Monday, January 21, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (20)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (20)

20. PUTING BELIUNG

‘Aku berangkat ke kantor dalam keadaan lusuh pagi itu. Sesampai di kantor aku coba menelpon ke RSU Bukit Tinggi untuk menghubungi adikku. Aku beruntung karena dia dinas malam dan aku dapat langsung berbicara dengannya. Aku minta tolong agar meminta mamak kami, kakak ibuku, datang ke Bukit Tinggi untuk menelponku. Ada urusan sangat penting. Adikku tentu saja sangat heran, urusan penting apa yang ingin aku sampaikan. Aku suruh dia bersabar saja karena nanti pasti dia akan tahu juga. Jadi tolong jemput mamak dan bawa beliau ke kantor telepon di Bukit Tinggi, kataku.

Sesudah itu aku datang menghadap Brian Skinner, atasanku. Aku minta waktu untuk membicarakan masalah pribadi yang sangat rumit, kataku. Brian seorang atasan yang baik, sangat perduli dengan bawahan.

Aku menceritakan masalahku secara ringkas dan ancaman Indra kepadaku. Dia melongo mendengar ceritaku, tapi mungkin agak kurang mengerti.

‘Apa urusanmu dengan bapakmu yang PKI? Apalagi bapakmu sudah meninggal,’ katanya.

‘Urusan ini akan sangat fatal akibatnya kepadaku dari sisi pandangan pemerintah dan Pertamina, karena aku dicap tidak besih lingkungan,’ jawabku.

‘Itu impossible. Selama kamu tidak PKI kan tidak ada problem. What is the problem?’ tanyanya lagi.

Aku ulangi lagi menerangkan bahwa ini aturan pemerintah Republik Indonesia yang memerintahkan kepada badan-badan pemerintah untuk memberhentikan orang-orang yang ada keterkaitannya dengan PKI apakah itu istri, anak atau bahkan cucu. Memang impossible secara logika tetapi itu yang berlaku dan sudah banyak yang jadi korban.

‘Jadi bagaimana saya harus membantumu ?’ tanyanya.

‘Ini memang urusan dengan orang sakit jiwa. Orang yang mengancamku ini mengatakan bahwa kalau dia melihatku dia tergoda untuk melampiaskan kekesalannya dengan membocorkan masalahku ini. Aku berpikir apa tidak ada kemungkinan orang ini dikembalikan saja bekerja di lapangan seperti sebelumnya. Karena kalau dia di lapangan seperti setahun sejak dia mulai bekerja, dia tidak pernah mengancamku seperti ini,’ kataku menjelaskan.

‘Wah, ini usul yang sulit bagiku melakukannya. Bagaimana aku bisa menerangkan urusan seperti ini ke atasannya? Dan atasannya si Dick Knox itu juga sama psichopatnya,’ jawab Brian.

‘Aku tentu tidak bisa memaksakan. Tapi aku serius, bahwa itu salah satu langkah yang mungkin menolongku, dan aku ulangi, mungkin bisa menyelamatkanku,’ kataku.

‘Kamu tidak usah terlalu pusing. Pasti ada jalan lain. Aku akan coba membicarakannya dengan Dick Knox meski aku kurang yakin akan berhasil. Nanti aku pikirkan lagi cara lain,’ katanya.

‘Terima kasih, Brian.’


***

Aku tinggalkan Brian Skinner. Aku sejujurnya tidak terlalu yakin dia akan dapat berbuat sesuatu. Bagaimana mungkin usulku, agar orang dari departemen lain disuruh pindah, akan diterima oleh perusahaan. Siapa benar aku di perusahaan ini? Mungkin justru akan jadi bahan tertawaan.

Jam sepuluh aku dapat telepon dari mamakku dari Bukit Tinggi. Aku jelaskan serba singkat apa yang sedang menimpaku. Ancaman dari Indra anak tek Kawisah, kemenakan pak Kahar Sutan Mudo, cucu inyiak Datuk Rajo Bamegomego.

Mamakku berjanji akan mencoba berbicara dengan orang sepersukuannya. Mungkin dengan nenek Rohana adik inyik Datuk, orang tua yang cukup disegani di kalangan kaum itu, yang lebih jernih pemikirannya. Kalaulah nenek Rohana itu bisa mempengaruhi tek Kawisah, apakah tek Kawisah akan mampu mempengaruhi si Indra? Tidakkah pak Kahar akan justru membela si Indra?

Aku berzikir, berzikir, berzikir.

Ah, apa pula yang akan ditakutkan. Apa pula yang akan dipusingkan. Kalau benar-benar nanti yang paling buruk yang terjadi, karena aku tidak mau mengundurkan diri dari perusahaan ini, yang justru akan menimbulkan tanda tanya orang, kenapa aku keluar, biarlah kuhadapi saja. Bumi Allah seluas ini kenapa mesti takut. Bukan di perusahaan ini saja Allah menyediakan rezeki untukku.

Sudahlah. Biarkan sajalah. Apapun yang akan diperbuat oleh manusia jahil itu akan aku terima apa adanya. Karena aku memang diposisi yang tidak mungkin membela diri. Bukan aku putus asa. Bukannya aku sudah apatis. Aku mencoba realistis saja. Ayahku memang PKI, terdaftar sebagai anggota PKI, yang kenyataannya belum pernah keanggotaan beliau dibatalkan dari partai itu. Buktinya, beliau dipenjarakan oleh pemerintah. Jadi aku tidak akan menghindar dari tudingan itu kalau memang nanti aku dituding seperti itu, sebagai anak orang PKI, sebagai orang yang tidak bersih lingkungan istilahnya.

Subhanallah, aku tiba-tiba jadi tenang. Dengan pertolongan Allah. Aku kembali bisa bekerja. Aku lupakan urusan besar itu.

Berminggu-minggu berlalu. Tidak aku dengar entah apa hasil pembicaraan atasanku si Brian Skinner. Aku tidak tahu entah jadi dia berbicara dengan si Dick Knox atau dengan siapapun, entah tidak. Aku tidak pernah menanyakan kepadanya. Yang aku tahu si Indra masih berkantor disini. Aku bahkan tidak takut bertemu dengan si Indra. Kalau bertemu aku sapa dia seperti tidak terjadi apa-apa. Wajahnya masih tetap tidak berubah kalau melihatku. Wajah orang sakit jiwa. Tapi aku biarkan saja. Aku tidak perduli.

Dari mamakku dapat berita, beliau sudah berbicara dengan nenek Rohana. Nenek Rohana minta maaf kalau benar itu yang terjadi. Kalau benar si Indra mengancam akan menyulitkanku di kantor. Beliau benar-benar sangat menyesali perbuatan jahil seperti itu. Nenek Rohana akan berbicara dengan pak Kahar Sutan Mudo. Dan hasil pembicaraan itu nanti akan diberitahukan kepada mamakku. Tapi, sudah dua minggu sejak mamakku menelpon balik mengabarkan berita itu, belum ada berita tambahan. Dan aku tidak mau menanyakannya lagi.

Di rumah aku berusaha meyakinkan Ita. Seandainya aku keluarpun dari perusahaan ini nantinya, aku akan banting stir. Aku akan manggaleh, akan membuka toko buku seperti punya pak etek di Surabaya. Tapi Ita sangat terpukul, sangat takut dan khawatir kalau aku benar-benar sampai dikeluarkan. Dia khawatir dia akan kena imbas. Papanya akan kena imbas. Sebuah kekhawatiran yang berlebih-lebihan.

Sudah lebih dua bulan berlalu sejak hari ancaman Indra. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Sementara itu aku diminta untuk mengikuti seminar wellhead engineering di Perth, Australia selama seminggu nanti di bulan September. Dua minggu sebelum berangkat, aku sudah memegang tiket pesawat, sudah dapat visa Australia. Visa untukku dan Ita yang akan kubawa ikut kesana.

Aku diingatkan oleh kepala security kantor bahwa aku harus mengikuti screening karena akan pergi ke luar negeri. Hal yang dulu juga aku lalui tanpa masalah ketika aku akan pergi ke Dallas.

Pada satu hari Senin pagi aku diantarkan petugas security ke kantor security Pertamina seperti biasa. Aku bertemu dengan bapak petugas security yang dulu juga melakukan interview atau screening. Dan screening itupun berlangsung.

Dimulai dengan kata-kata maaf dari pak Sugito petugas security Pertamina itu.

‘Ini ada informasi baru tentang diri saudara yang kami sedang mencoba mempelajari kebenarannya,’ katanya.

Aku diam. Berusaha untuk tidak gugup. Dalam hatiku aku baca ayat kursiy. Dan diam.

‘Aneh juga bahwa informasi ini diberikan oleh rekan sekerja saudara yang rupanya berasal dari satu kampung dengan saudara,’ katanya lagi.

Aku tetap diam. Diam dalam zikir. Jangan panik, jangan memelas-melas, jangan berbohong, kata suara dalam hatiku.

‘Maaf, bagaimana komentar saudara tentang laporan ini?’ tanya petugas itu kembali.

‘Maaf pak, bapak belum menjelaskan apa informasi yang bapak dapat itu,’ kataku tenang.

‘Laporan yang mengatakan bahwa ayah saudara adalah anggota PKI aktif sampai tahun 1965 dan bahkan dipenjarakan karena itu,’ katanya pula.

‘Tidak saya bantah. Beliau memang pernah terdaftar jadi anggota PKI. Walaupun beliau kemudian menyatakan keluar dari partai itu. Benar pula bahwa beliau pernah dipenjarakan selama dua tahun, dan kemudian dilepaskan. Saya mengetahui beliau dilepas sesudah dua tahun itu karena pejabat pemerintah menilai beliau tidak lagi anggota PKI,’ jawabku.

‘Pertanyaan pertama, kenapa saudara berbohong selama ini dengan mengatakan bahwa ayah saudara tidak pernah menjadi anggota partai terlarang. Pertanyaan kedua apakah saudara punya bukti tertulis bahwa ayah saudara tersebut sudah keluar dari partai komunis ketika itu?’

‘Pertanyaan bapak yang pertama saya jawab sejujurnya saja, saya memang menyembunyikan fakta bahwa ayah saya pernah terlibat PKI. Karena, saya berkeyakinan bahwa apapun dosa dan kekeliruan ayah saya tentu tidak bisa dipikulkan kepada saya. Yang kedua bukti tertulis bahwa beliau sudah tidak lagi jadi anggota PKI memang tidak ada. Pasti beliau tidak akan minta surat pemecatan dari partai tersebut. Saya hanya bisa mengatakan bahwa ada saksi-saksi di kampung saya yang menyaksikan bahwa beliau pernah menyatakan tidak akan ikut-ikut lagi dengan kegiatan partai itu.’

‘Jawaban saudara yang pertama tidak bisa dipertanggung jawabkan. Pemerintah mengambil kebijaksanaan yang sangat berhati-hati dalam masalah kegiatan partai yang sangat berbahaya ini. Sejarah membuktikan bahwa orang-orang PKI yang membuat makar di tahun 1965 adalah anak-anak dari angkatan yang berbuat makar di tahun 1948. Jadi ada hubungan sangat jelas dalam hal ini dan sangat perlu adanya jaminan bahwa setiap individu itu bersih lingkungan. Bersih dari pengaruh ideologi yang mungkin didapat dari pengaruh ayah atau bahkan kakeknya sekalipun. Jawaban saudara yang kedua perlu pembuktian lebih lanjut. Bagaimana kesaksian orang-orang yang menyaksikan bahwa ayah saudara sudah menyatakan keluar dari PKI. Kapan dan dimana ucapan itu dikeluarkan. Dalam kesempatan apa. Karena mungkin saja itu juga merupakan suatu taktik. Apa lagi kalau pernyataan itu dikeluarkan sesudah tanggal 30 September tahun 1965.’

‘Komentar bapak untuk yang pertama, bisa saya fahami untuk kondisi secara khusus. Mungkin sekali orang menjadi anggota PKI karena faktor pengaruh orang tuanya. Saya hanya bisa mengatakan untuk diri saya, insya Allah saya tidak pernah terpengaruh sedikitpun dengan ideologi tersebut. Dan saya juga mengetahui latar belakang kenapa ayah saya ikut-ikutan jadi PKI, dan kemudian menyesal setelah itu.’

‘Maaf saudara, saya tidak dalam posisi mau menghakimi saudara. Saudara boleh saja memberikan segala macam alasan dan alibi. Tapi saya hanya meminta konfirmasi dan kejujuran saudara tentang informasi yang kami dapatkan ini. Jadi ringkasnya, saudara mengakui bahwa ayah saudara pernah jadi anggota partai terlarang, dalam hal ini PKI?’

‘Baik, pak. Saya akui.’

‘Baik kalau begitu. Saudara tahu apa sangsinya?’

‘Saya tahu. Saya akan diberhentikan dari tempat saya bekerja.’

‘Mungkin bisa lebih jauh dari itu. Mungkin saudara akan dituntut di pengadilan sebagai orang yang memberikan data palsu.’

‘Baik, pak. Saya tidak akan berkomentar apa-apa.’

‘Saya hanya memberi tahu saudara saja, bahwa bagaimanapun kasus ini masih akan diselidiki lebih lanjut walaupun saudara sudah mengakuinya. Bukan tidak mungkin kami akan memeriksa sampai ke kampung saudara kebenaran informasi yang saudara tambahkan seperti misalnya, ayah saudara sudah dalam proses mau keluar dari partai komunis waktu itu. Ada yang ingin saudara tanyakan yang lain?’

‘Tidak ada pak.’

‘Saudara tidak ingin menanyakan siapa yang memberi laporan ini?’

‘Kan sudah bapak katakan tadi bahwa dia rekan sekerja dan satu kampung dengan saya.’

‘Ya, dan bahkan dikukuhkan oleh orang lain dari kampung saudara. Saudara kenal dengan Kaharuddin Sutan Mudo?’

‘Kenal, betul beliau itu satu kampung dengan ayah saya. Dengan saya.’

‘Baik. Terima kasih atas kerja sama saudara. Saya harap saudara cukup jantan untuk menghadapi segala sesuatu yang mungkin menimpa saudara karena kasus ini. Sementara ini saudara tetap saja bekerja seperti biasa, sampai nanti ada keputusan yang lebih pasti dari fihak manajemen Pertamina.’

‘Baik, pak,’ jawabku pendek.

Aku keluar dari ruangan security itu dengan dada plong saja. Dengan perasaan tenang saja. Tidak ada marah. Tidak ada mangkel. Tidak ada sumpah serapah dalam hati. Aku hanya berzikir. Berzikir. Berzikir. Dan kembali ke kantor.’


*****

No comments: