Saturday, December 29, 2007

NASI BUNGKUS

NASI BUNGKUS

Karena hari hujan siang itu aku minta tolong kepada pesuruh kantor membelikan nasi bungkus untuk makan siang. Tidak berapa lama kemudian pesananku itu datang, berupa nasi dengan lauk ayam bakar dari warung nasi ala Solo, dibungkus dengan kertas merang berwarna coklat yang satu sisinya beremail, licin. Nasi dan ayam bakar serta sayur lalap berikut sambel dibungkus terpisah, masing-masing menggunakan kertas pembungkus yang sama. Rasanya biasa-biasa saja.

Aku memperhatikan kertas pembungkus berwarna coklat ini. Aku tidak tahu apakah kertas seperti ini bebas resiko untuk kesehatan karena bersinggungan langsung dengan makanan. Aku juga tidak tahu apakah ketika kertas ini ditempeli oleh nasi panas dia tetap aman tanpa mengeluarkan reaksi apapun. Penggunaan kertas coklat ini perlahan-lahan sudah menggantikan daun pisang yang dulu biasanya digunakan secara khusus untuk membungkus nasi. Atau paling tidak akhir-akhir ini ada yang mengkombinasikan daun pisang dan kertas coklat ini. Penggunaannya sudah merambah ke daerah-daerah termasuk ke kampung halaman kita.

Aku ingat, dulu kalau kita membeli nasi ramas di lapau nasi (kita tidak menyebutnya nasi bungkus) maka nasi tersebut selalu dibungkus dengan daun pisang. Apakah kita membelinya di lapau nasi alias rumah makan ataupun di kedai nasi Kapau, kita mendapatkan hal yang sama. Kenapa yang ini disebut nasi ramas? Karena biasanya lauknya dicampur dengan gulai sayuran serta kuah atau sambel dari lauk lain. Ketika kita memesan nasi ramas dengan dendeng, artinya lauk utamanya adalah dendeng tapi kedalamnya dimasukkan pula gulai nangka, dedak rendang, lado dendeng dan kuah gulai lainnya. Porsi nasi ramas bungkus biasanya sangat besar. Konon karena katanya yang biasa memesan nasi bungkus adalah sitokar oto yang tidak punya waktu datang ke lepau dan makannya biasanya banyak sehingga porsi nasi bungkus selalu extra ordinair.

Nasi bungkus lapau dulu menggunakan daun pisang yang tidak ’diapa-apakan’ kecuali hanya sekedar dilap saja. Daun pisang yang digunakan adalah daun pisang batu karena jenis daun pisang ini liat dan tidak mudah robek. Daun ini diperjualbelikan untuk bermacam-macam keperluan bungkus membungkus, baik untuk masakan yang sudah matang maupun untuk bahan masakan yang masih mentah. Sekarang ini meskipun penggunaan daun pisang sudah berkurang sekali, karena umumnya sudah digantikan oleh kantong plastik dan sebangsanya, namun pemanfaatannya tetap dapat kita temui terutama di pasar-pasar tradisional.

Di kampung dulu kami sangat akrab dengan nasi bungkus dan menyebutnya benar-benar nasi bungkus untuk membedakan dengan nasi bungkus dari lapau yang kami sebut nasi ramas tadi itu. Pergi berjalan-jalan sekolah (berdarmawisata, sekali-sekali pernah juga kami diajak oleh guru kala itu), ataupun ketika hari menerima rapor sebelum liburan sekolah, meski tidak kemana-mana, tapi kami makan nasi bungkus bersama-sama di sekolah. Ketika aku kelas tiga SMP kami mengikuti pelajaran tambahan di sore hari, dan karena sekolah jauh dari rumah (jaraknya 3.5km) kami datang ke sekolah berbekal nasi bungkus. Tidak terbayangkan untuk makan di lepau tiap hari karena biayanya pasti mahal sekali.

Diluar kegiatan sekolah kami biasa membawa nasi bungkus ke tempat kami pergi berjalan-jalan di kaki Gunung Marapi. Atau ketika pergi berburu. Atau kalau sedang iseng benar kami pergi membawa nasi bungkus ke sawah atau ke munggu yang kami sebut Guguk di tengah persawahan. Atau ketika kami pergi ke Bukit Tinggi ikut menonton pacuan kuda di Bukit Ambacang.

Untuk orang dewasa mereka makan nasi bungkus kalau ada gotong royong agak keluar kampung seperti membersihkan bandar air sawah. Ketika perang PRRI, saya masih kelas 2 atau 3 SR, biasa serombongan tentara PRRI mampir di kampung kami lalu dibuatkan nasi bungkus secara bergotong royong oleh penduduk. Kami yang kecil-kecil bertugas mengambilnya ke rumah-rumah untuk diserahkan ke rombongan tentara ’luar’ tersebut yang menunggu sambil beristirahat di simpang jalan.

Nasi bungkus di kampung itu menggunakan daun pisang yang dilayukan di atas uap bara api. Daun yang diproses seperti ini menjadi lebih liat dan memberi aroma khas kepada nasi bungkus. Lauk yang sangat populer untuk nasi bungkus adalah telor itik rebus lalu di goreng sampai bagian putih telornya kering. Telor goreng ini kemudian di beri cabe (dilado-i). Nasi panas, dengan telur belado yang banyak ladonya, dibungkus dengan daun pisang yang sudah disangai lalu kami biarkan lima sampai enam jam sebelum dimakan siang hari nanti. Walaupun nasinya sudah tidak lagi panas (tentu saja) rasanya luar biasa. Aroma daun pisang pembungkusnya menambah enak rasa nasi tersebut.

Ketika aku sekolah petang di SMP 3 yang harus setiap hari membawa nasi bungkus, tentulah tidak enak kalau setiap hari lauknya telur rebus goreng balado. Ibu membuat alternatif beberapa lauk lain. Kadang-kadang ikan mujair (dari tabek di belakang rumah) di goreng balado, atau ikan sepat di goreng balado. Jarang sekali daging atau dendeng karena daging mahal. Dan apapun pilihannya hampir pasti selalu digoreng balado. Samba lado dalam nasi bungkus itu yang membuatnya istimewa.

Ketika kelas 3 SMP, kami sudah beranjak remaja. Sudah banyak yang memasuki masa pancaroba. Sudah puber. Sudah ada yang pandai berpacaran, istilahnya sudah pandai ber’pomle’. Entah berasal dari bahasa mana kata-kata ini. Ada seorang temanku yang jarang terlihat membawa nasi bungkus, tapi selalu makan siang (nasi bungkus) bersama kami. Ternyata pomlenya yang membawakan bekal untuknya. Ini benar-benar luar biasa. Entah dengan cara apa sang pomle memberi tahu orang tuanya di rumah ketika dia selalu membawa dua bungkus nasi setiap berangkat ke sekolah.

Waktu remaja kecil masih bersekolah di SR, pergi menonton pacu kuda ke Bukit Ambacang kami juga membawa bekal nasi bungkus. Namun pernah terjadi, saking asiknya menonton pacuan itu, kami lupa makan. Nasi bungkus itu hampir saja dibawa kembali pulang. Waktu kami sampai di pasar atas, sebelum kami menuju ke stoplat keretapi Aur Tajungkang, salah seorang teman mengajak kami mampir ke lepau nasi. Anak yang memang agak mentiko (=bergajul) ini entah bagaimana caranya berhasil meminta ijin urang lapau untuk makan nasi bungkus kami di lepau tersebut. Orang lapau yang baik hati itu bahkan memberi kami hadiah gulai sayur gratis. Kami terkekeh-kekeh sekeluar dari lepau itu ketika teman yang mentiko ini dengan gaya lucu bertanya; ’Bara du mak, nasi babao ’tang di rumah, gulai kuah-kuahno, ayia putiah sagaleh.’ ('Berapa kami harus bayar paman? Nasi kami bawa dari rumah, gulai kami ambil kuahnya saja, minumnya air putih). Orang lepau itu menyambut dengan pura-pura marah, ’Kambuik di kalian! Makan perai kalian disiko. Bih bakirok lah kalian lai.’ (Sialan kalian! Makan gratis kalian disini. Pergilah kalian nyah dari sini!).

Begitu berkesannya kenangan nasi bungkus, aku masih sering mintak tolong istriku membuatkan nasi bungkus serupa yang di kampung dulu itu. Dibungkus dengan daun pisang yang dilayukan dan dibiarkan beberapa jam sebelum kami santap. Masih sama rasanya. Anak-anakpun menyenangi. Cuma mereka agak malas mendengar kalau dibumbui dengan cerita bahwa nasi bungkus ini sebuah nostalgia.

Ketika aku tinggal di Balikpapan, kami jamaah pengajian kantor sering pergi berkunjung dan mengikuti dakwah ke daerah pemukiman transmigran di luar kota Balikpapan. Biasanya kami pergi dalam rombongan cukup besar sampai lima puluh pasang suami istri bahkan dengan anak-anak. Kami membawa bekal nasi bungkus dan dilebihkan membungkus untuk penduduk di lokasi trans itu. Sesudah acara siraman rohani kami makan nasi bungkus bersama dengan penduduk setempat. Kali ini lauknya tidak mesti telor rebus goreng balado. Istriku biasa membuat nasi bungkus dengan kalio ayam tapi tetap ditemani samba lado. Lain pula mantap rasanya.


*****

No comments: