Wednesday, April 15, 2009

DERAI-DERAI CINTA (4)

4. HUJAN

Beberapa hari terakhir cuaca sangat buruk. Udara gelap dan hujan turun tiap hari. Kadang-kadang hujan lebat disertai guruh petir. Gunung Marapi senantiasa berselimut awan dan kabut hitam. Air batang air di tengah kampung mengalir lebih deras dari biasanya. Airnya berwarna coklat tua. Dan air juga mengalir deras melalui bandar atau tali air untuk pengairan sawah. Di beberapa tempat air meluap dari kolam ikan dan mengalir ke pekarangan rumah. Becek dan lanyah di mana-mana.

Perdagangan pisang agak tersendat dari biasa. Pedagang dan pengumpul malas keluar menebang dan mengumpulkan pisang. Di lepau kopi orang-orang duduk berkelumun kain sarung karena kedinginan. Karena udara memang dingin. Namun yang main domino tetap saja jalan. Apalagi di sebelah siang. Sepertinya saat seperti itu adalah waktu yang paling asyik untuk menghempaskan batu domino. Untuk sindir menyindir dan untuk tertawa berderai-derai. Sambil menyeruput teh telor. Sambil mengepul-ngepulkan asap rokok.

Pagi inipun hari hujan sejak subuh. Mula-mula agak lebat, kemudian berhenti sebentar. Lalu hujan rintik-rintik lagi. Lalu lebat lagi. Begitu berulang-ulang. Karenanya orang malas keluar. Lebuh di tengah kampung terlihat sepi. Pada hal di hari biasa, ketika tidak hujan selalu ada saja kegiatan. Seperti orang mengangkut pisang dengan gerobak. Atau memuat pisang ke atas truk. Atau orang mengantar padi yang akan di giling ke heler alias mesin giling.

Yang tidak banyak berubah adalah kegiatan sekolah. Guru-guru dan murid-murid tetap hadir di sekolah. Ketika hujan turun seperti pagi ini, mereka menggunakan payung seadanya untuk datang. Bahkan ada yang berpayung daun pisang. Bedanya terlihat waktu istirahat bermain. Murid-murid sekolah SD di kampung itu tidak bisa keluar berkeluyuran tapi terpaksa tinggal dalam kelas. Biasanya pada saat jam istirahat murid-murid bisa pergi kemana saja di dalam kampung. Pergi mencari buar seri ke pekarangan orang, atau memanjat pohon jambu orang. Hanya sedikit saja yang tinggal bermain di pekarangan sekolah.

Imran juga pergi ke sekolah seperti biasa pagi ini. Dia memakai mantel hujan peninggalan ayah. Imran berusaha melindungi dirinya sebaik-baiknya agar jangan sampai jatuh sakit. Di rumah ibu menyuruhnya makan lebih banyak dan minum teh kental hangat. Kata ibu agar daya tahan tubuh terpelihara. Jarak dari rumah ke sekolah SMP hanya kira-kira satu setengah kilometer melalui jalan raya. Imran menggunakan sepeda, untuk pergi ke sekolah. Dia memerlukan waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai di sekolah. Dan biasanya dia tiba persis sebelum lonceng masuk kelas dibunyikan.

Begitu jam pelajaran berakhir, Imran bergegas pulang. Hujan rintik-rintik kembali turun. Imran sudah memakai jas hujan. Langit diliputi awan hitam. Bunyi guruh menderu-deru dan kadang-kadang di kejauhan terlihat kilat. Sepertinya akan turun hujan lebat. Imran mengayuh sepedanya sekuat-kuatnya. Dia ingin segera sampai di rumah. Baru setengah jalan hujan lebat turun mengguyur bumi. Kilat dan petir sambung menyambung.

Petir. Darah Imran berdesir. Dia ingat mimpi ibu. Serta merta dia ingat Allah. Dia perlu pertolongan Allah. Dia berdoa dalam hatinya. Ya Allah hindarkan segala mara bahaya. Hindarkan segala keburukan yang mungkin dibawa petir. Alhamdulillah, dia selamat sampai di rumah. Hujan masih turun dengan lebat. Diangkatnya sepedanya ke atas rumah. Dilepasnya jas hujan yang dipakainya dan dia segera masuk ke kamar menemui ibu. Ibu sedang berdua dengan nek Piah. Ibu tersenyum melihat Imran datang.

‘Keringkan badanmu Ran dan segeralah pergi makan,’ kata ibu.

‘Ya, bu. Nenek dan ibu sudah makan?’ tanya Imran.

‘Sudah. Kami sudah makan,’ jawab ibu.

Imran pergi makan. Lauk makan siang sering dibawakan nek Piah. Begitu juga kali ini. Ikan mujair digoreng dan sayur tumis bayam. Nek Piah masih cekatan memasak. Sebenarnya beliau menawarkan untuk memasakkan ibu dan anak itu setiap hari, tapi Imran menolak. ‘Biarlah nek, biar awak belajar pula memasak,’ begitu katanya.

Sesudah makan Imran kembali menemui ibu di kamar.

‘Coba lihat Ran. Tangan kiri ibu bisa ibu gerakkan sedikit,’ kata ibu sambil memperlihatkan gerakan tangan itu. Gerakan sangat pelan.

‘Ya. Allah. Alhamdulillah. Syukurlah, bu,’ kata Imran ceria.

‘Nenek mengurutnya dengan obat gosok. Tadi ibu kedinginan, lalu diurut nenek.’

‘Minyak gosok seperti apa?’ tanya Imran.

‘Minyak gosok reumason. Seperti ini,’ nenek menunjukkan botol kecil obat gosok.

Imran mengambil botol obat gosok itu. Dibukanya tutupnya. Tercium baunya yang khas.

‘Coba nanti kau urut-urut lagi tangan ibumu dengan obat gosok itu. Dan kakinya juga,’ nenek menambahkan.

‘Kenapa tidak dari dulu terpikirkan mengurut tangan ibu pakai obat gosok seperti ini,’ Imran bergumam.

‘Sudahlah. Sekarang kan sudah dikerjakan,’ jawab ibu.

‘Dimana nenek beli?’ tanya Imran.

‘Di kedai di pekan. Dekat sekolahmu. Sekarang pakai sajalah yang ini,’ kata nenek.

‘Kan nenek memerlukannya juga?’

‘Ada satu lagi,’ jawab nenek.

Mereka masih berbincang-bincang beberapa saat. Nenek mengingatkan pesan mak etek Nursal bahwa di kebun di rumah istrinya ada dua batang pisang yang sudah tua. Sudah ada buahnya yang masak di batang dan dimakan tupai. Kalau hari cerah, agar Imran pergi menebang pisang itu. Mak etek Nursal adalah anak laki-laki nenek.

Hujan mulai reda. Nenek pamit mau kembali ke rumah beliau di sebelah. Setelah beliau pergi Imran mengurut tangan dan kaki ibu dengan obat gosok itu kembali.

***

Imran tidak kemana-mana sore itu. Sesudah mengurut ibu dia belajar. Jam lima sore hari kembali hujan deras. Disertai petir dan kilat. Suara petir itu menggetarkan nyali. Setiap kali kilat menyambar darah Imran berdesir. Setiap kali petir menggelegar dia membaca laa hawla wa laa quwwata illa billaah dengan khusyuk. Hujan deras itu turun sampai menjelang maghrib. Persis sebelum maghrib cuaca tampak cerah. Terlihat matahari yang hampir terbenam di sebelah barat.

Sesudah makan malam ibu kembali minta tolong diurut pakai minyak gosok.

‘Sudah lama ibu tidak mendengar kau mengaji, Ran,’ kata ibu, ketika Imran sedang mengurut kaki beliau.

‘Iya, ya bu. Ibu mau mendengarkan awak mengaji?’ tanya Imran.

‘Mengajilah, nak. Baca surat Yasiin!’ kata ibu.

‘Ya, bu. Awak mengaji sesudah ini.’

‘Doakan ayahmu sesudah itu nanti!’ tambah ibu pula.

‘Baik, bu.’

‘Mudah-mudahan arwah ayahmu tenang di sisi Allah. Ayahmu itu orang yang sangat baik,’ kata ibu.

Entah kenapa ibu tiba-tiba ingat ayah.

‘Mudah-mudahan, bu,’ jawab Imran.

‘Rajin-rajinlah kau mengaji. Setiap kau mengaji, mengalir juga pahalanya untuk ayah. Karena dia yang mengajar kau mengaji. Setiap kau berdoa untuknya, niscaya dikabulkan Allah doamu. Jadilah kau seorang yang saleh. Doa anak yang saleh untuk kedua orang tuanya tidak dibatasi dinding oleh Allah. Niscaya dikabulkan Nya.’

Imran terdiam. Sambil sedikit bertanya-tanya karena belum pernah ibu berpetuah seperti ini sebelumnya.

Imran sudah selesai mengurut ibu. Dicucinya tangannya ke belakang. Dan dia sekalian berwuduk. Dipakainya kain sarung dan diambilnya al Quran. Imran mengaji dekat tempat tidur ibu. Dibacanya surat Yasiin.

Bacaan Imran baik lagi tartil. Ibu menyimak bacaan itu dalam hati. Baru saja dia membaca sekitar 40 ayat terdengar petir menggelegar. Imran terkesiap. Jantungnya berdebar-debar.

‘Baca laa hawla wa laa quwwata illa billaah kalau ada petir,’ kata ibu.

‘Awak sudah membacanya, bu,’ jawab Imran.

‘Teruskanlah kajimu!’ perintah ibu lagi.

‘Ibu tidak apa-apa?’ tanya Imran.

Dia agak sedikit salah tingkah sesudah bertanya demikian. Dia ingat cerita mimpi ibu.

‘Tidak. Ibu tidak apa-apa. Kenapa?’ ibu bertanya sambil tersenyum.

‘Tidak apa-apa, bu. Biar awak teruskan bacaan ini.’

Imran meneruskan mengaji. Masih ada beberapa kali lagi petir berbunyi. Dan guruh yang mengguntur. Serta suara hujan menimpa atap seng.

Sesudah mengaji Imran berdoa. Mendoakan ayahnya. Mendoakan agar ibu disembuhkan Allah. Mendoa agar dia berhasil dalam ujian akhir SMP nanti. Imran berdoa dengan suara keras. Ibu tersenyum mendengar doa itu. Dan beliau ikut mengaminkan.

Hujan mulai reda pula kembali. Bunyi curahan hujan di atap seng tidak terdengar lagi. Tapi guruh masih terdengar sekali-sekali.

Imran yang sudah keletihan tertidur di dipan di samping tempat tidur ibu.


*****

No comments: