Wednesday, February 20, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.1)

SEMINGGU DI RANAH BAKO

Prakata;

Sebuah cerita fiktif, mengangan-angankan Sumatera Barat menjadi destinasi wisata yang diminati warga dunia, karena disamping pemandangannya yang elok, masyarakatnya yang ramah, dan prasarananya terpelihara dengan baik. Harapan kita, suatu saat angan-angan ini akan jadi kenyataan, karena modal utama berupa keindahan alam sudah dimiliki daerah Sumatera Barat, keramahtamahan pernah dimiliki masyarakatnya dan prasarana dapat di sempurnakan dengan mudah.

Mudah-mudahan saja….

Penulis

*****


1. Tiba Di Minangkabau Internasional Airport

Pesawat Cathay Pacific itu mulai menurun untuk segera mendarat. Pramugari memberitahukan bahwa dalam waktu beberapa saat lagi ‘kita’ segera akan mendarat di Bandara Internasional Minangkabau di Ranah Minang. Sesudah sebuah penerbangan selama 3 jam nonstop dari Hongkong. Waktu saat itu menunjukkan jam 2 siang. Cuaca lumayan cerah. Pesawat semakin merendah dan berputar untuk mendekati landasan dari arah selatan. Pada saat itu Aswin yang duduk di dekat jendela melihat enam buah pesawat sedang parkir di bawah sana, di hadapan bangunan bandara beratap gonjong seperti yang sudah sering dilihatnya di foto maupun di internet. Dadanya berdebar-debar. Hampir sampai. Ke ranah yang selalu diceritakan ayahnya. Sampai seolah-olah dia kenal benar dengan negeri bakonya ini, meski belum pernah sekalipun dia berkunjung kesini.

Pesawat itu akhirnya menjejak bumi. Bumi Ranah Minang tanah pusako. Ketika pesawat sudah mendarat sempurna dan sedang bergerak menuju belalai untuk menurunkan penumpang, pramugari kembali menyampaikan pemberitahuan. ‘Selamat datang di Minangkabau International Airport di Ranah Minangkabau……Welcome to Minangkabau International Airport of Motherland country……’ dan seterusnya. ‘Akhirnya….., at last…’ desah Aswin. Sampai juga dia disini. Penumpang di sebelah, temannya berdiskusi sejak berangkat dari Hongkong tadi pagi, tersenyum melihat Aswin yang kelihatan sangat ‘excited’.

‘Jadi, kamu akan langsung ke Bukit Tinggi, heih?’ tanya Stephan Quok tetangga duduknya itu dengan bahasa Inggeris beraksen China.

‘Yup,’ jawab Aswin pendek.

'Menemui famili moyangmu itu?'

'Yup.'

‘Dan kamu akan tinggal dengan mereka, heih?'

'Naturally yes,' jawab Aswin, bersiap-siap untuk melangkah keluar pesawat.

'OK happy gathering, enjoy your visit,’ tambahnya.

‘Same to you,’ jawab Aswin.

Mereka mulai bergerak keluar dari badan pesawat Boeing 777 itu. Melalui belalai dan berjalan masuk ke dalam bangunan bandara. Turun melalui tangga berjalan terus menuju loket imigrasi. Petugas imigrasi menyapa ramah dalam bahasa Inggeris waktu Aswin menyodorkan pasport United States nya. Aswin menjawab dalam bahasa Indonesia. Petugas itu tersenyum ramah.

Aswin terus berjalan ke tempat mengambil bagasi. Bagasinya belum sampai, ban berjalan di bawah monitor tv dengan nomor penerbangan mereka, masih diam belum bergerak. Aswin mematut-matut ruangan bandara ini. Banyak sekali orang yang baru sampai rupanya. Dua buah ban berjalan sedang berputar dikerumuni oleh manusia yang sedang mencari bagasi mereka. Penumpang bukan orang Indonesia dan orang Indonesia hampir sama banyak. Yang bukan Indonesia kebanyakan bertampang Cina atau Jepang, disamping banyak juga yang bertampang Eropah. Dan beberapa orang Arab. Sebahagian dari mereka tentulah orang yang tadi sepesawat dengannya.

Tiba-tiba matanya menangkap baliho foto besar dengan sosok seorang ibu setengah baya, berbaju adat Minang berwarna merah, dengan tengkuluk tanduk berwarna kuning emas, tapi pakai jilbab, tersenyum manis. Dibawahnya tertulis besar-besar seolah-olah perkataan ’Bundo Kanduang’ itu; ’Selamat datang di Ranah Bundo, Tanah Minangkabau. Kami sambut anda dengan sirih di cerana, sebagai ungkapan putih hati. Silahkan menikmati panorama-panorama indah negeri ini dan keramahtamahan anak kemenakan Orang Minangkabau. Silahkan menikmati masakan Minang yang sudah anda kenal di tempat anda, sekarang langsung di negeri asalnya. Semoga kunjungan anda berkesan. Namun perlu kami sampaikan pula, iman dan adat anak negeri ini melarang keras perzinaan, perjudian, minuman alkohol dan obat-obat terlarang. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berat hukumannya. Mohon anda mengambil perhatian sungguh-sungguh tentang itu.’

Aswin menatap tulisan itu. Ada beberapa baliho ’Bundo Kanduang’ dengan tulisan dalam beberapa bahasa, Inggeris, Jepang, China dan Arab. Stephan Quok datang menghampiri Aswin dan berucap.

’Ungkapan selamat datang yang jujur namun kasar, heih? Bagaimana pendapatmu?’

’Ya, jujur. Tapi menurutku tidak kasar. Melainkan sangat transparan dan tegas,’ jawab Aswin.

’Rupanya kamu langsung jadi pembela tanah leluhurmu. Look at that. Not even alcohol. Can you imagine that? For a tourist destination in this planet? C’mon..’ cerocosnya.

Aswin tersenyum. Malas meladeni orang tersebut.

Ban berjalan di hadapan mereka mulai bergerak. Aswin menunggu beberapa menit lagi sampai akhirnya bagasinya muncul. Dia menarik koper besar itu menuju ke arah luar, melalui tempat pemeriksaan bea cukai. Petugas bea cukai bertanya ramah, kalau ada sesuatu yang perlu dilaporkan dan Aswin menjawab tidak ada. Dia diizinkan untuk terus dan berlalu di depan petugas lain dengan seekor anjing pelacak yang diam saja. Petugas inipun tersenyum ramah kepadanya. Aswin mencari-cari Pohan, yang berjanji menjemput. Tidak ada kelihatan. Tiba-tiba matanya melihat kantor penukaran uang. Dia lalu menghampirinya. Seorang wanita muda berpakaian adat Minang menyapanya dengan ramah dari balik loket. Aswin mengeluarkan dua lembar uang seratus dollar minta ditukar dengan rupiah.

’Oh, bapak baru datang?’ sapanya agak keheranan. ’Saya pikir tadinya mau menukarkan rupiahnya kembali dengan mata uang lain. Begini pak. Rate kami agak rendah dibandingkan dengan rate di kota. Kalau bapak akan ke Bukit Tinggi atau ke Padang, mungkin lebih baik bapak tukar uangnya nanti disana. Mungkin cukup satu lembar saja yang bapak tukar disini seandainya bapak memerlukan untuk ongkos taksi,’ wanita muda itu menjelaskan.

’Baik kalau begitu,’ jawab Aswin. Matanya menangkap beberapa buah stiker bertuliskan ’Amanah, Jujur, Amanah, Jujur!’ cukup besar tulisannya, tertempel di dinding samping kantor penukaran uang itu.

Wanita itu menyerahkan tukaran uang rupiah berikut stroke penukarannya.

’Kalau saya tukar dikota berapa persen bedanya?’ tanya Aswin.

’Dua sampai tiga persen, pak. Dan tidak dikenakan pajak seperti disini,’ jawab wanita itu pula.

’Tidak apa-apa,’ kata Aswin. ’Terima kasih banyak.’

’Terima kasih kembali pak. Semoga kunjungannya menyenangkan. Selamat jalan,’ ucap wanita muda itu tetap tersenyum.

Terkagum-kagum Aswin atas kejujuran wanita muda ini. Dan dari tadi dia perhatikan betapa petugas-petugas disini sangat ramah. Sejak dari imigrasi, bea cukai, portir yang tadi menawarkan troley dan petugas money changer ini. Apakah kebetulan dia bertemu orang-orang ramah semua? Tidak seperti yang diingatkan ayahnya agar berhati-hati dan sabar karena orang-orang disini banyak yang kasar. Sudah empat orang, belum ada satupun yang kasar.

Tiba-tiba Pohan muncul dan menepuk pundak Aswin. Aswin kaget, tapi gembira begitu melihat Pohan. Mereka belum pernah bertemu dan saling mengenal hanya melalui miling list di internet. Ternyata Pohan satu kampung dengan ayah Aswin, di Koto Gadang.

’Siap berangkat?’ tanya Pohan.

’Ya. Saya pikir ada halangan apa sampai kamu belum kelihatan,’ kata Aswin.

’Tidak, saya sudah di sini sejak setengah jam yang lalu. Persis saat pesawatmu mendarat. Karena kamu belum keluar saya mencoba bertanya ke bagian informasi apakah penumpang Cathay Pacific sudah pada keluar. Mereka bilang belum. Saya tinggal ke kamar kecil sebentar. Rupanya saat itu kamu keluar. Saya sudah menduga, pasti kamu langsung mencari money changer. OK, mari kita jalan sedikit ke sana, ke tempat parkir,’ ujar Pohan.

Mereka berjalan menuju tempat parkir.

’Bersih sekali airport ini. Tapi saya perhatikan banyak sekali tulisan peringatan-peringatan,’ ujar Aswin.

’Ya, lumayanlah. Dan memang kebersihan itu adalah bahagian dari iman. Kamu juga akan jumpai banyak tulisan tentang ungkapan ini,’ kata Pohan.

Mereka sudah sampai di mobil Pohan. Sebuah Toyota Kijang. Pohan membuka pintu belakang mobil itu dan Aswin meletakkan kopernya disitu. Lalu kedua orang muda itu naik ke mobil.

’Mari kita berangkat ,’ ajak Pohan sambil menghidupkan mesin.

’Tidak ngantuk? Berapa jam kamu di pesawat?’ tanya Pohan lagi.

’Tidak. Kami sampai di Hongkong jam dua belas malam dan saya bisa tidur nyenyak di hotel. Tadi jam delapan pagi baru berangkat meninggalkan hotel. Saya cukup istirahat,’ jawab Aswin.

’Saya sudah menyusun acara untukmu. Nanti kita bahas sambil jalan,’ ujar Pohan pula.


*****

No comments: