Friday, February 8, 2008

TAKLIM BUYA ABIDIN (5)

TAKLIM BUYA ABIDIN (5)

TANGGUNG JAWAB KEPADA KELUARGA

‘Mari kita sambung bahasan kita minggu lalu,’ ujar Buya Abidin mengawali pengajian beliau pada Sabtu malam itu. ‘Minggu yang lalu sudah kita kaji bahwa sebagian dari istri-istri dan anak-anak ada yang bisa menjadi musuh kepada kita. Sudah kita jelaskan pula bahwa menjaga keimanan istri dan anak-anak itu dilakukan setelah masing-masing kita terlebih dahulu menjaga diri sendiri dari kejaran api neraka. Hal tersebut adalah kewajiban dan kita sudah diingatkan Allah tentang itu. Biarlah saya teruskan kaji ini dengan tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak yang diamanahkan Allah kepada kita. Pemeliharaan sejak dia dilahirkan sampai dia beranjak dewasa.
Kebanyakan orang di jaman sekarang ini merasa bahwa tanggung jawab itu terbatas hanya sampai menyekolahkan anak-anak ke perguruan tinggi. Sebab, pada saat mereka sudah selesai bersekolah tinggi, sudah jadi sarjana, lalu dapat pula bekerja di perusahaan yang bisa menjadikan mereka orang kaya, orang tuanya merasa bahwa dia sudah sangat berhasil dalam mendidik anak-anaknya. Kalau untuk biaya pendidikan maka orang tua biasanya mau habis-habisan. Tidak kayu, jenjang dikeping. Tidak emas, bungkal diasah. Maka sangatlah senang hati seorang orang tua jaman sekarang, ketika dia mempunyai empat orang anak, semuanya sarjana, semuanya punya kedudukan yang mapan, bahkan ada yang menjadi anggota DPR. Bukan alang kepalang besar hatinya. Bagaimana tentang persiapan akhirat mereka? Jika ini yang kita tanya, biasanya berkerut keningnya. ‘Apakah hal itu penting?’ tanyanya. Atau paling-paling dia akan mengatakan, bahwa dulu ketika anak-anak itu masih kecil mereka dimasukkan ke sekolah mengaji, bahkan sudah sampai khatam al Quran. Lalu, bagaimana keadaannya sekarang? Masih pernahkah diingatkan shalatnya? Diingatkan kalau dia sudah membayar zakat atau belum? Bagaimana pula dengan puasanya? Nah, biasanya jarang orang tua sekarang yang masih melakukan hal-hal tersebut, mengingatkan anak-anaknya sesuatu yang berhubungan dengan masalah agama.

Padahal, Nabi SAW mengajarkan, jika anak-anak sudah berumur tujuh tahun agar diajar shalat. Kalau sudah umur sepuluh tahun belum juga shalat, harus dihukum. Boleh dipukul. Begitu perintah Nabi. Begitu peringatan beliau agar kita mempersiapkan anak-anak-anak supaya mereka terhindar dari api neraka. Ajarkan kepada anak-anak itu bagaimana caranya mengingat Allah dengan cara bersungguh-sungguh. Mengenal Allah sebagai Yang Maha Mencipta, Yang Maha Mengatur segala urusan, Yang Maha Kuasa. Dan cara mengajarkan pengenalan terhadap Allah itu adalah dengan menegakkan shalat.
Kalau kita tidak bersungguh-sungguh menyiapkan mereka, maka berhati-hatilah. Sebagaimana kita juga harus berhati-hati ketika kita tidak memelihara dan menafkahkan rezeki yang diberikan Allah kepada kita dengan cara yang diridhai Allah. Kita diberi Nya harta yang banyak, anak-anak yang banyak, serba hebat semua, anak-anak sarjana semua. Tapi kita tidak mengurus harta atau anak-anak itu di muka bumi ini seperti yang dikehendaki Allah. Kita hanya sibuk mengumpulkan harta lalu menghitung-hitungnya. Disana aku punya tanah sekian luas, disitu ada rumah mewahku, disana aku punya toko sekian pintu. Anak-anakku sudah jadi orang semua, sudah jadi sarjana dan hebat-hebat. Sudah punya kedudukan penting. Menantu-menantukupun tidak kalah hebat. Maka tunggu dulu. Ingatlah firman Allah, ‘Sesungguhnya hartamu, anak-anakmu itu adalah fitnah, sementara disisi Allah ada pahala yang besar.’ (Surah At Taghabun ayat 15).
Harta yang banyak dan anak-anak itu hanyalah fitnah bagimu. Tidak sedikitpun akan menyelamatkanmu kalau kamu pakai hanya untuk berbangga-bangga saja di muka bumi ini. Harta dan anak-anak itu akan jadi fitnah kalau tidak pandai-pandai mengelolanya. Kalau kamu tidak mempersiapkan mereka untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mengerti akan Ke Maha Kuasa an Nya.

Ada sebuah cerita tentang seorang laki-laki punya enam orang anak, semua anaknya laki-laki. Semua anak-anak itu sarjana dan masing-masing bekerja ditempat yang hebat. Semua sering bepergian ke luar negeri. Ada yang ke Amerika, ada yang ke Jerman dan ada yang ke Jepang. Betapa bangganya sang ayah melihat keberhasilan keenam anak-anaknya tersebut. Ketika sekali-sekali berkumpul di rumah orang tuanya, misalnya disaat hari raya terlihat bahwa mereka memang bukan orang sembarangan. Sesama mereka, kadang-kadang mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggeris. Sangat hebat dan mengagumkan. Ayah mereka bangga luar biasa.
Allah berkehendak, mungkin karena sudah berangsur tua juga, sang ayah jatuh sakit. Mulanya anak-anak bergantian menunggui di rumah sakit. Derita sakit itu ternyata berlangsung lama. Secara berangsur-angsur makin berkurang saja kesempatan anak-anaknya menemani dikarenakan mereka sibuk. Atas kehendak Allah semakin dekat rupanya kedatangan ajalnya. Menjelang sakratul maut, orang tua itu memanggil-manggil keenam anaknya bergantian. Dua orang sempat hadir menyaksikan ketika maut datang sedangkan empat orang yang lain baru datang sesudah sang ayah terbujur kaku jadi mayat. Maka berundinglah keenam anak-anak itu bagaimana cara mengurus jenazah ayah mereka yang sudah terbujur kaku itu. Yang paling tua mengusul agar diserahkan saja ke Yayasan Bunga Surga. Kita undang seorang ustad untuk menyelenggarakan jenazah ayah, beres semua urusan, begitu katanya.
Maka dihubungilah yayasan yang dimaksud si sulung. Di undang pula seorang ustad yang tinggal dekat rumah orang tua mereka itu. Ustad tadi bertanya kepada mereka, apakah mereka tidak akan ikut memandikan jenazah ayah mereka. Apa jawab mereka? Tolongl;ah ustad saja yang memandikan. Sudah selesai dimandikan, dan dikafani jenazah tersebut, ustad tadi mengingatkan lagi bahwa yang paling afdal menjadi imam shalat jenazah adalah salah seorang dari anak-anak beliau. Jawab mereka, tolong sajalah ustad yang jadi imam. Bahkan ada di antara keenam anak itu tidak ikut menyalatkan jenazah ayah mereka.

Inilah contoh bagaimana anak-anak menjadi fitnah kepada orang tua. Tidak ada sedikit juga manfaat bagi orang tuanya padahal anak-anaknya sudah disekolahkannya tinggi-tinggi. Anak-anak yang selama ini jadi kebanggaannya, yang selalu jadi bahan cerita mengasyikkan kalau dia bercerita kepada orang lain. Maka bertemulah peringatan Allah; ‘Innamaa amwaalukum wa aulaadukum fitnattun, wallahu 'indahuu ajrun 'azhiim.' (Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah cobaan (fitnah). Sedangkan disisi Allah ada pahala yang besar.)
Seandainya saja dulu anak-anak itu dididik pengetahuan agama secara memadai. Diajarkan agar dia mengenal Allah dengan sungguh-sungguh, diajarkan cara beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Seandainya dulu banyak berdoa kepada Allah minta petunjuk Nya untuk diri sendiri dan untuk anak-anak. Meminta kepada Allah agar istri dan anak-anak dijadikan Nya penyejuk mata. Agar dijadikan Nya orang-orang yang terkemuka di kalangan orang-orang yang bertaqwa. Seandainya dulu sering berdoa; Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa tzurriyatinaa qurrata a'yun, waja'alnaa lil muttaqiina imaama. Atau bahkan berdoa agar dikaruniai Allah anak keturunan yang saleh seperti doanya nabi Ibrahim a.s., Rabii hablii minashshaalihiin. (Tuhanku,anugerahilah aku dengan anak-anak yang shalih.)
Kalau perkara harta yang menjadi fitnah bukankah sudah sama kita lihat. Harta yang hanya sekedar dikumpul-kumpulkan untuk dihitung-hitung. Sudah sama kita lihat tidak sedikitpun harta itu dapat menolong. Apa yang terjadi sesudah itu? Biarpun anak-anak sudah jadi orang-orang hebat sekalipun, urusan harta peninggalan orang tua tetap saja mereka berebutan. Tidak jarang timbul permusuhan di antara mereka sesudah itu, saling iri dan dengki antara yang satu terhadap yang lain. Kalau sudah seperti ini, alih-alih akan jadi pahala untuk yang sudah meninggal malahan jadi penambah dosa jadinya. Sebab harta yang ditinggalkan hanya menjadi bahan pertengkaran di antara anak-anaknya. Harta itu hanya menjadi fitnah semata. Menjadi cobaan semata.
Seandainya dulu rajin bersedekah, rajin berinfak. Seandainya dulu sebelum mati sudah dibagi harta itu sesuai dengan ketentuan dan petunjuk Allah. Barulah ada manfaatnya. Tapi karena tidak ada amalan seperti itu yang didapat hanyalah kesusahan dan fitnah saja sesudah itu. Fitnah berupa perkelahian di antara sesama anak-anak dalam perebutan harta.
Jadi artinya, hendaklah kita pandai-pandai dalam mengelola harta di jalan Allah. Membelanjakannya dengan cara yang diridhai Allah. Boleh kaya, kalau memang kita pintar dalam mencari uang. Tapi ingat bahwa di dalam harta yang kita peroleh itu ada hak orang lain. Ada zakat yang harus dibayarkan.

Pandai-pandailah dalam mendidik anak. Silahkan sekolahkan mereka setinggi mungkin tapi ingat pula untuk membekalinya dengan pengetahuan agama yang mencukupi. Supaya nanti mereka sanggup mengurus kita ketika kita sudah jadi orang tua. Sanggup menyelenggarakan jenazah kita ketika kita mati. Menyalatkan kita sebelum kita diantar orang ke kuburan. Sebab sabda Rasulullah SAW, ‘Bilamana mati anak Adam maka putuslah segala amalannya kecuali dalam tiga hal. Pertama adanya sedekah jariah. Kedua adanya ilmu yang bermanfaat dan yang ketiga adanya anak yang saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.’ Jadi perlu adanya anak yang saleh. Dan anak saleh yang dididik sendiri. Disiapkan sendiri, karena dengan cara mendidiknya itu akan terbina ikatan batin antara orang tua dan anak.

Sampai disini dululah kaji kita. Isya Allah minggu berikut kita sambung lagi.’
Demikian Buya Abidin mengakhiri taklimnya kali itu.


*****

No comments: