Wednesday, December 3, 2008

SANG AMANAH (81)

(81)

Beberapa saat kemudian Ningsih kembali bertanya.

‘Berapa orang anakmu Win?’

‘Empat. Empat orang. Tiga laki-laki satu perempuan,’ jawab Winarni.

‘Sudah besar-besar? Sudah umur berapa?’ tanya Ningsih.

‘Yang paling besar sudah hampir tujuh belas tahun. Laki-laki. Adiknya satu-satunya wanita sudah empat belas tahun, lalu laki-laki dua orang masing-masing sebelas dan delapan tahun. Kalau anakmu berapa orang Ning?’ tanya Winarni.

‘Hanya satu orang. Laki-laki. Sudah enam belas tahun. Sekarang kelas dua SMU. Kayaknya anak kita hampir seumur,’ jawab Ningsih.

‘Anakmu yang paling besar sekolah dimana? Kelas berapa?’ tanya Ningsih lagi.

Winarni menggigit bibirnya dan menarik nafas dalam-dalam.

‘Anak saya yang paling besar tidak bersekolah. Dulu dia dikeluarkan dari sekolah dan sekarang dia bekerja, Ning. Dia bekerja di pompa bensin. Adiknya yang perempuan kelas dua SMP. Terus yang laki-laki berikutnya kelas lima dan kelas dua SD,’ jawab Winarni, tegar.

Ningsih kembali terdiam mendengar cerita itu. Anaknya dikeluarkan dari sekolah? Karena….. tidak sanggup membayar uang sekolah? Air mata Ningsih kembali menetes tanpa disadarinya.

‘Sampai kelas berapa anakmu yang paling tua itu bersekolah?’

‘Sampai kelas dua SMA. Dulu dia sekolah di SMA 369 di Kali Malang.’

‘Anakku juga sekolah di SMU 369,’ ucap Ningsih.

‘Oh ya? Mungkin mereka saling kenal. Tapi anak saya sudah hampir setahun tidak bersekolah. Teman-temannya sudah naik ke kelas tiga sekarang. Anakmu kelas berapa Ning? Kelas tiga?’

‘Masih kelas dua. Ya, mungkin mereka saling kenal. Siapa nama anakmu?’

‘Edwin. Dan anakmu?’

‘Adrianto.’

‘Tamat dari SMP dulu, tetap di Bandung aja ya Ning?’

‘Iya. Saya belum bercerita. Saya tetap di Bandung. Abis SMP saya masuk SMA Dago dan sesudah itu saya kuliah di Unpad. Tamat sekolah saya menikah. Nama suami saya Suryanto. Dia ini pengusaha meubel. Meubel yang dibuat di Jepara dan diekspor. Pagi ini suami saya mengajak saya untuk menemui calon pembeli dari Hong Kong. Saya tidak bekerja tapi hanya membantu suami saya. Biar tidak sumpek di rumah, kadang-kadang saya diajak suami kemana saja. Oh ya, saya habis sakit. Sejak saya sembuh dari sakit, suami saya lebih sering mengajak saya mengikutinya. Biar nggak terlalu stress di rumah,’ Ningsih bercerita tentang dirinya secara ringkas.

‘Habis sakit apa, Ning?’

‘Sakit agak beratlah pokoknya. Tapi Alhamdulillah sekarang saya sudah sembuh betul. Ngomong-ngomong kamu tinggal dimana Win? Kalau anakmu dulu sekolah di SMU 369, mungkin tempat kamu tidak jauh dari dari tempat saya. Dimana kamu tinggal?’ tanya Ningsih.

‘Di dekat perempatan Kali Malang dengan jalan By Pass itu. Di Gang H. Sanip namanya. Di rumah petak,’ jawab Winarni.

‘Saya pingin datang ke rumah kamu deh. Boleh? Nanti saya ajak suami saya datang melihat kamu. Boleh ya?’

‘Saya tinggal di gang becek, Ning. Di rumah petak. Nggak masuk mobil ke sana. Bagaimana kamu akan ke sana?’

‘Tapi ada jalan kan? Saya akan berjalan ke rumahmu. Yang penting boleh kan? Saya akan ke sana besok-besok.’

‘Saya tidak ada di rumah siang-siang. Saya baru sampai di rumah menjelang maghrib. Kamu pasti akan repot. Saya rasa…….,’

‘Tidak baik menolak. Saya ingin mengunjungi kamu. Ingin melihat anak-anakmu. Tolong berikan alamat kamu yang jelas. Di Gang H. Sanip itu masuk dari arah Kali Malang kan?’

‘Saya bukan mau menolak. Tapi saya malu menerima kamu dan suamimu di tempat tinggal saya,’ ujar Winarni.

‘Win, kami ini manusia biasa. Saya dan suami saya orang biasa-biasa saja. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Sudahlah. Saya memaksa mau datang dan kamu jangan menolak. Besok… Jangan besok… Lusa. Ya lusa sore. Lusa, hari Jumat sore. Saya akan ke sana sekitar jam tujuh. Sekarang beritahukan alamat kamu yang jelas,’ Ningsih setengah memerintah.

‘Ya… di Gang Haji Sanip itu. Masuk dari pertigaan sebelum By Pass dari arah Kali Malang, mutar menyeberangi kali. Dekat banyak tumpukan getek bambu di Kali Malang, tapi yang di seberangnya itu. Di sana ada Gang Haji Sanip. Masuk gang itu kira-kira dua ratus meter, ada rumah-rumah petak di sebelah kanan gang. Nomor 24. Saya tinggal di rumah petak nomor tiga kalau dari pintu masuk gang,’ Winarni menjelaskan.

‘Baik. Besok lusa saya akan ke sana insya Allah. OK kan?’

Winarni tidak menjawab.

Tiba-tiba lift itu bergerak. Lift itu naik dan berhenti di lantai 10. Pintunya terbuka. Kedua wanita itu menghambur keluar. Petugas Satpam di lantai 10 itu langsung memberi tahu ke bawah melalui pesawat handy-talky bahwa lift kanan tengah itu sudah berjalan dan orang di dalamnya sudah keluar.

Tak terasa mereka terkurung di dalam lift itu selama 40 menit. Winarni langsung berpamitan dengan Ningsih. Dia harus meneruskan pekerjaannya. Dan dia malu mau bertemu dengan suami Ningsih. Ningsih menggenggam tangan Winarni erat-erat dan memeluknya waktu Winarni pamit. Petugas Satpam terbingung-bingung melihat adegan itu.

Ningsih menghubungi suaminya melalui HP. Ternyata mas Yanto menunggunya di kantor Indocorp di lantai 10 itu. Mas Yanto memeluk Ningsih dengan mesra dan sangat gembira waktu dia mendapatkan istrinya dalam keadaan baik-baik saja. Urusannya dengan Mr. Yew Ching Quo ternyata sudah selesai.


*****


Sesuai aturan baru yang tadi diberitahukan mas Hendro, Edwin bisa pulang lebih cepat sore ini. Setelah Mansur datang, dan setelah Edwin menyerahkan amplop titipan dari bapaknya Tomi untuk Mansur, dia langsung cabut. Pulang jam delapan malam ini tentu saja lebih enak. Angkot masih banyak.

Edwin menyimpan amplop pemberian orang tadi itu di kantong dalam jaketnya. Edwin sadar, naik kendaraan umum di Jakarta ini beresiko tinggi. Copet-copet Jakarta sangat ahli dalam soal gerayang menggerayang. Kalau tidak hati-hati, kehilangan akibat kecopetan di angkutan umum bukan lagi merupakan berita.

Jam sembilan kurang Edwin sudah sampai di rumah. Ibu kaget melihat Edwin pulang lebih awal. Juga adik-adiknya.

‘Tumben pulang cepat bang?’ si kecil Edwanto, adik kesayangan Edwin menyapa.

‘Mulai hari ini abang dikasih pulang jam delapan sama mas Hendro,’ jawab Edwin.

‘Asyik, dong bang. Nggak usah lama-lama nungguin angkot,’ Wanto gembira.

Adiknya Wina buru-buru mengambilkan segelas air putih buat Edwin. Edwin menerima gelas itu dan langsung meminumnya. Dia memang sangat haus.

‘Bang, abang punya duit nggak bang?’ tanya Wina setengah berbisik.

‘Duit buat apa, kamu?’ Edwin balik bertanya.

‘Saya belum bayar uang SPP lho bang. Ibu kan belum gajian,’ kata Wina.

‘Ntar abang kasih,’ jawab Edwin.

‘Terima kasih bang,’ ucap Wina berseri-seri.

Dan ibu juga kelihatan berseri-seri sore hari ini. Ada apa gerangan?

‘Ibu kelihatan senang betul hari ini, kenapa bu?’ tanya Edwin

‘Eh, bang. Tadi ibu terperangkap di lift. Hampir sejam dalam lift, nggak bisa keluar. Kita barusan diceritain ibu,’ Wanto mendahului bercerita.

‘Iya. Tadi ibu terkurung di lift. Tapi nggak disangka-sangka ibu ketemu teman ibu di SMP dulu. Kami berdua saja dalam lift macet itu. Teman ibu itu dari sebelumnya ngelihatin ibu terus. Ibu juga memperhatikannya. Kok rasanya kayak kenal. Waktu kemudian dia ngomong dengan suaminya, melalui alat bicara di lift itu, ibu dengar dia menyebut namanya. Ningsih. Wah, bener. Dia itu bener teman ibu dulu. Mula-mula dia yang nanya. Mbak, rasanya saya kenal dengan mbak, tapi dimana, ya? Ibu langsung mengingatkan, kita dulu sekelas di SMP. Dua puluh tujuh tahun yang lalu. Jadi deh ibu berpeluk-pelukan dengan dia. Dia itu baik sekali. Memang sih dulu teman sekelas ibu. Tapi sekarang kan dia orang kaya. Tapi baik sekali. Malahan katanya mau datang ke sini. Ibu larang, karena ibu malu. Tapi dia maksa mau datang. Katanya dia akan ke sini hari Jumat lusa,’ cerita ibu.

‘Dan ibu tidak apa-apa terkurung dalam lift segitu lama?’ tanya Edwin.

‘Tidak apa-apa. Malahan jadinya kami ngobrol. Sambil lesehan di lantai lift itu. Teman ibu itu bertanya macam-macam. Ibu bercerita panjang. Dia bercerita panjang. Malahan tidak terasa kami terkurung lebih empat puluh menit dalam lift itu karena kami ngobrol,’ kata ibu.

‘Akhirnya? Pintu lift itu terbuka sendiri?’

‘Akhirnya, lift itu bergerak. Lift itu naik sampai ke lantai 10. Lalu pintunya terbuka. Kami berdua langsung cepat-cepat keluar. Ibu senang sekali. Teman ibu itu juga. Senang karena bisa keluar dari lift itu. Sesudah kami bercerita panjang.’

Edwin senang melihat ibu bahagia. Edwin ikut bahagia. Dan dia ingat amplop pemberian ayah Tomi yang kecelakaan tadi malam. Amplop yang tadi diberikan ayah Tomi waktu dia berkunjung ke rumah sakit. Amplop yang masih utuh. Dan dia tidak tahu apa saja isinya. Edwin merogoh kantong jaketnya sebelah dalam.

‘Bu, tadi saya dikasih hadiah. Sama ayah anak yang saya tolong tadi malam. Tadi waktu saya sedang bekerja, adiknya anak yang kecelakaan itu datang dan mengajak saya ke rumah sakit. Katanya saudaranya sama ibunya pengen ketemu. Mau bilang terima kasih. Kata mas Hendro, pergi aja. Saya pergi ke rumah sakit. Anak itu menangis mengucapkan terima kasih. Ibunya juga nangis. Saya bilang, syukurlah sudah dibantu dokter. Saya doakan agar cepat sembuh. Tiba-tiba ayahnya memberikan amplop ini. Katanya sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolong anaknya tadi malam. Mula-mula saya menolak. Tapi dia memaksa. Saya bilang, nanti akan saya bagi dua dengan Mansur. Dia bertanya, siapa itu Mansur. Saya bilang teman yang ikut membantu tadi malam. Eh, dia kasih satu amplop lagi untuk Mansur,’ cerita Edwin.

Wanto memperhatikan abangnya bercerita. Dia mengambil amplop di tangan abangnya itu. Sambil menimang-nimangnya.

‘Belum dibuka, bang. Isinya apa? Saya buka, ya?’

‘Berikan sama ibu. Biar ibu yang membuka,’ perintah Edwin.

Wanto menyerahkan amplop itu ke ibu.

‘Kenapa tidak kamu buka saja, Win? Itukan hadiah untuk kamu?’ kata ibu menyerahkan amplop itu kembali kepada Edwin.

‘Biar ibu saja yang membukanya, bu. Saya rasa isinya duit. Biar ibu saja yang membuka,’ ujar Edwin.

Ibu terharu. Ibu lalu membuka amplop itu. Ada uang lembaran-lembaran seratus ribu. Ibu menghitungnya. Sepuluh lembar. Berarti sejuta rupiah. Uang sebanyak itu, sangat banyak artinya bagi mereka. Dan ada selembar kartu nama. Atas nama Ir. Suminta, lengkap dengan alamat kantor dan rumahnya. Di belakangnya ada tulisan,

‘Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada sdr. Edwin, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas jasa baik ini dengan ganjaran berlipat ganda. Tertanda keluarga Suminta.’

‘Buat diapakan uang ini Win?’ tanya ibu.

‘Buat ibu gunakan, bu. Buat membayar uang SPP Wina yang katanya belum dibayar juga,’ jawab Edwin.

‘Kamu tidak ingin membeli apa-apa untukmu sendiri?’

‘Nggak bu. Dan saya masih ada uang. Ibu simpan sajalah uang itu,’ jawab Edwin.

Tiba-tiba Wina mengingatkan.

‘Bang, makanan sudah saya siapkan. Abang makan dululah, bang. Kita tadi sudah makan semua,’ ujar Wina.

‘Ya. Kamu baik sekali,’ jawab Edwin sambil tersenyum kepada Wina.

Dan Edwin pergi makan. Sebenarnya dia ingin juga menceritakan berita yang dibawa Samsul dan Amir tadi siang. Tapi niat itu diurungkannya. Berita itu hanya akan membuat ibu trenyuh. Membuat adik-adiknya trenyuh. Ya, berita itu hanya akan membuat mereka semua trenyuh. Edwin mengunyah nasi dengan lauk sederhana itu lambat-lambat. Dia menikmati makan malam yang sangat sederhana ini. Di tengah-tengah secuil kebahagian yang dirasakan ibu, yang dirasakan adik-adiknya. Kelihatannya Allah langsung menjawab doanya sesudah shalat subuh tadi pagi.


*****

No comments: