Thursday, March 27, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (28)

28. Thawaf Wada’


Jam sepuluh lebih dua puluh. Si Bungsu melapor bahwa sampai saat ini dia ‘bersih’. Saya bilang, pergilah mandi dan setelah itu ‘bismillah’. Dia langsung mengerjakan yang saya suruh. Jam setengah sebelas kami semua turun dan berangkat menuju mesjid. Inilah ‘wada’ ‘ itu. Inilah perpisahan itu. Kami naik ke lantai dua mesjid. Berlima, sekeluarga utuh. Mudah-mudahan Allah terima ‘suci’ nya si Bungsu. Dan inilah sekali-sekalinya kami melakukan thawaf dengan bersama-sama seperti ini pada kesempatan berkunjung untuk ibadah haji ini. Segera saja kami dekati batas ‘start’ yang ada lampu tanda berwarna hijau. Berbaris berlima. Bismillahi Allahu Akbar. Memberi isyarat ke sudut hajar aswad. Dan setelah itu melangkah maju. Saya biasa membaca zikir, atau membaca ayat-ayat hafalan saya kalau sedang thawaf. Kecuali dari sudut yamani menjelang sudut hajar aswad, seperti yang disunnahkan membaca doa ‘sapu jagad’. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wafil aakhirati hasanah, waqinaa ‘atzaabannaar. Saya biasa menandai dengan jari tangan setiap nomor putaran.

Kamipun melangkah terus. Sambil sekali-sekali yang sering kali melongok juga ke arah ka’bah. Dalam doa, dalam zikir. Dalam tetesnya air mata lagi. Di bawah sana, masya Allah ramainya jamaah yang sedang berthawaf pula. Itulah pertimbangannya tadi saya mengajak keluarga saya untuk melakukannya di lantai dua ini. Disinipun sebenarnya cukup ramai yang thawaf. Seorang ibu-ibu India salah berpegangan tangan kepada si Tengah. Berpuluh-puluh atau mungkin beratus langkah sebelum dia sadar dan melepaskan tangannya sambil tersipu. Sambil mencari pasangannya yang tertinggal beberapa langkah di belakang.

Kami selesaikan putaran demi putaran dengan santai. Tidak tergesa-gesa. Karena insya Allah waktu kami lebih dari cukup. Sementara itu jamaah yang datang ke mesjid makin bertambah banyak karena semakin mendekati waktu zuhur. Sebelum jam dua belas selesai ketujuh putaran itu. Kami berhenti di tempat yang kira-kira sejajar dengan maqam Ibrahim untuk shalat sunah. Sebelumnya saya ingatkan istri dan anak-anak saya agar nanti sesudah shalat zuhur langsung menjamak shalat ashar. Kalau memungkinkan kita lakukan bersama-sama, tapi kalau tidak memungkinkan biar saya sendiri terpisah. Saya suruh mereka duduk agak ke belakang, di tempat yang sudah banyak jamaah wanitanya. Saya berada di bagian depan. Beberapa jamaah yang bergabung wanita dan laki-laki di depan sini (seharusnya tentu mereka suami istri) di tegor oleh petugas berpakaian biasa, menyuruh agar wanitanya pindah ke belakang. Ada yang segera patuh saja, ada yang memerlukan beberapa kali tegoran sebelum mengerjakannya.

Jam setengah satu lebih berkumandang azan. Inilah azan terakhir kiranya yang akan saya dengar dari mesjid ini. Mudah-mudahan untuk kali ini dan mudah-mudahan Allah izinkan saya untuk mendengarkan azan seperti ini disini kembali nati. Saya shalat sunah qabliyah seperti kemarin. Dua kali dua rakaat. Yang kedua belum selesai, masih menjelang salam, terdengar iqamat. Kami berdiri berbaris rapi. Imampun takbir. Allaahu Akbar! Kamipun takbir.

Sesudah salam saya segera berdiri. Melihat ke belakang. Tidak mungkin kami shalat jamak berdekat-dekatan. Saya beri isyarat si Sulung yang pas melihat ke arah saya agar shalat di sana saja. Saya iqamat sendiri sambil berbisik. Dan shalat sendiri. Shalat ashar jama’ taqdim. Baru saya lanjutkan dengan zikir. Dengan doa lagi.

Waktu jamaah sudah mulai berdiri untuk beranjak keluar saya panggil istri dan anak-anak saya untuk mendekat. Memandang ka’bah dari atas sini, dari pagar pembatas. Memandang ka’bah yang akan kami tinggalkan. Saya suruh mereka berdoa. Berdoalah! mudah-mudahan Allah mengizinkan kita sekalian datang lagi kesini kelak. Mereka berdoa. Istri dan anak-anak saya. Mereka berdoa dan menangis. Cukup lama kita berdiri terpaku. Dan akhirnya tentu harus melangkah juga keluar. Harus meninggalkan juga tempat ini. Meninggalkan juga ka’batullah ini. Meninggalkan jamaah yang masih banyak di dalam mesjid.

Kami melangkah ke arah pintu. Menuruni anak tangga. Dan keluar dari mesjid. Dari pintu nomor 45, tempat kami selalu keluar masuk. Dalam diam. Semua diam tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sesampai di hotel kami pergi makan siang. Kelihatannya kami termasuk rombongan yang terakhir. Ruangan makan itu sudah sepi. Jamaah lain sudah lebih dulu selesai makan dan sedang bersiap-siap untuk turun ke lobby. Kelihatannya semua sudah ingin cepat-cepat berangkat. Karena rencananya kami akan berangkat jam dua siang ini.

Kamipun mampir ke kamar. Mengemasi barang-barang tentengan. Dan langsung turun pula ke lobby. Akhirnya saya kena juga demam ingin cepat berangkat ini. Hari masih kurang dari jam dua. Dan saya tidak yakin kami akan benar-benar berangkat jam dua. Busnya belum lagi datang. Dan perlu waktu untuk menaikkan koper-koper kami ke bagasi bus. Saya ikut bergegas turun karena saya punya keperluan lain di bawah sana. Mengisi jeriken saya dengan air zam-zam. Jeriken ini saya beli tiga hari yang lalu, waktu dokter menganjurkan agar saya banyak minum. Dan sejak itu saya isi jeriken ini dengan air zam-zam untuk minum kami berlima kalau lagi di kamar. Dan sekarang jeriken ini sudah hampir kosong. Saya akan mengisinya untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Mulailah kami menunggu di lobby hotel. Menunggu sampai bus datang. Menunggu sampai barang-barang dinaikkan ke atas bus. Akhirnya liwat jam tiga baru kami bergerak meninggalkan hotel. Waktu yang nyaris ashar. Waktu orang sudah berduyun-duyun lagi menuju ke mesjid. Saya memandang mereka dengan pilu dan lesu. Saya tidak ikut lagi bersama mereka. Kami sedang berangkat pulang.


*****

No comments: