Sunday, January 20, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (17)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (17)

17. RIAK- RIAK KECIL

Aku minta tolong Desi membuatkan teh. Dia segera pergi ke dapur. Aku duduk sendiri, sambil termangu membayangkan cerita Marwan. Menarik sekali pengalaman hidupnya, yang ternyata sangat berbeda dengan kehidupannya sekarang. Desi kembali membawa teko teh dan kue-kue. Marwan masih belum keluar dari kamar mandi.

‘Kemana da Marwan?’ tanya Desi.

‘Ngga tahu. Dia masih di kamar mandi.’

‘Capek dia barangkali bercerita, da. Panjang sekali ceritanya.’

‘Ya, sangat menarik pengalaman hidupnya.’

Marwan muncul dari kamar mandi, sambil menyeka mukanya dengan sapu tangan. Matanya agak merah.

‘Kenapa kau? Kenapa matamu merah?’ tanyaku.

‘Ah, nggak apa-apa.’

‘Kecapekan? Kau mau minum kopi?’

‘Nggak. Nggak usah. Aku nggak capek. Mungkin aku agak terbawa emosi.’

‘Wah! Kau terkenang Rosita? Kau masih belum bisa melupakannya?’

Marwan tersenyum. Senyum agak kecut. Aku yakin ceritanya ini mengungkit lagi semua kenangan indah cintanya dengan Rosita. Tapi aku juga yakin dia perlu melepaskan semua cerita panjang yang selama ini menyekat di dadanya.

‘Indah dan mengharukan sekali ceritamu tadi. Apakah waktu itu kalian tidak terpikir untuk mendapatkan bayi tabung?’ tanyaku.

‘Terpikir. Kami pernah berkonsultasi dengan dokter. Kami diberitahu bahwa bayi tabung di luar negeri ketika itu masih dalam fasa percobaan. Ada resiko cacad kepada bayi. Jadi, seandainya sudah adapun kami tidak berani mengambil resiko itu,’ jawab Marwan.

‘Maaf pertanyaan saya agak bodoh. Tidak pernah dicoba minta pertolongan ‘orang pintar’?’ tanya Desi.

‘Sejujurnya, kami sama-sama tidak percaya dengan orang pintar. Tapi pernah juga suatu kali kami hampir berurusan dengan seorang dukun atau orang pintar itu. Kami dikenalkan oleh famili suami eteknya Ita yang tinggal di Cempaka Putih. Famili itu sengaja membawa orang pintar, seorang ibu-ibu, ke rumah etek, ketika kami sedang berada disana. Kami dikenalkan kepada ibu itu. Dia bilang dia berpengalaman mengobati wanita yang sulit dapat anak. Ita bertanya bagaimana cara pengobatannya, karena tentu tidak enak kalau langsung mengatakan tidak berminat. Kata ibu itu dengan cara diurut. Bagian perut harus diurut. Tapi tidak boleh kalau sedang haid. Ita pura-pura saja mengatakan bahwa dia saat itu sedang tidak shalat, dan biar dipikir-pikir dulu. Kami tidak pernah menghubungi orang itu lagi.’

‘Kenapa da Marwan tidak percaya?’

‘Kenapa ya? Susah juga saya menjelaskannya. Tapi kenyataannya begitu. Ita tidak percaya, mungkin karena didikan ayahnya yang dokter. Dan saya juga tidak percaya dengan dukun. Memangnya kamu juga mengenal orang yang berhasil ditolong orang pintar untuk mendapat keturunan?’ Marwan balik bertanya.

‘Saya tidak mendengar dari yang bersangkutan langsung. Tapi saya pernah diceritakan ada orang yang berhasil dapat anak sesudah datang ke orang pintar. Ceritanya si Dewi temannya Ratna itu lho, da. Uda kenal Dewi ‘kan? Si Ratna yang bercerita. Katanya Dewi itu baru dapat anak sesudah 7 tahun menikah dan sesudah mendapat pertolongan orang pintar.’

‘Oh ya? Uda nggak pernah dengar cerita itu? Memangnya dengan cara apa orang pintar itu mengobati atau menolong si Dewi?’ giliranku bertanya.

‘Itu entahlah. Saya hanya mendengar cerita dari Ratna, bukan dari Dewi. Tapi kelihatan ‘kan? Dewi sudah berumur sementara anak-anaknya masih kecil-kecil,’ Desi menambah keterangan.

‘Nggak tahu juga itu. Entah bagaimana membuktikannya secara ilmiah,’ kataku.

‘Akupun ada mendengar cerita seperti itu. Termasuk cerita famili etek di Cempaka Putih itu. Tapi kami kok ya tidak yakin,’ Marwan menambahkan.

‘Tapi ngomong-ngomong, adakah pengaruhnya pada hubungan kalian karena belum kunjung punya anak itu? Maksudku, apakah misalnya, timbul kekhawatiran istrimu bahwa kau akan meninggalkannya?’

‘Aku yakin tidak ada kekhawatiran seperti itu. Paling tidak, dia tidak pernah mengungkapkannya. Meskipun ada perubahan-perubahan kecil dalam kehidupan kami. Kami yang sebelumnya hampir tidak pernah bertengkar, pada tahun ke empat pernikahan, mulai sering berdebat untuk hal-hal kecil dan kadang-kadang meningkat kepada pertengkaran. Pertengkaran yang biasanya berakhir dengan Ita menangis. Aku selalu berusaha mengalah kalau sudah terjadi yang seperti itu, aku minta maaf kepadanya. Dan kami berbaikan lagi. Jadi mesra lagi. Tapi beberapa hari kemudian kami terlibat dalam kejadian yang mirip seperti itu lagi. Ita jadi lebih sensitif. Aku bisa memahami keadaan jiwanya. Repotnya sesuatu yang tadinya diniatkan untuk kegembiraan, misalnya ketika kami berencana untuk pergi libur ke luar kota, muncul kejadian-kejadian yang menimbulkan emosi Ita, dan kami bertengkar lagi. Tapi selalu aku mengalah kalau sudah demikian.

Pada suatu waktu aku dikirim perusahaan untuk training ke Dallas selama 3 bulan. Sebelum itu aku pernah beberapa kali dikirim untuk seminar di Singapura selama seminggu. Ke Singapura aku selalu mengajak Ita. Waktu aku akan pergi ke Dallas tentu tidak mungkin dia ikut karena dia bekerja. Bagaimana mungkin mau mengambil cuti selama tiga bulan. Aku menyuruh dia menyusul kesana seminggu sebelum training itu selesai. Ita bersikukuh ingin ikut. Aku tanya bagaimana dengan pekerjaan? Dia bilang, masa bodoh dengan pekerjaan, pokoknya dia harus ikut. Dia tidak mau ditinggal selama itu.

Aku berusaha untuk meyakinkannya, bahwa sebaiknya dia menyusul saja nanti sebelum aku pulang. Akan sangat sayang kalau dia berhenti bekerja gara-gara itu. Dia marah besar. Belum pernah dia marah seperti itu. Kami bertengkar agak berat ketika itu. Meskipun sesudah pertengkaran itu aku berusaha minta maaf, masalah utamanya tetap belum terselesaikan. Dia kepingin ikut. Aku jadi sangat kebingungan. Sayang juga kalau aku menolak ikut training itu, meski kemungkinan itu sudah aku pikirkan.

Hubungan kami, seperti yang kau tanyakan, agak kaku untuk beberapa hari. Kami sama-sama hemat bicara. Padahal waktu untuk berangkat sudah semakin dekat. Dua minggu sebelum waktu berangkat aku mengajak Ita membicarakan hal itu lagi. Dia masih belum berubah. Kalau aku pergi dia harus ikut. Bahkan ditunjukkannya visa USA yang sudah diurusnya sendiri. Aku tanya, apakah dia sudah siap untuk berhenti bekerja? Dia bilang siap. Aku bilang, kalau kamu sudah yakin, baik kita berangkat bersama-sama. Aku hubungi biro perjalanan yang mengurus tiketku untuk memesan tempat untuknya.

Pada hari yang sama mamanya datang. Pertama karena ada urusan dengan etek yang di Cempaka Putih. Mereka akan pulang kampung berdua. Dan yang kedua, sekembalinya dari kampung mamanya akan menemani Ita di rumah selama kepergianku. Aku memang sudah memberi tahu rencana kepergian ke Dallas kepada mertuaku itu jauh hari sebelumnya.

Ita memberi tahu mamanya bahwa dia akan ikut denganku. Mamanya bingung, kok tiba-tiba yang akan pergi berdua? Bukankah Ita bekerja? Bagaimana dengan pekerjaan? Ita tiba-tiba saja menangis, mengadu bahwa dia tidak mau ditinggal sendiri selama itu. Aku tidak tahu bagaimana pembicaraan antara ibu dan anak itu, tapi tiba-tiba Ita berubah jadi lunak. Dia mengijinkan aku pergi sendiri dan dia akan menyusul nanti.’

‘Akhirnya kau pergi sendiri?’ tanyaku

‘Ya aku berangkat sendiri. Tidak ada masalah. Ita baik-baik saja dan membiarkan aku pergi. Ita, mamanya, etek dan pak eteknya mengantarku ke Halim waktu itu.

Seperti rencanaku sebelumnya, Ita menyusul kesana beberapa hari sebelum training selesai. Kami sama-sama rindu. Belum pernah kami berpisah selama itu. Sebelum pulang kami pergi berjalan-jalan di Amerika.

Sampai di Jakarta kami kembali lagi berada dalam rutinitas kerja. Belum sampai sebulan sejak aku pulang, aku berangkat lagi ke lapangan di Irian. Kali ini untuk jangka waktu sebulan. Untuk menemani Ita, aku minta ibuku datang dari kampung. Ita setuju-setuju saja.

Aku berangkat ke Irian. Bekerja dengan ilmu yang baru dapat selama training yang baru kujalani.

Waktu itu aku bertemu dengan orang sekampungku. Indra namanya. Dia karyawan lapangan. Seorang ahli perminyakan lulusan AKAMIGAS Cepu. Rupanya dia sudah bergabung dengan perusahaan ini sejak hampir setahun. Sebagai karyawan lapangan dia bekerja dua minggu dan istirahat seminggu. Itu sebabnya aku belum pernah bertemu dengannya disini. Indra ini adik kelas kita dulu di SMP.

Senang sekali berjumpa dengan orang sekampung di lokasi kerja seperti itu. Kami biasa berbincang-bincang setiap bertemu di ruang makan. Sesudah makan malam biasanya kami masih bertahan sampai agak larut malam di messhall, bercerita ke hilir ke mudik. Biasanya bergabung dengan teman-teman yang lain. Kami baru masuk kamar kalau benar-benar sudah mengantuk.

Suatu malam kami tinggal berdua saja. Dia bercerita tentang keadaan di kampung kami. Tentang keluarga dan sanak famili di kampung. Rupanya dia sering pulang dan selalu mengikuti perkembangan di kampung. Cerita seperti itu sangat menarik bagiku. Kami berbincang tentang sumbangan apa yang dapat kita lakukan untuk perbaikan kampung dan masyarakatnya.

Tapi lama kelamaan ceritanya mulai agak melantur. Aku pikir dia mungkin sudah kecapekan. Katanya, da Marwan tahu tidak, kami sepesukuan terus terang iri kepada ayah da Marwan. Waktu itu, ayah da Marwan hanya ditahan dua tahun dan sesudah itu dilepas, sementara inyiak kami, penghulu kami hilang dibunuh orang tidak tahu dimana rimbanya.

Wah, itukan sudah cerita lama. Cerita tentang orang-orang tua kita yang tidak perlu dibahas lagi, kataku. Aku memang sangat tidak suka mendengar pengalaman buruk ayahku gara-gara partai itu.

Katanya pula, betul cerita lama. Tapi bagi kami cerita itu belum selesai. Datuk kami, penghulu kami belum kami temukan. Kalau beliau sudah meninggal dimana kuburnya. Kalau beliau hilang dimana rimbanya.

Aku berusaha menghiburnya. Buat apa kita kenang lagi cerita itu yang tidak mungkin akan dapat kita perbaiki keadaannya. Yang meninggal tidak akan mungkin hidup lagi. Lebih baik kita bantu saja dengan doa, agar kekeliruan orang-orang tua kita itu diampuni Allah.

Katanya pula, kalau urusan doa ialah. Tapi urusan malu? Bagaimana kami menebus dan menutup malu?

Terus terang aku bingung juga menghadapi si Indra ini dengan ceritanya. Dan aku sedikitpun tidak tahu apa maunya.

Sebelum kami menutup cerita pada malam itu masih sempat dia bertanya setengah menyelidik yang aku tidak juga mengerti apa maksudnya. Katanya, kok da Marwan bisa ya bekerja di perusahaan ini ? Apa da Marwan tidak di screening Pertamina.

Memangnya kenapa, aku tanya. Da Marwan kan tidak bersih lingkungan. Apa da Marwan berbohong ketika di screening, dia bertanya lagi. Aku menatap matanya dalam-dalam. Apa maunya orang ini, tanyaku dalam hati. Akhirnya aku katakan, sudahlah Indra, cerita ini kurang menarik bagiku untuk diteruskan. Kita berhenti sampai disini saja. Aku meninggalkannya dan pergi tidur.

Besok-besoknya aku malas untuk duduk dekatnya. Aku malas dia akan mengungkit cerita yang bagiku sangat tidak perlu untuk dibahas itu. Masih sekitar seminggu lagi sebelum aku kembali ke Jakarta. Aku tetap tidak mau banyak bercerita dengan si Indra ini lagi. Dalam hatiku ada juga sedikit kekhawatiran, kalau-kalau dia sengaja bercerita tentang aku, tentang ayahku kepada orang-orang di lapangan. Seandainya dia lakukan mungkin akan menimbulkan masalah juga suatu saat kepadaku. Tapi sudahlah, apa pula gunanya hal itu aku pikirkan. Aku berusaha untuk melupakannya saja. Aku berprasangka baik saja bahwa Indra tidaklah akan sampai menyusahkanku.

Aku kembali ke Jakarta sesudah tugasku selesai.


*****

No comments: