Thursday, December 18, 2008

SANG AMANAH (97)

(97)


Ibu Sofni menyapa pak Situmorang dan ibu Grace secara biasa-biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pak Situmorang masih kelihatan agak tegang raut mukanya, tapi ibu Grace berusaha tenang. Tidak lama kemudian masuk pula pak Sofyan. Tangan kiri pak Sofyan sudah tidak pakai penyangga sekarang. Ibu Sofni langsung menyapa.

‘Sudah sembuh betul tangannya pak Sofyan?’ tanyanya.

‘Alhamdulillah, sudah lumayan. Tapi masih saya jaga dengan hati-hati. Untuk benar-benar pulih mungkin masih perlu waktu lama. Soalnya kemarin itu kan patah tebu. Patah lepas betul,’ pak Sofyan menjelaskan.

‘Sudah berapa lama ya? Ada sebulan kali ya pak Sofyan?’ tanya ibu Lastri.

‘Lebih sedikit sebulan, bu. Masih awal liburan tempohari. Kita mulai sekolah saja kan sudah dua minggu sekarang,’ jawab pak Sofyan.

‘Tapi tidak terasa sakit lagi sekarang?’ tanya ibu Sofni.

‘Kalau rasa sakit sih sudah nggak ada. Untuk memegang dan sebagainya sudah normal. Saya kan naik motor. Memegang stang motor, nggak masalah. Tapi kalau dipakai latihan karate tentu belum bisa he..he..he… Benar nggak pak Situmorang?’ ujar pak Sofyan berseloroh.

Pak Situmorang tersenyum saja mendengar kelakar pak Sofyan.

‘Dimana ya, tempatnya pak Sofyan di rawat tempohari itu?’ tanya ibu Grace.

‘Di Cimande. Cimande itu nama desa dekat jalan ke Sukabumi. Nama tukung urut patah tulang itu Abdul Hakim. Tapi biasa dikenal si Abah. Orangnya baik sekali.’

‘Katanya waktu itu harus menginap di sana, ya?’ lanjut ibu Grace lagi.

‘Betul, ibu Grace. Dia anjurkan begitu. Karena saya dirawat dengan intensip sekali. Ada ramuan obat dari daun-daunan yang ditumbuk dan dihaluskan lalu ditempelkan di tangan saya yang patah. Ramuan itu diganti tiga kali sehari oleh si Abah itu selama tiga hari saya di sana.’

‘Daun-daun apa saja yang dipakai? Pak Sofyan masih ingat?’ tanya ibu Lastri.

‘Waktu itu ada saya catat, tapi saya lupa lagi. Ada beberapa macam daun-daunan. Cuman nama-nama daun itu dalam bahasa Sunda. Tidak mudah mengingatnya.’

‘Berapa biaya pengobatan seperti itu pak Sofyan?’ tanya ibu Grace lagi.

‘Wah itulah repotnya. Si Abah itu tidak mau dibayar. Sekeras saya mau memberikan uang, sekeras itu pula dia menolaknya. Padahal saya dijamin makan dan minum selama di rumahnya. Akhirnya waktu mau berangkat saya serahkan uang dua ratus ribu, saya katakan, tolong Abah terima ini sebagai titipan dari anak. Saya ini kan anak Abah, saya bilang. Silahkan Abah gunakan untuk apa saja. Kalau mau Abah serahkan ke mesjid atau kemana yang Abah mau silahkan Abah gunakan. Baru dia diam. Saya juga heran kok ada orang baik sekali seperti itu.’

‘Atau mungkin karena pak Sofyan memang dianggapnya macam anaknya,’ pak Situmorang ikut nimbrung.

‘Mungkin juga,’ jawab pak Sofyan.

‘Selama pak Sofyan di sana tidak ada orang lain yang berobat seperti pak Sofyan?’ tanya ibu Lastri.

‘Nggak ada. Ada yang datang mintak tolong diurut karena keseleo. Yang patah tulang seperti saya tidak ada.’

‘Diurut oleh si Abah itu juga?’

‘Bukan oleh dia. Tapi ada lagi sepupunya, mang Tisna. Saya waktu itu juga diurut oleh mang Tisna itu.’

‘Perlu juga kita tahu alamat perawatan seperti itu. Siapa tahu, kalau kita mengalami kecelakaan seperti pak Sofyan, biar nggak bingung harus dibawa kemana. Tapi ngomong-ngomong saya sudah mau pulang nih. Tugas saya untuk hari ini sudah selesai,’ ujar ibu Grace.

Ibu Grace bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar, sesudah berpamitan dengan guru-guru yang lain di ruangan itu.

Setelah ibu Grace keluar, pak Situmorang bertanya kepada pak Sofyan.

‘Pak Sofyan sudah dengar kalau ibu Rita pindah agama. Sekarang dia masuk Islam. Sudah pernah dengar?’

‘Ya, saya dengar-dengar begitu,’ jawab pak Sofyan.

‘Tadi kan kami tanya. Saya sama ibu Grace yang bertanya. Dia jawab, betul. Kalau dia sekarang sudah pindah agama. Kalau menurut pak Sofyan bagaimananya itu? Apa betul orang boleh pindah agama seperti itu? Jangan pulak dibilang iya, mentang-mentang dia pindah ke agama Islam,’ ujar pak Situmorang.

‘Kalau menurut pendapat saya, ya pak Situmorang. Kalau dia pindah agama atas kemauannya sendiri, tidak ada orang yang mengiming-iminginya dengan cara keliru, tidak ada orang yang memaksa-maksa dia, ya biarkan saja. Baik orang Kristen pindah menjadi Islam, orang beragama Hindu pindah ke agama Kristen atau agama apa saja pindah ke agama apa saja, ya biarkan saja. Saya pribadi baru tidak setuju kalau ada unsur paksaan, ada unsur pembodohan, ada unsur penipuan, ada unsur apa saja yang tidak wajar,’ jawab pak Sofyan.

‘Seandainya ada orang Islam masuk Kristen atas kemauannya sendiri, pak Sofyan tidak keberatan?’

‘Tidak. Kenapa saya mesti keberatan? Kalau hal itu dilakukannya dengan kemauannya sendiri tadi itu.’

‘Tadi pak Sofyan sebut ‘unsur apa saja yang tidak wajar’, apa maksudnya itu?’

‘Ya, cara-cara yang tidak wajar. Ada saja pak Situmorang. Ada yang dengan dihipnotis, ada yang dijerat hutang lalu nanti setelah tidak bisa membayar disuruh berganti agama dan hutangnya lunas, ada yang dengan dipacari lalu dihamili lalu setelah itu baru diancam, kalau mau dikawini pindah agama dulu. Itu cara-cara yang tidak wajar,’ pak Sofyan menjelaskan.

‘Dengar dari siapanya pak Sofyan cerita macam begitu?’

‘Kalau namanya cerita, ada saja pak Situmorang. Saya kenal beberapa orang yang pindah agama dengan cara dijebak seperti itu. Tapi kalau sudah terjebak, sudah repot. Biar saya tidak setuju sekalipun saya juga tidak bisa berbuat apa-apa.’

‘Tapi balik lagi ke si Rita ini. Apa bukan tidak mungkin pula dia terjebak? Saya bukan mau usilnya ini. Rasanya kok gampang betul orang berganti agama.’

‘Itu saya tidak tahu pak Situmorang. Sebaiknya tanyakan saja langsung kepadanya. Kalaupun terjebak, siapa pula yang akan menjebaknya?’

‘Manaku tahu. Apa mungkin si Darmajinya? Katanya waktu itu orang ‘ni mau menikah tapi terbentur masalah agama,’ ujar pak Situmorang.

‘Tidak baik berprasangka. Tapi kalau pak Situmorang mau bisa saja ditanyakan juga ke pak Darmaji langsung.’

‘Betul jugak yang pak Sofyan bilang. Ngapain pulak saya menyangka-nyangka. Paling nanti akan ketahuan jugaknya itu apa sebenarnya latar belakang kawantu pindah agama,’ ujar pak Situmorang.

‘Saya rasa memang lebih baik begitu. Kita tunggu dan lihat sajalah. Tapi perlu juga kita ingat, dalam membahas urusan-urusan yang sifatnya pribadi macam itu jangan sampai menjadikan hubungan kita sesama guru jadi rusak pula,’ pak Sofyan menambahkan.

‘Iyalah pulak, saya juga sudah mau pulang ini. Sudah jam berapanya ini pak Sofyan?’ tanya pak Situmorang.

‘Sudah hampir jam dua belas. Sudah selesai mengajar hari ini?’ tanya pak Sofyan pula.

‘Sudah dari tadi lagi. Baiklah, see you tomorrow-lah kalau begitu,’ ujar pak Situmorang sambil beranjak pergi.

Guru-guru yang lain tersenyum kepada pak Situmorang.


*****

Tak terasa sudah bulan September lagi. Sudah mulai sering hujan. Basah dan becek dimana-mana. Dan biasanya kalau porsi hujan sedikit berlebih, bakalan banjir lagi. Sudah harus bersiap-siap lagi, terutama mereka yang tinggal di tempat yang rawan banjir. Tapi kehidupan tetap harus jalan. Lalu lintas tetap sibuk. Paling-paling disertai dengan macet kualitas ekstra. Apalagi di tempat-tempat yang tergenang air. Begitu biasanya.

Hari masih jam sembilan pagi. Sebuah mobil berhenti di pintu gerbang SMU 369. Sopir mobil itu minta izin masuk ke pekarangan sekolah karena majikannya ingin bertemu dengan kepala sekolah. Satpam itu melirik ke orang yang duduk di bagian belakang mobil itu, sebelum membukakan pintu gerbang. Mobil itu masuk dan menuju pelataran parkir. Seorang bapak berumur sekitar lima puluhan tahun, masih gagah, keluar dari mobil itu menuju ke kantor guru. Sepertinya dia tahu kemana harus melangkah dan dia berjalan ke arah kantor kepala sekolah.

Pak Umar sedang berada sendirian di kantornya. Ruang guru kosong. Bapak itu mengetok pintu di ruangan guru. Sepertinya pak Umar tidak mendengar bunyi ketokan itu. Tapi pak Kosasih, pegawai Tata Usaha, melihat waktu orang itu lewat dan sekarang juga melihat dia mengetok pintu. Pak Kosasih lalu menghampirinya.

‘Maaf, bapak mau bertemu dengan siapa?’ tanya pak Kosasih.

‘Oh, maaf. Saya ingin menemui kepala sekolah,’ jawab orang itu.

‘Biar saya lihat ke dalam. Dengan bapak siapa dan dari mana kalau boleh saya tahu,’ tanya pak Kosasih.

‘Nama saya Widodo. Tolong bilangin begitu saja,’ jawab pak Widodo itu.

Pak Kosasih melangkah ke ruangan pak Umar. Rupanya pak Umar sedang shalat di dalam. Shalat dhuha. Sendirian.

‘Maaf pak. Beliau sedang shalat. Mungkin sebentar lagi selesai. Silahkan bapak duduk. Ini adalah kantor guru-guru,’ pak Kosasih menjelaskan sambil mengambilkan sebuah kursi.

‘Terima kasih. Tapi jam segini ini pak kepala sekolah shalat apa ya?’ pak Widodo bertanya.

‘Beliau shalat dhuha,’ jawab pak Kosasih singkat.

Tidak lama kemudian pak Umar keluar dari ruangannya. Dia mendengar percakapan tadi. Pak Umar melihat ke arah pak Widodo tapi dia tidak mengenal orang ini. Hanya terlintas di benaknya, orang ini agak mirip dengan ibu Rita. Tapi masak iya sih? Memang ada kemiripan itu dan pikiran seperti itu melintas begitu saja di kepala pak Umar.

Pak Widodo berdiri dan menghampiri pak Umar.

‘Selamat pagi, pak. Boleh saya minta waktu sebentar?’ tanyanya.

‘Ya, boleh. Tapi maaf, dengan bapak siapa ya?’ tanya pak Umar.

‘Oh, ya maaf. Perkenalkan, nama saya Widodo, pak,’ ujarnya sambil menyorongkan tangannya.

Pak Umar menyambut tangan orang itu. Mereka bersalaman.

‘Silahkan masuk ke ruangan saya saja pak Widodo. Kita ngobrolnya di dalam saja,’ ujar pak Umar menyilakan tamunya masuk ke kantornya.

Pak Widodo mengikutinya. Pak Umar mempersilahkan tamunya duduk. Dia lalu menghidupkan AC di ruangan itu.

‘Silahkan, pak Widodo. Apa yang dapat saya bantu?’ tanya pak Umar.

‘Begini, pak. Saya adalah orang tua dari anak buah bapak. Rita, guru di sekolah ini. Sebelumnya saya mohon maaf karena datang mengganggu. Saya ingin menanyakan beberapa hal yang saya harapkan bapak bisa membantu saya. Tentu saja kalau bapak tidak keberatan,’ kata pak Widodo.

‘Insya Allah akan saya lakukan kalau saya sanggup. Silahkan pak Widodo sampaikan apa yang perlu saya bantu,’ jawab pak Umar.

No comments: