Tuesday, January 1, 2008

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag.2)

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag.2)



3. DUBAI – ISTAMBUL

Waktu untuk check in cukup mepet karena wisata kota sempat agak terhalang kemacetan di dekat pelabuhan laut Dubai. Meski tidak terlambat, tapi kami tidak sempat berhenti untuk makan siang maupun shalat. Kami segera melintasi imigrasi kembali dan menuju ke ruang tunggu. Di ruang tunggu ini tidak ada pula tempat shalat. Aku berniat untuk shalat di pesawat saja nanti.

Jam setengah lima sore kami tinggalkan bandara Dubai dengan pesawat Emirat yang lain. Tujuan kami kali ini adalah Istambul. Kenapa aku tertarik melakukan perjalanan ini? Mengunjungi Istambul? Waktu sekolah dulu aku menyenangi pelajaran sejarah dan sampai sekarang aku masih suka membaca cerita sejarah. Istambul adalah sebuah kota penting yang merubah peta politik dunia di abad pertengahan. Runtuhnya benteng kekaisaran Romawi Timur di Konstantinopel kepada penakluk dari keturunan Bani Seljuk di pertengahan abad ke lima belas adalah menjadi penyebab kenapa masyarakat Eropah, terutama Eropah Barat, berusaha mencari produksi negeri Timur ke pusatnya. Dengan sebab itulah Colombus berlayar mencari India. Magelhan, Vasco de Gama dan entah siapa lagi. Berlayar menuju negeri Timur untuk mencari rempah-rempah yang adalah bagian dari sembako di dunia Eropah. Jatuhnya kota Konstatinopel dan dirobah namanya menjadi Istambul (Islam-bul?) adalah penyebabnya. Sebab pasokan rempah-rempah yang dibawa dengan caravan melalui jalan darat (jalur sutera yang membentang dari kepulauan Indonesia melalui Tanah Semenanjung, melintasi India, melalui celah Khaibar di Afghanistan terus ke barat melalui Konstatinopel) sudah tidak lancar lagi. Dan sejak itulah negeri Timur pelan-pelan menjadi jajahan bangsa Barat, termasuk negeri kita Indonesia.

Aku sudah lama sangat ingin mengunjungi Istambul yang kononnya berjulukan kota seribu menara itu. Pernah terpikir untuk pergi bersamaan dengan melaksanakan umrah, tapi rasanya kurang pas mencampurkan perjalanan ibadah dengan perjalanan wisata. Dan akhirnya kesempatan itu datang juga. Baru kali inilah insya Allah akan kesampaian.

Penerbangan dari Dubai ke Istambul memakan waktu tiga setengah jam. Melintasi daerah gurun pasir Saudi Arabia. Sempat aku perhatikan di layar monitor tv di depan tempat dudukku, bahwa pesawat ini menghindar melintasi Iraq. Diikutinya garis batas di dalam negeri Saudi Arabia antara Saudi Arabia dan Iraq. Dia berbelok melintasi Yordania dan terbang di atas Syria sebelum memasuki daerah udara Turki. Aku tidak tahu apakah menghindari Iraq itu dilakukan untuk menjauh dari zona perang atau memang ada larangan terbang di atas negeri Iraq. Apapun alasannya, aku sangat sependapat bahwa terbang di atas negeri Iraq yang sedang diamuk peperangan melawan penjajah Amerika memang tidaklah bijaksana.

Waktu tiga setengah jam berlalu tidak terlalu lama, karena aku menyibukkan diri dengan mendengarkan murattal al Quran sambil mengamati titik-titik penjelajahan pesawat yang selalu terpampang di layar monitor tv. Meski tadi malam praktis sangat kurang tidur aku tidak terlalu mengantuk. Selain mendengar rekaman pembacaan ayat al Quran, atau menonton tv aku juga disibukkan oleh urusan makan.

Makanan di pesawat Emirat ini lumayan bagus dan cukup cocok dengan seleraku. Mungkin karena maskapai penerbangan ini menjelajah hampir ke setiap negeri di dunia, mengangkut penduduk segala bangsa, maka setiap kali makan selalu disajikan anggur (wine), untuk memuaskan para penumpang peminum khamar. Kami tentu tidak ikut menikmatinya. Cukuplah jus jeruk (orange juice) dan air putih dan teh atau kopi. Pelayanan pramugarinya, yang rata-rata orang Inggeris, tidaklah ramah-ramah sangat meski juga tidak kaku. Mereka umumnya benar-benar pekerja. Cekatan, cepat, tapi tidak terlalu banyak berbasa basi.

Jam tujuh sore waktu Istambul pesawat ini mendarat di bandara Kemal Attaturk. Cuaca musim panas yang cerah dan hari masih siang. Posisi matahari masih cukup tinggi di ufuk barat. Kami melalui lorong dengan ban berjalan yang cukup panjang menuju ke tempat pemeriksaan imigrasi. Di luar terlihat pesawat-pesawat Turki Air dari jenis Boeing 737, yang ukurannya lebih kecil dibandingkan pesawat yang baru kami tumpangi. Suasana bandara tidak semeriah Dubai, agak mirip-mirip bandara Soekarno – Hatta.

Di imigrasi terlihat antrian panjang sebelum memasuki loket-loket imigrasi. Dan ada banyak sekali loket-loket tersebut sehingga antrian panjang ini cukup cepat pergeserannya. Ada rombongan karyawan Daihatsu dari Indonesia (dari berbagai kota) yang juga satu pesawat dengan kami, datang berwisata ke Istambul sebagai hadiah dari perusahaan mereka. Hebat sekali perusahaan mereka itu.

Sesudah melalui imigrasi kami menuju ke tempat mengambil bagasi. Istriku memberitahu bahwa dia belum shalat zuhur dan ashar karena kainnya sepertinya sudah tidak bersih. (Aku sudah shalat di pesawat, tadi waktu menjelajah Dubai kami tidak sempat berhenti shalat). Aku suruh dia berganti pakaian ke kamar kecil dan sekalian berwudhu dan dia melakukannya. Aku menanyakan arah kiblat kepada seorang petugas di dekat pengambilan bagasi. Orang itu menunjukkannya. Istriku shalat di sebuah pojok di tempat itu.

Kami sudah mendapatkan bagasi kami masing-masing dan sekarang bergerak ke arah luar. Disana sudah menunggu pemandu wisata kami, seorang wanita muda berusia sekitar 35 tahunan. Di luar terlihat banyak sekali taksi berwarna kuning, datang silih berganti menjemput penumpang. Taksi itu kebanyakan mobil buatan Eropah (Renault, Fiat) meski ada juga mobil buatan Korea (Hyundai). Agak jarang terlihat mobil buatan Jepang.

Kami menunggu beberapa saat karena bus yang akan membawa kami rupanya agak terhalang untuk mendekat ke gerbang tempat penumpang keluar. Sudah hampir jam delapan ketika kami menaiki bus tersebut. Dan hari masih siang, masih terlihat matahari. Sekarang kami akan diantarkan ke hotel tempat kami menginap, hotel Kent, melalui jalan yang cukup macet.


*****

4. SELAMAT DATANG DI ISTAMBUL

Pemandu wisata kami seorang yang ramah dengan bahasa Inggeris yang baik. Seorang wanita yang lebih kelihatan Eropah dari Asia. Dia mengawali ucapan selamat datangnya dengan memperkenalkan namanya, Lale. Bukan Lela (Laila), karena Lela sudah tinggal di Dubai katanya melucu. Istambul adalah kota yang unik, terletak di benua Eropah dan Asia. Yang di bagian Eropah adalah kota lama dibagian selatan yang berbentuk tanduk disebut juga sebagai the Golden Horn yang adalah merupakan pusat kota lama, dan bagian utara yang disebut daerah Galata. Di seberang laut terletak bagian kota di benua Asia yang merupakan kota moderen. Kedua sisi kota dipisahkan oleh selat Bosporus. Penduduk kota berjumlah sekitar 15 juta orang dari sekitar 70 juta penduduk Turki. Sekitar satu di antara lima orang Turki tinggal di Istambul.

Dan tentu saja dia harus bercerita sedikit tentang Turki. Tentang Republik Turki yang moderen dan sekuler, dengan penekanan secara khusus pada kata ‘sekuler’. Penduduk Turki 97% beragama Islam, katanya. Tapi pemerintah melindungi dengan undang-undang pemisahan yang tajam antara urusan agama dengan urusan dunia. Bagi sebagian besar masyarakat Turki, katanya lagi, jika ditanyakan apa agama mereka, umumnya mereka akan menjawab Islam. Tapi mereka bukanlah orang yang fanatik dalam beragama. Pada saat urusan agama berbenturan dengan urusan pekerjaan (dunia) maka pasti urusan pekerjaan yang akan didahulukan. Jadi, urusan shalat, urusan puasa dan sebagainya, baru akan dilakukan kalau ada waktu berlebih.

Lale merasa perlu menjelaskan semua itu sebelum bercerita tentang sejarah kota Istambul. Dan dia juga menjelaskan tentang mata uang Turki baru sesudah didevaluasi pada awal tahun 2005, ketika satu juta lira Turki dijadikan 1 lira Turki baru atau yang dalam bahasa Turkinya disebut Yenni Turkis Lira (YTL).

Dan diapun bercerita tentang nama Istambul yang dilekatkan sejak penaklukkan kota ini oleh Sultan Mehmet II (Muhammad II) pada tahun 1453. Sebelumnya kota ini bernama Konstantinopel, pusat kerajaan Romawi Timur dan sekaligus menjadi pusat agama Kristen Orthodok. Bahkan lebih awal lagi, sebelum Masehi kota ini bernama Bizantin. Dibawah kekuasaan sultan-sultan dari dinasti Ottoman kota Istambul dihiasi dengan banyak sekali mesjid, karena hampir setiap sultan membangun mesjid megah untuk menandai masa pemerintahannya. Dan mesjid-mesjid itu dinamai dengan nama sultan seperti mesjid Sultan Ahmad, Mesjid Sultan Beyazid dan sebagainya.

Samar-samar di kejauhan terlihat menara-menara mesjid seperti yang diceritakan oleh Lale. Dan sedikit demi sedikit menjadi kenyataan pada penglihatanku julukan kota seribu minaret untuk kota Istambul ini.

Kami melalui jalanan yang macet di penghujung siang meski tidak semacet jalan-jalan di Jakarta. Dan hampir tidak ada pengendara sepeda motor terlihat disini. Hari mulai berangsur gelap. Tapi tidak terdengar suara azan. Aku bertanya-tanya, apakah mesjid-mesjid yang banyak itu semua sudah berubah jadi musium? Sementara pertanyaan itu belum terjawab. Kami melalui pusat kota dengan toko dan restoran berjejer-jejer di pinggir jalan. Kesan yang kuperoleh berikutnya seolah aku sedang berada di Paris. Di jalan dan di restoran di pinggir jalan itu banyak sekali orang sedang bersantai menikmati saat pergantian siang dan malam. Dalam pakaian seperti penduduk kota-kota Paris. Yang wanita muda dengan pakaian minimum, yang tali baju atau kutangnya kelihatan. Aku menyaksikan semua itu melalui jendela bus di tengah kemacetan. Penduduk Istambul, paling tidak yang terlihat saat itu, rupanya sangat menikmati suasana santai di sore hari musim panas, dengan duduk-duduk di restoran kebab Turki.

Akhirnya kami sampai di hotel tempat kami menginap, hotel Kent. Sebuah hotel berbintang 4 tapi penampilannya kalah dengan hotel berbintang sama di Jakarta. Hari sudah jam sembilan malam. Sesudah mendapatkan kunci kamar masing-masing, kami makan malam dulu di restoran hotel. Makanan ala Turki yang pertama, dengan salad tomat dan mentimun mentah dalam porsi cukup besar. Makan malam yang tidak terlalu nikmat untuk lidah Melayu.

Sesudah makan kami menuju kamar masing-masing. Aku mendapat kamar di lantai dua. Aku segera bergegas mandi. Ingin cepat-cepat shalat dan sesudah itu tidur. Sudah hampir jam sepuluh malam waktu Istambul atau jam dua pagi waktu Jakarta dan aku rasanya sudah sangat lelah. Setelah aku selesai mandi, bergantian dengan istriku mandi. Rencananya kami akan shalat berjamaah berdua. Tiba-tiba terdengar suara azan sangat lantang. Sangat dekat sekali sumber suara azan itu. Aku tersentak dan memberi tahu istriku bahwa aku akan mencari mesjid untuk shalat.

Aku bergegas ke bawah. Di lobby hotel aku tanyakan kepada petugas hotel dimana letak mesjid yang mengumandangkan azan barusan dan berapa jauh jaraknya. Orang itu agak terheran-heran memandangku. Dia memberi tahu jalan ke arah mesjid yang katanya hanya tiga menit berjalan kaki jaraknya. Aku bergegas menyusuri jalan yang ditunjukkannya itu. Aku harus menyeberangi jalan besar untuk mencapainya. Aku sampai di mesjid Beyazid. Dan ada seorang laki-laki yang juga tergopoh-gopoh menuju mesjid itu di depanku yang langsung aku susul. Di dalam mesjid orang sedang shalat. Imam membaca surah dengan keras, berarti paling banyak baru rakaat kedua. Aku ikut shalat. Bacaan imam itu sangat baik tajwijnya, sedikitpun tidak ada bedanya. Anggapanku selama ini bahwa orang Turki membaca Allahu Acbar (aku mendengar seperti itu ketika di Arafah beberapa tahun yang lalu) ternyata keliru. Imam ini membaca Allahu Akbar dengan lafadz yang sempurna. Sesudah shalat seseorang (bukan imam) membaca ‘Allahumma antassalam wa minkassalam tabaarakta yaa tzaljalaali walikram’ dengan keras. Sesudah itu orang yang sama memberi komando untuk membaca zikir Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahu Akbar, hanya di awalnya saja. Jamaah membaca zikir itu menggunakan tasbih yang tersedia di mesjid digantung di sebuah gantungan di depan saf pertama. Jamaah yang dekat dengan gantungan tasbih itu mengambil beberapa tasbih dan membagi-bagikannya kepada jamaah yang lain.

Sesudah zikir masing-masing jamaah berdoa secara perlahan (sirr). Terakhir imam membaca beberapa ayat al Quran di luar kepala dengan nyaring dan itu mengakhiri rangkaian shalat.

Tidak banyak yang ikut shalat. Hanya sekitar dua belas orang. Di mesjid yang besar dan megah ini. Aku tanyakan kepada seorang jamaah jam berapa waktu subuh. Dia memberi tahu, jam lima. Aku berniat akan kembali ke mesjid ini besok subuh.

Aku bergegas kembali ke hotel. Aku ceritakan pengalamanku barusan kepada istriku dan aku beritahu dia bahwa aku insya Allah akan kembali ke mesjid itu nanti subuh. Dia bilang dia ingin ikut. Aku stel alarm di HP untuk membangunkanku jam setengah lima nanti, untuk pergi shalat subuh kembali ke mesjid Beyazid. Dan sekarang kami beristirahat tidur dulu.


*****

No comments: