Sunday, May 3, 2009

DERAI-DERAI CINTA (20)

20. GULAI TUNJANG

Hari Minggu pagi yang cerah. Imran bersiap untuk pergi begitu mereka selesai sarapan nasi goreng buatan Syahrul. Nasi goreng pete. Lumayan enak. Syahrul masih bermalas-malas membalik-balik koran Pikiran Rakyat.

‘Mau kemana kau, pagi-pagi begini sudah rapi?’ tanya Syahrul.

‘Mau ke pasar. Kau ada acara hari ini?’ Imran balik bertanya.

‘Ndak. Aku mau istirahat. Tapi, kenapa memang?’

‘Mau ikut aku ke pasar? Habis tu ke Sekeloa ?’

‘Hah? Ngapain?’

‘Adik sepupuku itu minta dibikinin gulai tunjang. Aku mau ke pasar berbelanja.’

‘Terus? Aku ngapain ikut?’

‘Menemaniku. Katanya ingin berkenalan dengan adik sepupuku.’

‘Wah, iya juga. Baik. Mau...mau..’

‘Ayo, buruan kalau gitu.’

‘Ke pasar mana?‘ tanya Syahrul sambil mengganti pakaian buru-buru.

‘Kosambi,’ jawab Imran

‘Kok jauh amat?’

‘Disana lengkap. Dan murah.’

Kedua anak muda itu berangkat ke pasar dengan naik oplet. Imran sangat cekatan berbelanja. Tidak lebih dari setengah jam semua bahan yang diperlukan sudah diperolehnya. Lengkap dengan nangka muda dan rebung muda.


***

‘Kau yakin bang Imran itu benaran datang ?’ tanya Yuni.

‘Pasti dia datang,’ jawab Lala.

‘Mau pergi belanja jam berapa? Sudah siang begini......’

‘Tenang aja. Kalau dia bilang datang, dia pasti datang. Kenapa? Kau mau menemani dia belanja ke pasar?’ tanya Lala.

‘Kalau dia ajak, aku mau banget... he..he..’

‘Semprul.....’

‘Nggak apa-apa kan.. he..he..he..?’

‘Cengengesan melulu.... Atau kita aja yang pergi ke pasar. Kita ajak si bibik. Mau nggak?’

‘Yaa.... Terus, yang mau dibeli apa?’

‘Kikil mentah, kan?’

‘Lah, masak cuman kikil mentah. Bahan-bahan lainnya ?’

‘Nggak tau?!’

‘Makanya itu...’

‘Ya, udah. Kalau gitu kita tungguin aja bang Imran....’

Terdengar bel berbunyi.

‘Itu dia datang.....’ Lala bergegas menuju pintu.

Yuni ikut menyusul. Disana berdiri Imran dan satu lagi temannya. Keduanya menjinjing plastik belanjaan. Lala mempersilahkan keduanya masuk.

‘Wadduuh. Ternyata dia sudah dari pasar...’ teriak Lala.

‘Memangnya kenapa?’ tanya Imran.

‘Kami nungguin mau diajak pergi belanja ke pasar... he..he...,’ jawab Lala.

‘Ngapain repot-repot menjemput dulu kesini. Kelamaan. Kami langsung saja ke pasar. Oh ya....Kenalkan ini. Ini teman abang, namanya bang Syahrul. Rul, ini adik sepupuku, Lala. Ini temannya Yuni,’ Imran memperkenalkan.

Mereka bersalam-salaman.

Bibik datang mengambil bungkusan belanjaan itu lalu membawanya ke dapur.

‘Abang, teteh dan uni kemana?’ tanya Imran.

‘Mereka pergi sebentar. Nggak tahu kemana,’ jawab Lala.

‘Makan di luar?’

‘Pasti bukan. Abang dari tadi pagi nggak berhenti-henti ngomongin mau makan gulai tunjang siang ini.’

‘Masak iya sampai sebegitunya.’

‘Masak Lala bohong..... Terus kapan mau masaknya?’

‘Ya . Entar dululah. Untuk makan siang kan? Pokoknya beres....’

Yuni datang membawakan minuman. Yuni terlihat agak salah tingkah.

‘Mau mulai sekarang?’ tanya Imran.

‘Ayo...ayo...’ kata Lala dan Yuni bersemangat.

‘Mau ikut bekerja semua, nih?’ tanya Imran.

Lala dan Yuni berpandang-pandangan sambil tersenyum.

‘Apa yang bisa dibantu, bang?’ tanya Lala.

‘Lala bisa apa sih? Bisa mengupas bawang?’

‘Ya bisalah. Berapa banyak?’

Imran mengambil segenggam bawang dan menyerahkannya ke Lala.

Imran membagi-bagi tugas. Si bibik disuruh mengulek cabe. Yuni kebagian mengupas dan mengiris jahe, kunyit dan lengkuas. Syahrul yang juga ikut, kebagian memotong nangka muda dan mengiris rebung. Semua sibuk. Imran yang memberi komando. Dia sendiri sibuk memotong dan kemudian merebus potongan kikil.

Anak-anak dara itu terlihat sangat kikuk bekerja di dapur tapi tetap memaksakan diri. Sambil menarik perhatian? Berkali-kali mata Yuni mencuri-curi pandang. Begitu pula berkali-kali mata Syahrul mencuri-curi pandang. Entahlah. Hanya Imran yang berkonsentrasi penuh dengan gulai yang sedang dimasak itu. Dia mengamati, menakar, menambahkan bumbu-bumbu yang beraneka macam.

Setengah jam kemudian gulai tunjang itu sudah terjerang di atas kompor. Kuah bersantan berwarna merah kekuningan. Pelan-pelan gulai sekuali penuh itu mulai bergejolak mendidih. Pelan-pelan bau wanginya mulai tercium.

‘Berapa lama lagi itu, bang ?’ tanya Lala.

‘Setengah jam,’ jawab Imran.

Diceduknya sedikit kuah yang sedang menggelegak pelan itu dengan sendok kecil lalu dicicipinya.

‘Mmmh.... ‘ Imran mendesah.

‘Enak? Mantap? Lala boleh nyoba?’ Lala tidak sabaran.

‘Silahkan. Pakai sendok itu,’ Imran menunjuk ke rak piring.

Lala ikut mencicipi.

‘Waaaaw. Benar-benar......’

Yuni ikut-ikutan pula mencoba.

‘Paten.... Benar-benar gulai Kapau,’ komentarnya.

Terdengar suara bel. Rupanya abang, teteh dan uni sudah kembali.

‘Ha haaa.... Gulai Kapau...... ‘ teriak abang begitu masuk.

Abang Lutfi diikuti teteh Yani dan uni Lani berebutan menuju dapur. Bau gulai tunjang itu semakin semriwing.


*****

No comments: