. Saya mengisi kupon itu sambil bercanda. Saya tidak yakin kupon berhadiah itu sungguhan,’ jawab Arif polos.

‘Justru itu, ternyata sekarang hadiah itu sungguhan. Dan hadiah itu mestinya milik kamu,’ lanjut pak Umar.

‘Tidak pak. Hadiah itu milik bapak. Tangan saya digerakkan Allah menulis nama bapak. Dan Allah juga yang membiarkan nama bapak terpilih sebagai pemenang,’ jawab Arif.

‘Bagaimana pendapatmu kalau hadiah itu kita bagi dua?’ tanya pak Umar seterusnya.

‘Tidak pak. Itu bukan hak saya,’ jawab Arif mantap.

‘Kamu tahu jumlahnya? Seratus dua puluh juta rupiah. Dan uang itu kamu ambil separuhnya,’ tambah pak Umar.

‘Tidak pak. Uang sebanyak itu bukan hak saya. Uang itu milik bapak. Seutuhnya.’

‘Kamu yakin?’ tanya pak Umar.

‘Sangat yakin pak,’ jawab Arif.

‘Kalau kamu benar-benar yakin, dengarkan apa yang akan saya lakukan dengan uang itu. Yang pertama, saya akan gunakan untuk biaya perawatan Suwagito. Jumlahnya sekitar lima belas juta rupiah. Dua puluh lima juta rupiah akan saya masukkan ke tabungan Bank Muamalat atas nama kamu. Mudah-mudahan uang itu dapat kamu gunakan untuk masuk perguruan tinggi tahun depan. Sisanya akan saya masukkan ke tabungan atas nama SMU 369 yang akan digunakan untuk keperluan apa saja oleh sekolah ini nantinya. Nah, bagaimana pendapat kamu?’ tanya pak Umar.

‘Bapak tidak akan mengambilnya sedikitpun untuk bapak?’ tanya Arif heran.

‘Saya akan mengambilnya sesudah mobil hadiah itu terjual lalu membagi-bagikannya seperti yang saya katakan,’ jawab pak Umar.

‘Tapi bapak tidak mengambil sedikitpun untuk bapak sendiri?,’ Arif mengulangi kata-katanya dengan suara pelan.

‘Dengar Arif. Bapak tidak memerlukan uang hadiah itu. Ada yang lebih memerlukannya. Seperti Suwagito, seperti kamu jika kamu mau masuk perguruan tinggi tahun depan. Dan sisanya, masih akan ada sisanya, akan saya gunakan untuk keperluan lain di sekolah ini,’ jawab pak Umar.

‘Kalau begitu, saya rasa, yang bapak katakan untuk saya, tidak usah jugalah pak. Biarlah nanti saja dipikirkan bagaimana caranya saya melanjutkan sekolah,’ ujar Arif.

‘Dengarkan Arif. Saya tetap akan membuat tabungan atas nama kamu, tapi biarlah saya simpan saja di sekolah. Seandainya kamu nanti memerlukannya, boleh kamu gunakan. Kalau kamu tetap merasa tidak mau menggunakan untuk keperluan pribadi kamu, terserah mau kamu apakan. Jadi sementara ini untuk kamu ketahui saja bahwa ada tabungan atas nama kamu saya simpan. Siapa tahu, nyawa manusia di tangan Allah, seandainya saya sudah tidak ada, kamu tahu bahwa uang itu disimpan sebagian atas nama kamu. Di kantor kepala sekolah,’ ujar pak Umar.

Arif terdiam. Dalam hatinya dia bertanya-tanya. Kok pak Umar berbicara seperti itu? Apa maksud pak Umar mengatakan kalau dia sudah tidak ada? Kenapa pak Umar memaksakan sekali untuk membuat tabungan atas namanya? Tapi dia tidak mau lagi berkomentar lebih jauh. Biarlah terserah pak Umar saja. Arif diam saja membisu. Sampai pak Umar mengagetkannya.

‘Sudah, ya Arif? Jadi saya akan lakukan seperti itu saja. Kalau kamu tidak ada lagi pertanyaan, kamu boleh keluar sekarang. Tapi…….Oh, ya. Apakah kamu sudah pernah melihat Suwagito sejak dia selesai dioperasi?’ tanya pak Umar pula.

‘Sudah pak. Saya pergi melihatnya kemarin sore dengan Hardi,’ jawab Arif.

‘Dia menanyakan buku-bukunya kepada kamu?’

‘Betul pak. Dan buku-bukunya memang saya simpan,’ jawab Arif lagi.

‘Baiklah kalau begitu,’ ujar pak Umar.

‘Saya permisi pak,’ Arif minta izin untuk keluar.

‘Baik Arif ,’ kata pak Umar.


*****

Mobil hadiah itu akhirnya dibeli oleh saudara sepupu pak Hardjono. Uang harga mobil itu dikirimkan ke tabungan atas nama kepala sekolah SMU 369 di Bank Muamalat, sesuai permintaan pak Umar. Seratus dua puluh juta rupiah. Pembayaran dilakukan dengan cara transfer uang dan dilaksanakan hari Senin. Uang itu baru akan masuk di buku tabungan kepala sekolah itu hari Selasa berikutnya.

Hari Selasa itu Suwagito diizinkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah hampir pulih. Sudah tidak ada terasa pusing-pusing lagi. Biaya perawatan berikut operasi di rumah sakit itu berjumlah tiga belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Berarti masih kekurangan sembilan juta lebih lagi. Seperti ketika kemarin dia menerima kiriman uang melalui transfer, langsung masuk ke buku tabungan, pak Umar minta izin kepada bagian pembayaran rumah sakit untuk melunasi biaya perawatan Suwagito dengan cara transfer itu pula. Pihak rumah sakit menyetujuinya.

Direktur rumah sakit itu heran waktu pak Umar mengatakan bahwa dia akan segera melunasi biaya perawatan Suwagito. Dapat uang dari mana begitu cepatnya? Pak Umar menceritakan secara sepintas dari mana dia mendapat uang. Direktur rumah sakit itu bertambah heran mendengar cerita itu.

‘Jadi semua biaya ini bapak yang akan membayar?’ tanya pak direktur itu.

‘Ya. Saya yang membayar. Dengan uang hadiah undian itu,’ jawab pak Umar.

Setelah itu pak Umar memberi tahu pak Slamet bahwa biaya rumah sakit Suwagito tidak perlu dipikirkan. Jadi pak Slamet tidak perlu sampai menjual rumah. Giliran pak Slamet yang lebih bingung lagi waktu mendengar bahwa biaya perawatan itu ada yang membayarkan. Siapa agaknya? Terus bagaimana dia harus membayar orang itu kembali? Tapi pak Umar mengatakan bahwa biaya itu sudah dilunasi bukan untuk dibayar kembali. Pak Slamet tidak perlu menjual rumahnya. Lha, kok ya bisa? Bisa ada orang yang mau membayarkan begitu saja. Biaya sebesar itu. Siapa orangnya?

Tapi pak Umar menasihati agar hal itu tidak usah dipikirkan. Bersyukur kepada Allah, itu yang lebih utama. Pak Slamet mengangguk sendu. Dalam rasa syukur yang dalam. Dalam tanda tanya besar. Siapa agaknya yang sudah bermurah hati?

*****

No comments: