Tuesday, December 8, 2009

DERAI-DERAI CINTA (32)

32. YUNI DAN RATIH

Yuni mempunyai seorang saudara sepupu yang kuliah di Farmasi Unpad. Namanya Irma. Ayah Irma adalah kakak mamanya Yuni. Umur mereka hampir sama. Tapi Irma satu angkatan di atas Yuni karena dia pernah meloncati kelas enam waktu di SD. Irma dulu bersekolah di Jakarta. Dia indekos di Titimplik. Tadinya Irma mengajak Yuni untuk kos bersama-sama, tapi Yuni sudah terlanjur setuju untuk tinggal di rumah Lala. Yuni sering datang ke tempat Irma karena memang tidak terlalu jauh dari kampus Unpad. Kadang-kadang dia menginap di sana. Begitu pula kadang-kadang Irma datang ke Sekeloa ke tempat Yuni. Hubungan mereka memang sangat akrab. Sebagai teman sebaya maupun sebagai saudara sepupu.

Baru-baru ini Irma sakit demam berdarah dan dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin selama sepuluh hari. Sebelumnya dia pulang ke Jakarta di akhir minggu. Sekembali dari Jakarta, badannya tiba-tiba jadi lemas dan panas tinggi. Ketika itu di dekat tempat tinggalnya di Grogol sedang berjangkit penyakit demam berdarah. Mula-mula dicobanya mengatasi demam itu dengan minum obat turun panas. Tapi ternyata tidak mempan. Panasnya tidak turun. Irma terpaksa tidak pergi kuliah. Melalui teman kosnya, Rita dia beritahu Yuni kalau dia sakit dan meminta Yuni datang. Rita teman kuliah Yuni di Psikologi. Irma mau minta tolong Yuni mengantarnya ke dokter.

Yuni segera datang siang harinya. Waktu itu Irma dalam keadaan demam dan panas tinggi. Mukanya merah dan matanya terlihat sayu.

‘Tolong antar aku ke dokter, Yun,’ pinta Irma.

‘Ayo kita segera pergi sekarang. Kamu sanggup dibonceng dengan motor?’ tanya Yuni.

‘Mudah-mudahan sangguplah. Aku pakai jaket tebal biar nggak kedinginan.’

‘Kita ke tempat praktek bang Lutfi saja. Di dekat sini.’

‘Terserah kamulah,’ jawab Irma pasrah.

Yuni membawa Irma ke tempat praktek bang Lutfi di jalan Diponegoro. Kebetulan bang Lutfi dan teteh Yani baru saja sampai di tempat praktek.

Kedua dokter muda itu segera memeriksa Irma.

‘Wah, ini sepertinya demam berdarah. Sebaiknya Irma diopname saja,’ kata bang Lutfi.

‘Begitu ya bang?’ jawab Irma lemas.

‘Irma harus periksa darah. Dan harus diinfus. Jadi sebaiknya segera saja diopname,’ teteh Yani menambahkan.

Irma mengangguk lemas.

‘Ya. Biar abang antar ke rumah sakit sekarang. Mau?’

‘Saya menyerah saja bang. Badan saya sangat lemas,’ jawab Irma.

‘Ayo kita segera berangkat. Naik mobil abang saja. Yuni mau ikut?’

‘Ke rumah sakit mana bang? Biar aku susul pakai motor saja. Nanti pasti perlu motor lagi untuk wira-wiri,’ jawab Yuni.

‘Ke Hasan Sadikin. Ya sudah kalau gitu. Mari kita berangkat sekarang.’

Irma diantar bang Lutfi sementara Yuni menyusul pakai sepeda motor.

Irma lalu diopname. Diinfus dan diperiksa darah tiap hari. Selama dia di rumah sakit hampir tiap hari Yuni menemaninya, bergantian dengan tante Salma, mamanya Irma yang sengaja datang dari Jakarta. Waktu itu trombosit di dalam darah Irma turun sampai rendah sekali. Sampai 20 ribuan. Baru setelah itu pelan-pelan naik kembali. Perawatan demam berdarah menghabiskan banyak waktu. Dokter tidak akan mengizinkan pasien pulang sebelum kandungan trombosit darah kembali normal. Untuk menjadikannya normal perlu beberapa hari. Tapi untunglah sekarang dia sudah sembuh dan sudah boleh pulang ke tempat kos. Tante Salma sudah kembali ke Jakarta. Irma tidak kuliah selama hampir dua minggu. Sesudah keluar dari rumah sakit Yuni masih menemani Irma dua hari lagi di tempat kosnya. Hari ini Yuni rencananya akan pulang ke Sekeloa. Tapi sebelumnya Irma minta diantarkan ke rumah temannya di Taman Sari karena dia mau meminjam catatan kuliah yang tertinggal selama dia dirawat di rumah sakit.

‘Kamu masih ingat Ratih, kan? Antarin aku ke rumahnya, yuk! Aku mau minjam catatan-catatannya. Maksudnya ntar mau aku fotokopi aja,’ kata Irma mengajak Yuni.

‘Sekarang? Pagi ini? Bagaimana kalau ntar habis kuliah? Aku kuliah hanya dua jam hari ini. Jam sebelas nanti aku sudah selesai.’

‘Iya, maksudku hari ini. Katanya kamu ‘dah mau pulang ke Sekeloa. Aku masih belum pas kayaknya bawa motor. Masih agak gemetaran. Makanya kamu tolong nganterin aku ke sana. Ntar siang juga nggak apa-apa.’

‘Ya udah. Nanti sepulang aku dari kuliah aku antar. Kamu nggak usah kuliah dulu hari ini.’

‘Memang aku belum kuat untuk kuliah hari ini kok. Mungkin besok kali, aku coba-coba.’


***

Gunung Marapi di Sumatera Barat sedang aktif. Kepundannya menyemburkan api disertai awan tebal berwarna hitam. Kota Bukit Tinggi ditutupi debu vulkanis dari gunung Marapi. Debu halus hitam kecoklatan menutupi apa saja, atap rumah, jalan-jalan dan pohon-pohon. TVRI menyiarkan gambar gunung yang sedang meradang itu. Begitu pula dengan koran-koran memuat berita yang sama. Penduduk Bukit Tinggi dan sekitarnya, meski merasa tidak nyaman tapi tidak terlalu merisaukannya. Gunung Marapi memang seringkali menunjukkan gelagat seperti itu.

Ratih yang sedang sangat tertarik dengan apa saja yang berbau Sumatera Barat mengikuti berita gunung Marapi itu dari koran. Koran Kompas memuat gambar dan berita yang cukup rinci. Ratih ingin bertanya lebih jauh tentang kejadian itu kepada Imran. Dia kan mahasiswa geologi. Tentu Imran punya pengetahuan tentang sifat gunung berapi. Dan bukankah Imran serta Syahrul berasal dari Bukit Tinggi yang terletak tidak jauh dari gunung itu?

Waktu pulang kuliah siang itu Ratih melihat pintu rumah Imran terbuka. Tidak terlihat siapa-siapa, tapi tentu ada orang di dalamnya. Ratih mengetok pintu sambil mengucapkan salam. Ternyata Imran ada di dalam. Dia juga sedang membaca koran Pikiran Rakyat di kamarnya sesudah selesai makan siang. Syahrul belum pulang dari kuliah.

‘Apa kabar?’ tanya Imran menyapa, sambil tersenyum ramah.

‘Kabar baik, kak. Tapi ada yang mau ditanyakan, nih. Kak Imran lagi sibuk?’

‘Ah ndak. Mau menanyakan apa? Silahkanlah masuk,’ jawab Imran.

Ratih masuk dan duduk di meja belajar Syahrul.

‘Pertanyaan tentang gunung meletus. Boleh?’

‘Lho. Gunung mana yang meletus?’ tanya Imran lagi.

‘Kak Imran nggak membaca koran? Maksudnya, nggak tahu tentang gunung Merapi yang sedang meletus di Sumatera Barat itu?’

‘Oh ya. Saya tahu. Namanya gunung Marapi, pakai ‘a’. Marapi. Untuk membedakan dengan gunung Merapi, pakai ‘e’, yang di Jawa Tengah. Memang gunung itu sedang aktif saat ini,’ jawab Imran datar.

‘Nggak khawatir? Maksudnya, apakah gunung itu tidak mengancam keselamatan penduduk di sekitarnya? Katanya kampung kak Imran juga di kaki gunung Marapi itu.’

‘Ya, tidak terlalu khawatir. Gunung itu memang terhitung sangat aktif. Sering menyemburkan awan panas dan api. Masyarakat di sekitarnya sudah terbiasa dengan kejadian itu,’ jawab Imran.

‘Menurut berita di koran Kompas ini kejadian seperti yang sekarang ini justru tidak sering terjadi. Maksudnya, kegiatannya sekarang terhitung cukup mengkhawatirkan. Debu yang dimuntahkannya telah menimbulkan penyakit sesak nafas penduduk.’

‘Itu benar. Tapi mudah-mudahan tidak akan lebih dari itu. Biasanya gunung itu terbatuk-batuk untuk beberapa hari setelah itu dia akan beristirahat lagi dengan tenang.’

‘Maksudnya?’

‘Maksudnya, kepundan gunung itu dalam keadaan terbuka dan hal ini insya Allah aman. Kegiatan yang terjadi di dapur magma tersalurkan keluar karena kepundan tidak tertutup. Sama halnya dengan gunung Tangkuban Perahu yang dekat ini. Gunung berapi berbahaya kalau kepundannya tersumbat. Magma akan mendesak sumbat itu dan bisa mengakibatkan letusan hebat yang melemparkan isi perut gunung itu ke udara.’

‘Oo, begitu. Jadi sementara ini gunung itu tidak mengancam dengan bahaya yang menakutkan? Begitu juga dengan gunung Tangkuban Perahu?’

‘Insya Allah demikian.’

‘Tapi, saya dengar kabarnya, gunung Marapi di Sumatera Barat itu pernah menimbulkan banjir bandang yang menghanyutkan batu-batu besar. Apakah batu-batu besar itu bukan berasal dari letusan gunung itu?’

‘Banjir bandang....... Hmmmh…. Orang kampung kami menyebutnya galodo……’

Mata Imran menerawang jauh ketika mengucapkan kata-kata itu. Ratih heran melihat raut muka Imran tiba-tiba berubah.

‘Ya… Kenapa kak? Apa yang kak Imran pikirkan? Apakah banjir batu itu bukan hasil gunung berapi?’’

‘Eh… tidak. Kalau banjir yang menghanyutkan batu-batu itu berbeda…… Memang batu-batu itu juga merupakan muntahan gunung Marapi pada jaman dulu, lalu terbawa hanyut oleh banjir yang terjadi sekarang?’

‘Saya kurang faham maksudnya. Jadi gunung Marapi itu jaman dulu pernah memuntahkan batu-batu besar? Jaman dahulu itu kapan? Lalu kalau begitu, kenapa sekarang kak Imran katakan bahaya seperti itu bisa diabaikan? Bukannya kalau gunung itu pernah dan mampu meletus serta mengeluarkan muntahan berupa batu besar-besar hal itu dapat saja terjadi kembali?’

‘Seperti saya katakan sebelumnya, sebuah gunung berapi berpotensi mendesak dan melemparkan isi perutnya kalau jalan keluar atau kawah gunung itu tersumbat. Suatu saat dulu, mungkin beribu-ribu tahun yang lalu, kawah gunung Marapi tersumbat dan dia memuntahkan batu-batu besar itu ketika meletus. Saat ini keadaannya tidak demikian. Kepundannya tidak tersumbat.’

‘Ooo… Begitu ya kak? Iyalah… Mudah-mudahan tidak terjadi mala petaka yang dahsyat. Tidak terjadi hal yang menyusahkan masyarakat…’

‘Mudah-mudahan,’ jawab Imran sambil tersenyum lirih.

***

Sedang mereka berbincang-bincang itu, Irma dan Yuni datang, ditemani Sukma adik Ratih. Mereka mencari Ratih ke rumahnya, tapi kata Sukma mungkin Cut (panggilannya kepada Ratih) sedang di rumah kak Imran. Irma minta tolong diantarkan, dan ternyata benar, Ratih sedang berbincang-bincang dengan Imran.

Yuni sangat kaget mengetahui bahwa Imran tinggal disitu. Dia tidak menyangka akan bertemu Imran. Dalam hatinya dia lebih kaget lagi ketika melihat Imran sedang berdua saja dengan Ratih di dalam rumah itu.

‘Wah, lagi berduaan nih? Jangan-jangan kami mengganggu……,’ Irma menyapa begitu dipersilahkan Imran masuk.

‘Ah, nggak. Aku lagi belajar ilmu gunung berapi sama kak Imran,’ jawab Ratih sambil tersenyum.

‘Wah! Asyik dong….. Terus? Sudah faham?’

Ratih hanya tersenyum.

‘Bang Imran tinggal disini?’ tanya Yuni masih penasaran.

‘Ya, saya tinggal disini. Berdua dengan Syahrul. Masih ingat kan teman saya Syahrul?’ jawab Imran.

‘Ya… masih ingat. Yang datang waktu bikin gulai tunjang kan? Kok dia nggak ada?’

‘Benar, yang itu. Dia belum pulang. Mungkin sedang di tempat temannya mengerjakan tugas,’ jawab Imran.

‘Lho… sudah pada kenal to?’ Irma menyela.

‘Bang Imran kan sering ke Sekeloa…. Bang Imran sepupunya Lala,’ Yuni menjelaskan.

‘Oooo. Pantesan. Gimana Cut? Aku mau pinjam catatan-catatan. Boleh kan?’

‘Ya bolehlah. Gimana? Kamu sudah sehat betul?’

‘Alhamdulillah. Sudah lumayan. Besok aku rencana mau mulai masuk lagi,’ jawab Irma.

Setelah berbincang berbasa basi, Ratih mohon pamit. Dia mengajak Irma dan Yuni ke rumahnya, mengambil buku-buku catatan yang akan dipinjam Irma.


*****

No comments: