Saturday, January 23, 2010

RAPAT BERHELAT

RAPAT BERHELAT

Syafwal menerima usulan istrinya agar anak mereka diperhelatkan di kampung. Menerima dengan ikhlas. Meski istrinya membumbui bahwa permintaan itu adalah permintaan mertuanya. ‘Percuma saja rumah dibuat sebesar dan serancak ini tidak dimanfaatkan untuk berhelat,’ begitu kata mak Khadijah, mertuanya. Kakak iparnya, Nursal Sutan Mudo, juga ikut menyemangati. ‘Rancaklah berhelat di kampung. Kalaulah nanti akan ada lagi resepsi di Pakan Baru tidak jadi soal. Yang di kampung ini perlu benar rasanya dilaksanakan. Bukankah menantu awak orang kampung juga meski berbeda kecamatan?’ Begitu kata mamak rumahnya Sutan Mudo itu. Syafwal tidak keberatan sama sekali.

‘Cuma ada satu permintaan saya, uda,’ kata Syafwal.

‘Apa itu?’ taya Sutan Mudo.

‘Kalau berhelat di kampung, kita pakai benar cara di kampung. Cara beradat,’ katanya.

‘Tentulah iya,’ Sutan Mudo menyetujui. ‘Kita rancang betul sebaik-baiknya,’ tambahnya.

‘Kalau begitu besok malam rapat kita. Kita perbincangkan pelaksanaan helat itu,’ usul Syafwal.

Suai. Biarlah besok saya ajak si Pirin, Rajo Bungsu, mak Muncak, mak Malin ke rumah. Gindo ajak pulalah agak berdua bertiga dari tipak bako si Lena. Sesudah sembahyang isya kita mulai rapat,’ Sutan Mudo memberi persetujuan.

‘Baiklah kalau begitu uda,’ jawab Syafwal Bagindo Sati.

***

Sesuai rencana, semua yang diundang rapat telah hadir malam itu. Rapat dipimpin Sutan Mudo. Karena dia mamak rumah. Dia mamak kandung Lena, puteri Syafwal yang akan menikah.

‘Begini mah, mak,’ kata Sutan Mudo, seolah memberi laporan kepada mak Muncak dan mak Malin. ‘Dari fihak Gindo Sati kan sudah sesuai setentangan kerja besar yang akan kita seberangkan ini. Sudah setuju helat si Lena dilaksanakan di kampung. Namun ada sebuah permintaan dari fihak Gindo Sati, yakni supaya helat ini dikerjakan menurut adat. Ini kan permintaan yang sebenar permintaan. Permintaan yang sudah sangat jelas. Kalau kita berhelat di kampung tentu iya kita selesaikan dengan cara di kampung. Tapi supaya lebih jelas lagi, itulah sebabnya maka pada kesempatan ini kita perundingkan, bagaimana tertib pelaksanaannya.’

‘Kalau begitu sudah betul itu. Apa juga yang akan dirundingkan lagi?’ mak Muncak berkomentar.

‘Maksudnya begini, mak. Tolonglah mamak curaikan, rangkaian helat dengan cara beradat itu. Sesudah itu tentu ingin pula kita mendengar dari fihak Gindo, kalau-kalau ada tukuk tambahnya.’

‘Kalau yang secara adat di nagari kita ini, menikah di rumah jadi, atau di masjid pun bisa. Kita tentukan harinya. Kalau sekiranya di rumah, bisa dilaksanakan di sehari sampai atau di hari pelaksanaan ijab kabul. Kalaulah akan dilaksanakan di masjid boleh juga sore hari, atau biasa juga dilaksanakan orang sesudah sembahyang Jumat. Kalau nikah di rumah, yang biasa dilakukan orang, rombongan marapulai datang menjelang maghrib. Marapulai datang dengan mamak-mamaknya beserta anak-anak muda yang mengantarkannya. Langsung diselesaikan ijab kabul malam itu. Sesudah itu makan minum si pangkal dan si alek. Malam itu, malam sampai disebut orang, adalah malam helat marapulai dengan kawan-kawannya sesama anak muda, diiringkan pula oleh seorang berdua mamak-mamaknya.

Besoknya anak daro dijemput oleh rombongan ibu-ibu dari fihak marapulai. Istilahnya pun hari dijemput. Yang datang adalah rombongan perempuan lengkap dengan pasumandannya. Anak daro dan marapulai diarak ke rumah mertua. Di sebelah petang, rombongan itu diantar kembali ke rumah anak daro.

Lalu malam harinya, marapulai membawa mamak-mamaknya, khusus mamak-mamak saja, ke rumah istrinya untuk makan singgang ayam. Maka sudah selesailah helat itu. Begitu yang diadatkan di nagari kita ini,’ jawab mak Malin.

‘Bagaimana kira-kira Gindo?’ tanya Sutan Mudo.

‘Ambo menurut saja..... Tapi ada satu pertanyaan, mak. Di kota dikerjakan orang helat ini dengan acara malam bainai. Apakah itu tidak lazim, mak?’ tanya Syafwal.

‘Itu boleh-boleh saja. Walaupun tidak semua orang mengerjakan. Maksudnya adalah malam menasihati calon anak dara. Datang bako, datang mintuo (istri mamak) untuk memandikan calon anak dara dan melekatkan inai. Mereka membawa hadiah untuk anak ujung emas, calon anak dara. Malam bainai ini kalau mau dikerjakan boleh saja. Biasanya dilakukan semalam sebelum akad nikah. Dan itu adalah helatnya ibu-ibu.’

‘Lalu..... Bagaimana dengan helat untuk tamu orang kampung, nyiak?’ tanya si Pirin.

‘Ha... itu urusan kau lah itu,’ jawab mak Muncak.

‘Hari Minggu kita jamu tamu undangan, kan begitu Gindo?’ tanya Sutan Mudo memastikan.

‘Iyalah uda, saya menurut saja,’ jawab Syafwal.

‘Tapi ada pula kebiasaannya pak etek, helat hari minggu itu biasanya sampai malam,’ Pirin menambahkan.

‘Ya iyalah. Kalau masih ada tamu datang tentu kita layani. Ndak masalah kan, itu?’ jawab Syafwal.

‘Dan biasanya, pada malam hari itu yang datang anak-anak muda kampung. Mereka minta agak diistimewakan sedikit.’

‘Maksudnya?’ tanya Syafwal.

‘Kalau bisa disediakanlah minuman untuk mereka. Khusus untuk malam itu,’ usul Pirin.

‘Sebentar dulu.... Maksudnya bagaimana?’

‘Malam orang berhelat itu, sudah seperti tradisi pula di kampung sebagai malam hiburan untuk anak-anak muda. Mereka akan datang berombongan mendengarkan musik. Begitu biasanya.’

‘Musik? Musik apa? Dari tadi kita tidak ada membicarakan musik,’ Syafwal terheran-heran.

‘Begini, Gindo. Sekarang, dek jaman kemajuan, di kampung ini kalau orang berhelat selalu ada hiburan musik. Orgen tunggal, begitu disebut namanya. Dipanggil tukang orgen. Yang muda-muda nanti akan menyumbang lagu. Bernyanyi di pentas. Kebetulan si Pirin ini pemain orgen tunggal itu,’ Sutan Mudo membantu menjelaskan.

Syafwal tidak segera menjawab. Dia sudah memperkirakan akan ada pembahasan tentang orgen tunggal ini. Justru inilah sebenarnya yang ingin dicegahnya dengan usul untuk melaksanakan perhelatan secara beradat.

‘Jadi, bagaimana pendapat Gindo?’ tanya Sutan Mudo.

‘Saya tidak setuju, uda,’ jawab Syafwal singkat.

‘Maksudnya?’

‘Saya tidak setuju ada acara musik orgen tunggal,’ jawab Syafwal tegas.

‘Itu tidak mungkin pak etek,’ giliran Pirin mengeluarkan pendapat.

‘Kenapa tidak mungkin?’

‘Saya diundang orang kemana-mana berorgen tunggal. Sekarang giliran di rumah bako saya sendiri tidak ada musik. Apa kata orang?’

‘Tidak terlalu faham saya maksudnya.’

‘Pak etek. Bermain orgen ini pekerjaan saya. Dengan ini saya mencari rejeki. Kalau sampai helat si Lena tidak pakai orgen tunggal, kan sama saja namanya pak etek menggulingkan periuk nasi saya. Masak pak etek sampai hati?’

‘Tapi melaksanakan perhelatan tidak ada kewajiban membuat pertunjukan musik. Tidak ada hubungannya itu.’

‘Ada hubungannya Gindo.... Sekarang cara seperti itu yang diperbuat orang. Tidak ramai helat kalau tidak ada orgen tunggal.’

‘Ambo minta maaf, uda. Minta maaf kepada mak Muncak serta mak Malin. Kalau yang satu ini sungguh, ambo tidak mau ikut.’

‘Apa alasan Gindo?’

‘Banyak mudharatnya uda. Sekali lagi mohon maaf mamak-mamak.’

‘Mudharat? Apa mudharatnya?’

‘Sebelum saya jawab. Tadi si Pirin mengawali dengan permintaan agar untuk anak-anak muda di malam hari disediakan minuman. Minuman apa maksudnya?’ tanya Syafwal.

‘Ya.... Minumanlah pak etek. Tapi kalau pak etek tidak mau menyediakan tidak juga jadi masalah. Biarlah mereka urus sendiri urusan minuman itu.’

‘Jadi apa yang akan mereka lakukan pada acara itu? Kenapa perlu minuman? Maaf, maksudnya minuman ini, minuman keras?’

‘Ya... sekedar bir bintang begitulah pak etek. Kan maksudnya untuk sedikit bergembira. Malam muda mudi. Malam gembira. Biar mereka berjoged-joged sebagai bentuk kegembiraan di hari istimewa anak dara dan marapulai,’ Pirin merasa seperti dapat angin.

‘Jawaban saya pasti tidak. Saya tidak setuju dengan acara seperti itu,’ jawab Syafwal.

‘Begini, Gindo. Maksudnya, kita mengerjakan seperti yang dilazimkan orang sekarang. Kalau Gindo tidak setuju dengan menyediakan minuman untuk mereka, seperti kata si Pirin, biarlah mereka urus sendiri apa yang mereka perlukan. Kalau sekedar bermusik-musik itu apa pulalah salahnya.’

‘Sangat salah itu, uda. Ambo meminta pelaksanaan helat ini secara adat adalah untuk menghindarkan hal-hal yang seperti itu. Kalau kita biarkan, kalau ambo biarkan berarti ambo menyokong tradisi baru itu. Tradisi baru kata si Pirin. Tradisi yang jelas sangat banyak kelirunya. Ambo bukan tidak mendengar uda, di acara berorgen tunggal itu biasanya anak-anak muda itu banyak yang sampai mabuk. Yang perempuan berjoged dalam keadaan setengah waras, bergoyang dengan goyangan yang tidak pantas. Ini bukan budaya kita, uda. Yang berjoged dan yang mabuk-mabuk anak kemenakan kita. Ambo tidak setuju membiarkan anak-anak muda itu berbuat yang tidak pantas seperti itu.’

‘Kalau tidak ada orgen tunggal, tidak akan ada orang datang ke perhelatan, pak etek. Percayalah.’

‘Begini Pirin. Hutang kita adalah mengundang. Datang tidak datang terpulang kepada yang diundang.’

‘Dan helat ini bisa saja diganggu anak-anak muda kalau tidak ada orgen tunggal.’

‘Begini sajalah. Urusan orgen tunggal, mohon maaf sebesar-besarnya kepada mamak-mamak, kepada uda, biarlah jadi tanggung jawab saya mengatakan tidak. Kalau ada yang mengganggu saya serahkan urusannya kepada si Misran di kapolsek. ’

Misran adalah kemenakan sepersukuan Syafwal, komandan polisi di kapolsek.

‘Sudahlah. Benar juga yang dikatakan Bagindo Sati. Kita coba mengawali meninggalkan musik orgen tunggal itu. Aku sependapat dengan Gindo. Acara seperti itu merusak,’ mak Malin kembali ikut berbicara.

‘Rapat apa ini. Rapat tidak sendereh...’ kata Pirin merentak lalu bangkit dari duduk dan langsung pergi.

Mak Malin dan mak Muncak tersenyum saja melihat. Nursal Sutan Mudo tidak berani mempertegaki anaknya itu lagi. Dia terpaksa diam saja.


*****

Thursday, January 21, 2010

Pantun 2

Pantun 2

Keselamatan atas engkau para saudara
Dimana saja anda berada
Semoga rahmat Allah senantiasa
Menyertai anda serta berkah Nya

Kusampaikan lagi sebuah cerita
Berasal dari dunia sana
Ketika terlelap aku melihatnya
Gerangan entah apalah makna

Menjelang subuh aku terjaga
Ditepuk pipi dicubit paha
Sambil menggosok-gosok mata
Habis bermimpi aku kiranya

Bergemuruh rasanya darah di dada
Gamang dan takut tidak terkira
Senyampang mimpi menjadi nyata
Betapa menyeramkan itu semua

Di dalam mimpi aku terpana
Maninjau Singkarak berlaga-laga
Marapi Singgalang meronta-ronta
Pasaman Tandikek begitu pula

Bersamun awan di udara
Hitam pekat kelabu tua
Berdesir angin menghalaunya
Bunyi ribut membahana

Tapi yang aneh mempesona
Orang kampung tenang-tenang saja
Seolah tak terjadi apa-apa
Mereka asyik bercengkerama

Rasian yang terlalu kasat mata
Rasanya tidak susah benar tadbirnya
Mimpi buruk sedang menimpa
Minangkabau ranah tercinta

Berkali-kali musibah tiba
Marapi dan Talang mengirim tanda
Berbuat garang mereka bisa
Memanggang nagari di sekitarnya

Jangan ditanya perkara gempa
Sudah berulang dihoyaknya
Handam karam nagari yang dilanda
Masjid dan surau porak poranda

Puting beliung pernah bicara
Pohon besar ditumbangkannya
Semua diterbangkan ke udara
Ranap yang tinggal tak berdaya

Air yang adalah sebuah karunia
Dengannya kehidupan bermula
Tapi ketika sangat banyak dia tiba
Dihanyutkannya segala yang ada

Jadi kalau perkara tanda
Sudah lengkap rasa-rasanya
Allah tunjukkan untuk semua
Bahwa Allah bisa sangat murka

Namun herannya mereka tetap mada
Tidak sedikitpun bisa membaca
Tanda-tanda kekuasaan Nya
Asyik juga berbuat dosa

Batil dan haq dipercampurkannya
Halal dan haram sama direguknya
Tuak dan kopi sama dinonongnya
Perbuatan tercela dikerjakannya

Mereka mempunyai puteri dan putera
Tiba masa menikahkannya
Didatangkan orang siak dan ulama
Untuk menyaksikan ijab kabulnya

Sebuah perbuatan wajib atas mereka
Menikahkan anak-anak remaja
Agar terhindar dari dosa
Dari melakukan perbuatan tercela

Sesudah ijab kabul jadi upacara
Orang banyak di kerumahkannya
Untuk memberikan restu dan doa
Kepada marapulai dan anak dara

Ketika itulah dimulai dosa
Orgen tunggal diadakannya
Entah siapa yang punya budaya
Bunyi musik memekak telinga

Berdentam-dentam membahana
Laksana bunyi meriam belanda
Sedang berperang di medan laga
Tak siapa dapat melerainya

Di siang hari belum puncaknya
Semakin malam semakin bergelora
Tuak dan bir entah dari mana datangnya
Mereka teguk dengan leluasa

Musik orgen tunggal semakin membara
Penyanyi yang biasanya betina muda
Sungkan dan malu jadi tiada
Mereka bergoyang pinggul dan dada

Tidak menunggu terlalu lama
Mabuk dan tenggen datang mendera
Pikiran waraspun jadi sirna
Semua bergoyang mengikuti irama

Inilah batil yang seutuhnya
Pangkal dosa bermacam dosa
Ninik dan mamak hilang wibawa
Tidak seorangpun angkat bicara

Alihkan pula pandangan mata
Ke tengah kampung ke pinggir kota
Orang berdamini atau berkoa
Azan terdengar dibiarkan saja

Kok dilihat pula para remaja
Berkeliaran berbuat semaunya
Ke pinggir laut berhura-hura
Berkeluntun-puntun jantan betina

Seakan-akan belum sempurna
Dari berpacu berbuat durjana
Yang muda berbuat suka-suka
Yang tuapun lupa dituanya

Tidak ada yang sadar seorang jua
Bahwa mereka telah berdosa
Melanggar larangan Allah Ta’ala
Dengan apa yang dikerjakannya

Oleh karena itu wahai saudara
Mari kita ingat-ingatkan jua
Bahwa dahulu tidak serupa
Ketika adab budaya masih dipelihara

Berhelat berkenduri boleh saja
Diundang sanak serta saudara
Orang kampung semuanya
Tanda bersyukur kepada Nya

Bersukacita ada batasnya
Norma susila tetap dipelihara
Tidak semua berseleperan saja
Bergalau tak jelas juntrungannya

Berpesta pora bermusik ria
Berorgen tunggal konon namanya
Handam karam bunyi suaranya
Sangat mengganggu para tetangga

Apalagi ditambah pula
Minum tuak, bir dan sebangsanya
Bernyanyi berjoged bermabuk ria
Perbuatan dosa itu semua

Jadi sekali lagi para saudara
Mari mulai dari diri kita
Kok nyampang berhelat kemenakan kita
Perhelatkan dengan cara biasa saja

Mari kembali makan berjamba
Diringi dengan sedikit hota
Sekedar yang perlu-perlu saja
Ketika kita sama bersila

Bukan karena apa-apa
Kalau tetap juga berbuat dosa
Tanpa pernah merasa jera
Murka Allah yang akan menimpa

Tidakkah kita faham juga?
Dengan semua peringatanNya?
Ketika didatangkanNya berbagai bala?
Untuk mengingatkan kita semua?

Jangan dipandang enteng saja!
Ketika nagari dihoyak gempa!
Puting beliung datang menyapa!
Ombak di laut menggelora!

Semua itu isyarat yang disampaikan Nya
Bahwa kita anak manusia
Sebenarnya tiada kuasa tiada daya
Jadi janganlah ongeh juga

Mari ingatkan anak kemanakan kita
Supaya kembali ke jalan Nya
Beramal salih di alam dunia
Agar di akhirat kelak terpelihara.

Tuesday, January 19, 2010

DERAI-DERAI CINTA (50) (tamat)

50. DERAI-DERAI CINTA (tamat)

Ratih sangat terpukul. Pertanda apa ini? Besok dia akan menikah. Segala sesuatu sudah siap. Undangan sudah beredar. Sore itu, sesudah maghrib, datang berita. Mashudi mengalami kecelakaan fatal di Cimindi. Jiwanya tidak tertolong. Ya Allah…. Ada apa ini? Ratih mengurung dirinya di kamar. Dia menangis. Karena kaget. Karena malu.

Uci menghiburnya dan mengingatkan agar dia berserah diri kepada Allah. Yang sudah terjadi itu merupakan ketentuan Yang Maha Kuasa. Walaupun sakit, walaupun menyesakkan dada, kita sebagai makhluk Allah tidak dapat berbuat apa-apa ketika ketetapan Allah sudah jatuh. Dan yang sebaik-baik sikap adalah bersabar dan berserah diri kepada Allah.

Apa yang dikatakan uci sangat benar. Ratih harus menerima kenyataan itu. Karena memang tidak mungkin menolak. Tidak mungkin memprotes kepada Allah. Yang sudah terjadi ya, sudah. Yang diderita Ratih masih terhitung ringan. Allah bisa saja menetapkan sesuatu yang lebih berat dari itu.

Jenazah Mashudi dimakamkan keesokan harinya sesudah shalat Jumat. Waktu yang dijadwalkan sebelumnya untuk melaksanakan akad nikah. Ratih ikut hadir ke pemakaman di Cimahi.

*

Keluarga pak Bambang Sadarta harus bekerja keras memberitahu handai tolan yang sudah menerima undangan resepsi pernikahan Mashudi dan Ratih, bahwa resepsi itu batal. Tidak terlalu sulit karena yang diundang berada di lingkungan terbatas. Sebagian besar dari mereka yang diundang sudah mendengar kabar duka itu. Teman-teman Ratih tetap datang pada hari Minggu itu untuk melayat. Untuk menghibur Ratih. Di antara yang ikut hadir hari itu adalah Imran dan Syahrul. Mereka datang untuk menyampaikan ikut berduka cita kepada Ratih. Kehadiran kedua anak muda itu cukup mengagetkan Ratih. Terutama kehadiran Imran. Sudah lebih dua tahun mereka tidak pernah bertemu. Sejak Imran meninggalkan Bandung komunikasi mereka terputus.

Imran menyampaikan rasa ikut berduka citanya dan mengingatkan Ratih untuk bersabar. Ratih tersenyum mendengarnya.

*

Dua minggu kemudian. Syahrul datang lagi ke rumah pak Bambang Sadarta. Kali ini berdua dengan Lala. Sukma memberi tahu Ratih atas kedatangan kedua orang itu. Saat itu Ratih sedang membantu uci di dapur.

Ratih terheran-heran melihat Lala datang dengan Syahrul. Tetapi keheranan itu disimpannya saja dalam hati. Mereka bertiga segera terlibat dalam perbincangan.

‘Saya dengar Lala jadi dosen?’ tanya Ratih.

‘Insya Allah. Masih dalam tahap belajar, sih,’ jawab Lala.

‘Asyik, ya…. Pasti nanti ke luar buat mengambil S2. Kayak kak Syahrul…’

‘Doain aja…… Kalau Ratih? Sudah mulai bekerja?’

‘Masih melamar-lamar sih. Kemarin ini ada panggilan untuk interview dari Bayer. Tapi di Jakarta. Ratih masih pikir-pikir.’

Mereka ngobrol ngalor ngidul, ke barat ke timur. Akhirnya Lala menyampaikan maksud kedatangannya.

‘Maaf ya, Ratih. Ada sesuatu yang Lala ingin tanyakan. Sangat pribadi sifatnya. Kalau umpamanya nanti tidak berkenan, Lala mohon maaf sebelumnya….’

‘Oh ya….. Ada apa?’ tanya Ratih.

‘Sekali lagi Lala mohon maaf, sebelumnya. Mungkin ini bukan saat yang terlalu tepat. Tapi Lala benar-benar ingin bertanya secara jujur…’

‘Tentang apa? Kok Lala minta-minta maaf melulu?’

‘Baik…… Lala ingin….. Ingin menyampaikan lamaran bang Imran…. ‘

Jantung Ratih seperti mau copot. Sedikitpun dia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu yang keluar dari mulut Lala. Dia berusaha keras menenangkan diri agar tidak terlihat gugup.

‘Apa….. Apa….. maksudnya?’ tanya Ratih terbata-bata.

‘Kalau hal itu melukai Ratih, sekali lagi Lala minta maaf.’

‘Ratih tidak…… Saya…… Tidak mengerti maksud Lala…. ‘

‘Maksudnya…. Seperti yang dikatakan Lala. Seandainya Ratih tidak berkeberatan, kami mewakili Imran menyampaikan hasrat itu. Tapi seandainya Ratih berkeberatan, kami akan menyampaikannya kepada Imran dan kami minta maaf karena kelancangan ini. Masih berandai-andai, seandainya Ratih mau mempertimbangkannya, Imran sendiri setelah ini akan datang kesini untuk menyampaikannya kepada Ratih,’ Syahrul membantu menjelaskan.

Tanpa disadarinya dua tetes air mata mengalir di pipi Ratih. Dadanya bergoncang hebat. Masih dicobanya untuk bersikap setenang mungkin.

‘Bagaimana jawaban Ratih?’ tanya Lala lagi.

Ratih tidak kuasa menjawab. Beberapa tetes air mata lagi mengalir di pipinya. Ratih menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan.

‘Sekali lagi maaf, ya Ratih. Mungkin Ratih perlu waktu berpikir sebelum menjawabnya.’

‘Kak Imran ada di mana sekarang?’ tanya Ratih..

‘Dia ada di Sekeloa,’ jawab Lala.

‘Seandainya…….’

‘Seandainya apa?’ tanya Lala.

‘Seandainya……, dia ada disini…., saat ini.’

‘Ratih mau dia datang kesini?’

Ratih tidak menjawab. Dia tersenyum. Dia menangis. Tetesan air mata kembali bercucuran.

‘Kalau begitu, Lala menyimpulkan saja. Ratih ingin bertemu dengan bang Imran. Kami akan pulang ke Sekeloa. Insya Allah sesudah itu bang Imran akan datang kesini.’

***

Imran datang sore itu. Menemui Ratih. Hati Ratih berbunga-bunga. Ya Allah, Engkau Maha Pemurah, Ratih bergumam dalam hati.

Mereka duduk berdua di ruang tamu itu.

‘Saya ingin….. melamar Ratih,’ kata Imran agak terbata-bata.

Ratih menatap mata Imran. Seuntai senyum berseri di bibirnya. Dan dua tetes air mata kembali mengalir di pipinya. Ratih tidak menjawab.

‘Saya lamar Ratih untuk jadi istri saya….,’ kata Imran lebih tegas.

Ratih tetap tidak menjawab. Bibirnya tersenyum tapi matanya semakin berkaca-kaca.

‘Sekarang jawablah…. Apakah Ratih bersedia…… Jadi istri saya?’

Ratih mengangguk. Ratih bangkit dari duduknya dan lari masuk ke dalam. Masuk ke kamarnya. Menangis.

Tinggallah Imran duduk sendirian. Sukma muncul dari dalam dan duduk di hadapan Imran. Imran tersenyum ke arah Sukma.


tamat

DERAI-DERAI CINTA (49)

49. KALAU TAK JODOH

Rumah petak itu masih begitu-begitu saja. Masih tetap utuh berada di sebelah kanan rumah utama. Penghuninya selalu silih berganti. Jika yang satu pergi kemudian ada lagi penggantinya yang baru datang. Penghuninya selalu mahasiswa, berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka adalah penyewa tahunan. Atau istilahnya, mereka mengontrak rumah-rumah petak itu. Ada yang betah tinggal sampai bertahun-tahun disitu tapi ada juga yang hanya untuk satu tahun lalu pindah. Waktu Syahrul dan kemudian Imran tinggal disitu, mereka termasuk yang paling betah. Kedua anak muda itu menempati rumah kontrakan itu selama lima tahun. Selama itu pula kehadiran mereka memberi warna tersendiri di lingkungan itu. Kedua anak muda itu sangat sopan, rajin ke mushala, bergaul dengan masyarakat di sekitar dengan santun. Tidak pernah sekali juga mereka bermasalah dengan penduduk.

Sangat lama Ratih merasa kehilangan sesudah Syahrul dan Imran pergi dari situ. Kedua anak muda itu sangat berbeda dengan penghuni-penghuni lainnya. Lebih sopan dan lebih alim. Terutama Imran, yang lebih akrab dan sering ngobrol dengannya. Ngobrol dengan Imran itu selalu menyenangkan. Dan selalu menambah wawasan karena pengetahuan umumnya luas.

Imran, dulu itu, memang beda. Dia bukan hanya sekedar enak diajak ngobrol tapi juga berkepribadian sangat menyenangkan. Sangat berwibawa. Sangat keras memegang prinsip. Ratih pernah merasa sangat malu dan menyesal, ketika dia mengundang Imran ke acara ulang tahunnya, lalu mengirimi Imran kartu undangan istimewa. Ternyata Imran tidak bisa datang karena dia sedang ke luar kota. Yang membuat Ratih malu adalah ketika kemudian dia menyadari bahwa Imran tidak suka diistimewakan oleh teman wanita yang manapun. Imran tidak mau menjalin hubungan istimewa dengan teman wanita. Kasarnya, Imran tidak mau mempunyai pacar. Dia punya alasan yang sangat prinsipil tentang itu.

Hubungan persahabatan mereka selalu terpelihara dengan baik. Ratih menyenangi kesempatan berbincang-bincang dengan Imran. Perbincangan yang selalu menjadikan Ratih sangat menghormati dan menghargai Imran. Menjadikan dia semakin tertarik kepada Imran.

Diam-diam, awalnya Ratih berharap bahwa pada suatu hari nanti dia akan berjodoh dengan Imran. Tapi kemudian dia mendapat informasi bahwa Imran telah dijodohkan dengan sepupunya, Lala. Ratih mengenal Lala dan pernah bertemu dengannya. Lala itu cantik dan cerdas. Dan Ratih merasa bahwa dia sudah pasti akan kalah bersaing dengannya untuk mendapatkan Imran. Lala puteri paman yang sangat dihormati Imran. Dalam bayangan Ratih, tidak akan mungkin Imran menolak kalau dia dijodohkan dengan Lala. Biarpun Imran pernah mengatakan bahwa dia tidak memikirkan sama sekali perjodohannya dengan Lala. Ratih yakin, Imran akan menikah dengan Lala.

Kemudian Syahrul mengajuk hatinya. Ratih tidak terlalu yakin untuk menerimanya. Dia tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Syahrul. Tidak menolak dan tidak mengatakan mau. Dia hanya mengatakan bahwa dia ingin menyelesaikan kuliahnya dulu. Syahrul berangkat ke Australia selama dua tahun. Selama waktu dua tahun itu Ratih sudah menyelesaikan kuliahnya di farmasi, lalu kemudian dilanjutkannya dengan pendidikan apoteker di ITB.

Dia pernah bertemu dengan Syahrul di kampus ketika Syahrul baru pulang dari Australia. Waktu itu mereka ngobrol sebentar. Syahrul memberitahu bahwa sekarang dia tinggal di Cisitu. Ratih berbasa basi mengajak Syahrul datang ke rumah. Syahrul memang pernah datang sekali ke rumah di Taman Sari. Mereka ngobrol lebih lama waktu itu. Obrolan mengenai pengalaman Syahrul di Australia. Tentang kemungkinan dia akan kembali lagi suatu saat nanti kesana untuk mengambil gelar doktor. Dalam obrolan itu, tidak ada sedikitpun Syahrul menyinggung tentang keinginannya untuk menjalin hubungan dengannya. Tentang sesuatu yang pernah diutarakan Syahrul dulu sebelum berangkat ke Australia.

Syahrul hanya datang sekali itu saja. Sudah beberapa bulan pula berlalu sesudah itu. Mereka tidak pernah lagi bertemu. Ratih memahami bahwa hasrat yang pernah disampaikan Syahrul dulu sudah tidak berlaku lagi. Dan bagi Ratih tidak ada masalah.

Yang merasa bermasalah adalah orang tuanya. Termasuk uci. Uci sudah sangat ingin agar Ratih segera berumah tangga. Usia Ratih sudah sangat cukup untuk menikah. Kuliahnyapun sudah selesai. Tapi dengan siapa? Ratih tidak punya pacar.

***

Pak Bambang Sadarta punya keponakan jauh bernama Mashudi. Seorang dokter alumni Unpad. Dia tinggal dan praktek di Cimahi. Usianya sudah tiga puluh tahun. Belum menikah. Mashudi seorang kutu buku dan sangat serius. Dunia utamanya adalah buku. Tubuhnya tinggi agak kurus. Wajahnya yang selalu dihiasi kacamata sebenarnya cukup tampan tapi sayang penampilannya kaku dan terlalu pendiam. Dengan pasienpun dia berbicara seperlunya saja.

Suatu hari Mashudi datang mengantarkan ayahnya, pak Broto, ke rumah pak Bambang Sadarta. Pak Broto yang tinggal di kampung di Purwokerto, ingin bersilaturahim dengan saudara sepupunya itu. Kebetulan dia sedang ada urusan ke Bandung. Dulu ketika masih muda, dan sama-sama tinggal di kampung mereka sangat akrab. Tapi sesudah pak Bambang Sadarta merantau mereka sangat jarang bertemu. Pertemuan nostalgia itu secara gurauan menyerempet kepada kemungkinan berbesanan. Pak Broto bertanya bagaimana seandainya Ratih jadi istri Mashudi. Pak Bambang Sadarta menjawab secara bergurau pula bahwa urusan jodoh biarlah anak-anak saja yang menentukan. Kalau anak-anak sudah ada kecocokan, orang tua cukup menilai dan merestui. Tapi setelah tamunya pergi pak Bambang Sadarta memikirkan gurauan itu dengan lebih serius. Dalam pikirannya, Mashudi sangat layak dijodohkan dengan Ratih. Seandainya jadi, betapa idealnya. Yang satu dokter, yang satu apoteker. Mashudi cukup gagah untuk jadi suami Ratih.

Pak Bambang Sadarta bukanlah seorang yang otoriter. Apa yang dipikirkannya dirundingkannya dengan istrinya. Istrinya sangat setuju jika Mashudi jadi menantu. Lalu mereka tanya pula pendapat Ratih. Ternyata tanggapan Ratih dingin-dingin saja. Dia sudah kenal dengan Mashudi sejak lama, sejak ketika sekali-sekali mereka bertemu di pertemuan keluarga. Mashudi bukan tipe laki-laki yang disukai Ratih. Karena orangnya terlalu pendiam dan terlalu serius. Ratih senang ngobrol. Senang berbicara. Sepertinya, dengan Mashudi tidak banyak yang bisa diobrolkan.

Tapi Ratih tidak pula menolak mentah-mentah kemungkinan itu. Dia menyarankan agar mereka, Mashudi dan Ratih saling menjajagi dulu. Pak Bambang Sadarta setuju dengan usulan Ratih. Dia segera menghubungi pak Broto dan menyampaikan informasi itu. Sejak itu Mashudi jadi lebih sering datang berkunjung.

Beberapa bulan berlalu. Mashudi secara teratur datang ke rumah keluarga pak Bambang Sadarta. Biasanya pada hari Minggu sore karena hari itu dia tidak praktek. Kadang-kadang dia mengajak Ratih berjalan-jalan keluar. Pergi menonton bioskop atau makan di restoran. Dia tidak banyak omong tapi perhatiannya terhadap Ratih cukup baik. Beberapa kali dia memberi Ratih hadiah berupa buku.

Tiga bulan mereka saling menjajagi. Atau tepatnya selama itu Ratih menilai pribadi Mashudi. Dokter muda itu sopan, tidak grasa-grusu, selalu menepati janji, mau memberi perhatian. Satu-satunya nilai kurang pada diri Mashudi adalah kehematannya dalam berbicara. Jarang sekali dia bertanya kalau mereka sedang berdua. Selalu Ratih yang bertanya dan Mashudi yang menjawab. Jawabannyapun seringkali seperlunya saja. Ratih berpikir panjang selama tiga bulan itu. Membolak balik buruk dan baiknya kalau dia menerima untuk jadi istri Mashudi. Sikap hemat bicara Mashudi sebenarnya sudah merupakan sebuah kendala. Sulit bagi Ratih membayangkan akan serumah dengan seseorang yang sebegitu pendiam. Punya suami yang sangat sedikit bicara. Sementara dirinya adalah orang yang senang berbagi cerita. Suka mendengar dan ingin pula didengar lawan bicaranya. Mashudi mungkin seorang pendengar yang baik tapi itupun sulit dibuktikan.

Ayahnya sudah dua kali menanyakan tanggapan Ratih tentang Mashudi. Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Dia coba melibatkan uci, meminta pendapat beliau. Ternyata uci bersikap netral saja. Tidak melarang dan tidak mendorong. Tapi Ratih tahu kalau uci tidak terlalu bersemangat mendengar cerita tentang Mashudi. Berbeda dengan ketika mendengar cerita tentang Imran dulu.

Tapi disisi lain Ratih juga dihantui kekhawatiran tidak akan dapat jodoh. Sejak beberapa tahun ke belakangan sudah tidak ada lagi anak muda yang mencoba mendekatinya karena mereka tahu Ratih sepertinya dingin. Seolah-olah tidak berminat terhadap laki-laki. Kalau Mashudi ditolak pula, siapa lagi yang akan diharapkan? Mashudi punya kekurangan tapi masih bisalah diharapkan. Mudah-mudahan saja, seandainya nanti mereka menikah, Ratih bisa mengajak agar Mashudi lebih komunikatif. Akhirnya dia setuju untuk menikah dengan Mashudi.

Lucunya, setelah beberapa bulan berusaha akrab, dengan cara datang berkunjung secara teratur ke rumahnya, Mashudi tidak pernah sekalipun juga mengatakan apa yang dia harapkan dari Ratih. Tidak pernah dia mengatakan bahwa dia ingin melamar Ratih. Tidak pernah dia menyebut bahwa dia ingin menjadikan Ratih istrinya. Bahkan tidak pernah dia mengatakan bahwa dia menyukai Ratih. Ketika ayah menanyakan hal yang sama untuk ketiga kalinya, Ratih menjawab bahwa dia bersedia kalau memang Mashudi mau melamarnya, dan berharap Mashudi akan menyampaikan kata-kata lamaran itu secara pribadi kepadanya.

Tapi Mashudi tetap tidak mau. Entah malu, entah bagaimana. Akhirnya sesudah diinterlokal pak Bambang Sadarta, pak Broto datang lagi ke Bandung. Dia meyakinkan Ratih dihadapan ayahnya, bahwa Mashudi ingin melamar Ratih menjadi istrinya, tapi malu mengutarakannya langsung. Mashudi itu terlalu pemalu. Begitu kata pak Broto. Ratih mengalah. Dia menerima lamaran itu.

Pernikahan mereka direncanakan dan dipersiapkan dalam waktu singkat. Hanya dalam waktu satu setengah bulan. Mereka akan menikah di awal bulan September 1989. Undangan segera dibuat dan diedarkan dua minggu sebelum hari pernikahan. Pesta pernikahan akan dilaksanakan di rumah pak Bambang Sadarta. Tidak banyak yang diundang. Teman sekantor pak Bambang Sadarta, teman sesama guru istrinya, teman-teman dekat Ratih, teman-teman Mashudi yang jumlahnya hanya beberapa orang dan tetangga-tetangga.

***

Manusia berencana tapi Allah Yang Maha Menentukan. Manusia boleh berkehendak, berkeinginan, mengatur rencana tapi kalau Allah menetapkan lain, manusia tidak kuasa menolaknya. Pernikahan Mashudi dan Ratih sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Undangan sudah disebarkan. Rumah pak Bambang Sadarta dihiasi karena sebentar lagi perhelatan akan digelar disitu. Menurut rencana, akad nikah akan dilaksanakan sesudah shalat Jumat. Resepsi pernikahan akan dilangsungkan pada hari Minggu.

Hari Kamis sore, Mashudi naik vespa dari rumah sakit Hasan Sadikin menuju ke Cimahi. Mashudi terburu-buru karena dia berjanji dengan seorang pasien sore hari itu. Di perlintasan kereta api di Cimindi, pintu kereta sudah ditutup karena ada kereta api yang akan lewat. Mashudi menoleh ke kanan dan kiri rel kereta api. Dia melihat sebuah kereta api dari arah Bandung. Masih cukup jauh. Karena buru-buru, Mashudi memaksa untuk melintasi pintu kereta yang sudah ditutup itu. Melihat Mashudi berusaha melintas, seorang anak muda bersepeda motor di belakangnya ikut pula ingin menerobos. Penjaga pintu kereta membentak orang-orang nekad itu. Si pengendara sepeda motor menancap gas. Motornya seperti mau terbang menerjang ke depan dan menyenggol vespa Mashudi. Mashudi terjatuh. Dia berusaha bangkit dan meloncat ke pinggir. Pada saat bersamaan kereta api melintas. Lokomotif itu melindas vespa dan menyenggol tubuh Mashudi yang terpelanting menghantam dinding gardu penjaga pintu kereta. Mashudi terkapar dengan kepala luka parah. Dia segera dilarikan ke rumah sakit Hasan Sadikin. Tapi ternyata nyawanya sudah tidak tertolong. Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.


*****

Monday, January 18, 2010

DERAI-DERAI CINTA (48)

48. BERITA DUKA

Syahrul ada keperluan dinas ke Jakarta. Setelah urusannya selesai ditelponnya Imran. Hanya untuk sekedar menyapa karena dia akan segera kembali ke Bandung. Tapi Imran mengatakan sangat ingin bertemu dengannya. Syahrul mengurungkan niatnya untuk segera pulang. Dia mampir ke kantor Imran di jalan Sudirman. Sudah jam empat sore waktu Syahrul sampai disana. Sudah selesai jam kantor. Kedua sahabat karib itu terlibat dalam perbincangan panjang.

‘Bagaimana urusan perkuliahan?’ tanya Imran mengawali pembicaraan.

‘Lancar-lancar saja. Aku memberi kuliah tiga kali saja seminggu. Dan sibuk pula di lab. Hari-hariku justru lebih banyak tersita di lab.’

‘Kapan rencana mengambil S3?’

‘Masih jauh. Belum tahu kapan. Mungkin harus mencari sponsor.’

‘Ke Australia lagi?’

‘Ya… belum tahu……. Bisa ke Australia, bisa ke negara lain dan bisa juga disini saja…… Kau sendiri? Nggak ada rencana mau disekolahkan?’

‘Belum ada sementara ini. Tapi kemungkinan itu insya Allah ada. Saat ini ada seorang teman sedang bersekolah di Inggeris. Mudah-mudahan nanti ada pula giliranku.’

‘Kayaknya betah sekali kau bekerja disini.’

‘Alhamdulillah… Sampai sejauh ini aman-aman saja. Cukup menarik dan menyenangkan.’

‘Bagaimana kabar nenek?’

‘Yaa… itulah…... Beliau sedang dirawat di rumah sakit. Sudah hampir dua minggu.’

‘Sakit apa sebenarnya beliau?’

‘Ada masalah dengan paru-paru beliau. Sulit bernafas.’

‘Di rumah sakit mana?’

‘RSCM.’

‘Kasihan juga ya….. Tentu selalu harus ditunggui.’

‘Ya…kami tunggui berganti-gantian.’

‘Mudah-mudahan beliau cepat sembuh…… Kapan kau pergi melihat beliau lagi?’

‘Sore ini…. Sore ini aku akan ke sana. Besok malam aku akan menjaga beliau. Aku memilih hari Sabtu sore karena di kantor aku sedang banyak pekerjaan.’

‘Aku maulah ikut kalau begitu….’

‘Bagus sekali….. Kau tidur di rumah saja malam ini. Besok baru kembali ke Bandung.’

‘Kita lihat nantilah kalau urusan menginap. Besok pagi aku ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan di lab.’

‘Kita berangkat sekarang, kalau begitu…..?’

Keduanya meninggalkan kantor Imran. Mereka naik taksi menuju ke rumah sakit. Setelah berada dalam taksi mereka lanjutkan lagi obrolan tadi.

‘Kau pernah mampir ke Taman Sari?’ tanya Imran.

‘Pernah sekali….. Aku ketemu Ratih di kampus. Dia melanjutkan mengambil apoteker di ITB. Dia menyuruhku mampir. Lalu aku datang ke sana. Cuma sekali itu saja…’

‘Bagaimana kabarnya dia?’

‘Kelihatannya baik-baik saja…..’

‘Aku dengar dia menikah hari ini…..’

‘Ya…. Aku juga dengar begitu.’

‘Jadi kau sudah tahu?’

‘Aku kan sama-sama tinggal di Bandung. He..he..he.. Kau diundang ke pestanya?’

‘Tidak…. Tapi ada suatu hal yang ingin aku tanyakan….. Mudah-mudahan kau tidak keberatan menjawabnya…’

‘He..he..he.. pernyataan aneh… Pertanyaan jenis apa yang aku keberatan menjawab?’

‘Karena ini menyangkut diri kau juga….’

‘Tentang apa itu?’

‘Aku dengar kau pernah mengajuk…….. ?’

‘He…he…he… Mengajuk dalamnya air laut….? Mengajuk apa?’

‘Bukan…. Mengajuk hati Ratih….?’

‘Dari siapa kau tahu?’

‘Dari Ratih sendiri….’

‘Kalau itu dari Ratih sendiri, aku yakin berita itu benar……’

‘Jadi?’

‘Jadi…., ya……. Berarti apa yang kau katakan itu benar.’

‘Lalu kenapa tidak diteruskan?’

‘Kau tahu kapan kejadian itu…..?’

‘Sebelum kau berangkat ke Australia dulu, kan?’

‘Benar….. Bagaimana meneruskannya?’

‘Maksud kau?’

‘Bagaimana meneruskannya kalau tepukan itu hanya dari sebelah tangan.’

‘Dia menolak?’

‘Dia menolak secara halus. Dia mengatakan belum mau berpikir tentang perjodohan.’

‘Dan waktu itu kau tidak meminta untuk segera menikah, kan?’

‘Tidak….. ‘

‘Setelah kembali dari Australia? Waktu kau berkunjung ke rumahnya itu? Tidak ada lagi kau ulangi mengajuk hatinya?’

‘Tidak…. Kalau sudah nyata kepadaku dia enggan, untuk apa diajuk-ajuk lagi…? Aku ingat pantun tukang dendang di kampung kita…. Orang ulit (= bhs Jawa; lelet) boleh dinanti, orang enggan apakan daya….’

‘Kau begitu yakin bahwa Ratih enggan…... Bahwa dia menolak….’

‘Yakin…. Dan kau tahu? Aku juga sangat yakin waktu itu bahwa Ratih sangat ingin berjodoh dengan kau. Kau ingat tidak? Berkali-kali aku menjelaskannya tiga empat tahun yang lalu. Tapi kau tidak menanggapi.’

‘He…he…. ‘

‘Kenapa kau ketawa?’

‘Aku merasa lucu saja….. Ya….. Lucu …… Hidup kita ini lucu juga….’

‘Tapi kan sekarang sudah selesai urusannya. Hari ini dia menikah. Sudah dilabuhkannya kapalnya…...’

‘Kau masih seperti dulu….. Masih suka berpantun dan berpetitih…. He..he..he..’

‘Kan kenyataannya seperti itu. Dia menginginkan kau, kau tidak bersedia. Aku mencoba mengajuk hatinya, dia tidak bersedia. Akhirnya dia berlabuh di hati orang lain….. Manusia mencoba berencana, ternyata Allah punya jalan Nya sendiri…’

Taksi mereka merayap di kepadatan lalulintas sore di sepanjang jalan Sudirman. Kemacetan yang menjadi ciri khas kota Jakarta di saat jam pulang kantor.

‘Ada cerita lain lagi….. ‘ Imran kembali mengawali.

‘Yang ini aku sudah tahu….,’ jawab Syahrul memotong.

Imran menoleh menatap wajah Syahrul. Syahrul tersenyum simpul.

‘Apa yang kau sudah tahu?’

‘Apa cerita lain lagi kau itu? Ceritakanlah!’

‘Antara kau…… dengan…..’

‘Ya….. Antara aku dengan……. Teruskanlah!’ Syahrul tersenyum lagi.

‘Baik….. Kalau begitu…… Tentu kau sangat bersungguh-sungguh.’

‘Ya iyalah… Seumurku ini apa juga lagi yang akan dicari, kalau bukan untuk bersungguh-sungguh?’

‘Jadi…?’

‘Jadi apa……? He…he…he…’

‘Kau sudah mendapat jawabannya?’

‘He…he…he…he… Sudah. Tadi malam…… Aku tahu kau terlibat dalam pengambilan keputusan itu. Jawaban itu diputuskan sesudah berkonsultasi dengan kau…..’

‘He…he…he… Baiklah kalau begitu. Aku sangat senang.’

‘Sekarang giliranku bertanya….’

‘Aku juga sudah tahu yang akan kau tanyakan.’

‘Apa yang akan aku tanyakan? Bagaimana kau tahu apa yang akan aku tanyakan?’

‘Apa lagi kalau bukan itu….’

‘Sebelum kau menebak-nebak…. Yang ternyata tebakan kau itu salah….. Biarlah kulanjutkan juga pertanyaanku. Begini…. Kapan kita pulang kampung bersama-sama…?.’

‘Ha…ha…ha……. Pandai sekali kau.’

‘Cobalah jawab! Ha…ha..ha….’

Sopir taksi itu mungkin bingung mendengar obrolan mereka yang bercampur dengan gelak terbahak-bahak.

Sesudah diam sejenak, Syahrul mengulang lagi.

‘Kali ini aku serius….’

‘Dari tadi aku juga serius….’

‘Jadi kapan?’

‘Kapan yang mana? Ha…ha…ha…’

‘Yang serius.’

‘Sedang dalam proses doa. Ditambah keyakinan bahwa insya Allah jawabannya akan segera diberikan Allah.’

‘Amiin.’

Sudah menjelang maghrib waktu mereka akhirnya sampai di rumah sakit Cipto. Keduanya langsung menuju ke ruangan nenek. Di gang menuju ke kamar nenek mereka berpapasan dengan sepasang suami istri. Imran rasa-rasanya mengenal wanita muda itu. Tapi tidak ingat dimana mereka pernah bertemu. Wanita itu yang lebih dahulu menyapa.

‘Bang Imran, kan?’

‘Benar. Apa kabar……? Siapa yang sakit?’ Imran balik bertanya.

‘Ibu mertua…. Oh ya kenalkan….. Ini suami Irma…’

Mereka bersalam-salaman.

‘Siapa yang sakit, bang?’ tanya Irma.

‘Nenek…. Nenek saya,’ jawab Imran.

‘Bang Imran sudah dengar berita duka? Berita duka sangat tragis…?’

‘Berita duka? Berita duka apa?’

‘Calon suami Ratih kecelakaan dan meninggal…. Harusnya hari ini mereka menikah. Calonnya itu mengalami kecelakaan kemarin sore.’

‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun……. Kecelakaan dimana?’

‘Vespanya ditabrak kereta api di Cimindi…. Itu berita yang Irma dengar tadi pagi…’



*****

DERAI-DERAI CINTA (47)

47. OBROLAN LANJUTAN

Nenek kembali tidur pulas. Bahkan kali ini sedikit mendengkur. Imran meluruskan posisi ujung slang oksigen di hidung nenek. Lala mengamati botol infus nenek. Obat infus itu sudah hampir habis. Lala keluar memberi tahu suster jaga. Suster jaga segera datang dan mengganti botol infus itu dengan yang baru.

‘Beliau tidak bangun-bangun?’ tanya suster.

‘Barusan bangun dan minta minum. Setelah itu tertidur lagi,’ jawab Lala.

‘Biar beliau beristirahat….,’ kata suster itu pula sebelum keluar dari ruangan itu.

Imran kembali membalik-balik koran. Sementara Lala memijit-mijit tangan nenek.

‘Terputus cerita kita tadi, bang,’ Lala memulai obrolan lagi.

‘Ya…. Apa tadi cerita kita?’ tanya Imran sambil meletakkan koran kembali.

‘Tadi Lala menanyakan apa ya……? Apa bang Syahrul itu cerewet?’

‘Oh ya itu tadi…… Setahu abang sih, tidak. Tapi entah pulalah. Kalau dengan abang apa pula yang akan dicerewetkannya? Kita selalu saling bekerja sama.’

‘Kan bisa saja ketahuan, bang. Apa dia suka mengomel…. Atau ngedumel….. Atau berkeluh kesah…’

‘Semua itu tidak. Kami tidak ada yang suka mengomel. Tidak juga berkeluh kesah.’

‘Kayaknya watak abang agak mirip dengan dia, ya?’

‘Mungkin banyak kesamaan. Tapi jelas ada juga bedanya. Syahrul lebih humoris. Dia lebih sering bergurau.’

‘Apakah dia perhitungan dalam hal uang? Maksudnya apakah dia pelit?’

‘Kalau pelit sih jelas tidak……. Tapi kalau perhitungan barangkali iya. Soalnya kiriman uang dari kampung kan terbatas.’

‘Bagaimana cara pengaturan keuangan abang berdua?’

‘Untuk biaya makan sehari-hari kami sudah tahu perkiraannya dari pengalaman bulan sebelumnya. Uang keperluan itu langsung kami sisihkan. Lalu uang langganan PLN. Tidak besar, karena kami sangat sedikit menggunakan listrik. Kalau kontrak rumah kami bayar pertahun. Semua biaya itu kami pikul berdua sama banyak. Syahrul membuat laporan keuangan ke orang tuanya tiap bulan. Dan dia dapat kiriman sebanyak yang dibutuhkan itu. Orang tuanya melebihkanlah sedikit. Sekali-sekali ada juga kami pergi menonton bioskop. Atau makan di luar. Kalau ada keperluan untuk biaya kuliah dimintanya lagi secara terpisah. Yang abang tahu, setiap pengeluaran apapun Syahrul selalu mencatatnya. Dia sangat teliti tentang itu.’

‘Oo… begitu, ya.’

‘Sekarang giliran abang bertanya. Kenapa Lala menanyakan semua itu?’

‘Kenapa, ya?’

Lala tersenyum. Imran bertanya-tanya dalam hati. Apa Syahrul melamar Lala?

‘Apa karena…..? Sekarang Lala ….. akrab dengan Syahrul?’

‘Begini, bang. Bermula dari urusan papa dengan bang Syahrul. Papa bertemu dengannya di kampus. Papa masih ingat, kalau bang Syahrul itu teman serumah abang dulu. Waktu itu bang Syahrul baru pulang dari Australia. Setelah mengetahui bahwa bang Syahrul itu mendalami bidang apa gitu…. Lala nggak ingat istilahnya, pokoknya urusan mesin-mesin begitu. Papa tertarik karena papa pernah berkeinginan membuat mesin pintal yang spsesifikasinya sesuai dengan keahlian bang Syahrul itu. Papa mengundang bang Syahrul untuk ngobrol-ngobrol di rumah. Ada dua tiga kali dia diundang papa berdiskusi. Begitu awalnya. Di rumah dia dijamu biasa-biasa saja. Diajak makan. Di meja makan obrolan berkembang kemana-mana. Sampai deh ke urusan jodoh. Maksudnya, mama pernah bertanya, tanpa tendensi apa-apa, apakah bang Syahrul sudah berkeluarga. Dia bilang, jawabannya mirip seperti jawaban abang, bahwa jodohnya belum ketemu. Habis itu dia pernah datang lagi ke rumah. Bukan ngobrol dengan papa, tapi malahan ngobrol sama Lala. Papa dan mama, sepertinya membiarkan. Tidak pernah ada komentar. Setelah itu dia datang lagi dan datang lagi. Setiap kali dia datang Lala melayaninya ngobrol baik-baik. Sampai suatu hari, persis seminggu yang lalu dia menanyakan apakah Lala sudah terpikir untuk berumah tangga. Lala kaget. Maksudnya apa? Lalu Lala bertanya polos. Kenapa menanyakan itu? Dia lebih berani. Dia tanya, bagaimana kalau dia melamar Lala. Lala benar-benar kaget. Nggak nyangka. Lala bilang…., Lala berusaha setenang mungkin sebelum menjawab, biar Lala pikir-pikir dulu. Nah, waktu itu Lala ingat abang. Lala ingin minta pendapat abang. Begitu ceritanya…’

Imran terkesima mendengar cerita Lala yang sangat rinci itu.

‘Bagaimana pendapat abang?’ tanya Lala lagi ketika dilihatnya Imran masih terdiam.

‘Mmmmh… Pertama sekali, abang sangat setuju. Syahrul itu sangat cocok dengan Lala.’

‘Benar bang……? Menurut abang begitu?’

‘Benar….. Walaupun ada sebuah tanda tanya…. Tapi ah……, sebenarnya sebuah tanda tanya yang tidak perlu…..’

‘Tanda tanya apa, bang?’

‘Tanda tanya…… Baik….. Baik juga Lala ketahui, dulu abang pernah mendengar dari orang bahwa Syahrul menyukai Ratih… Lala ingat Ratih tetangga kami dulu?’

‘Ya…. Lala mengenal Ratih. Lala nggak tahu jika pernah ada hubungan antara bang Syahrul dengannya. Tapi yang Lala tahu, Ratih akan menikah hari Jumat ini dan pestanya hari Minggu. Abang nggak diundang?’

‘Ooo….. Lala diundang?’

‘Yuni yang diundang. Yuni dapat undangan melalui saudaranya….. Irma.’

‘Ooo begitu…. Nggak, abang nggak diundang. Sudah lama sekali kami tidak bertemu. Tentu Ratih tidak tahu alamat abang. Dimana pestanya?’

‘Di Bandung. Kenapa…..? Abang mau datang?’

‘Lha…... , ya ndaklah…. Abang kan ndak diundang.’

‘Kalau abang datang, Lala rasa dia nggak akan marah. Gimana? Abang mau datang?’

‘Ndak….. Apa Syahrul diundang?’

‘Lala nggak tahu. Nggak pernah nanya.’

‘Iyalah…… Kembali ke cerita tentang Syahrul…. Kalau Lala menanyakan pendapat abang, jawabannya abang sangat setuju. Pilihan Lala itu insya Allah nggak keliru.’

‘Begitu ya, bang?’

‘Ya, begitu…. Ngomong-ngomong kapan mau dijawab? Oh, ya abang lupa. Bagaimana pendapat mak dang dan mak tuo?’

‘Papa dan mama belum Lala kasih tahu tentang pertanyaan dahsyat itu. Tapi dari roman-romannya beliau akan setuju. Lala lihat, mama sangat terpikat dengan bang Syahrul itu.’

‘Kok belum dikasih tahu?’

‘Kan Lala belum selesai mikir mau menjawab apa. Kalau sekarang dikasih tahu, terus beliau-beliau itu nanya bagaimana pendapat Lala, dan jawabannya belum tahu, kan nggak lucu.’

‘Benar…. Terus…..? Sampai kapan mau mikir?’

‘Lala tanya sekali lagi……, abang setuju ya?’

‘He..he..he.. Abang sudah bilang. Abang setuju sekali.’

‘Kalau gitu……. ‘

Imran tersenyum melihat tingkah Lala. Terlihat sebintik kesumringahan di wajah itu. Lala sangat bahagia sepertinya.

‘Kalau begitu…..? Bagaimana?’ desak Imran.

‘He..he..he… Kalau begitu…. Akan Lala jawab…’

‘Abang ucapkan selamat. Tidak…. Abang doakan semoga segala sesuatunya berjalan lancar dan selamat.’

Lala tersipu.

‘Nah, sekarang bagaimana dengan abang sendiri?’ tanya Lala pula.

‘Abang sedang menunggu.’

‘Menunggu siapa?’

‘Menunggu jodoh abang…he..he..he..’

‘Sudah ada?’

‘Belum…. Tapi masih ditunggu.’

‘Ah, abang ini. Masih begitu-begitu terus. Siapa yang ditunggu?’

‘Abang sudah meminta dengan intensif kepada Allah. Sedang dan terus meminta. Ya Allah, datangkanlah jodoh hamba, seorang yang baik menurut Engkau. Yang akan menjadikan hamba dan dia mendapat keridhaan dari Engkau…. Dan seterusnya. Tapi sementara ini belum ditampakkan Allah. Jadi abang tetap menunggu. Menunggu dengan sabar. Dan dengan keyakinan bahwa Allah akan menjawabnya.’

Lala melongo mendengar jawaban Imran. Lama keduanya terdiam.

‘Abang punya bayangan….. siapa kira-kira yang akan jadi jodoh abang?’

‘Tidak…… Belum…’

‘Lalu bagaimana kira-kira dia akan abang dapatkan?’

‘Itu urusan Allah.’

‘Tanpa usaha apa-apa? Tanpa ikhtiar dari abang sendiri? Bagaimana mungkin itu bang?’

‘Kedengarannya mungkin berlebih-lebihan. Tapi benar-benar seperti itu. Abang percaya seperti itu saja. Entah dengan cara apa dia akan datang nanti. ….’

‘Agak susah bagi Lala membayangkannya…’

‘Harusnya tidak susah-susah amat. Abang mengenal juga banyak kawan-kawan wanita. Mungkin suatu saat nanti, dengan izin Allah, tergerak saja hati abang kepada salah seorang dari mereka. Tapi sementara ini hal itu belum datang. Belum ada getaran apa-apa di hati abang.’

‘Bagaimana kalau nanti abang menginginkan seseorang, tapi orang tersebut tidak mau….. Bisa saja kan terjadi yang seperti itu?’

‘Ya ndak jadilah dengan dia…. Kalau terjadi yang seperti itu, kan namanya abang bertepuk sebelah tangan. Kan tidak mungkin…..’

‘Bang….. Pernah nggak bang……., abang menilai seseorang….. yang dalam hati abang merasa cukup ideal untuk jadi jodoh, meskipun abang tidak atau belum mau menyatakan perasaan itu kepadanya?’

‘He…he..he….’

‘Kenapa abang tertawa?’

‘Mmmhh…… Sejujurnya……., pernah..’

‘Pernah?’

‘Ya…pernah.’

‘Kenapa nggak didekati wanita itu sekarang?’

‘Mhhhhhh……’

Lala memperhatikan wajah Imran hati-hati. Tidak sabar dia ingin mendengar siapa wanita yang dimaksud Imran.

‘Kenapa bang…….? Siapa wanita itu? Kenapa nggak abang dekati dia?’

‘Nggak mungkin…..,’ jawab Imran, sedikit mendesah.

‘Siapa?’ tanya Lala semakin tidak sabar.

‘Ratih,’ jawab Imran setengah berbisik.

*****

Thursday, January 14, 2010

DERAI-DERAI CINTA (46)

46. OBROLAN

Nyenyak sekali tidur nenek. Dan nafas beliau juga terlihat lebih enteng. Slang oksigen masih tetap tersambung ke hidung beliau. Lala memperhatikan wajah nenek. Nenek ini pasti cantik waktu muda dulu, pikir Lala. Nenek terlihat seperti sedang bermimpi. Mulut beliau bergerak-gerak, kemudian tersenyum.

‘Nenek bermimpi,’ kata Lala memberi tahu Imran yang sedang membaca koran.

Imran melihat ke arah nenek. Imran juga melihat nenek tersenyum.

‘Mungkin beliau bermimpi pulang kampung,’ komentar Imran.

‘Tidurnya nyenyak sekali….. Dan beliau berkeringat,’ kata Lala sambil menyeka keringat di kening nenek dengan tisu.

‘Ya… mungkin pengaruh obat yang barusan dibawakan suster tadi.’

‘Nenek ini cantik ya, bang?’

‘Ya…. Beliau cantik. Muka beliau bersih.’

‘Usia beliau sudah tujuh puluh lima tahun….. Kata papa nenek lahir tahun 1914…’

‘Oh ya……? Berapa umur mak dang?’

‘Sekarang 58 tahun. Papa lahir tahun 1931.’

‘Berarti nenek baru berumur 17 tahun waktu mak dang lahir.’

‘Ya…. Orang jaman dulu kan menikah ketika masih sangat muda, bang.’

‘Iya, ya….. Entah berapa pula usia inyiak waktu itu….’

‘Abang sempat bertemu dengan inyiak?’

‘Ndak. Ndak pernah. Abang hanya pernah melihat foto beliau di rumah di kampung.’

‘Kata papa inyiak meninggal tahun 1966…’

‘Ya iyalah. Tahun 66 umur abang baru dua tahun…’

Mereka terus berbincang-bincang dengan suara setengah berbisik. Khawatir mengganggu tidur nenek. Tapi tidur beliau lelap sekali.

‘Abang sudah makan?’ tanya Lala.

‘Sudah tadi, sebelum kesini. Kenapa…..? Lala lapar?’

‘Ah nggak…. Lala juga sudah makan, sih…. Tapi pengen juga sih, ngemil…..’

‘Kalau masih lapar makan saja kueh-kueh itu.’

‘Ah….. Ntar ajalah.’

‘Abang bilang, tadi malam bang Rizal disini?’

‘Ya……, kata etek.’

‘Berarti…… malam ini dia nggak kesini…..’

‘Mungkin ndak…. Kenapa?’

‘Ah nggak….. Pengen aja ngegodain calon marapulai.’

‘He…he.. he… Iya, ya. Desember tinggal tiga bulan lagi….’

‘Dia nggak banyak bercerita dengan abang?’

‘Kalau ketemu pasti berkisah…. Bukan hanya sekedar bercerita….’

‘Yang namanya jodoh, ya bang…. Bisa kayak gitu… Siapa menyangka bang Rizal bakal berjodoh dengan Yuni.’

‘Ya…. Begitu ketetapan Allah…’

Nenek membuka mata beliau sedikit. Melirik ke arah Lala dengan pandangan sayu. Lala mengurut-urut tangan nenek. Nenek kembali tertidur.

‘Jangan-jangan beliau terganggu karena kita ngobrol,’ kata Imran berbisik.

‘Mudah-mudahan sih enggak,’ jawab Lala.

Imran memijit kaki nenek pelan-pelan.

‘Abang mau mendengar nggak, ada cerita konyol?’ Lala bertanya setelah nenek kembali tertidur nyenyak.

‘Tentang apa?’

‘Tentang Lala dan Yuni.’

‘Oh, ya? Ada apa?’

‘Yuni itu pernah naksir berat sama abang.’

‘Masak, sih? Buktinya itu…. Sekarang mau sama Rizal..’

‘Itu kan baru kemudian, bang…. Kalau nggak salah sejak bang Imran kecelakaan dan nginap di rumah, deh. Dan bang Rizal datang. Ingat nggak bang?’

‘Ya, abang ingat…. ‘

‘Cerita Yuni naksir berat itu sebelumnya…..’

‘Lala ngarang, kali?!’

‘Beneran…. Dan konyolnya….. Ini Lala bilang sekarang, pada waktu itu Lala cemburu….’

‘Lho?’

‘Benar…., bang.’

‘Maksud Lala…..?’

‘Lala cemburu…. Lala tidak ingin bang Imran dengan Yuni….. Waktu itu Lala juga….. berkhayal…..’

‘He…he..he… Ada-ada saja…. Kita kan bersaudara?’

‘Lala tahu. Tapi waktu itu nggak tahulah…..’

‘Lala pernah ditanyai etek?’

‘Maksud abang etek Munah?’

‘Ya.’

‘Pernah…. Maksudnya….. tentang abang, kan?’

‘Ya…. Apa yang ditanyakan etek?’

‘Etek menanyakan…. Bagaimana perasaan Lala terhadap abang…begitu…’

‘Lalu, apa jawab Lala?’

‘Lala bilang….., Lala merasa bahwa abang adalah seperti kakak kandung Lala… Tapi bener, bang. Aneh juga. Sesudah Yuni semakin akrab dengan bang Rizal, perasaan tadi itu pelan-pelan memudar. Lala tidak berbohong ketika Lala memberi tahu etek bahwa Lala merasa abang seperti kakak Lala sendiri. Pada waktu itu, Lala sangat mengagumi abang yang sangat tegas memegang prinsip. Kagum dan respek. Dan Lala ingin menjadi adik bang Imran. Tidak lebih. Tidak ada lagi khayalan seperti sebelumnya. Etek berkomentar bahwa kita boleh dan sah untuk menikah.‘

‘Lala tidak tahu kenapa etek menanyakan hal itu?’

‘Kata etek papa yang menyuruh. Papa yang ingin kita berjodoh. Abang sendiri tidak pernah tahu? Atau abang pernah juga diinterview etek?’

‘Pernah…. Kira-kira setahun yang lalu…’

‘Pasti jawaban abang standar.’

‘Standar bagaimana?’

‘Belum terpikirkan… Iya, kan?’

‘Bukan….. Abang juga menjawab bahwa abang merasa Lala seperti adik abang sendiri.’

Lala terdiam. Begitu pula Imran. Tanpa disengaja pandangan mereka bertemu. Keduanya tersenyum.

‘Konyol ya, bang. Ceritanya…’

Imran tidak segera menjawab.

‘Tidak konyol-konyol sangat. Namanya kita anak-anak manusia.’

‘Maksud abang?’

‘Wajar-wajar saja kita mempunyai perasaan. Tapi yang lebih penting, ini menurut pendapat abang, adalah mengendalikan perasaan itu.’

‘Menurut abang wajar kalau Lala pernah punya pemikiran seperti itu?’

‘Kan tidak salah.’

Lala melongo mendengar jawaban Imran.

‘Lalu…. Apakah….? Sejujurnya….. Apakah abang pernah terbayangkan hal yang sama?’

‘Sejujurnya tidak. Abang selalu merasa kita bersaudara. Lala adalah adik abang. Abang tidak pernah punya pemikiran lain.’

‘Lala percaya…. Mungkin itu sebabnya, bang. Perasaan abang yang lurus menganggap Lala sebagai adik, telah meluluhkan hati Lala untuk menerima abang sebagai kakak pula. Seperti tadi Lala katakan, khayalan Lala sebelumnya menghilang begitu saja.’

Imran tersenyum.

Nenek mendesah dalam tidur. Kening beliau berkeringat lagi. Lala kembali menyeka keringat nenek.

‘Lala sudah mantap benar mau jadi dosen?’ tanya Imran setelah mereka saling diam beberapa saat.

‘Ya….. Sudah mulai ikut-ikutan. Dan Lala menyukainya.’

‘Pasti nanti akan ada program melanjutkan ke strata dua dan tiga…’

‘Mudah-mudahan, bang. Abang doain aja.’

‘Insya Allah. Mudah-mudahan tidak mengganggu kalau nanti sudah berumah tangga.’

‘He..he..he.. Iya… Mudah-mudahan begitu.’

‘Ngomong-ngomong tentang dosen, abang jadi ingat Syahrul… Tadi mak dang bercerita tentang Syahrul.’

Lala memperhatikan wajah Imran.

‘Memangnya kenapa, bang?’

‘Ah, nggak….. Cuman ingat begitu saja….’

‘Sebenarnya…….. Ada lagi cerita lain, bang,’ kata Lala pula.

‘Tentang apa lagi?’

‘Coba abang ceritakan sedikit pribadi bang Syahrul.’

‘Kenapa….? Pribadinya baik. Bahkan sangat baik. Kami seperti kakak beradik. Lima tahun kami tinggal bersama-sama.’

‘Justru itu…. Tentu abang tahu banyak sekali tentang dia…’

‘Tentang apanya……?’

‘Ya….. apa sajalah.’

‘Tentang apanya? Kecerdasan? Dia sangat cerdas. Ketaatan dalam beragama? Dia tidak pernah meninggalkan shalat dan puasa. Tentang apa lagi?’

‘Bagaimana dengan kepribadiannya bang? Maksud Lala, apakah dia pemarah? Apakah dia emosian? Apakah dia egois?’

‘Memangnya kenapa kok Lala menanyakan itu semua?’

‘Sekedar kepingin tahu aja….. ‘

‘Oh ya? Apa saja tadi pertanyaannya…..? Apakah dia pemarah? Sejauh yang abang tahu tidak. Dia justru bisa dikelompokkan sebagai orang penyabar. Pernah dia lagi sakit gigi. Tetangga di sebelah menyetel radio keras-keras. Dia datangi dan dia bilang baik-baik agar radionya tolong dikecilkan. Karena dia datang tanpa marah-marah, tetangga itu mengecilkan radionya tanpa berkata apa-apa. Jadi dia bukan tipe yang emosian. Dalam keadaan sakitpun dia tetap kalem. Tetap tenang. Apakah dia egois? Tidak. Syahrul sangat toleran. Abang tahu betul itu.’

‘Setahu abang, apakah dia pernah berpacaran? Atau dia juga seperti abang? Tidak mau berpacaran?’

‘Tidak pernah. Tapi memang pernah kami berdiskusi tentang masalah pacaran. Karena sebelumnya, menurut Syahrul tidak ada salahnya berpacaran untuk saling mengenal antara dua remaja. Abang bantah. Kalau untuk saling mengenal cukuplah berteman saja. Karena berpacaran itu beresiko. Seperti yang selalu abang katakan. Entah karena dia setuju dengan pendapat abang atau bukan, faktanya, setahu abang dia tidak pernah berpacaran.’

‘Dia tidak pelit? Tidak cerewet?’

‘Hei…. Kok detil betul pertanyaan Lala? Abang jadi curiga, nih…..’

‘Ini pertanyaan sungguhan, bang.’

‘Abang tahu pertanyaan sungguhan….. Tapi kok sampai sebegitu lengkapnya?’

‘Nanti abang pasti tahu……’

‘Syahrul mendekati Lala?’ tanya Imran sambil memandang wajah Lala.

‘Nanti Lala jelaskan….. Abang jawab dulu pertanyaan tadi…’

Nenek terbangun. Beliau minta minum. Lala mengambilkan gelas yang ada pipetnya. Nenek minum beberapa teguk.

‘Sudah jam berapa ini?’ tanya nenek.

‘Jam setengah sepuluh, nek. Nenek lapar? Mau Lala bikinin havermout dengan susu?’

‘Ndak….. Nenek ndak lapar. Nenek masih mengantuk….’

‘Atau nenek mau biskuit?’

‘Ndak…. ‘

Nenek menguap dan tertidur kembali.

*****

DERAI-DERAI CINTA (45)

45. NENEK RAFIAH

Agustus 1989. Sudah dua setengah tahun Imran bekerja di ARCO, perusahaan eksplorasi minyak yang mempunyai daerah operasi di laut Jawa. Bekerja sebagai ahli geologi pengembangan lapangan. Kantornya terletak di sebuah bangunan bertingkat tinggi di jalan Sudirman. Tapi Imran tidak hanya bekerja di kantor. Secara berkala dia harus pergi ke anjungan pengeboran di lepas pantai laut Jawa itu, mengikuti pekerjaan pengeboran sumur-sumur minyak. Setiap kali pergi bertugas ke lapangan, biasanya dia tinggal di menara pengeboran itu untuk beberapa hari. Sebagai ahli geologi, tugasnya adalah mendeteksi keberadaan minyak bumi di dalam sumur yang sedang dibor. Suatu pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan keahlian.

Imran sangat menyenangi pekerjaannya. Dia sangat rajin, ulet dan pekerja keras. Untuk menambah pengetahuannya Imran rajin membaca dan bertanya. Kalau tidak mengerti tentang sesuatu dia tidak segan-segan bertanya. Atasannya, seorang Inggeris sangat senang dengan pekerjaan dan kepribadian Imran. Pergaulan di lingkungan pekerjaan, baik di Jakarta maupun di menara pengeboran sangat menyenangkan. Imran tidak pernah bermasalah dengan siapapun. Dia bergaul dengan semua karyawan di kantor, tanpa membedakan apapun pekerjaan dan posisi mereka.

Di Jakarta dia tinggal di rumah etek Munah di Cipinang. Tadinya dia ingin kos di tempat yang lebih dekat dari kantor. Tapi nenek Piah memintanya agar tinggal disitu, dan Imran tidak bisa menolak. Rumah itu cukup besar dengan sebuah pavilyun di bagian samping. Dulu pavilyun itu digunakan sebagai tempat menjahit barang konveksi. Sejak setahun yang lalu kegiatan menjahit dipindahkan ke sebuah rumah kontrak yang lebih besar, tidak jauh dari rumah itu. Pavilyun itu dibersihkan dan dirapikan untuk tempat Imran.

Tidak ada masalah bagi Imran untuk tinggal di rumah di Cipinang itu. Etek Munah dan suaminya om Darto menganggap Imran sebagai anak sendiri dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Ketiga anak-anak tek Munah, Dito, Andam dan Deman sangat akrab dengannya. Imran menyayangi mereka dengan tulus. Ketiga anak-anak itu yang masing-masing duduk di kelas 3 SMP, kelas 1 SMP dan kelas 4 SD memanfaatkan kehadiran Imran di rumah sebagai guru pelajaran tambahan. Imran sangat sabar mengajari mereka.

***

Setahun yang lalu etek (Munah) pernah menanyai Imran tentang jodoh. Etek bertanya bersungguh-sungguh karena semua orang tua-tua merasa sudah sangat pantas Imran berumah tangga. Waktu itu etek sengaja berbicara berdua saja dengannya. Berbicara dari hati ke hati. Mengingat usianya sudah menjelang dua puluh lima tahun, sudah mempunyai pekerjaan yang mapan. Rasanya tidak ada lagi yang perlu ditunggu. Imran menjawab bahwa dia merasa belum cukup mantap untuk berumah tangga. Jawaban yang agak aneh menurut etek.

Etek menanyakan apakah Imran sudah mempunyai calon istri yang oleh Imran dijawab sejujurnya, belum ada. Jawaban itu tidak mengherankan etek, karena beliau memang melihat sehari-hari, Imran tidak mempunyai teman wanita secara khusus. Lalu ditanyakan apakah Imran mau seandainya dicarikan jodoh. Jawabnya, dia insya Allah akan mencari jodohnya sendiri. Karena masih penasaran, akhirnya etek menanyakan pendapat Imran tentang Lala.

‘Bagaimana pandanganmu tentang Lala?’ tanya etek waktu itu.

‘Awak menganggapnya seperti adik awak sendiri, tek,’ jawab Imran.

‘Kalian halal menikah.’

‘Itu awak faham, tek. Tapi sungguh, dalam pandangan awak, Lala seperti adik awak. Rasanya hubungan kami tidak lebih dari seperti hubungan kakak beradik.’

‘Etek pernah menanyai Lala,’ kata etek memancing.

‘Apa yang etek tanyakan?’

‘Pandangannya terhadap kamu.’

‘Apa katanya?’

‘Etek berandai-andai. Seandainya dia mau, apakah kamu mau menikah dengannya?’

‘Berarti dia tidak mau, kan?’

‘Kenapa kamu menyimpulkan begitu?’

‘Tadi etek katakan, etek berandai-andai. Seandainya dia mau. Tentu arti sebenarnya dia tidak mau.’

‘Dia tidak mengatakan mau dan tidak pula mengatakan tidak mau,’ jawab etek.

‘Dugaan awak, diapun menganggap awak sebagai saudaranya saja.’

‘Nenek dan mak dang sebenarnya sangat ingin kalian berjodoh. Mak dang yang meminta etek untuk menanyakan hal ini langsung kepadamu. Tapi mak dang berpesan betul, dia tidak ingin mendapatkan jawaban yang direkayasa. Yang dibuat-buat. Jadi etek bertanya apa adanya saja.’

‘Ya……, itulah jawaban awak tek,’ jawab Imran.

Etek Munah terdiam. Berbicara dengan Imran ini pasti-pasti. Etek sudah sangat mengenal wataknya. Apa yang dikeluarkannya adalah yang berasal dari hatinya.

‘Jadi….,’ kata etek memecah kesunyian, ‘Berapa lama lagi kira-kira kau akan bertahan membujang?’

‘Insya Allah tidak akan terlalu lama lagi, tek. Mudah-mudahan dalam setahun dua ini awak dapat jodoh.’

‘Pernah pula etek dengar dari si Rizal, ada anak gadis tetanggamu dulu di Bandung. Katanya, anak gadis itu tertarik kepadamu.’

‘Sepertinya dia sudah berjodoh dengan orang lain.’

‘Dari mana kau tahu?’

‘Dulu, sebelum awak meninggalkan Bandung. Dia yang bercerita.’

‘Apa sekarang mereka sudah menikah?’

‘Mungkin belum, tek.’

‘Atau mungkin ada teman-teman wanita kau di kantor?’

‘Sementara ini tidak ada, tek. Tidak ada yang menarik perhatian awak.’

‘Ya, sudahlah. Biarlah etek teruskan saja berdoa…. Mudah-mudahan cepat dapat jodohmu.’

Imran tersenyum , tidak menjawab.

Begitu pembicaraan mereka setahun yang lalu.

***

Sejak beberapa hari ini nenek sakit. Beliau mengeluh karena nafas beliau sesak. Setelah dibawa ke dokter dan berobat jalan selama tiga hari kondisi beliau tidak juga membaik akhirnya nenek masuk rumah sakit. Beliau dirawat di rumah sakit Cipto. Anak-anak dan cucu-cucu beliau bergantian menjaga.

Hari Sabtu malam giliran Imran yang menjaga nenek. Nenek senang sekali ditemani Imran. Kondisi beliau masih sangat lemah. Beliau dipasangi alat infus dan memakai selang oksigen untuk bantuan pernafasan. Imran membantu memijit kaki nenek dan mengajak beliau bercerita.

‘Mudah-mudahan cepat nenek sembuh…. Kalau nenek sembuh nanti, pulang kita menengok kampung, nek,’ kata Imran.

‘Benar-benar mau kau membawa nenek?’ tanya nenek setengah berbisik. Beliau tersenyum.

‘Insya Allah, nek.’

‘Ya Allah….. sembuhkanlah aku…..’ doa nenek lirih.

‘Amiin…’

‘Kita berdua saja…., Ran?’

‘Ya…nek. Kita berdua saja….. Atau kalau etek mau ikut, kita ajak etek…’

‘Kita berdua sajalah. Si Munah banyak urusan…’

‘Pergi kita dengan pesawat….’

‘Ya Allah….. senangnya hatiku..’

‘Ya Allah… sembuhkanlah nenek… Ya Allah panjangkan umur beliau…’

‘Amiin.’

Mata nenek berlinang, terharu.

Pintu kamar terbuka. Ada mak dang, tante Ratna dan Lala datang.

‘Bagaimana, mak?’ tanya mak dang.

‘Dada mak masih berat saja,’ jawab nenek.

‘Sudah datang dokter sore ini?’

‘Tadi… siang…. Ditambahnya lagi obat.’

‘Sudah mak minum?’

‘Sudah…..’

‘Besok si Lutfi kesini, insya Allah…’

‘Syukurlah….. Sudah teragak mak dengan si Lina…’

‘Makan mak bagaimana?’

‘Sedikit…. Dipaksa-paksakan…. Tadi disuapi si Imran….’

‘Hanya empat sendok….. tapi lumayanlah, mak dang,’ kata Imran.

‘Tadi malam bisa tidur mak?’ tanya tante Ratna.

‘Sering terbangun…. Berkali-kali terbangun…’

‘Tadi malam siapa yang menemani?’

‘Si Rizal,’ jawab nenek.

Dua orang perawat datang membawakan obat.

‘Obat apa itu?’ tanya mak dang.

‘Tadi ada obat tambahan dikasih dokter untuk mengurangi sesak nafas, pak. Yang satunya lagi obat tidur,’ jawab perawat itu.

Nenek meminum kedua obat itu. Tidak lama kemudian beliau tertidur.

Lala akan ikut menemani nenek di rumah sakit malam ini. Dia sudah berencana begitu sejak dari rumah.

***

Mak dang dan Imran terlibat obrolan singkat sebelum mak dang dan tante Ratna meninggalkan rumah sakit.

‘Ada salam dari si Syahrul untukmu,’ kata mak dang.

‘Wa’alaihissalaam…. Dimana mak dang bertemu dengannya?’

‘Di kampus…. ‘

‘Sejak dia kembali dari Australia awak bertemu sekali dengannya. Dia datang ke kantor awak waktu itu….. Sudah aktif mengajar dia, mak dang?’

‘Sudah… Kebetulan dia memberi kuliah di ruang yang sama sesudah kuliah mak dang. Jadi setiap minggu ketemu.’

‘Tolong mak dang sampaikan salam awak kalau mak dang bertemu lagi dengannya.’

‘Nanti mak dang sampaikan……. Iyalah….. kami pergi dulu…. ’

‘Lala, kan tinggal,’ kata Lala.

‘Ya sudah…. Hati-hati kalian menjaga nenek…’

‘Kapan mak dang balik ke Bandung?’

‘Besok sore…. Sama-sama Lutfi, insya Allah. Dia akan kesini besok pagi…’

‘Iyalah, Ran…. Mak tuo tinggal dululah ya….’

‘Ya, mak tuo.’

‘Lala besok langsung ke rumah uni atau bagaimana?’

‘Lihat bagaimana besoklah, ma.’


*****

Tuesday, January 12, 2010

Pantun

Keselamatan bagimu wahai sahabat
Di setiap hari di setiap saat
Dari Allah menerima rahmat
Semoga hidupmu senantiasa berkat

Ingin aku berbagi cerita
Tentang negeri yang entah bagaimana
Tak pernah luput dari berita
Serba menyedihkan dan tercela

Cerita yang selalu saja nelangsa
Meluluhkan hati menimbulkan hiba
Melihat rakyat dirundung duka
Derita bagai tiada habisnya

Ketika hujan banjir menerpa
Ketika panas pengap udara
Habis yang satu yang lain tiba
Berulang-ulang diterjang gempa

Gunung api menggerung murka
Memuntahkan lahar beserta lava
Menerjang kampung di lerengnya
Batu menggelinding membuat binasa

Padahal ketika ku pandang-pandang
Negerinya elok sayang disayang
Bersawah luas kebun berjenjang
Danau dan laut luas terbentang

Tanahnya subur bukan kepalang
Tongkat ditanam tumbuh bercabang
Pohon kelapa tinggi menjulang
Di kebun tumbuh bermacam pisang

Lautan luas banyak isinya
Ikan dan udang, cumi dan gurita
Beranak pinak tiada hentinya
Kail dan jala untuk menangkapnya

Belum lagi kandungan buminya
Emas perak besi dan tembaga
Minyak bumi dan batubara
Semuanya serba tersedia

Tapi sangatlah mengherankan
Masyarakat miskin menyedihkan
Petani kurus seperti kurang makan
Sekolah anak tak sanggup melanjutkan

Hasil panen tidak berkecukupan
Pembeli pupuk uang mesti disisihkan
Belum lagi pembayar cicilan
Hutang tak pernah bisa dilunaskan

Ketika anak masih disekolahkan
Bertubi-tubi datang permintaan
Uang seragam, uang buku dan uang iyuran
Harus segera diselesaikan

Akhirnya apa boleh buat
Walau anak baru kelas empat
Sekolah terpaksa dianggap tamat
Berapa benarlah ilmu yang didapat

Begitu pula para nelayan
Disabung nyawa menghadang lautan
Ikan dijala dikumpulkan
Hanya untuk diserahkan pada juragan

Badan dililit permasalahan
Yang tak pernah berkesudahan
Pembeli solar uang dihutangkan
Ditambah pula untuk biaya makan

Ketika datang masa pancaroba
Ombak bergulung menggelora
Dipeluk lutut dan tatapan hampa
Menambah hutang jadi terpaksa

Akhirnya banyak yang tidak sabar
Pergi merantau untuk berikhtiar
Dunia garang hendak dicabar
Ternyata tidak pula berbinar

Hidup di kota-kota besar
Kejahilan dan kebengisan selalu mengincar
Kota yang ternyata hanya untuk orang pintar
Pintar bertopeng atau menyamar

Kalaulah kail panjang sejengkal
Kalau tidak panjang akal
Kota bukanlah tempat ideal
Salah-salah badan bisa terjual

Seperti itu hidup orang kebanyakan
Tidak di kampung tidak di perkotaan
Yang dihadapi selalu kesulitan
Sambung menyambung tak berkesudahan

Namun yang sangat mencengangkan
Suasananya tidaklah demikian
Bagi yang pandai mempermainkan
Segala hukum dan peraturan

Bagi mereka negeri ini adalah sorga
Tempat tinggal berpesta pora
Bersukacita bercengkerama
Hidup nikmat tidak terkira

Halal haram tak ada batasnya
Selama masih ada uangnya
Semua bisa diaturnya
Yang hitam bisa diputihkannya

Negeri yang konon ada hukumnya
Hukum buatan manusia
Lalu dipermainkan oleh mereka
Boleh dibuat sesuka-sukanya

Ada pengadilan dimana-mana
Tuntut menuntut bela membela
Putusan jatuh pada akhirnya
Kadang-kadang aneh kesudahannya

Pada suatu kejadian pengadilan
Tak mungkin lagi disangkalkan
Karena semua orang menyaksikan
Kesalahan terdakwa terbuktikan

Lalu hukuman dijatuhkan
Ke dalam penjara dimasukkan
Di dalamnya banyak para tahanan
Diapun tidak dikecualikan

Inilah salah satu puncak keajaiban
Kekuatan uangnya sungguh mengagumkan
Mampu menyulap sel tahanan
Jadi tempat tinggal penuh kenyamanan

Belumlah pernah kedengaran
Di negeri orang di negeri jiran
Hal yang sama dapat kejadian
Sebuah aturan yang menyesakkan

Akhirnya kucoba menyimpulkan
Ini adalah akibat kekufuran
Kufur nikmat atas pemberian
Yang Maha Kuasa dilecehkan

Loba dan tamak pakaian jiwa
Cinta dunia tidak terkira
Halal dan haram tak berbeda
Semua digasak tak ada puasnya

Banyak penipu dimana-mana
Yang berpangkat yang tak berpangkat sama saja
Asal ada kesempatan untuk mencida
Biar orang lain karam tidak apa-apa

Tak ada lagi sifat amanah
Yang dipercaya melanggar sumpah
Kelakuan mereka ibarat sampah
Masih juga membuat helah

Uang selalu jadi takaran
Tidak perduli bagaimana cara mendapatkan
Selama ada dalam tumpukan
Uang kertas selamanya menggiurkan

Pantas tak pantas bukan urusan
Janggal dan aneh dikesampingkan
Yang penting asal ada imbalan
Apapun sanggup dia lakukan

Begitu kalau hati dibutakan
Tak ingat apa yang akan didapatkan
Ketika kedurjanaan terbukakan
Terlambat segala penyesalan

Maka tanpa mereka sadar
Rahmat Allah berubah liar
Seharusnya nikmat lalu Allah tukar
Bencana datang tiap sebentar

Oleh karena itu wahai sahabat
Mari sekarang perbaharui niat
Orang sekitar cobalah lihat
Kepada mereka sampaikan nasihat

Dunia ini hanya sebentar
Kehidupan akhirat yang akan dikejar
Hendaklah setiap diri mempersiapkan benar
Sebelum jasadnya beku terkapar

Pandai-pandailah bersyukur
Sering-seringlah tafakur
Cecahkan kening sujud menyungkur
Kita semua dinantikan kubur

Jatibening, 13 Januari 2010

Sunday, January 10, 2010

DERAI-DERAI CINTA (44)

44. SEBUAH DISKUSI

‘Mantap kali shalat berjamaah sama bang Imran….. Bacaannya bagus…’ komentar Yuni begitu mereka selesai shalat.

Imran diam saja. Lala menyikut Yuni. Yuni melotot tapi Lala malah tersenyum melihatnya.

Sehabis shalat maghrib mereka bertiga kembali melanjutkan obrolan di meja makan. Obrolan santai disertai guyonan. Imran kadang-kadang suka juga melucu.

‘Bang Imran nginap disini aja ya, bang,’ kata Lala.

‘Lihat nanti aja,’ jawab Imran.

‘Pasti mau nungguin abang ama teteh, kan?’

‘Ya….. Nungguin si Upik kecil juga.’

‘Makanya….. Mereka paling pulangnya dekat-dekat jam sepuluhan. Abang nginap disini aja. Biar Lala beresin tempat tidurnya.’

‘Ndak usah diberesin. Kalau abang nginap, abang bisa tidur dimana saja nanti.’

‘Alaah…. Berbasa basi pula….’


***

Jam setengah sepuluh abang Lutfi sekeluarga baru pulang. Si Lina kecil terbangun ketika digendong keluar dari mobil.

‘Eh… ada insinyur….,’ abang Lutfi menyapa sambil bercanda.

‘Wah…. Si Upik belum tidur?’ Imran menyapa si Lina kecil.

‘Baru bangun lagi, om Imran,’ teteh yang menjawab.

Lina memandang Imran dengan mata sayu. Dia masih mengantuk. Teteh membawanya ke kamar dan menemaninya sebentar sampai dia kembali tertidur.

‘Sudah lama, Ran?’ tanya abang pula.

‘Sudah dari sore, bang.’

‘Sudah pada makan?’

‘Belum. Tadi kita makan ketan sarikaya. Bang Imran diajak makan duluan katanya tunggu abang dan teteh,’ jawab Lala.

‘Yaaaaa…... kelaparan dong, udah jam segini. Ayok, kita makan kalau gitu.’

Mereka makan sambil melanjutkan obrolan.

‘Bagaimana lamarannya? Sudah ada panggilan?’

‘Belum, bang. Baru juga dikirim hari Senin ini.’

‘Terus? Menunggu, dong. Gimana kalau kita buka restoran sementara menunggu.. he..he..he..’

‘Restoran kaki lima?’ teteh menimpali.

‘Bang Imran mau ke Jakarta,’ kata Lala.

‘Bener, Ran?’ tanya abang.

‘Iya, bang. Hari Minggu.’

‘Ngapain kau di Jakarta……, negeri panas itu?’

‘Ya… bermain hilir mudik sama Rizal. Turun naik Kopaja. Sambil menengok nenek. Sambil menunggu panggilan.’

‘Bakal jadi Simatupang, kau…. Siang malam tunggu panggilan…. He..he..he… Tapi, maksudnya…., kau pergi untuk sebentar?’

‘Ndak tahu juga, bang. Kalau dalam waktu lama belum ada panggilan, mungkin awak balik ke Bandung. Tapi kalau ada yang menerima, awak bertahan di Jakarta.’

‘Kalau yang menerima yang di Kalimantan, bagaimana?’

‘Ya, ke Kalimantanlah… Bagaimana pula abang ini?’

‘Tadi kau bilang mau bertahan di Jakarta…. Ngomong-ngomong, memangnya di Bandung tidak ada tempat bekerja yang kau sukai?’

‘Awak ingin mencoba mencari di Jakarta dulu, bang. Melamar di perusahaan-perusahaan minyak.’

‘Oh begitu ya…. Di Bandung paling juga ada perusahan minyak goreng, ya…. Nggak perlu insinyur geologi he…he..he…’

Semua tertawa.

‘Kalau abang, kelihatannya sangat betah di Bandung ini, ya bang?’ tanya Yuni.

‘Sangat betah….. Bandung ini sangat menyenangkan….’

‘Ya, iyalah….. Kan ada teteh Yani. Apa lagi sekarang ada Lina….. Pasien banyak. Duit banyak….’

‘Bukan karena itu…. Seandainya abang pindah ke kota lain, toh teteh dan Lina pasti abang bawa. Tapi sampai saat ini belum terpikir mau pindah dari Bandung. Udaranya, suasananya, abang sangat suka. Sudah sepuluh tahun lebih hidup disini, jadi sudah seperti di kampung sendiri.’

‘Padahal di kampung orang,’ Lala menyela.

‘Kampung teteh, paling tidak…’

‘Kampung saya di Sumedang,’ jawab teteh.

‘Maksudnya, teteh yang satu lagi….he..he..he..’

‘Memang ada teteh yang satu lagi, bang?’ tanya Yuni.

‘Ada….. Tetehnya orang….he..he..he..’

Semua ikut tertawa.

‘Kapan mau mengambil spesialisasi, bang?’ tanya Imran.

‘Secepatnya……. Sedang menunggu.’

‘Teteh juga?’

‘Nggak….. Bergantian. Abang dulu, nanti kalau abang sudah mendekati selesai, baru teteh menyusul.’

‘Mudah-mudahan sukseslah bang…..’

‘Amiiin….. Dan kau juga…mudah-mudahan segera dapat kerja….’

‘Amiiin.’

‘Dan segera dapat istri….’

‘Hah? Kok urusannya jadi kesana, bang?’

‘Nggak kepingin, kau?’

‘Bukan, begitu…..’

‘Lha…. Ya, apa lagi yang ditunggu?’

‘Awak masih muda, bang. Buat apa buru-buru.’

‘Berapa umur kau sekarang?’

‘Belum cukup dua puluh tiga bang.’

‘Ya sih…., masih muda… Tapi sudah pantas, kok.’

‘Abang umur berapa ketika menikah?’

‘Umur dua puluh enam…’

‘Nah, kan? Berarti kalau awak menikah seperti umur ketika abang menikah masih ada waktu tiga tahun lagi.’

‘Sudah ada calon?’

‘Harusnya sudah ada, bang.’

‘Wah, hebat….. Jadi sudah ada? Kenal-kenalin dong?!’

‘Itu dia masalahnya, bang. Awak belum ketemu.’

‘Semprul….. Kau bilang sudah ada. Bagaimana, sih?’

‘Kalau calonnya masih belum ada, umur berapa awak mau menikah nanti, bang? Pastilah calonnya sudah ada sekarang. Cuma awak belum tahu. Belum kenal. Tidak tahu entah dimana keberadaannya saat ini.’

Teteh, Lala dan Yuni tertawa mendengar. Abang melongo, tapi akhirnya ikut tertawa.

‘Ada persyaratan, nggak Ran? Untuk menjadi istrimu?’ tanya abang.

‘Jelas harus ada dong, bang.’

‘Apa syaratnya?’

‘Syarat yang umum-umum saja…’

‘Maksudnya apa tu, Ran? tanya teteh.

‘Harus perempuan,’ abang yang menjawab.

‘He..he..he.. Ada-ada saja abang ini.’

‘Harus orang Minang?’ kembali teteh bertanya.

‘Tidak mesti, teh.’

‘Harus Islam yang taat?’

‘Sekurang-kurangnya seorang Islam yang mengerti dan menjalankan perintah agama.’

‘Harus apa lagi? Biar abang tolong mencarikan.’

‘Ndak usah dicarikan sekarang, bang. Nanti-nanti aja. Nanti awak cari sendiri…’

‘Harus cantik, pengertian, taat. Harus sarjana, nggak Ran?’

‘Sebaiknya memang yang berilmu, teh. Supaya kalau diajak ngobrol nyambung.’

‘Warna kulit menentukan nggak? Maksud abang, yang berkulit terang, yang berkulit agak gelap? Atau yang bagaimana?’

‘Tidak masalah…. Asal jangan ndak punya kulit…. he..he..he…’

‘Pintar sekali kau sekarang….. Nggak percuma ‘dah jadi insinyur….. Jadi nggak usah dicariin? Mau nyari sendiri tapi belum sekarang. Begitu?’

‘Ya, begitu sementara ini bang…’

‘Ya, sudahlah…. Mudah-mudahan nggak terlalu lama kau menunggu-nunggu.’

‘Mudah-mudahan, bang.’


*****

Saturday, January 9, 2010

DERAI-DERAI CINTA (43)

43. SEBUAH EVALUASI

Hati Imran yang selama ini dilatih untuk tegar, ternyata bisa juga bergetar. Bergetar karena obrolannya dengan Ratih siang itu. Sejujur-jujurnya, Imran menyukai Ratih. Gadis itu sopan, dan cantik. Dia termasuk yang dinominasi Imran untuk dilamarnya. Tapi nanti. Nanti yang mungkin setahun dua tahun lagi. Setelah dia bekerja. Dan setelah Ratih menamatkan kuliahnya. Tapi ternyata Syahrul sudah lebih dahulu mengutarakan maksud hatinya kepada Ratih. Sesuatu yang sangat wajar. Ratih, di samping sopan dan cantik, yang pasti juga dinilai demikian oleh Syahrul, belum mempunyai hubungan cinta dengan siapapun. Jadi sangat wajar kalau Syahrul melakukan pendekatan.

Imran terbawa perasaan. Dia melamun. Terbayang bagaimana hubungan mereka selama ini. Hubungan persahabatan yang didasari saling hormat menghormati. Hubungan yang terpelihara kesopanannya. Dia ingat ketika Syahrul mengatakan bahwa Ratih sebenarnya ada perhatian khusus kepadanya. Bahkan dulu, entah berapa tahun yang lalu, Ratih mengirim kartu undangan ke acara ulang tahunnya. Selembar kartu undangan yang berbeda. Berbau wangi. Kata Syahrul itu adalah sebuah pertanda. Bahwa di hati Ratih dia itu istimewa. Tapi waktu itu kebetulan dia tidak bisa menghadiri undangan tersebut. Dan tidak pernah mereka membahas tentang undangan itu sesudahnya. Dan undangan seperti itu hanya sekali itu saja.

Sekarang Imran terpaksa harus mencoret nama Ratih dari hatinya. Mencoret nama yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Tidak mungkin dia bersaing dengan Syahrul. Itu tidak akan pernah dilakukannya. Dia sangat menghormati dan menghargai Syahrul. Kalau seandainya Syahrul berjodoh dengan Ratih, dia akan mendukung sepenuhnya.


***

Ratih segera menemui uci. Ternyata uci hanya ingin tahu bagaimana jawaban Imran untuk undangan makan malam. Uci senang karena Imran menerimanya. Uci sangat menyukai anak muda itu. Lucu juga nenek ini. Padahal sangat jarang beliau bertemu dengan Imran. Pertemuan yang tidak mungkin dilupakan uci adalah waktu anak muda itu datang membantu mengeluarkan beliau dari kamar mandi yang kuncinya macet.

Tapi beliau sering mendengar cerita Ratih. Ya, Ratih memang banyak bercerita tentang Imran kepada uci. Uci maklum bahwa cucunya menaruh hati terhadap Imran. Dan uci setuju. Beliau sangat senang melihat hubungan anak-anak muda itu, yang sejauh ini hanya sebatas hubungan persahabatan saja. Imran dan Syahrul pernah datang berhari raya ke rumah utama. Menemui keluarga besar pak Bambang Sadarta, bukan semata-mata menemui Ratih. Mereka datang berdua dan tidak mau duduk berlama-lama. Kedua anak muda itu memang pemuda yang sopan.

Ratih menyesal. Menyesal kenapa dia memberi tahu Imran bahwa Syahrul mengungkapkan perasaannya mau melamar dirinya. Ratih melihat perubahan raut wajah Imran ketika mendengar informasi itu. Sepertinya Imran kaget mendengarnya. Tapi kenapa dia kaget? Ah, mungkin dia tidak menyangka saja. Mungkin Syahrul tidak pernah bercerita kepadanya. Bukankah cerita seperti itu tidak akan menarik bagi Imran?

Tapi setelah dipikir-pikir, ada baiknya dia memberi tahu Imran. Ada baiknya juga hasil pembicaraannya dengan Imran tadi itu. Imran mengakui bahwa dia pernah mendengar cerita tentang dirinya dijodohkan dengan Lala. Artinya Imran mengetahui adanya skenario itu. Meskipun mungkin Imran belum dilibatkan. Belum ada yang menanyakan langsung pendapatnya. Bagaimanapun, tentu pada waktunya nanti Imran akan dihadapkan pada kenyataan itu. Akan datang waktunya dia diminta menikahi Lala, sepupunya itu dan Imran tidak akan mungkin menolak. Ratih mengenal Lala. Lala cantik. Rasanya tidak ada alasan bagi Imran untuk menolak menikahinya. Setidak-tidaknya, dari pembicaraan tadi siang Imran tidak menyatakan keberatannya atas kemungkinan itu meski dia juga tidak akan langsung menerimanya.

Ratih menyadari bahwa kemungkinan baginya untuk berjodoh dengan Imran sangat kecil. Boleh dikatakan sudah tidak ada sama sekali. Tidak akan mungkin dia bersaing dengan Lala. Karena faktor keluarga tentu akan sangat berpengaruh.

Tapi Ratih merasa puas. Setidak-tidaknya dia sudah memberi tanda yang sangat jelas bahwa dia tertarik kepada Imran. Meskipun mungkin sekarang sudah tidak akan ada artinya. Imran tetap seorang sahabat yang sangat baik.

***

Sadar bahwa melamun hanya akan membuat setan senang dan tertawa, Imran segera bangkit. Dia akan pergi ke Sekeloa. Sekalian untuk berpamitan. Berpamitan dengan abang Lutfi, teteh Yani dan Lina, bayi mungil yang lincah itu. Berpamitan dengan Lala dan Yuni. Imran mengunci pintu rumah pondokan dan segera berangkat.

***

Waktu Imran baru turun dari becak dilihatnya di kejauhan Lala baru datang dengan motor bebeknya. Rupanya Lala juga melihat Imran.

‘Dari kuliah?’ tanya Imran menyapa begitu Lala sampai di depan rumah.

‘Dari praktikum bang, terus mampir sebentar ke tempat teman.’

‘Kok sepi?’

‘Memang begini, kan. Tapi di dalam mungkin sudah ada Yuni.’

‘Si kecil Lina ndak ada?’

‘Kan di tempat neneknya. Nanti dijemput kalau ayah bundanya selesai praktek.’

‘Kalau ada Lina, pasti rame.’

‘Ya… tiga hari yang lalu ulang tahun pertama… Heboh….he..he..he..’

‘Iya, ya…. Udah setahun umurnya….. Wah, abang harus ngasih hadiah… Hadiah apa, bagusnya ya?’

‘Kalau abang tanya ke ayahnya, pasti permintaannya itu lagi – itu lagi….he..he..’

‘Masak gulai tunjang?’

‘Sudah pasti.’

Mereka masuk ke rumah. Ternyata di rumah memang hanya ada si bibik sendirian. Yuni belum pulang.

‘Abang jadi berangkat ke Jakarta?’ tanya Lala setelah mereka duduk di ruang tamu.

‘Jadi….. Hari Minggu besok insya Allah.’

‘Wuih…. Selamat tinggal Bandung, dong….’

‘Ya…… Tentu ada juga saatnya harus kembali ke Bandung nanti….’

‘Sudah ketahuan abang mau bekerja dimana?’

‘Belum…. Baru juga mengirim lamaran….’

‘Ke perusahaan-perusahaan minyak?’

‘Ya…. Ke perusahaan-perusahaan minyak..’

‘Abang melamar juga ke Caltex?’

‘Ya….. Sudah dikirim.’

‘Mudah-mudahan aja keterima, ya bang…’

‘Amiin……..‘

‘Terus…… Bang Syahrul kapan berangkat?’

‘Rencananya bulan depan. Tadi dia ke Jakarta mengurus visa Australia.’

‘Mantap juga dia, ya…’

‘Ya… dia mantap sekali sebagai pengajar. Dia memang pintar mengajar. Bakat turunan.’

‘Oo… orang tuanya bang Syahrul itu dosen juga?’

‘Bukan…., guru. Ayahnya guru abang waktu di SMA di Bukit Tinggi. Guru fisika dan beliau pintar sekali mengajar.’

‘Ooo, jadi guru sambil jadi pedagang kain?’

‘Yang berdagang kain ibunya.’

‘Ntar kalau bang Imran sudah nggak di Bandung pengiriman kain ke Bukit Tinggi bakalan macet dong.’

‘Ibu itu sudah merintisnya kesini. Mudah-mudahan tidak akan macetlah.’

‘Tidak pernah ada masalah selama abang yang mengurus pengiriman kain?’

‘Alhamdulillah, hampir tidak pernah. Pernah sekali truk pengangkut kain itu kecelakaan. Waktu itu banyak kain kiriman yang rusak. Tapi setelah itu aman-aman saja.’

‘Hebat sekali abang…. Pedagang beras…. pedagang kain…. Nggak kepingin melanjutkan bakat dagangnya bang?’

‘Biar dicoba pula makan gaji sebagai pegawai dulu. Kalau nanti ternyata tidak terlalu cocok, kan mudah saja untuk banting stir… he..he..he..’

‘Benar juga ya….’

Bibik mengingatkan bahwa di meja makan ada ketan dan sarikaya. Bibik menanyakan apa mau diambilkan.

‘Kita pindah ke meja makan aja, yuk bang,’ ajak Lala.

Mereka pindah ke meja makan. Bibik membawakan dua cangkir teh untuk mereka.

‘Bibik ini pintar membuat ketan sarikaya,’ Imran memuji.

‘Kan bibik diajarin sama juragan Ratna,’ jawab bibik.

Mereka menikmati ketan dan sarikaya itu. Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor masuk. Ternyata Yuni yang datang.

‘Eh…, lagi berdua-dua,’ kata Yuni menggoda begitu dia masuk.

‘Bertiga kok, sama bibik. Sekarang jadi berempat,’ jawab Imran.

‘He…he..he… Benar juga….. Sudah lama, bang?’

‘Sudah setengah jam….. Bagaimana kabar, Yuni?’

‘Kabar kabur….. he..he..he..’ Yuni menarik sebuah kursi dan ikut duduk.

‘Ini orang cengengesan terus….. Dari mana kau?’ tanya Lala.

‘Daripada cemberut….Kan bagusan cengengesan….. he..he.. ya, nggak, bang?’

Imran tersenyum.

‘Tanyaku belum dijawab.’

‘Tanya kau? Kau nanya apa….?’

‘Kau dari mana? Bukannya hari Kamis siang kau nggak ada kuliah?’

‘Ooo….. Aku dari tempat Irma.’

Mereka berbincang-bincang santai sampai terdengar azan maghrib.

‘Kita shalat berjamaah yuk, bang?’ ajak Lala.

‘Ayok,’ jawab Imran.

Mereka shalat maghrib berjamaah berempat.

*****

Tuesday, January 5, 2010

DERAI-DERAI CINTA (42)

42. SEBELUM MENINGGALKAN BANDUNG

Tibalah saatnya Imran harus meninggalkan Bandung. Karena dia ingin mencari kerja. Pusat lowongan kerja ada di Jakarta. Imran sudah mengirim beberapa buah lamaran ke perusahaan-perusahaan eksplorasi minyak bumi yang berkantor di Jakarta. Termasuk Caltex, karena mak dang Taufik menyarankan agar dia juga mengajukan lamaran ke perusahaan itu.

Imran bersiap-siap untuk meninggalkan Bandung. Dia akan ke Jakarta dan tinggal di rumah mak tuo Fatma sementara menunggu pekerjaan. Hal itu sudah dijelaskannya kepada Syahrul. Syahrul tentu saja tidak berkeberatan. Syahrul sendiri akan berangkat ke Australia bulan Juni nanti. Sepertinya akan berakhir kebersamaan mereka selama hampir lima tahun. Kebersamaan dalam persaudaraan sejati. Mereka sudah seperti bersaudara kandung saja. Senasib sepenanggungan

Suatu hari sebelum mereka berpisah itu, ketika Syahrul sedang ke Jakarta mengurus visa Australia, Imran sedang sendirian di rumah. Ratih datang bertamu.

‘Saya menyampaikan undangan uci,’ kata Ratih mengawali pembicaraan mereka.

‘Undangan apa?’ tanya Imran.

‘Uci ingin menjamu kak Imran dan kak Syahrul. Uci sudah mendengar bahwa kak Imran akan segera meninggalkan Bandung.’

‘Ucimu itu baik sekali. Saya akan meninggalkan Bandung karena saya akan melamar pekerjaan. Sekali-sekali tentu saya akan kembali juga ke Bandung….. Tapi undangan apa maksudnya?’

‘Undangan makan malam. Hari Sabtu ini. Lusa. Kak Imran belum berangkat kan?’

‘Saya akan berangkat hari Minggu sore,’ jawab Imran.

‘Berarti bisa dong?’

‘Insya Allah. Mudah-mudahan Syahrul sudah pulang sebelum hari Sabtu sore.’

‘Kak Syahrul kemana?’ tanya Ratih.

‘Dia ke Jakarta tadi pagi. Mengurus visa Australia.’

‘Iya, ya… Kak Syahrul juga mau berangkat, ya….’

‘Insya Allah satu setengah bulan lagi.’

‘Akan sepi tempat ini…..’ kata Ratih lirih.

‘Ya…. Itulah… Hidup kita ini dinamis…. Bergerak terus… Seperti air mengalir…’

‘Kak Imran berpuisi…. He..he..he..’

‘Tidak juga…. Saya hanya melihat kenyataan seperti itu…. Kehidupan ini bergulir. Dan kita kadang-kadang hanyut di dalamnya…’

‘Mungkin yang tepat kita berenang di dalamnya, kak. Berusaha mengendalikan diri di dalam arus kehidupan.’

‘Kamu benar….’

‘Dimana rencananya kak Imran mau bekerja?’

‘Saya sedang melamar di perusahaan-perusahaan eksplorasi minyak bumi.’

‘Seperti Caltex?’

‘Ya… Termasuk Caltex.’

‘Jadi kemungkinan akan bekerja di luar pulau Jawa?’

‘Belum tahu. Wallahu a’lam. Perusahan-perusahaan itu banyak sekali. Ada yang daerah operasinya di Sumatera, di Kalimantan, di Irian. Dan entah perusahaan mana yang akan mau menerima saya.’

‘Mudah-mudahan adalah, kak. Masak iya….. tidak ada yang mau menerima insinyur ITB?’

‘Semua itu di tangan Allah.’

‘Lalu…?’

‘Lalu kita harus bertawakkal… berdoa kepada Allah…’

‘Maksud saya….. Lalu…’

‘Lalu apa?’

‘Lalu bagaimana dengan……?’

‘Dengan apa?’ Imran balik bertanya sambil tersenyum.

‘Dengan niat kak Imran untuk….. berumah tangga….?’

Wajah Ratih memerah sesudah melontarkan pertanyaan itu.

‘Belum…. Belum saya pikirkan. Biarlah saya bekerja dulu. Saya kumpulkan sedikit uang dulu. Baru saya berpikir ke arah sana…’ jawab Imran.

‘Sudah ada calon?’ tanya Ratih lebih berani.

‘Belum,’ jawab Imran polos.

‘Belum….? Belum ada yang tercetus di dalam hati kak Imran?’

‘Belum…. Kalau sudah ada kemantapan hati saya untuk beristri, akan saya minta kepada Allah.’

‘Maksudnya?’

‘Saya akan shalat istikharah. Saya akan minta petunjuk kepada Allah.’

‘Begitu?’

‘Ya…. Begitu.’

‘Benarkah…. bahwa kak Imran sudah dijodohkan?’

‘Tidak….. ‘

‘Saya dengar……….’

Ratih mencuri pandang ke arah Imran dengan sudut mata.

‘Apa yang kamu dengar?’ tanya Imran

‘Saya dengar…. Kak Imran dijodohkan dengan anak pamannya itu….’

‘Dari mana kamu dengar?’

‘Jadi benar?’

‘Tidak….. Saya tidak tahu.’

‘Beritanya dari…dari…dari…’

‘Dari..dari..dari… Siapa? Saya tidak mengerti maksudnya.’

‘Saya diberitahu Irma. Irma dapat cerita dari Yuni. Yuni diberitahu kak Rizal saudara sepupu kak Imran itu.’

‘Ooo begitu…’

‘Jadi benar, kalau begitu?’

‘Saya tidak tahu. Benar, saya pernah mendengar dari Rizal ada pembicaraan orang-orang tua mengenai hal itu. Sudah lama sekali. Sudah lebih dua tahun yang lalu. Tapi tidak ada satu orangpun yang membicarakannya kepada saya selain Rizal.’

‘Maksudnya…. Kak Imran sedang menunggu pamannya akan menanyakan hal itu?’

‘Tidak juga.’

‘Seandainya ditanya? Apakah kak Imran akan langsung menerimanya?’

‘Belum tentu….. Seperti saya katakan tadi, saya akan beristikharah. Saya akan meminta petunjuk kepada Allah.’

‘Tentu tidak akan mudah bagi kak Imran menolak permintaan pamannya….’

‘Ya…… wallahu a’lam. Saya tidak tahu….’

Ratih kehabisan bahan pembicaraan untuk sementara. Mereka berdua terdiam beberapa saat. Ratih memandang dengan pandangan kosong. Melamun.

‘Sudah selesai ujian tengah semester?’ Imran memecah kesunyian.

‘Sudah, kak.’

‘Lancar?’

‘Biasa-biasa saja.’

‘Semoga ujian-ujiannya berhasil,’ Imran berbasa-basi.

‘Amiin…’

Mereka terdiam lagi. Beberapa saat lagi.

‘Kak Syahrul pernah cerita ke kak Imran?’

‘Tentang apa?’ Imran balik bertanya.

‘Tentang apa, ya….?’

‘Lho… Saya tidak mengerti maksudnya…. Tentang apa…?’

‘Tentang………’

‘Kok ragu-ragu?’

‘Tentang…….. Dia bilang…… Dia meminta saya……’

Imran terdiam. Diperhatikannya wajah Ratih. Akhirnya diajukannya juga pertanyaan.

‘Dia meminta Ratih…. Maksudnya dia meminta Ratih untuk jadi…..?’

Giliran Ratih terdiam. Dia menunduk tanpa menjawab. Imran juga tidak bisa berkata-kata. Dia cukup kaget mendengar apa yang baru saja diucapkan Ratih.

‘Saya percaya Syahrul bersungguh-sungguh. Saya sangat yakin itu. Sudah dijawab? Maksud saya sudah ada rencana yang lebih jelas?’ Imran memecah kesunyian.

‘Saya belum menjawabnya.’

‘Ya….. Ratih perlu memikirkannya…. Pikirkanlah sebaik-baiknya….’

‘Saya sudah memikirkannya………’

‘Bagus kalau begitu….’

‘Saya pikir, saya harus menyelesaikan kuliah dulu……’

‘Tentu saja…. Itu adalah rencana yang sangat baik.’

‘Dan sebelum kuliah ini selesai, saya belum mau…..’

‘Saya pikir Ratih benar…. Selesaikanlah dulu kuliahnya. Kan tinggal setahun dua tahun lagi saja. Sementara itu dia juga menyelesaikan sekolahnya… ’

‘Dia? Maksud kan Imran?’

‘Maksud saya Syahrul….. Kan tadi kita membicarakan Syahrul…’

Ratih kembali menunduk.

‘Ya…… Kak Syahrul itu berbeda dengan kakak…..’

Imran menangkap apa yang dimaksud Ratih.

Sukma datang mengetok pintu. Dia memberi tahu Ratih bahwa uci ingin menanyakan sesuatu. Ratih mohon pamit. Meninggalkan Imran sendirian.


*****