Wednesday, December 19, 2007

KUSIR BENDI

KUSIR BENDI

Sudah tujuh tahun aku tidak menginjak tanah ini. Tanah tumpah darahku yang sebenar-benarnya. Tempat aku dilahirkan lebih lima puluh tahun yang lalu. Banyak yang berubah, tapi masih banyak yang masih serupa ketika aku tinggalkan pertama kali tiga puluh tiga tahun yang lalu. Paling tidak Jam Gadang, benteng tua Fort de Kock, Jenjang Ampek Puluah, Ngarai Sianok, bahkan Gunung Merapi dan Singgalang masih di tempatnya masing-masing.

Hari menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit. Panas matahari sudah menghalau semua rasa dingin. Ada kira-kira sepuluh menit aku mematut-matut ke arah timur dari puncak Jenjang Ampek Puluah. Jalan lurus ke arah Payakumbuh berawal di bawah telapak kaki. Berawal dari simpang tiga di bawah, dekat Pasar Banto. Jalan itu cukup ramai dilalui bermacam kendaraan. Sebagian besar angkutan kota, oto ketek bermacam-macam merek buah karya orang Jepang bercat merah dan kuning. Dan bendi. Ada lima buah bendi sedang ‘parkir’ berbaris di sisi sebelah utara jalan, ke sebelah toko-toko di Pasar Banto.

Entah kenapa, tiba-tiba aku kepingin sekali naik bendi. Dulu waktu aku kecil hanya ada dua macam alat transpor dari kampungku ke pasar Bukit Tinggi ini, kereta api (dari Biaro) atau bendi. Dengan kereta api kami harus berjalan kaki sejauh satu setengah kilometer ke stoplat Biaro, sedangkan dengan bendi kami bisa diantarkan sampai ke halaman rumah. Dan dulu itu, menyenangkan sekali rasanya kalau duduk dimuka, di samping pak kusir yang sedang bekerja.

Aku menapak perlahan-lahan menuruni tangga Jenjang Ampek Puluh. Terngiang pula pantun, Bukit Tinggi tanah ‘rang Agam, mendaki jenjang empat puluh, ke kiri jalan ke Malalak. Sakit sekecil biji bayam, tapi serasa ‘kan membunuh, di obat tidak kunjung cegak (=sembuh).

Tapi saat ini aku bukannya sakit. Tidak ada sakit sekecil biji bayampun. Kuturuni anak-anak tangga yang kecil-kecil ini. Masih empat puluh banyaknya. Hanya dalam hitungan menit aku sudah berada di dekat bendi-bendi yang berbaris-baris itu. Kuda-kuda bendi itu gagah-gagah dan berkilat-kilat. Mungkin bekas kuda pacu. Aku dekati bendi yang paling depan. Aku patut-patut kudanya yang gagah itu. Kusirnya seorang separuh baya berpakaian rapi, berkopiah hitam, dengan kain sarung dililitkan di lehernya. Dia tersenyum ramah memandang kepadaku. Tanpa berkata-kata apa-apa. Tidak seperti kusir bendi biasanya yang menanyakan apakah aku akan menyewa bendi. Mungkin dia tidak yakin orang seperti aku akan menyewa bendinya.

Rancak benar kuda ini mak kusir,’ aku mendahului menyapa.

‘Begitulah, pak. Kuda ternak sendiri,’ jawab kusir itu ramah.

‘Saya mau menyewa bendi, boleh?’ tanyaku lagi.

Diperbaikinya duduknya.

‘Mau kemana bapak? Mau raun-raun di Bukit Tinggi ini?’ tanyanya mulai agak yakin. Kali ini dia turun dari atas bendi.

‘Tidak. Tolong antarkan saya ke Biaro, terus ke Balai Gurah. Lantas angan?’ aku bertanya sambil melihat reaksinya.

‘Oh begitu. Iya benar bapak mau berbendi rupanya. Naiklah kalau begitu,’ katanya mempersilahkanku naik ke bendinya.

‘Tunggu dulu. Berapa ongkos?’ tanyaku. Memang begini persis caranya dulu.

‘Berapa benarlah pak, awak sama awak. Bayar sajalah berapa bapak mau. Naiklah kalau iya,’ desaknya lagi.

‘Tidak mau saya. Jelaskan dulu ongkos. Elok kita berjelas-jelas sejak awal,’ aku berupaya jual mahal.

‘Beginilah, bapak bayar saja ‘setali’. Saya kan kosong nanti balik kemari,’ jawabnya. Setali ini maksudnya dua puluh lima. Dua puluh lima ribu tentu saja.

‘Baiklah kalau begitu,’ jawabku sambil naik ke atas bendinya.

Dia menuntun kuda bendi itu berputar dari posisi parkirnya untuk mengarah ke timur, ke arah Payakumbuh. Kuda itu mulai berlari tangkas. Mak kusir meloncat naik ‘talen’ ke atas bendi. Dan kamipun mulai meng’hotar’. Dia yang lebih dahulu bertanya, berbasa basi.

‘Jadi di Balai Gurah kampung bapak?’ tanyanya memulai.

‘Iya,’ jawab saya. ‘Siapa gelar mak kusir?’ tanyaku mengalih bicara.

‘He..he..he.. Sutan Pangeran. Tapi sudah jarang orang memanggil gelar saya,’ jawabnya. Mungkin dia geli mendengar pertanyaan itu. ‘Kalau bapak? Siapa pula gelar?’ sekarang giliran dia balik bertanya.

‘Sutan Panduko. Bagaimana kalau kita saling memanggil gelar saja? Jangan panggil saya bapak. Dan saya akan memanggil Sutan Pangeran,’ usulku.

‘He..he..he.. Bapak, eh, angku Panduko sedang bernostalgia agaknya ya,’ katanya ramah.

‘Kita anggap saja begitu. Jadi….. dimana kandang kuda ini?’

‘Di Magek. Rumah anak saya disana,’ ungkapnya.

‘Kampung Tan Pangeran sendiri di mana?’

‘Di Koto Tangah. Dekat Magek itu juga,’ jawabnya.

‘Banyakkah penghasilan membawa bendi ini?’ tanyaku berbasa-basi.

‘Dimana pula akan banyak. Paling-paling membawa orang raun-raun serupa angku Panduko ini. Belum tentu ada tiap hari. Kalau untuk transpor orang sekarang naik angkot,’ jawabnya.

‘Tapi kuda ini sehat betul. Berapa belanjanya sehari?’

‘Sama banyak dengan belanja saya. Kira-kira sepuluh sehari,’ jawabnya. Maksudnya sepuluh ribu rupiah.

‘Sudah termasuk untuk pembeli sagu?’

‘Sudah masuk pembeli sagu,’ jawabnya. ‘Bendi ini untuk pamenan saja lagi sekarang. Untuk perintang-rintang hati. Kalau untuk mencari uang sudah terlalu berat. Kalah kami dengan oto,’ ujarnya lagi.

‘Berapa orang anak Tan Pangeran?’

‘Empat. Sudah lepas semua. Sudah mencarikan untungnya masing-masing. Yang paling besar menggalas di Padang. Adiknya, perempuan kawin dengan orang Solok, dibawanya merantau ke Medan. Yang nomor tiga jadi tukang jahit di sini. Di Pasar Atas. Yang bungsu perempuan jadi guru TK di kampung,’ jawabnya rinci.

‘Syukurlah kalau begitu,’ jawabku pendek.

‘Angku Panduko dimana rantau? Di Betawi?’ dia bertanya, dua kali bertanya.

‘Iya, saya jadi kuli di sana,’ jawab ku.

‘Oh begitu. Mencari sesuap nasi sebungkal emas,’ lanjutnya bergarah.

‘Tidak. Mencari sesuap nasi sebotol aqua,’ jawabku pula.

‘Orang rumah ada orang awak?’

‘He..he..he.. Kebetulan ada. Orang sebelah menyebelah,’ jawabku.

‘Oh sekampung. Orang Balai Gurah juga rupanya.’

‘Bukan, sebelah menyebelah Gunung Merapi. Dia orang sebelah sana, saya di sebelah sini.’

‘Di sebelah dimana? Di Batusangkar?’

‘Betul.’

Kuda itu bergeritik dengan ladam di kakinya dengan irama teratur. Sekali-sekali terkentut pula. Bahkan sekali-sekali tercirit pula. Kami terus juga menghotar ke barat ke timur. Sampai di Parit Putus terdengar suara azan.

‘Kalau berhenti kita sebentar, bagaimana kira-kira Tan Pangeran?’

‘Boleh saja angku. Mabuk angku naik bendi?’ guraunya.

‘Kalau berhenti kita di dekat mesjid itu bagaimana kira-kira?’ sambungku.

‘Mau sembahyang disini angku?’ tanyanya agak sedikit heran.

‘Iya. Karena pas sedang azan pula. Berhenti dulu kita. Biar beristirahat pula kuda agak sejamang,’ jawabku.

‘Rancak. Boleh saja,’ katanya sambil membelokkan lari kuda ke arah mesjid yang agak menjorok sedikit dari jalan raya.

Kamipun turun. Sutan Pangeran menambatkan kudanya. Kami pergi berwuduk. Orang-orang sudah berdatangan mau shalat berjamaah. Kamipun shalat. Sutan Pangeran juga.

Sesudah shalat kami teruskan perjalanan. Menuju ke timur. Jarang bendi lalu di jalan ini. Aku perhatikan dari tadi, mungkin hanya kami saja yang berbendi-bendi. Hotar kami masih berlanjut. Aku kagum mendengarkan dia bercerita bahwa dia, insya Allah tidak pernah lupa shalat. Dan dia mengatakan bahwa dia juga tercengang ada orang sengaja berhenti untuk shalat di tengah jalan.

Di Pinang Berdirik, selepas Tanjung Alam aku ajak lagi dia berhenti.

‘Berhenti mengapa pula kita lagi angku?’ tanyanya.

‘Makanlah kita dulu. Belokkanlah kuda ini ke lepau di sebelah kanan itu,’ usulku.

Diturutinya usul itu. Kuda bendi itu berbelok ke kanan. Dihentikannya di bawah pohon limau dekat lepau.

‘Marilah. Makan dulu kita disini,’ ajakku.

‘Makan sajalah angku. Saya baru sebentar ini benar makan. Biarlah saya nantikan disini,’ katanya berbasa.

‘Makan dulu kita. Ikatkan kuda ini, makan kita ke dalam,’ ujarku setengah memerintah.

‘Sebenarnya angku. Saya tidak berbasa. Pergi sajalah angku,’ jawabnya.

‘Kalau Tan Pangeran tidak ikut makan, terus sajalah kita. Saya juga tidak mau makan,’ aku berbalik ke bendinya.

‘Hanta begitu? Angku Panduko mungkin sudah lapar. Saya masih kenyang. Makan sajalah,’ katanya.

‘Tidak berselera saya kalau makan sendiri. Kalau mau Tan Pangeran menemani, makan saya. Kalau tidak, ya tidak usah. Bagaimana?’ desakku.

‘Sudahlah, biarlah saya temani kalau memang demikian.’

Akhirnya kami makan. Sambil meneruskan obrolan. Dan sesudah makan aku robah acara.

‘Kita kembali ke Pasa saja Tan Pangeran. Kita tidak jadi ke Balai Gurah,’ aku bilang.

‘Hanta begitu? Tidak jadi mau melihat kampung?’ tanyanya, tidak terlalu heran sebenarnya.

‘Lain kali sajalah. Disanapun rumah berkunci yang akan saya dapati,’ jawabku.

Kami kembali menuju Bukit Tinggi. Aku terakuk-akuk menahan kantuk sesudah kekenyangan. Seperti bait lagu Ginyang Mak Taci. Angku Gadang makan dengan lauk, perut kenyang mata mengantuk, bertemu dengan mak Gepuk, sugi sebesar kue mangkuk. Dan kuda bendi itu berlari tangkas. Kadang-kadang terkentut-kentut pula. Kadang-kadang tercirit pula.



*****

4 comments:

None said...

Yang saya tau "setali tiga uang", kalau dianggap tiga ribu, rasanya masih sah-sah saja.
Tapi kalau "setali dua puluh lima" apalagi sampai dua puluh lima ribu!
wadduuuhhh... rugi bandar itu!

hehehehee...

PonBir said...

ondee, salam yaa uni dan mamak.
Saya tinggal di Jatibening juga, agaknya saling mendukung akan membawa web terkenal. Salam dan tengok ke http://www.jatibeningbekasi.blogspot.com

Salam
AGsk

elfitra baikoeni said...

Sungguh menyentuh sekali ceritanya, saya membaca dari awal sampai akhir kisah ini. Saya yakin tentu ini memoar kisah nyata dari Mak Panduko. tetapi sayangnya mengapa setelah sampai di Pinang Balirik, baik kembali ke Bukittinggi, bukankah sebentar lagi akan sampai ke Balai Gurah, kampung halaman tercinta??? Apalagi sudah bertahun-tahun negeri indah itu ditinggalkan??? Kalau alasannya rumah terkunci, saya kira tentu masih banyak sanak famili jauh yang bisa dijadikan tempat menumpang satu dua hari untuk melepaskan kengen dan rindu akan masa kanak yang indah. Sayang Mak Panduko tak jadi bersua dengan sahabat-sahabat lama yang mungkin sudah lama merindukan pulangnya orang rantau....

M.D. Saib Lembang Alam said...

Terima kasih Elfitra.

Balai Gurah adalah kampung saya. Tapi saya bukan Sutan Panduko. Dan cerita ini hanya fiksi saja.

Wassalam