Friday, October 31, 2008

CALEG

CALEG

Kemenakan jauhku Safwal datang berkunjung ke rumah. Agak terkejut aku menerima kedatangannya karena biasanya di Hari Raya saja jarang dia muncul. Setelah berbasa basi sebentar akhirnya dia langsung buka kartu.

‘Saya mohon doa restu mamak. Saya jadi caleg sekarang,’ katanya.

Aku tidak langsung bereaksi sesudah mendengar kata-katanya itu. Aku perhatikan wajahnya dengan pandangan tajam.

‘Caleg?’ tanyaku memecah keheningan beberapa saat.

‘Ya mamak. Caleg,’ jawabnya pendek.

‘Hebat juga kau. Maksudnya caleg yang mana nih? Calon anggota DPR atau DPRD?’

‘Calon anggota DPR, ‘mak,’ jawabnya.

‘Wooih. Hebat. Caleg partai apa ?’ tanyaku, mulai agak tertarik.

‘Dari partai berlambang mersedes, ‘mak,’ jawabnya.

Kali ini dia mengeluarkan kartu nama. Ada fotonya disitu. Aku mengambil lembaran kecil berwarna itu dan mematut-matutnya. Dia caleg daerah pemilihan dua Sumatera Barat. Caleg dengan nomor urut tiga. Dari sebuah partai yang baru sekali ini ikut berlomba. Tapi, ya kenapa tidak kalau dipikir-pikir. Kemenakanku ini pantas-pantas saja kalau seandainya nanti lolos jadi anggota DPR, begitu gumamku dalam hati.

‘Iyalah kalau begitu. Saya doakan semoga kau jadi anggota, dipilih oleh masyarakat,’ jawabku.

‘Saya datang disamping minta doa restu, terus terang juga minta referensi mamak. Minta bantuan mamak mengajak orang-orang kampung menyokong saya,’ tambahnya.

‘Insya Allah, sesanggup saya.‘

‘Maaf, ‘mak. Disamping itu, maaf sekali lagi, saya tentu juga memerlukan bantuan materil,’ tambahnya.

‘Insya Allah sesanggup saya pula. Tapi kau sendiri tentu sudah siap juga untuk ongkos menuju ke gedung di Senayan itu,’ tambahku.

‘Tentu mamak maklum. Besar pokoknya untuk kesana,’ jawabnya.

‘Saya lebih dari maklum. Itulah yang jadi tanda tanya besar. Dengan cara bagaimana kau sampai terpilih jadi caleg? Seingat saya, kau tidak pernah terdengar aktif berorganisasi.’

‘Berorganisasi paling di tingkat RT ‘mak. Di kantor saya jadi pengurus koperasi. Jadi begini, mamak. Saya diajak kawan sekantor. Ikut meramaikan dan membesarkan partai mersedes ini. Mulanya sayapun tidak yakin. Tapi ajakannya sangat bersungguh-sungguh. Dimintanya uang sepuluh juta untuk modal membuat kartu nama ini. Saya masih belum juga yakin. Seminggu sesudah itu dibawanya daftar caleg yang belum ditandatangani ketuanya. Nama saya sudah ada di dalamnya. Dan saya diajaknya ikut rapat partai. Disanalah saya yakin bahwa ajakan itu sungguh-sungguh dan saya mau ikut serta.’

‘Oo jadi begitu!?’

‘Ya, ‘mak. Ini kan kesempatan yang dibuang sayang, ‘mak.’

‘Tapi seberapa yakin kau akan berhasil? Akan dipilih rakyat? Bukankah orang di Sumatera Barat, di kampung kita itu tidak banyak yang mengenalmu? Bagaimana kau berharap akan dipilih mereka?’ tanyaku mulai agak serius.

‘Kemungkinan itu memang tipis ‘mak. Tapi kalau tidak saya ikuti kemungkinannya nol sama sekali,’ jawabnya berdiplomasi.

‘Ya, iyalah. Tapi modalnya tadi itu? Berapa modal yang kau perlukan?’ Dimana akan diambil ?’

‘Modal untuk pembuat baju kaus murahan bergambar wajah saya sepuluh ribu sepotong. Saya akan mencetaknya agak 5000 lembar...’ jawabnya mulai ragu-ragu.

‘Tidakkah kau lihat? Sudah lima puluh juta itu. Itu baru untuk membeli kaus. Belum untuk ongkosmu berkampanye. Untuk ongkos mendatangi massa. Akan berkali-kali lipat biayanya. Mari kita berandai-andai. Seandainya ke lima ribu orang yang menerima baju kausmu itu memilihmu. Apalah arti 5000 suara untuk mengantarmu masuk ke Senayan? Rasanya masih jauh panggang dari api. Saya bukan bermaksud mementahkan hasratmu,’ aku mengajaknya menelaah.

‘Itulah sebabnya saya mencari sponsor,’ jawabnya dengan suara mulai agak perlahan.

‘Begini, Safwal. Ketika kau ingin mendapat sokongan, mendapat simpati, pasti orang bertanya dulu. Apa program yang kau bawa. Apa yang kau janjikan. Kalau tidak jelas, bagaimana pula orang akan mendukung? Bagaimana pula orang akan mau berturun menyokong perjuanganmu?’

‘Pastilah saya akan berjuang mamak. Membela kepentingan orang banyak. Membela supaya petani bisa hidup layak. Nelayan bisa hidup layak. Pegawai negeri bisa hidup layak,’ ujarnya mulai berkampanye.

‘He..he..he.., Begitu itu kata semua caleg. Tapi dengan cara bagaimana? Bagaimana caranya kau akan memperjuangkan agar semua rakyat jadi makmur seperti itu? Tentu bukan dengan cara bim salabim.’

‘Pastilah ada caranya ‘mak. Kita ajak mereka bekerja lebih giat. Petani agar bertani lebih giat. Nelayan agar ke laut lebih giat. Pedagang berdagang lebih amanah. Dan seterusnya dan seterusnya. Itu yang akan saya sampaikan kepada mereka.’

‘Mereka sudah sejak dulu bergiat. Jauh sebelum kau mengajak. Dan mereka akan bertanya dengan apa mereka akan membeli pupuk untuk pertanian. Bagaimana caranya mendapatkan pupuk yang murah. Membeli solar untuk melaut. Bagaimana caranya mendapatkan solar dengan harga murah. Kau hanya akan mengajak-ajak saja? Tanpa pertolongan, tanpa bantuan apa-apa? Kau yakin mereka akan mendengarkan ajakanmu? Dengan cara seperti itu mereka akan bersimpati? Akan mau memilihmu?’

‘Saya sudah pergi ke daerah itu satu kali, ‘mak. Saya datang ke mesjid-mesjid. Minta izin kepada petugas mesjid utuk memperkenalkan diri saya sebagai seorang caleg. Belum berkampanye. Kelihatan masyarakat jemaah mesjid itu menerima saja. Paling tidak, tidak ada yang mencemeeh.’

‘Kalau tidak salah di mesjid tidak boleh berkampanye,’ kataku.

‘Memang tidak boleh. Saya tidak berkampanye. Hanya melakukan pendekatan saja. Memperkenalkan diri dan minta ijin untuk berkampanye di kampung-kampung.’

‘Sudahkah kau mulai berkampanye di kampung-kampung itu?’

‘Rencananya pada kunjungan berikut. Waktu itu nanti saya akan berkampanye. Saya akan membawa kaus berlambang partai,’ jawabnya.

‘Agaknya caramu itu belum jaminan. Tapi, ya terserahlah. Kalau kau yakin bahwa kau nanti akan dipilih orang cobalah teruskan,’ aku merasa tidak enak mementahkan terus pembicaraannya.

‘Mamak sendiri, saya harapkan tetap bisa menolong.’

‘Baik, bukankah sudah saya sanggupi. Tapi, berapa benarlah saya akan sanggup membantu?’

‘Seikhlas mamak sajalah,’ jawabnya, terlihat semakin ragu-ragu.

‘Paling banyak, sepuluh buah kaus,’ jawabku.

‘Kurang luas telapak tangan dengan nyiru saya tampung ‘mak,’ katanya sedikit berpetitih.

Entah kenapa, meski aku yakin bahwa dia tidak akan terpilih, terbit juga simpatiku sedikit melihat usahanya. Akhirnya aku serahkan uang untuk lima puluh lembar kaus.

‘Terima kasih banyak mamak. Tolong mamak doakan, siapa tahu, ikut pula saya berkantor di Senayan,’ katanya sebelum pergi.

Pemilupun berlalu. Seperti sudah kuduga, kemenakan jauhku itu tidak lolos. Jangankan caleg nomor urut tiga, yang nomor urut satu dan duapun tidak tembus. Ketika bertemu dengannya aku bertanya berbasa-basi.

‘Bagaimana kabar partaimu?’ tanyaku.

‘Payah, mamak. Partai barangkali baik-baik saja. Tapi saya gagal masuk ke Senayan,’ jawabnya datar.

‘Mungkin bisa dicoba lagi lima tahun mendatang,’ kataku.

‘Cukuplah sekali itu saja mamak,’ jawabnya.

‘Kenapa rupanya? Kenapa seperti bernada patah arang begitu kau?’ tanyaku.

‘Betul juga seperti analisa mamak. Besar sekali pokok yang diperlukan.’

‘Berapa besar belanja kau waktu itu?’

‘Malu saya mengatakannya ‘mak. Pokoknya cukup terkuduklah,’ jawabnya.

‘Kan banyak juga dari sumbangan-sumbangan. Dari para simpatisan,’ kataku.

‘Berapa benarlah ‘mak. Sebesar-besar sumbangan orang, jauh lebih besar yang keluar dari kantong sendiri. Bersua juga petitih mamak, sepandai-pandai mencencang, landasan juga yang hancur.’

‘Sudahlah. Ikhlaskan sajalah kalau begitu,’ kataku setengah menghibur.

‘Iya, ‘mak. Apa lagi yang akan ditangiskan. Lah lapeh punai ka rimbo,’ jawabnya.


*****

No comments: