Thursday, December 27, 2007

TAKLIM BUYA ABIDIN 1 (SYARIAT ISLAM)

TAKLIM BUYA ABIDIN 1 (SYARIAT ISLAM)

Di mesjid Gurun biasa diadakan ta’lim bulanan sesudah shalat isya pada hari Sabtu terakhir setiap bulan. Yang memberi ceramah biasanya Buya Abidin, seorang ulama dari Bukit Tinggi. Beliau ini seorang ulama yang sangat sabar dan penyantun. Ta’lim seperti ini sudah beliau jalankan sejak bertahun-tahun. Sejak yang mendengarnya masih bisa dihitung dengan jari, sejak masyarakat umumnya masih banyak cemooh, sejak masyarakat kampung itu umumnya menilai bahwa pengajian buya Abidin itu serba salah semua. Tapi justru disana letak kesabaran buya ini. Meskipun yang mau mendengar kaji hanya beberapa orang, meski yang lain hanya suka mencemooh, biarpun dia mesti kedinginan kena embun tiap malam, bahkan biar beliau sendiri yang mengeluarkan ongkos untuk datang, karena pengajian-pengajian yang beliau berikan memang tidak ada honornya, beliau tetap datang dengan rajin.

Dengan pertolongan Allah SWT, dan usaha tidak kenal lelah buya Abidin, berangsur-angsur bertambah juga peminat ta’lim. Pengajian beliau ini sebenarnya tidaklah pengajian yang rumit-rumit. Seringkali bahkan beliau ulang-ulang. Pengajian itu biasanya menyangkut masalah tauhid, masalah keesaan Allah, masalah kedudukan manusia di hadapan Allah selama mereka hidup di muka bumi. Selalu itu intinya. Tapi buya Abidin sangat pandai menjelaskan dengan contoh-contoh nyata sehingga seolah-olah setiap yang beliau sampaikan itu adalah masalah baru.

Pada kesempatan ta’lim yang terakhir terjadi diskusi panjang. Banyak jemaah yang menanyakan topik yang sering dibahas akhir-akhir ini. Masalah penerapan syariat Islam di Minangkabau. Malin Ameh yang duduk berhadapan dengan buya yang berdiri di atas podium itu, mengawali tanya jawab.

‘Jadi menurut buya tadi, dengan menjalankan syariat Islam itu, tidak perlu terjadi kekhawatiran di tengah masyarakat tentang hukum rajam, hukum potong tangan dan sebagainya, sementara buya juga mengatakan ayat tentang hukum-hukum seperti itu ada di dalam al Quran. Bagaimana sebenarnya ini buya? Kok susah saya memahaminya,’ tanya Malin Ameh.

‘Begini Malin. Malin sudah datang ke pengajian. Sudah mendengarkan pengajian. Sudah faham tentang hukum-hukum Allah. Sudah tahu mana perintah, mana larangan. Nah sesudah itu apa lagi yang akan Malin lakukan dalam menjalani kehidupan ini?’ buya balik bertanya.

‘Tentu kita patuhi buya. Semua perintah kita kerjakan, semua larangan dihindari. Tentu begitu buya,’ jawab Malin Ameh.

‘Betul sekali. Semua perintah dikerjakan. Semua larangan ditinggalkan. Sekarang kita uji satu persatu. Shalat itu perintah Allah atau bukan?’
‘Perintah Allah.’

‘Jadi bagaimana? Kita lakukan atau tidak?’

‘Dilakukan.’

‘Puasa di bulan Ramadhan?’

‘Perintah Allah. Dikerjakan.’

‘Berzina dilarang Allah?’

‘Iya buya.’

‘Jadi?’

‘Dijauhi. Tidak boleh dikerjakan’

‘Mencuri dilarang Allah?’

‘Iya, benar buya.’

‘Tentunya….’

‘Tentu dijauhi. Tidak boleh dikerjakan’

‘Berbohong? Main judi? Menyusahkan orang lain? Bagaimana?’

‘Dilarang Allah. Jadi dijauhi.’

‘Nah! Kalau sudah begitu dimana lagi mungkin Malin kena rajam, kena potong tangan? Malin tidak mau berzina, tidak mau mencuri. Bukankah begitu?’

‘Baiklah buya. Kita yang sudah mendengar pengajian, jadi kita sudah tahu. Bagaimana dengan mereka yang belum mengaji? Yang belum mendengar mana yang perintah Allah, mana yang dilarang Allah? Apakah mereka langsung dihukum potong tangan atau dihukum rajam kalau mereka bersalah? Kalau mereka mencuri? Atau berzina?’

‘Kalau mereka benar-benar belum tahu, jadi bukan pura-pura tidak tahu, belum berlaku hukum. Dan menjadi tanggung jawab kita yang sudah mengetahuinya untuk menjelaskan kepada mereka. Harus kita ajak mereka mengaji. Diterangkan kepada mereka apa-apa yang menjadi perintah Allah dan apa-apa yang menjadi larangan Allah. Diberitahukan bahwa ada sangsi kalau perintah itu ditinggalkan dan ada pula sangsi kalau larangan itu diabaikan. Di jaman nabi hiduppun demikian. Bukan begitu Islam datang langsung main rajam, main potong tangan. Nabi mengajarkan terlebih dahulu al Quran dan agama sejelas-jelasnya kepada umat. Dijelaskan kedudukan kita umat manusia di hadapan Allah. Beliau lakukan hal itu secara bertahap. Beliau jelaskan mana yang haq dan mesti ditegakkan. Mana yang bathil yang mesti ditinggalkan. Barulah sesudah itu datang hukum. Baru ditegakkan hukum.

Tahukah Malin bahwa melaksanakan hukum rajam itu tidak boleh sembarangan? Mesti ada empat orang saksi yang melihat perbuatan itu dilakukan dengan sebenar-benar menampak. Dan tidak boleh kurang dari empat orang. Dan saksi yang sungguh-sungguh melihat dengan mata kepalanya sendiri, bukan karena dikatakan oleh si anu dan si anu. Bukankah sangat sulit kemungkinan itu akan terjadi? Ada empat orang yang bersama-sama melihat perbuatan zina itu dilakukan? Maka di jaman nabi tidak pernah kejadian ada orang menangkap orang yang berzina untuk kemudian dijatuhi hukum rajam. Tapi orang yang berzina itu sendiri datang kepada nabi meminta dihukum, minta dirajam sesuai dengan yang diperintahkan Allah.

Tersebutlah kisah seorang wanita yang terlanjur berzina, datang kepada nabi, meminta agar dirinya dijatuhi hukum rajam. Orang sekarang pastilah mengatakan wanita itu sinting. Masakan dia datang minta dirajam. Wanita itu bukan orang sinting. Dia orang yang sehat walafiat. Orang yang pikirannya waras. Dan yang lebih utama, dia itu orang yang imannya sangat teguh.

Dan nabi seolah-olah memberi kesempatan untuk dia memungkiri apa yang dikatakannya. ‘Ah, barangkali kamu hanya dipegang-pegang saja oleh laki-laki itu,’ kata beliau. Jawab wanita itu, ‘tidak ya Rasulullah, saya berzina,’ jawabnya. ‘Mungkin engkau hanya diciumnya saja,’ kata beliau lagi. ‘Tidak ya Rasulullah, saya berzina. Bahkan sekarang saya sedang hamil sebagai akibat hubungan itu,’

Kata nabi pula, ‘Baiklah kalau begitu. Kalau betul engkau sedang hamil, peliharalah dulu kehamilanmu itu sampai bayimu lahir.’

Sesudah anak itu lahir, datang pula wanita itu kembali menghadap nabi. Kembali dengan permintaan yang sama, minta dirajam. Kata nabi, tunggulah sampai bayimu disapih, sampai dia berumur dua tahun. Dua tahun kemudian dia kembali lagi minta dijalankan hukuman rajam itu. Bukankah istimewa sekali wanita ini? Coba simpulkan. Apa kira-kira yang menyuruhnya datang berulang-ulang kepada nabi? Iman kepada Allah. Iman kepada hukum-hukum Allah. Jadi seperti itu caranya. Begitu juga dengan orang yang mencuri. Orang yang diancam dengan sangsi akan dipotong tangannya. Dijaman nabi sesudah ayat yang menerangkan hukum potong tangan itu datang, tidak ada yang berani mencuri. Jadi tidak ada yang sampai dipotong tangannya. Seandainya mencuri juga tentu bakalan kena. Dan yang dikenakan hukuman tidak boleh dipilih-pilih. Kalau anak raja yang mencuri dibebaskan tapi kalau rakyat biasa yang mencuri baru dipotong tangannya, bukan begitu. Bahkan sabda beliau SAW, kalau saja Fathimah puteri beliau mencuri, niscaya beliau potong tangannya. Ini bukan sekedar gertak, bukan sekedar omong doang, bukan sekedar biar kelihatan gagah. Tapi sungguh-sungguh. Begitu hukum dihadapan Allah, tidak pandang bulu. Tidak ada istilah kebal hukum. Jadi bagaimana kira-kira bapak-bapak dan ibu-ibu. Apakah bisa dipahami?’

‘Saya juga ingin bertanya buya. Kata orang kalau syariat Islam dijalankan berarti setiap umat Islam yang tidak menjalankan syariat itu akan kena sangsi, kena hukum. Jika orang tidak shalat dihukum. Orang tidak puasa dihukum. Pertanyaan saya, bagaimana menghukum orang yang tidak shalat atau tidak puasa itu? Apakah ada dalam Al Quran perintah untuk menghukum orang yang tidak shalat?’ tanya mak Marah pula.

‘Dalam al Quran ada perintah untuk menegakkan shalat. Wajib mengerjakan shalat itu pada waktu-waktu yang sudah ditetapkan Allah. Yaitu seperti yang kita laksanakan lima kali sehari semalam. Begitu juga dengan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Allah mewajibkan kita untuk melaksanakannya. Perintah untuk menghukum orang yang tidak menegakkan shalat atau tidak mengerjakan puasa tidak ada dalam al Quran. Di jaman nabi, orang kalau sudah mendengar perintah itu langsung ‘sami’na, wa atha’na’, ‘kami dengar dan kami taati’. Jadi tidak ada orang yang tidak mengerjakan perintah itu.

Karena orang-orang itu, para sahabat nabi itu, mengerti bahwa shalat itu tiang agama, seperti yang beliau isyaratkan bahwa, ‘orang yang meninggalkan shalat itu seperti orang yang meruntuhkan agama’. Tidak ada yang ingin dicap sebagai peruntuh agama. Lebih-lebih lagi, yang mereka lakukan bukan hanya sekedar shalat tapi shalat berjamaah di mesjid. Sebab nabi memberi contoh seperti itu. Beliau ajarkan apa keuntungan shalat berjamaah dan apa pula ruginya kalau tidak datang shalat berjamaah. Bahkan beliau ancam, meski hanya sekedar ancaman, terhadap orang-orang yang tidak datang shalat berjamaah ke mesjid.

Cukup dengan sekadar ancaman itu maka tidak ada lagi orang yang berani untuk tidak datang. Dan kehadiran mereka ini bukan karena takut tapi karena mengerti betul dengan perintah agama yang disampaikan nabi. Dan lebih-lebih lagi, karena mereka mencari ridha Allah. Pada saat orang mengerti betul makna dari ‘mencari ridha Allah’ tidak ada satupun yang berat untuk dilakoni. Datang ke mesjid di waktu subuh di musim dingin, tidak berat. Puasa di hari yang panjang di musim panas tidak berat.

Dan mereka saling ingat mengingatkan dalam berbuat kebajikan. Akhirnya, tidak ada orang yang ‘mesti’ dihukum karena tidak shalat, karena tidak ada yang berani meninggalkan shalat. Begitu juga dengan puasa, dengan membayar zakat. Jadi pada dasarnya yang lebih utama adalah bagaimana caranya agar orang banyak, termasuk kita semua ini mengerti tentang pentingnya menegakkan perintah-perintah agama tadi itu. Jika kita sudah faham, sudah mengerti, rasanya tidak akan mungkin kita berani meninggalkannya apakah shalat atau puasa atau perintah-perintah Allah yang lain. Kalau ada orang yang masih belum mengerti tentang arti dan pentingnya menjalankan perintah Allah, maka kewajiban kita untuk mengingatkannya. Mengajaknya supaya mereka mau shalat. Mau puasa. Mau membayar zakat. Lalu kalau ini semua sudah dijalankan di tengah sebuah komunitas, mengingatkan mereka yang lalai sudah dilakukan, memberi tahu mereka yang belum mengerti sudah dikerjakan tapi masih juga ada orang yang membangkang atau melecehkan arti shalat, puasa dan sebagainya itu, sesudah mereka di dakwahi, sesudah ditunjuk dan diajari, maka bolehlah orang seperti itu diberi sangsi. Mungkin dengan cara dikucilkan, dengan cara tidak diperdulikan, dengan cara tidak dianggap keberadaannya sebagai sesama warga. Lalu kalau karena penerapan sangsi itu mereka mengacau, berontak untuk membuat onar mereka bisa dikenakan sangsi hukum karena perbuatannya itu. Begitulah caranya kira-kira.’

‘Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan dengan ‘kewajiban menjalankan syariat Islam’ itu buya?’ tanya Malin Deman pula.

‘Dimana lagi takut itu mau diletakkan, Malin? Kalau kita sudah patuh, sudah berniat baik ingin menjalankan agama Allah, mau takut kepada siapa lagi? Cukuplah takut itu kepada Allah semata. Lain dari pada itu tidak ada yang perlu ditakuti. Baiklah, sudah larut waktu. Kita cukupkan sampai disini dulu pengajian kita kali ini. Insya Allah kalau umur panjang kita sambung pula.’



*****

No comments: