Sunday, December 23, 2007

GUNUNG MARAPI

GUNUNG MARAPI


Kalau kita melihat arah ke selatan dari bawah Jam Gadang di Bukit Tinggi pandangan kita akan lepas ke arah Gunung Marapi. Gunung ini membujur dari timur ke barat dengan kepundan aktif terletak di puncak sebelah barat. Ketika kepundan mengeluarkan asap akibat batuk-batuk atau ketika nyala api keluar dari lubang kepundan itu, pemandangan ini dapat terlihat dari Bukit Tinggi. Dalam pelajaran ilmu bumi di SR dulu aku mengetahui bahwa tinggi gunung Marapi ini 2890m di atas muka laut. Bandingkan dengan Bukit Tinggi yang letaknya 911m di atas muka laut. Untuk mencapai kepundan itu bagi para pendaki gunung ada jalan dari Koto Baru, sebuah kampung yang terletak sekitar 8 kilometer dari Bukit Tinggi di jalan antara Bukit Tinggi dan Padang Panjang.


Tapi Gunung Marapi bagiku adalah seolah-olah milik ’kami’ karena terletak ’persis’ di belakang rumah kami. Memandang Gunung Marapi dari belakang rumah jauh lebih dekat dibandingkan dengan melihatnya dari Bukit Tinggi. Kampung kami Koto Tuo Balai Gurah terletak nyaris di kaki gunung tersebut. Melihat ke arah gunung dari belakang rumah masih agak berjarak sebenarnya. Tapi kalau kita berjalan kaki satu setengah kilometer lagi mendekatinya akan kita jumpai kampung Lasi yang benar-benar sudah terletak di kaki gunung ini. Disini kita harus mendongak untuk melihat puncak gunung. Pemandangan ke arah Gunung Marapi dari belakang rumah adalah sebuah pemandangan yang kami bawa tidur ke alam mimpi. Indah sekali dan takkan pernah terlupakan.


Kehidupan remajaku dengan teman-teman remaja di kampung sangat akrab dengan Gunung Marapi. Gunung ini bukan hanya untuk sekedar kami pandang-pandang saja, tapi sering kami datangi. Kami biasa mendaki sampai ke Pasanggerahan yang terletak sekitar 4 atau 5 kilometer dari rumah, melalui Lasi terus ke Lasi Tuo dan berbelok ke arah timur. Mungkin dulu sudah direncanakan Belanda untuk menjadikan tempat ini sebagai tempat tetirah tapi belum kesampaian. Ada beberapa tumpukan pohon pinus tumbuh di Pasanggerahan ini yang dapat terlihat dari belakang rumah kami. Pohon-pohon pinus itu pastilah ditanam oleh penjajah Belanda. Tidak ada bangunan apa-apa di dekatnya. Pemandangan dari Pasanggerahan dapat dilayangkan ke hamparan Ampek Angkek Candung di bawah yang berbatas dengan bukit kapur rangkaian Bukit Barisan jauh ke daerah Kamang di sebelah utara dan ke hamparan Bukit Tinggi di sebelah barat daya. Ke tempat ini, aku dan teman-temanku suka pergi ketika kami remaja kanak-kanak, masih murid sekolah rakyat ketika itu. Dengan berbekal nasi bungkus dari rumah, kami datang kesini sekedar bermain-main begitu saja dan sesudah makan dan bermain sebentar kami segera kembali pulang.


Pada kesempatan lain kami naik kearah atas lagi dari kampung Lasi Tuo. Di tempat ini kami temui kebun tebu rakyat. Tebu yang nantinya diolah menjadi saka (yang susah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Saka adalah hasil kilangan air tebu yang dipanaskan kemudian di cetak dengan tempurung kelapa menjadi bentuk cakram kecil dengan diameter 10 cm. Mengilang artinya memeras air tebu dengan kilangan yang diputar dengan bantuan kerbau untuk menjepit batang-batang tebu. Aku tidak tahu kenapa ada saka kering dan ada saka yang basah. Tapi aku masih ingat bahwa saka basah biasanya jadi bahan untuk membuat kalamai (=dodol). Hasil lain dari produk tebu yang diperjual belikan adalah tengguli, cairan air tebu yang sudah dimasak atau dipanaskan berwarna coklat tua dan kental. Waktu aku kecil, biasanya ada amai-amai (=ibu-ibu) berjualan tengguli yang dijunjung dalam kaleng minyak dan dijajakan ke kampung-kampung. Ibuku suka membelinya. Selain untuk bahan kalamai tengguli biasa digunakan untuk memakan ketan yang ditaburi kelapa parut lalu dibubuhi tengguli. Sangat enak.


Waktu pulang dari kunjungan ke parak (=kebun) tebu, kami diberi hadiah oleh-oleh sebatang tebu oleh pemilik kebun. Tebu yang nantinya dibuang kulit batangnya lalu dimakan mentah-mentah.


Ada lagi masanya aku ikut pergi berburu babi dan ini ketika aku sudah benar-benar remaja. Kami pergi berburu bersama-sama Muncak-muncak buru dari nagari yang jauh-jauh yang masing-masing membawa anjing pemburu kesayangan mereka. Rombongan pemburu dengan membawa anjing ini bisa sampai ratusan orang jumlahnya. Karena sering melihat mereka melintasi kampung kami menuju ke arah gunung untuk pergi berburu, timbul pula keinginanku untuk mencoba ikut. Aku pernah punya seekor anjing kampung yang aku bawa pergi berburu itu. Kami ke luar masuk rimba dan semak mengiringkan anjing-anjing yang heboh menyalak. Pada waktu tertentu anjing-anjing yang tadinya diikat kami lepas dan mereka berhamburan masuk semak sambil mengendus dan menyalak. Beberapa saat kemudian kalau salak mereka mulai berkurang sebagai bukti bahwa mereka tidak menemukan babi buruan, para pemilik anjing memanggil anjing-anjing mereka kembali. Anjing-anjing itu ada yang bernama si Kalupak, si Kumbang, si Balang dan sebagainya.


Berhasil membunuh babi hutan dalam bahasa pemburu di Minang disebut ‘mamatah’. Ketika ditanya orang adakah mamatah hari ini, arti pertanyaan tersebut berapa ekor babi hutan yang dapat dibunuh hari ini. Jika babi itu berhasil diburu biasanya bangkainya dipotong-potong dan dicincang untuk diberikan kepada anjing pemburu. Banyak orang dari luar Minangkabau terheran-heran dengan kebiasaan masyarakat yang kuat dalam beragama Islam ini tapi memelihara anjing dan gemar berburu babi. Padahal tujuannya disamping olahraga dan menyalurkan hobi juga untuk membasmi hama babi. Hanya saja kadang-kadang keakraban para Muncak buru dengan anjing memang agak berlebihan.


Tapi ketika aku ikut pergi berburu itu aku tidak melihat ada babi yang berhasil terbunuh. Ini memang suatu keanehan. Babi yang sering merusak dan bahkan sering terlihat oleh penduduk di hari-hari biasa ketika diburu bisa menghilang entah kemana.


Kampung Lasi yang disebut diatas mempunyai sebuah pasar. Hari pasarnya adalah Selasa dan Jumat. Kalau sekali sekali ikut menemani ibu ke pekan Lasi aku sangat senang ketika diajak ibu makan katupek jo gulai cubadak (ketupat dengan gulai nangka). Pada waktu remaja, kami juga bisa pergi makan nasi Kapau ke pekan Lasi. Setelah berumah tangga, kalau kami pulang mengunjungi ibu ke kampung, istriku juga senang menemani ibu pergi kesana, dan pulang dengan oleh-oleh katupek.


Di musim penghujan kita dapat melihat sebuah sarasah di pinggang Gunung Marapi. Sarasah adalah air terjun yang dapat dilihat seperti sebuah coretan kecil memutih dan kelihatan dari belakang rumah kami. Generasi yang lebih tua dariku biasa bercerita bahwa Sarasah adalah tempat pergi bersembunyi di saat agresi Belanda dulu oleh orang laki-laki dewasa yang menghindar dari tangkapan Belanda. Bahkan juga di saat terjadinya pergolakan PRRI, tentara PRRI mempunyai ‘base camp’ dekat Sarasah ini.


Ada juga cerita seorang mak etek yang dulu pernah pergi menangkap kambing hutan dengan cara ‘menjerat’ ke dekat Sarasah itu. Caranya dengan menggali lubang lalu ditutupi dengan ranting dan daun di tempat yang diperkirakan sebagai perlintasan hewan tersebut. Lubang perangkap ini di biarkan agak sehari dua hari lalu didatangi kembali untuk memeriksanya. Kata mak etek itu dia pernah berhasil mendapat kambing hutan terperosok kedalam jeratnya. Sesudah cerita tentang kambing hutan tentu memancing tanda tanya, apa saja binatang yang terdapat di Gunung Marapi itu. Kononnya, (karena aku sendiri tidak pernah melihat) selain babi hutan memang ada kambing hutan, ayam hutan, kera dan binatang lainnya termasuk harimau. Wallahu a’lam.


Tahun 1978 terjadi musibah galodo dekat kampung kami. Galodo adalah hanyutnya batu-batuan dalam ukuran besar bersama air bah akibat hujan yang terjadi dalam waktu lama. Bongkah batu besar itu memang telah ada di lembah-lembah gunung di atas sana sejak lama sebelumnya. Kampung yang paling berat dilanda musibah tersebut terletak di sebelah timur Baso (aku lupa nama kampungnya). Ketika itu kampung ini ditutupi oleh bongkah-bongkah batu besar. Pemandangan hamparan nagari yang diselimuti oleh bongkah-bongkah batu yang dihanyutkan galodo ini sangat menyentuh hati dan mengundang masyarakat untuk berduyun-duyun mengunjungi tempat tersebut kala itu.


Kampungku ikut kena imbas. Beberapa petak sawah ditutupi oleh pasir yang dihanyutkan galodo. Tapi kondisinya tidaklah separah kampung di sebelah timur Baso itu.


Gunung Marapi adalah gunung berapi aktif. Bahkan sangat aktif. Asap dan awan tebal sangat sering keluar dari lubang kepundan. Kadang-kadang bahkan disertai dengan letusan-letusan kecil dan keluarnya lahar panas. Kota Bukit Tinggi beberapa kali dihujani debu yang berasal dari letusan gunung ini. Kalau kota Bukit Tinggi saja sampai diselimuti debu, apalagi kampung kami yang lebih dekat ke Gunung Marapi. Tapi kami percaya bahwa debu gunung tersebut kaya dengan zat hara yang sangat baik untuk menyuburkan tanah. Dan tanah di sekitar gunung Marapi, terlebih-lebih daerah Ampek Angkek dan sekitarnya terkenal sangat subur. Beras dari kampung kami, beras Ampek Angkek sangat terkenal.


Hanya saja aku belum pernah mendaki sampai ke puncak Gunung Marapi ini. Pernah beberapa kali kami rencanakan ketika aku duduk di kelas 3 SMA di Bukit Tinggi tapi tidak pernah kesampaian. Mendaki gunung ini bebas-bebas saja kecuali ketika letusannya agak sering terjadi, biasanya ada himbauan agar tidak mendakinya. Beberapa orang pernah dilaporkan hilang ketika mereka mendaki kebetulan saat itu terjadi letusan. Jadi memang agak mengandung resiko sebenarnya. Dan yang menarik para pendaki untuk mendatanginya hanya kawah yang aktif ini pula. Pendakian dari lereng sebelah timur tidaklah menarik.


Tapi sekarang kita bisa melihat pemandangan dari puncak Marapi dengan Google earth. Kelihatan Danau Singkarak di belakangnya bagai sepelemparan saja jaraknya. Ya, tidak rotan akarpun jadilah.

*****

No comments: