Saturday, March 22, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (16)

16. Thawaf Ifadha, Sa’i, Tahallul


Karena tempat duduk di bus hanya lima puluh, sementara kami jumlahnya enam puluh maka sepuluh orang dari anggota rombongan dititipkan untuk bergabung ke rombongan besar. Yang sepuluh orang itu terdiri dari saya sekeluarga dan pak J dengan istri, anak perempuan, adik dan adik iparnya. Semua anggota rombongan pak J adalah wanita. Jadi kami bersama-sama terdiri dari dari dua orang laki-laki dan delapan orang perempuan. Kalau bus yang kami ikuti pagi ini langsung ke Makkah, tidak demikian halnya dengan rombongan yang lain. Rupanya waktu berangkat dari Arafah kemarin malam mereka mengambil jalan yang berbeda dengan kami, sehingga di Muzdalifah kami terpisah, dan pagi ini mereka tidak bisa langsung ke Makkah.

Setelah bersuci, berwudhuk dan menggosok gigi di toilet umum Masjidil Haram saya kembali berkumpul dengan jamaah yang akan melakukan thawaf. Oleh pembimbing kami disarankan untuk thawaf dalam rombongan-rombongan kecil dan nanti kalau sudah selesai dengan sa’i kami akan berkumpul di tempat pertemuan favorit di bawah ‘Jam Gadang’. Ini sangat membantu bagi ustad-ustad pembimbing dan mereka dapat lebih berkonsentrasi menolong jamaah yang sudah tua. Saya dan pak J sepakat untuk bergabung dalam satu rombongan. Seorang anggota penyelenggara dari rombongan kami, pak W, ikut bergabung. Kami mengantarkan dulu istri dan anak saya si Sulung ke dekat ‘Jam Gadang’ karena mereka tidak ikut thawaf. Setelah itu barulah kami masuk ke mesjid, langsung mendekati garis coklat. Orang yang thawaf luar biasa banyaknya. Seluruh pelataran Ka’bah seperti ditutup rapat dengan manusia. Orang banyak itu bergerak pelan sekali. Hampir seluruh laki-laki dalam pakaian ihram. Ternyata yang langsung turun ke Makkah dari Muzdalifah pagi ini banyak sekali. Kami menjalani putaran demi putaran dengan sabar. Saya selalu berusaha mengenali nomor setiap putaran. Pada putaran terakhir saya beritahukan bahwa kita sudah hampir menyelesaikan ketujuh putaran. Pak J minta konfirmasi karena dia menghitung baru lima yang sudah selesai. Anak-anak serta ibu J setuju dengan saya bahwa kita sudah menyelesaikan enam putaran. Akhirnya pak J mengatakan bahwa yang petama sekali tidak dia hitung karena waktu itu dia tidak melihat garis coklat. Dia menanyakan apakah kalau kita tidak melihat garis coklat, putaran itu syah. Saya coba menjelaskan bahwa garis coklat itu hanya alat bantu. Biarpun kita tidak melihatnya, tapi sudah melaluinya tentu putaran itu syah. Pak J bisa menerima. Selesai thawaf kami mundur ke belakang sejajar dengan maqam Ibrahim untuk shalat sunat dua rakaat. Di dekat itu banyak jamaah lain yang shalat. Namun demikian tetap saja ada jamaah yang menerobos melintas di depan orang yang lagi shalat itu.

Sesudah berdoa, kami menuju ke tempat sa’i tapi sebelumnya mampir dulu untuk minum air zam-zam. Tadinya saya memperkirakan bahwa sa’i akan lebih longgar. Ternyata dugaan saya salah. Jamaah yang sa’i sama membludaknya. Kami berdesak-desak mendekat ke ‘bukit’ Shafa. Formasinya tetap sama seperti waktu thawaf. Saya dan pak W di depan. Di belakang saya si Tengah dan si Bungsu. Di belakangnya lagi ibu J dan adiknya. Seterusnya anak dan adik pak J dan dibelakang sekali pak J. Kami ikuti arus manusia yang banyak itu, yang bergerak sangat pelan sekali. Ada sedikit kendala sebenarnya dengan jalur sa‘i dari Shafa ke Marwa ini. Ada beberapa pintu untuk masuk ke mesjid di sepanjang jalur ini. Dan jamaah yang akan ke mesjid memaksakan juga masuk melalui pintu-pintu itu. Maka terjadi tabrakan arus manusia. Pada waktu jamaah sa’i tidak banyak, orang-orang yang masuk itu bisa saja memotong jalan mereka yang sedang sa’i tanpa banyak resiko. Tapi pada saat ramai seperti ini suasananya berbeda. Beberapa kali anak-anak saya terdorong dari belakang sampai tergencet ke punggung saya. Ini disebabkan jamaah di depan saya berhenti karena harus memberi jalan kepada mereka yang masuk, sementara dari belakang tetap mendorong untuk maju. Kalau sudah begitu biasanya banyak jamaah mengangkat tangan kanan dengan kelima jari dipertemukan dan mengatakan ‘suaya’ (maaf kalau salah ejaannya), yang artinya menyuruh yang di belakang bersabar dan tidak mendorong-dorong. Kode itu cukup efektif. Tapi di dekat pintu masuk berikutnya kejadian dorong-dorongan terulang kembali. Saya jadi kehilangan keberanian jadinya. Terlalu berat untuk perempuan-perempuan yang enam orang di belakang saya. Saya usulkan kepada semua agar kita menarik diri saja, tidak jadi melanjutkan sa’i. Dan semua setuju. Mendekati pintu berikutnya saya minta jalan sambil memberi tahu bahwa kami akan keluar. Kami diberi jalan untuk keluar dan langsung menuju ke tempat istri dan anak saya menunggu. Pak W, anggota penyelenggara itu, tanpa menganjurkan untuk mengikutinya, mengatakan bahwa dia akan mencoba sa’i di lantai dua. Saya yang sedikit grogi sehabis berdesak-desakan sebentar ini tidak berminat ikut. Dan yang lain setuju dengan saya.

Terasa lapar. Pagi ini kami hanya sarapan selembar ‘crape’ yang dibagi-bagikan ustad tadi di bus. Kami keluar mencari makanan (sandwich kebab). Lumayan untuk mengganjel perut. Sesudah itu kami istirahat di tempat teduh dari panas matahari, dekat Pemadam Kebakaran. Saya seperti kehilangan semangat dan hanya duduk saja istirahat di tempat itu. Lama juga kami berdiri disana sambil tiap sebentar mengintip kalau-kalau sudah ada yang datang ke bawah ‘Jam Gadang‘. Sampai masuk waktu zuhur, tidak ada yang datang kesana. Kami pindah ke halaman mesjid di luar jalur Shafa – Marwa untuk shalat zuhur. Setelah shalat barulah jamaah rombongan besar dengan jilbab seragam berwarna biru muncul satu persatu. Dan hadir pula ustad pembimbing ahli hadits. Saya ceritakan bahwa kami belum sa’i karena saya tadi takut meneruskannya. Ustad itu mendesak agar kami mengerjakan sa’i sekarang di lantai dua. Dia bilang mereka akan menunggu kami. Saya beritahukan hal itu kepada pak J dan saya ajak dia untuk ikut saja. Ternyata dia setuju. Kami berdelapan naik ke lantai dua untuk mulai lagi sa’i. Ternyata di atas lebih teratur. Meskipun jamaahnya sama mbludaknya tapi tidak ada rombongan jamaah masuk memotong arus. Kira-kira satu setengah jam kami selesaikan sa’i itu. Sesudah bertahalul, kami turun dan mencari rombongan tadi. Ternyata tidak ada orang di tempat itu. Saya mencari-cari sambil memandang berkeliling. Tidak ada siapapun. Ibu J menanyakan nomor HP istri saya. Setelah saya beritahu dia coba menelpon. Tapi tiba-tiba muncul istri dan anak saya. Rupanya mereka menunggu di tempat lain. Rombongan jamaah tadi sudah lebih dulu diantar pulang ke Mina. Tapi ustad tadi dan ustad yang lain masih ikut menunggu kami. Kami segera berangkat menuju Mina dengan bus kecil coaster. Waktu itu saya mendengar berita bahwa pagi tadi telah terjadi (lagi) musibah dengan banyak korban di Mina.



*****

No comments: