Wednesday, February 27, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.20)

20. Hotel Pangeran

Jam setengah delapan malam mereka sampai di hotel Pangeran. Hotel berbintang yang terletak di Purus atau di jalan Ir. H. Juanda. Mereka disambut oleh petugas receptionist yang sangat ramah dan sopan. Pohan memberitahu bahwa dia sudah memesan sebuah kamar untuk malam ini di hotel ini atas namanya. Petugas itu segera menemukan kode pemesanan kamar tersebut dan menanyakan apakah mereka menginginkan kamar yang menghadap ke laut atau sebaliknya. Mereka memilih kamar yang menghadap ke laut. Dan mereka mendapatkan sebuah kamar di tingkat empat.

Sementara Aswin mengamati penampilan hotel yang tidak ubahnya hotel-hotel besar berbintang di manapun. Ada baliho dengan ucapan selamat datang dengan potret seorang gadis Minang dalam pakaian adat, setinggi aslinya, tersenyum dan sedang memegang carano. “Welcome to Pangeran Beach Hotel in Minangkabau Country”. Dan beberapa pengumuman tentang yang boleh dan yang tidak boleh. ‘The Dos and The Don’ts. Memang harus demikian, harus jelas sejelas-jelasnya. Dan running text tentang apa yang sedang ‘in’ malam ini. Menu utama di restoran, acara di assembly hall. Dan pengumuman, ’just for your information that we do not serve any liquor and alcoholic drink in this hotel’. ’Just for your info,’ jadi tegas-tegas saja bahwa itu bukan sesuatu kekurangan atau kekeliruan dan oleh karenanya tidak ada dan tidak perlu minta maaf. Agak sedikit ‘keras’ mungkin, tapi berterus terang.

‘Ada pertunjukan apa malam ini di sini?’ tanya Pohan kepada petugas receptionist waktu petugas itu menyerahkan kunci kamar.

’Randai,’ jawab Aswin. ’Randai Rambun Pamenan. Dengan penjelasan cerita yang akan dibacakan dalam bahasa Inggeris, di mulai jam delapan tiga puluh, di hall di lantai ini,’ Aswin menjelaskan dengan rinci, karena dia sudah melihat dan membaca informasi di running text info.

Petugas itu tersenyum dan membenarkan keterangan Aswin.

’Bapak menyukai pertunjukan randai?’ tanya petugas receptionist itu pula.

’Ya, saya suka,’ jawab Aswin.

‘Selamat menikmatinya pak. Dan selamat menikmati pelayanan kami. Lift ada di sebelah sana. Tolong beritahu kami kalau bapak memerlukan bantuan,’ ujar petugas itu sambil tersenyum.

‘Terima kasih,’ jawab Aswin.

Mereka menuju lift untuk naik ke lantai empat.

’Kamu mau makan di luar?’ tanya Pohan.

’Kalau makan di luar, kemana? Apa yang khas di Padang ini?’ tanya Aswin.

’Banyak restoran di sini. Tinggal pilih kamu mau makan apa. Selain masakan Minang juga ada masakan Cina, masakan Jawa, masakan Thailand atau masakan Eropah,’ jawab Pohan.

’Bagaimana kalau kita makan di hotel ini saja? Aku ingin juga menonton lagi randai Rambun Pamenan,’ usul Aswin.

’Terserah kamu,’ jawab Pohan.

Dan mereka dapatkan kamar yang menghadap ke laut. Laut yang terlihat temaram dari balik jendela. Di bawah cahaya bulan. Lamat-lamat terlihat pula api di perahu nelayan di tengah laut sana.

Sesudah mandi mereka turun lagi ke lantai dasar. Ke restoran yang menghidangkan masakan Eropah. Restoran itu sedang ramai-ramainya. Ada segala bangsa yang sedang makan di sini. Bau harum masakan tercium menitikkan selera.

’Aku ingin mengetahui bagaimana kwalitas masakan Eropah mereka,’ ujar Aswin.

Atas saran Aswin mereka memesan T bone steak dengan mashed potato. Di daftar menu tertera bahwa ada T bone jenis lokal dan ada yang diimpor dari New Zealand. Yang terakhir ini harganya lebih dua kali lipat.

Waktu pelayan menulis pesanan mereka yang semula diminta dua T bone impor, Pohan minta agar yang satunya yang lokal saja.

’Kenapa? Minta saja yang New Zealand dua-duanya,’ cergah Aswin.

’Kamu bilang untuk membandingkan. Mari kita bandingkan sekalian perbedaan kwalitas impor dengan lokal, ’ jawab Pohan.

’Kalau begitu biar aku makan yang lokal,’ usul Aswin.

’Tidak, kita bagi keduanya. Kita cicipi baik yang lokal maupun yang impor sama-sama,’ kata Pohan pula.

’OK,’ kata Aswin singkat, sambil tersenyum.

Dan mereka ngobrol sambil menunggu pesanan datang. Sambil memperhatikan juga tamu-tamu hotel yang ramai itu. Yang terlihat berwajah puas dan gembira. Menikmati makan malam mereka masing-masing. Macam-macam bahasa terdengar. Dan pelayan restoran ini sibuk melayani para tamu. Berjalan tergesa-gesa ketika menyampaikan pesanan ke dapur dan begitu pula ketika kembali membawa hidangan. Wajah pelayan inipun terlatih untuk senantiasa ramah dan tutur kata mereka sangat sopan santun.

’Coba kamu perhatikan. Restoran ini penuh. Di setiap tempat yang kita kunjungi selalu banyak pelancong. Kamu tahu tidak, berapa kira-kira jumlah turis yang datang ke sini setiap harinya,’ ujar Aswin.

’Yang aku tahu ada sepuluh sampai lima belas penerbangan yang datang langsung dari luar negeri setiap hari pada hari-hari biasa seperti sekarang. Dari Malaysia dan Singapura masing-masing dua penerbangan. Dari Bangkok, dari Hong Kong, dari Tokyo, dari Seoul, dari Syanghai dan dari Perth masing-masing satu. Dari Abu Dhabi, dari Kuwait, dari Jeddah, dari Brunai dari Manila dua sampai tiga kali seminggu. Kalau masing-masing pesawat membawa 300 orang saja, berarti tiap hari ada sekitar 3000 sampai 4500 orang yang datang. Makanya hotel-hotel selalu penuh dan hotel-hotel baru banyak yang sedang dibangun,’ jawab Pohan.

’OK. Berarti sekitar 1.5 juta orang per tahun. Sudah cukup banyak. Tapi aku yakin bisa bertambah banyak lagi. Prospek pelancongan di negeri ini sangat bagus. Karena memang tempat ini sangat layak dikunjungi,’ Aswin menganalisa.

’Benar sekali. Itu pulalah yang sedang aku rintis. Ikut mengembangkan pariwisata negeri ini,’ jawab Pohan.

Pesanan mereka datang. Dua T bone steak, saus jamur dengan pure kentang, lokal dan import. Hampir tidak ada bedanya. Dan seperti usul Pohan, mereka memotong dan membagi dua dagingnya.

Aswin mencicipi kedua bahagian itu bergantian.

‘Perfect. Yang impor sedikit lebih empuk dan memang sedikit lebih tasty. Bagaimana pendapatmu?’ tanya Aswin.

‘Akupun merasakan yang impor sedikit lebih empuk. Tapi rasa menurutku tidak ada bedanya,’ jawab Pohan.

Mereka nikmati makan malam itu dengan santai sambil meneruskan obrolan. Dan Aswin memperhatikan di kiri kanan, orang-orang asing itu menikmati makan malam mereka tanpa ’wine’, tanpa problem. Mereka minum lemon tea, atau air mineral. Happy happy saja. No problemo. Aswin juga minum lemon tea dingin sementara Pohan memesan Aqua saja. Dan mereka nikmati pula es krim coklat bercampur dengan vanila. Nyaman sekali.

Tiba-tiba lamat-lamat terdengar suara saluang. Dari hall tempat randai. Berarti acaranya segera akan dimulai. Benar saja, hari sudah jam setengah sembilan. Mereka tidak tergesa-gesa.

’Biar saja mereka mulai. Nggak apa-apa kita datang terlambat. Pertunjukannya akan berlangsung sampai jam sebelas,’ ujar Pohan.

’OK. No problem. Kita habiskan dulu es krim ini. Kamu masih mau minum teh atau kopi?’ tanya Aswin pula.

’Ah nggak usah. Aku sudah cukup dengan ini saja,’ jawab Pohan.

Akhirnya mereka selesaikan juga rangkaian makan malam. Dan sekarang mereka beranjak ke hall tempat pertunjukan randai. Sudah terlambat sepuluh menit. Pemain randai sudah ber heip tah – heip tah sambil menepuk celana galembong mereka.

Ramai yang menonton randai. Kursi penuh sampai ke belakang. Aswin dan Pohan masih mendapat tempat duduk tapi agak jauh di bagian belakang. Aswin menyimak baik-baik setiap untaian cerita yang disampaikan dalam bahasa Inggeris. Jadi bertambah paham dia dengan pertunjukan randai yang dimainkan. Tapi kata-kata pemain randai atau penyair dalam pengantar randai itu hampir tidak ada yang dimengertinya. Lamat-lamat dia fahami cerita tentang seorang ibu janda yang di pinang oleh seorang bangsawan asing tapi si ibu itu menolaknya. Dia kemudian diculik dan di bawa ke negeri orang asing itu untuk dipaksa menikah. Karena dia tetap menolak, ibu janda itu di penjarakan. Dia mempunyai seorang anak yang bernama Rambun Pamenan. Rambun Pamenan yang sudah beranjak dewasa, pergi mencari ibunya ke negeri yang jauh itu dengan bertanya ke sana ke mari, sampai akhirnya menemukan negeri tempat ibunya dipenjarakan. Rambun Pamenan menempuh hutan rimba, menyeberangi lautan untuk mencapai negeri itu. Dan dia berhasil membebaskan ibunya lalu membawanya pulang kembali ke kampung halaman mereka.

Cerita itu yang dimainkan dalam randai. Dengan syair dan pantun, diiringi bunyi saluang jo rabab. Dan celana galembong yang berlapoh-lapoh. Setiap kali satu adegan berganti, penyair membaca pantun yang sama yang sampai-sampai Aswin hafal. Balam timbago tigo gayo, murai barapak ateh pintu, salam takzim dari ambo, kaba baraliah tantang itu. Tentu saja perlu bantuan Pohan untuk menterjemahkan arti pantun peralihan adegan yang sudah dapat dihafalkan Aswin itu.

Asyik juga menonton randai. Dan mereka betah duduk sampai acara itu selesai jam sebelas kurang sepuluh menit. Barulah mereka masuk ke kamar untuk tidur.

’Besok pagi apa acara kita?’ tanya Aswin waktu mereka masih di lift.

’Habis sarapan kita ke Teluk Bungus untuk menyelam. Kita akan di sana sampai sekitar jam sepuluh, lalu berangkat menuju Solok untuk terus ke Danau Kembar. Jadi sehabis sarapan kita langsung check out saja dari hotel ini,’ usul Pohan.

’OK. Hari berikutnya yang mudah-mudahan akan banyak kejutan lagi. Seperti hari ini. Seperti hari-hari kemarin,’ kata Aswin.

Mereka sudah sampai di kamar untuk segera tidur.


*****

No comments: