Thursday, October 9, 2008

SANG AMANAH (9)

(9)

‘Saya barusan ke rumah sakit Harmoni ingin melihat anak pak Umar. Rupanya sudah dibawa pulang. Jadi bagaimana keadaannya?’

‘Ternyata tidak terlalu mengkhawatirkan pak. Lukanya hanya memerlukan jahitan dan setelah itu sudah boleh langsung pulang. Tadi saya antar dulu sebelum saya kembali ke sekolah. Perlu istirahat dulu. Mungkin karena banyak darah keluar dia tadi merasa pusing.’

‘Pak Umar tinggal dimana sih? Kalau saya tahu alamatnya pasti saya barusan langsung ke sana.’

‘Saya tinggal di Perumnas Jatiwangi pak.’

‘Ya, syukurlah kalau ternyata tidak mengkhawatirkan keadaan anaknya. Anak ke berapa itu dan siapa namanya pak Umar?’

‘Anak saya nomor dua. Namanya Amir. Baru kelas satu SMP.’

‘Kakaknya sekolah dimana?’

‘Kakaknya Faisal juga sekolah di SMP yang sama di kelas tiga. Tadi pagi seperti biasa berangkat ke sekolah sama-sama. Sampai di sekolah ingin membeli buku tulis di warung di depan sekolah. Turun dari angkot, mau menyeberang rupanya tidak melihat dulu kiri kanan. Rupanya ada sepeda motor. Pengendaranya tidak menyangka ada orang menyeberang dari belakang angkot yang sedang berhenti itu. Lalu terjadi kecelakaan itu.’

‘Pengendara sepeda motornya bagaimana?’

‘Ya, alhamdullah dia tidak apa-apa. Amir jatuh, pengendara sepeda motor itu jatuh menimpa Amir. Cuma saja Amir terbentur kepalanya di trotoir makanya luka dan lukanya lumayan besar sehingga memerlukan jahitan. Untunglah orangnya bertanggung jawab sekali. Tadi dia yang mengantarkan ke rumah sakit bersama-sama Faisal. Bahkan dia juga yang membayar biaya rumah sakit atas permintaannya sendiri.’

‘Ya.. ya.. Yang namanya musibah. Baiklah. Apakah bisa kita lanjutkan diskusi mengenai sekolah kalau begitu pak Umar?’

‘Tentu pak.’

‘Tapi sebelumnya ada cerita yang pasti akan mengagetkan pak Umar tentang kejadian di sini tadi pagi.’

‘Mungkin saya bisa menduga pak. Mungkin berhubungan dengan Vespa saya.’

‘Benar sekali. Tentu pak Umar tahu bahwa tadi ada yang mengusili Vespa itu.’

‘Ya. Tadi waktu saya mau pergi saya dapatkan kedua bannya kempes dan bagian depannya dicoret-coret dengan cat semprot. Rupanya meriah juga sambutan yang saya terima pagi ini.’

‘Tapi apakah pak Umar tahu penyebab sebenarnya kenapa itu terjadi?’

‘Tidak pak. Kenapa rupanya?’

‘Sebenarnya murid yang bersangkutan sebentar lagi yang akan menjelaskannya. Tapi saya hanya ingin menyampaikan bahwa itu berawal dari hardikan pak Umar waktu akan ada duel tadi pagi.’

‘Ya..ya.. saya bisa mengerti. Tentu mereka menganggap saya pengganggu acara duel mereka. Dan mereka tidak mengenal saya.’

‘Persis demikian.’

‘Tapi bagaimana bisa langsung ketahuan pelakunya, pak?’

‘Ya kebetulan. Mereka adalah dua murid yang tadi pak Umar lihat di parkiran sepeda motor di belakang.’

‘Tapi waktu saya lihat di belakang mereka seperti mencari-cari sesuatu di got. Aneh juga. Atau mereka menjahili Vespa saya tadi pagi-pagi sekali?’

‘Untuk jelasnya mari kita panggil saja mereka. Tadi saya sudah membuat perjanjian dengan satu dari mereka yang benar-benar pelakunya untuk menjelaskan kepada pak Umar semua kejadian itu. Biar saya suruh panggil sebentar.’

Pak Suprapto minta tolong seorang pegawai tata usaha untuk menjemput Anto dan Iwan di kelas dua C. Tidak lama kemudian keduanya datang di kantor pak Suprapto. Mereka memberi hormat dengan sopan. Penampilan mereka lebih percaya diri sekarang. Tidak pucat seperti waktu diinterogasi sebelumnya.

‘Adrianto! Masih ingat perjanjian kita?’

‘Ya pak. Saya masih ingat.’

‘Baik. Sekarang coba kamu jelaskan.’

‘Ya pak. Pertama saya minta maaf kepada bapak... kepada bapak kepala sekolah yang baru. Saya telah berlaku kurang ajar dengan menjahili motor Vespa bapak. Semua ini kesalahan saya sendiri yang saya lakukan karena… karena kebodohan dan kenakalan saya…. Dan sekali lagi saya minta maaf.’

‘Apa alasan kamu menjahili motor itu?’ tanya pak Umar.

‘Alasan yang tidak pantas pak. Alasan yang sebenarnya… karena saya usil. Karena saya nakal.’

‘Kamu tahu bahwa itu Vespa kepunyaan saya?’ tanya pak Umar lagi.

‘Tahu pak. Tapi saya tadi tidak tahu siapa bapak.’

‘Tadi saya melihat kamu berdua di belakang pada waktu jam pelajaran. Waktu itukah kalian melakukan aksi itu?’

‘Bukan pak. Saya melakukannya sebelum upacara tadi pagi pak. Dan yang melakukannya saya sendiri. Waktu bapak Suprapto menyebutkan bahwa bapak adalah pengganti beliau, saya mulai ketakutan. Setelah masuk kelas saya minta izin keluar. Saya mengajak Iwan menemani saya untuk mencari pentil ban Vespa yang saya buang ke got.’

‘Oo.. jadi begitu ceritanya. Maaf ya, saya hanya sekedar ingin tahu. Apa pekerjaan orang tua kamu?’ tanya pak Umar.

‘Itu dia pak Umar. Menurut dia orang tuanya punya masalah keluarga. Ibunya sedang sakit keras. Ayahnya sering terlibat pertengkaran dengan ibunya. Benar begitu, Adrianto?’ pak kepala sekolah menjelaskan.

‘Ya, pak. Ibu saya sedang sakit. Beliau menghabiskan waktunya di tempat tidur. Ayah jarang pulang. Kalaupun pulang hanya marah-marah kepada ibu saya.’

‘Bagaimana dengan keadaan Vespa itu sekarang? Kan tadi saya suruh kalian memompa ban itu kembali. Sudah kalian lakukan?’ tanya pak Suprapto.

‘Sudah pak.’

‘Bagaimana dengan kata-kata yang kamu semprotkan di Vespa itu? Apakah bisa hilang?’ tambahnya lagi.

‘Sudah saya hapus dengan lap menggunakan bensin pak. Sudah hilang tulisannya. Tapi masih kotor. Maaf, pak. Saya akan mengecat ulang Vespa itu kalau bapak izinkan.’

‘Tidak usah. Karena kalau dicat ulang saya tidak bisa menggunakannya untuk beberapa hari. Biarkan saja,’ jawab pak Umar.

‘Jadi begini pak Umar. Tadi saya katakan bahwa keputusan hukumannya saya serahkan kepada pak Umar. Apa mau diskors, atau mau dikeluarkan dari sekolah ini, atau diberi hukuman lain. Tadi saya juga mau memanggil orang tuanya datang ke sekolah agar mereka tahu kelakuan anaknya. Tapi anak ini memohon dengan sangat agar orang tuanya jangan diberi tahu karena dia khawatir akan menambah penyakit ibunya. Jadi sekarang, saya serahkan kepada pak Umar. Bukankah begitu tadi perjanjian kita, Adrianto?’

‘Benar pak.’

‘Maaf, sakit apa orang tua kamu?’ tanya pak Umar.

‘Kanker, pak.’

‘Tidak dirawat di rumah sakit?’

‘Dulu dirawat di rumah sakit sehabis dioperasi pak. Tapi sekarang di rumah saja.’

‘Apakah kamu sadar dengan kekeliruan kamu hari ini?’

‘Sadar pak.’

‘Baik, kalau begitu. Kamu saya maafkan. Mungkin mereka bisa kembali belajar ke kelas, pak?!’ tanya pak Umar kepada pak Suprapto.

‘Ada satu lagi sebelumnya pak Umar. Mereka….. bukan… terutama Adrianto harus diberi surat peringatan terakhir. Artinya kalau masih berbuat aneh-aneh lagi sesudah ini langsung dikeluarkan dari sekolah ini,’ pak Suprapto mengingatkan.

‘Ya..ya.. Ini perlu agar kamu berhati-hati di waktu yang akan datang. Agar kamu tidak nakal lagi.’

‘Nanti kita buatkan surat peringatan itu. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas.’

‘Terima kasih pak. Sekali lagi saya minta maaf kepada bapak.’

‘Ya.. sudah. Kamu sudah saya maafkan,’ jawab pak Umar ringkas.

Kedua anak itu kembali ke kelas mereka. Anto senang bukan main. Bukan karena dia tidak dihukum. Dia senang karena dia mampu berlaku sportif. Dia telah mengaku bersalah. Dan dia telah minta maaf. Dan tentu saja dia sangat senang karena pak Umar itu baik sekali. Tidak terlihat kalau beliau itu berbasa basi memaafkannya. Tidak terlihat bahwa beliau memaafkan karena sebagai pendatang baru di sekolah ini misalnya. Anto menangkap bahwa pak Umar itu memaafkannya secara tulus. Di dalam lubuk hatinya, Anto berjanji sungguh-sungguh akan berubah. Dia ingin insaf. Dia ingin berubah menjadi anak yang baik. Pada dasarnya Anto memang anak yang baik.


*****

No comments: